Asal-Usul Kota Tegal

Kota Tegal merupakan perwujudan dari sebuah desa kecil bernama “Tetegual”. Modernisasi desa dimulai pada awal 1530-an, ketika akhirnya menjadi bagian dari Kabupaten Pemalang daerah yang mengakui keberadaan Kesultanan Pajang di Jawa Tengah . Kekaisaran Pajang penerus Kesultanan Demak , yang didirikan oleh turunannya.
Kota ini dibangun oleh Ki Gede Sebayu. Bersama dengan penduduk setempat, ia terinspirasi untuk meningkatkan sektor pertanian di wilayah ini karena kesuburan tanahnya. Karena usaha untuk mengembangkan wilayah tersebut dan untuk menyebarkan iman, segera ia menjadi pemimpin tinggi dan simbol kota. penobatan Nya sebagai pemimpin diselenggarakan bersama dengan sebuah festival tradisional setelah panen pertanian besar. Sesuai dari peraturan daerah no. 5 / 1988, 28 Juli adalah hari ulang tahun kota Tegal
Di tahun 1920, kota ini menjadi pusat Partai Komunis Indonesia (PKI) aktivisme, dan para pemimpin radikal PKI cabang Tegal adalah antara penghasut pemberontakan 1926 yang menyebabkan kerusakan sementara partai itu.
Pada tanggal 8 Oktober, 1945 anti-“Swapraja”, atau anti-feodalisme, gerakan yang disebut Gerakan Tiga Kawasan / “Gerakan Tiga Daerah” didirikan di Tegal, Pekalongan, dan Brebes. Tujuan dari gerakan ini adalah untuk menggantikan bupati darah biru (terkait dengan raja-raja dari Yogyakarta dan Surakarta ) dengan orang-orang biasa. Menurut para pemimpin gerakan ini, bupati tua itu bekerja sama dengan Jepang selama Perang Dunia II dan mengirim orang ke kamp-kamp kerja budak Jepang.
Pemimpin utama gerakan ini adalah Sarjiyo yang menjadi bupati Pekalongan yang baru. Pemimpin lain dari gerakan ini adalah Kutil, K. Mijaya dan Ir. Sakirman. Ir Sakirman adalah pemimpin lokal Partai Komunis Indonesia (PKI). Bupati tua ditangkap, ditelanjangi, dan diseret ke dalam penjara. pejabat pemerintah lainnya dan polisi diculik dan dibantai di jembatan Talang, Tegal. Gerakan ini juga mulai kerusuhan rasial terhadap etnis Cina di Brebes .
Pemerintah Republik Indonesia (RI) di Yogyakarta tidak setuju dengan gerakan ini dan menyatakan itu ilegal.
Pada tanggal 4 November 1945, gerakan ini menyerang markas tentara Indonesia dan kantor bupati di Pekalongan. Para pemberontak dikalahkan oleh tentara Indonesia dalam pertempuran sengit pada tanggal 21 Desember 1945. Kebanyakan para pemimpin gerakan ini ditangkap dan dilemparkan ke dalam penjara. Pemberontakan ini disebut Tiga Kawasan Affair.
Selama kerusuhan menyusul pengunduran diri Presiden Suharto pada tahun 1998, Tegal adalah tempat protes luas, dan kekerasan kadang-kadang, terhadap pejabat pemerintah daerah, terutama pada bulan Juni 1998.
Tempat Wisata

1. Goa Lawet

Goa Lawet merupakan goa alam indah dan berbatuan konon cerita sejarah tempat bertapa Raja-raja Mataram. Goa lawet terletak pada koordinat (289200, 9245448) UTM pada ketinggian 169 mdpl. Balapulang, di bagian selatan Kabupaten Tegal tepatnya di Desa Harjowinangun. Merupakan goa alam yang indah dan berbatuan. Akomodasi di objek wisata ini kurang memadai, tidak terdapat penginapan di objek wisata ini. Rumah makan kecil tersedia dalam jumlah yang tidak begitu banyak.
Jarak tempuh dari pusat pemerintahan kurang lebih 20 km. Dapat ditempuh dengan menggunakan sepeda motor dan mobil. Tetapi untuk menuju ke arah goa hanya dapat ditempuh dengan jalan kaki. Karena kondisi jalan yang berbahaya dan licin.
Wisatawan yang datang berasal dari kalangan pedagang, santri. Para pedagang datang untuk meminta kelancaran berdagang. Sedangkan para santri datang bertapa untuk mendapatkan ilmu.
2. Curug Gunung Puteri
Adalah sebuah air terjun di wilayah perbatasan sebelah selatan antara Tegal dan Breses. Curug Putri merupakan aliran dari Sungai Kalipedes yang berhulu di Gunung Slamet. Curug Putri atau Air terjun ini memiliki ketinggian +- 25 meter memisahkan Desa Dukuhbenda, Bumijawa, Tegal yang merupakan wilayah Kabupaten tegal dengan desa Padanama Kecamatan Sirampog yang masuk ke wilayah Kabupaten Brebes. Sebelah timur curug ini adalah pedukuhan Dukuhtengah yang pada tahun 2008 mengalami longsor kelongsoran tanah tersebut mengakibatkan rusaknya jalan menuju pedukuhan tersebut. Bencana itu menimbulkan terganggunya sarana jalan bagi anak-anak yang bersekolah di SDN Dukuhbenda 04 Bumijawa.
3. Makam Pangeran Purbaya
Pangeran Purbaya merupakan putera Sultan Agung dari Kerajaan Mataram dan sebagai menantu Ki Gede Sebayu. Dalam Babad Pagedongan disebutkan bahwa Pangeran Purbaya mempunyai kelangenan berupa “laweyan seta” (makhluk halus) diberi nama Ki Juru Taman. Perjalanan sejarah dimulai, ketika Pangeran Purbaya diperintah oleh ayahnya untuk menangkap Pasingsingan, akhirnya sampai di Dukuh Sumbregah (Slarang Sigeblag) Lebaksiu. Bersama dengan Ki Ciptosari dan Wangsayuda mendirikan pondok pesantren yang mengajarkan ilmu bela diri, ilmu anoraga dan ilmu aji jaya kawijayan yang menggunakan mantra. Untuk meningkatkan ilmunya, Pangeran Purbaya berguru kepada Ki Gede sebayu di Karangmangu. Dalam masa berguru, Pangeran Purbaya mendapat wejangan atau pesan untuk menghindari larangan atau pantangan yaitu :
1 Kadunungan sifat tamak
2 Godaan setan yang masuk pada hati manusia sehingga tumbuh sifat kuma (kumingsun, kuminter, kumalungkung dan sebagainya)
3 Ikut pada bisikan setan sehingga murtad keluar dari jalan yang benar.
Pangeran Purbaya menikah dengan puteri Ki Gede Sebayu bernama Raden Rara Giyanti Subhaleksana. Pangeran Purbaya membangun masjid jami’ di Padepokan Pesantren Desa Kalisoka. Selain itu Pangeran Purbaya bersama Ki Ciptosari membangun balong ikan tambra di Desa Cenggini yang kemudian dimanfaatkan untuk mengairi persawahan penduduk.
Sampai akhir hayat, Pangeran Purbaya dimakamkan di Desa Kalisoka Kecamatan Dukuhwaru. Komplek makam Pangeran Purbaya terbagi menjadi 3 halaman yang dibatasi oleh pagar dari bata. Halaman utama (halaman ke-3) merupakan makam Pangeran Purbaya dan pendampingnya, Makam Reksonegoro, Makam Bupati Pemalang dan masjid makam serta makam kerabat. Halaman 2 dan 1 merupakan makam kerabat. Bangunan cungkup dibagi dua ruang yaitu ruang makam yang tertutup tembok dan serambi terbuka menelilingi ruang makam. Jirat makam merupakan jirat baru dan berbahan keramik dengan ukuran panjang 2 x 1 m dan tinggi 30 cm. Nisan terbuat dari kayu jati saat ini keadaannya sudah rapuh. Nisan tersebut dikategorikan sebagai tipe Demak-Troloyo.4. Pemandian Air Panas Guci Tegal

Guci terletak di kaki Gunung Slamet bagian Utara, dengan ketinggian sekitar 1.500 meter dari permukaan air laut mempunyai udara yang sejuk dengan suhu sekitar 20 derajat celcius.
Cerita tentang GUCI berawal dari sebuah pedukuhan yang bernama Kaputihan. Kaputihan berarti yang belum tercemar atau masih suci, yang berarti daerah Kaputihan belum tercemar oleh agama dan peradaban lain. Istilah Kaputihan pertama kali yang memperkenalkan adalah Beliau yang dikenal dengan Kyai Ageng Klitik (Kyai Klitik) yang nama sesungguhnya adalah Raden Mas Arya Hadiningrat asal dari Demak. Setelah Beliau Kyai Klitik menetap dan tinggal cukup lama di Lereng Gunung Slamet (kampung Kaputihan) maka banyak warga yang berdatangan dari tempat lain sehingga kampung Kaputihan menjadi ramai. Suatu ketika datanglah Syech Elang Sutajaya utusan Sunan Gunungjati (Syeh Syarief Hidayatulloh) dari pesantren Gunungjati Cirebon untuk syiar islam.
Dan kebetulan di kampung Kaputihan sedang terjadi pagebluk (bencana alam, penyakit merajalela, tanaman diserang hama dsb), sehingga Beliau Elang Sutajaya memohon petunjuk kepada Alloh SWT dengan semedi kemudian Alloh SWT member petunjuk, supaya masyarakat kampung Kaputihan meningkatkan iman dan taqwanya kepada Alloh SWT dengan menggelar tasyakuran, memperbanyak sedekah dan yang terkena wabah penyakit khususnya gatal-gatal agar meminun air dari kendi (Guci) yang sudah dido’akan oleh Sunan Gunungjati. Dalam kesempatan itu pula Sunan Gunungjati berkenan mendo’akan sumber air panas di kampong Kaputihan agar bisa dipergunakan untuk menyembuhkan segala penyakit. Semenjak itu karena kendi (guci) berisi air yang sudah dido’akan oleh Sunan Gunungjati ditinggal dikampong Kaputihan dan selalu dijadikan sarana pengobatan. Maka sejak saat itu masyarakat sekitar menyebut-nyebut Guci-guci. Sehingga Kyai Klitik selaku Kepala Dukuh Kaputihan Merubahnya menjadi Desa Guci, dan Beliau sebagai Lurah pertamanya.
Guci peninggalan Elang Sutajaya itu berada di Musium Nasional setelah pada pemerintahan Adipati Brebes Raden Cakraningrat membawanya ke Musium.

Sumber: http://pabrikceritala.blogspot.com/2013/06/kota-tegal.html

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *