Ujian Nasional selesai Durrah jalani. Sebagai siswi kelas XII di Madrasah ternama di daerah tempat tinggalnya, MAN 1 Praya, ada semangat optimis akan lulus di hatinya. Ia mulai berani menatap matahari kembali dengan sunggingan senyum kepuasan. Ia merasa belajarnya tidak sia-sia karena soal-soal ujian nasional dapat diselesaikannya tanpa harus menggadaikan keimanan seperti mayoritas teman-temannya. Sekarang tugasnya hanya menunggu pengumuman kelulusan keluar.
![]() |
Dan Tuhanku Lebih Tahu Aku |
****Matahari mulai memancarkan sinarnya. Kicauan burung-burung seolah berlomba-lomba menyambut hari yang penuh berkah. Kokokkan ayam tak ingin kalah, bersahut-sahutan terdengar di beberapa tempat. “Hari yang cerah, ini anugerah”, kalimat yang tak pernah alpa untuk diucapkan Durrah di setiap paginya. Hari ini ia memutuskan untuk ke Madrasah. Meski tidak ada kegiatan pasti yang akan dilakukannya disana. Ia merasa sangat rindu dengan suasana Madrasah. Rindu guru-gurunya, rindu teman-temannya, rindu adik-adik angkatannya juga yang biasa memanggilnya Kk Dee seperti orang tuanya.
Madrasah tetap seperti biasa. Tampak asri dengan hiasan pohon kelapa di sekeliling bangunan. Dengan bismillah ia melangkahkan kakinya menyisiri lingkungan madrasah. Ada perasaan khawatir dalam hatinya. Khawatir kalau-kalau ia nantinya bertemu dengan ikhwan yang membuat dirinya merasa sangat berdosa karena tak bisa menjaga hatinya.
“Kk Dee…”. Panggilan Alna, adik kelasnya yang satu organisasi dengannya membuyarkan kekhawatirannya.
“Kk, kangen deh sama Kk”
“Iya dinda, Kk juga kangen sama semuanya”
“Kk, ada lomba Karya Tulis Ilmiah, kami harus ikut kata Pembina. Tapi ini kali pertama kami ikut lomba tanpa kakak-kakak. Jadi mikir gak usah ikut saja.”
“Loh, kok gitu? Pokoknya harus ikut. Harus! Jangan kecewakan Pembina, ya! Masa kami dijadikan alasan ketidakinginan kalian untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan identitas gemilang kalian.”
“Bukan gitu kakak, kami kan selalu minta bantuan Kk Dee tiap ada lomba dulu-dulu. Kalau tidak ada Kk, kami minta bantuan siapa lagi? Nanti ndak selese-selese lagi karyanya”
“Kan pembina ada. Tenang saja, kk juga masih di sini kan. Dan ingat! Kk masih resmi siswi sini.”
Bel berbunyi tanda waktu istirahat pertama berakhir. Lingkungan madrasah di luar kelas mulai lengang. Siswa dan guru melaksanakan tugas masing-masing. Belajar dan mengajar. Rutinitas yang ia pernah jalani pula selama hampir tiga tahun.
Perpustakaan tampak merekahkan senyum simbolisnya. Ia merasa terpanggil untuk memasukinya. Belum sempat ia menyelesaikan salamnya, terlihat Zaki, siswa kelas Bahasa yang membuat hatinya tak mampu ia manage. Perasaannya mulai berkecamuk. Ingin rasanya ia tinggalkan tempat itu segera, namun keengganannya untuk membuat laki-laki yang di matanya berwibawa itu berpikiran macam-macam tentangnya, menahannya untuk melanjutkan langkahnya memasuki ruangan yang tiba-tiba berubah sembab itu.
“Sendirian ukh?”
“Nggih,” jawaban singkat menurutnya terbaik untuk bisa menjaga kesan tenang bagi dirinya.
“Anti niat baca buku yang mana? Kalau tidak ada, ini tiang sudah baca. Sepertinya cocok untuk dibaca para akhwat. Anti mau baca?”.
“Boleh”.
Durrah tak ingin berlama-lama di perpustakaan. Magnet-magnet perangkap setan sudah dapat ia rasakan di dalam sana. Ia beranjak keluar perpustakaan dengan menenteng buku pinjaman yang membuatnya penasaran, “cocok dibaca para akhwat? Seperti apa ya isinya?”. Durrah bertanya-tanya dalam hati. Langkah kakinya dipercepat. Musholla tampak sepi. Ia memutuskan untuk melihat-lihat isi buku itu disana, “judulnya lucu, 24 Jam Amalan Agar Suami Makin Sayang”. Ada sedikit rasa malu dihatinya untuk membaca buku ditangannya itu. Ia merasa belum pantas untuk membaca buku semacam itu. Ia takut terkesan sudah siap menikah dengan membaca buku itu jika dilihat orang. Tapi rasa penasaran yang menancap di hati menggerakkan jari-jemarinya untuk membuka halaman demi halaman buku itu. Hatinya terperanjat membaca hadits shahih riwayat Muslim di salah satu halamannya, “wanita itu jika dipandang dari depan akan meniupkan nafsu setan (merangsang birahi) dan dipandang dari belakang pun (meniupkan nafsu) setan”. Ia merenung. Apakah ia sudah mampu menjaga dirinya? Atau ialah yang dijadikan alat oleh setan? Untuk merusak lawan jenisnya dengan nafsu yang terhias pada dirinya? Istighfar ia lisankan berulang-ulang. Di halaman berikutnya ia menemukan hadits yang senada dengan yang sebelumnya “wanita itu aurat, bila ia keluar rumah maka setan akan menghiasinya, (untuk menampak-nampakkan kemolekannya dalam pandangan lelaki sehingga terjadilah fitnah)”. Ia coba menerawang dirinya.
Menerawang keseringannya keluar rumah tanpa didampingi mahram. Lantas ia memvonis dirinya alat setan. Kembali istighfar terdengar dari lisannya. Keinginannya untuk melanjutkan kuliyah selepas menamatkan Aliyah kembali ia pertimbangkan. Ia akan selalu berada diluar rumah. “Ah, Rasulallah juga mengatakan uthlubul ‘ilma falau bissiin. Selama itu keluar rumah untuk alasan yang dibenarkan agama, insyaAllah Allah ridho”. Ia memantapkan hatinya. Ia tutup buku itu, ia memutuskan untuk melanjutkan membacanya di rumah saja karena musholla madrasah sudah mulai dipadati para siswa dan beberapa guru untuk melaksanakan shalat zuhur berjama’ah. Usai shalat ia memutuskan untuk meninggalkan madrasah.
****
Fajar mulai menyingsingkan diri. Sebagai puteri semata wayang, Durrah tidak pernah merasakan kekurangan kasih sayang orang tua.
“Jadi daftar kuliyah kemana Dee?”
“UIN Malang Mak, ambil Kimia. Menurut Bapak dan Mamak gimana?”
“Kalau bapak setuju-setuju saja, tapi ada sedikit rasa khawatir. Kamu perempuan. Keluarga disini semua.”
“InsyaAllah perlindungan Allah akan tetap bersama tiang. Jadi, tiang harap jangan khawatir nggih…”.
“Dee, ada yang bapak ingin sampaikan”
“Napi nike pak?”
“Bapak tidak berani mengambil keputusan tanpa persetujuan darimu”
“Maksud bapak?”
“Sekitar dua minggu lalu, waktu Dee masih menjalankan Ujian, teman bapak, Ust. Hasan, melamarmu untuk puteranya. Puteranya itu tidak mengenalmu, tapi setelah Ust. Hasan menceritakan tentangmu padanya, dia mengiyakan. Karena yakin pilihan bapaknya tidak sembarangan. Bapak tidak menyampaikan ini padamu karena waktu itu bapak tidak ingin mengganggu ujianmu. Bapak menyampaikan ini sekarang karena menurut bapak kamu sudah tidak aktif lagi di madrasah. Apa tanggapanmu?”
Durrah tersentak mendengar penuturan laki-laki yang ia panggil bapak itu. Lidahnya terasa berat untuk mengucapkan sepatah katapun. Aliran darahnya terasa semakin cepat memaksa keringatnya keluar melalui lubang pori-pori kulitnya. Ia mencoba menerka-nerka kalimat yang harus ia keluarkan. Ia merasa menjadi seperti batita yang baru belajar bicara. “Dee…”
“Bapak tidak memaksamu untuk menerima atau menolak lamaran itu nak. Tapi, bapak perlu mengingatkan, ketika seorang wanita dilamar laki-laki sholih, dan si wanita siap menikah, maka sebaiknya diterima. Sekarang bapak Tanya, Dee siap berumah tangga?”
“Dee…”
“Kalau Dee belum siap tidak apa-apa, nanti bapak sampaikan ke Ust. Hasan.”
“Terserah bapak saja, Dee insyaAllah ridho”
“Terserah bapak? Pikirkan baik-baik Dee. Ini bukan hal yang ringan. Ini tentang hidupmu.”
“Dee ingin kuliyah juga pak. Tapi jika ada laki-laki sholih yang datang melamar, seperti yang bapak katakan tadi, alangkah baiknya jika diterima. Jadi, Dee serahkan ke bapak saja. Apapun yang menurut bapak baik, insyaAllah baik untuk Dee”
“Bapak dan Mamak sudah istiharahkan ini. Dan kami merasa, petunjuk Allah mengarahkan untuk Dee menerima lamaran ini saja.”
“Nggih jika itu yang lebih baik”
“Bapak akan segera mengabari Ust. Hasan. Setelah pengumuman kelulusanmu diterima, insyaAllah akad nikahmu segera dilangsungkan”.
“Nggih”, lirih ia mengucapkan kata terakhir sebelum ia berlalu menuju kamarnya. Ia masih tidak menyangka akan segera menikah. Di usianya yang masih sangat belia, 18 tahun. Namun ia teringat hadits Rasulallah tentang seorang istri yang dipersilakan masuk surga dari pintu manapun yang ia kehendaki “Jika seorang wanita mengerjakan sholat lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluan (kehormatannya) dan taat kepada seuaminya, ia berhak untuk masuk surga dari pintu manapun yang ia kehendaki”. Ia memantapkan diri untuk yakin dengan keputusannya.
****
Pengumuman kelulusan dibagikan. Durrah Althafunnisa, nama pertama yang disebut saat pengumuman lulusan terbaik dibacakan. Ia lulus sebagai lulusan terbaik. Ia meninggalkan madrasah aliyahnya dengan meninggalkan nama yang harum berparfumkan prestasi membanggakan. Yang sekaligus sebagai akhir status lajang dalam rentetan kisah hidupnya.
http://www.lokerseni.web.id/2013/05/dan-tuhanku-lebih-tahu-aku-cerpen.html