All posts by 112356

Senyuman Air Mata

Aku menerawang jauh menembus rintik-rintik hujan dari bilik
aku telah melebur manjadi satu. Di sana tiada ego yang menjauhkan, hanya ada tali suci jendela kamarku. Ada rasa rindu bercampur rasa perih bergumpal-gumpal di dada. Aku kembali duduk di atas tempat tidur. Ku alihkan pandanganku ke sebuah foto.
….
Kapan cinta berbunga di dalam bulir air mata?
Cinta berbunga dalam bulir air mata, akan berbunga apabila antara kamu dan yang mengikat. Cinta yang terbungkus dalam keimanan, mengungguli kekuatan akal dan logika. Itulah fitrah cintaku padamu. Impianku hidup bersamamu!
….
“Inilah kata-kata yang ingin aku sampaikan padamu. Namun, aku sudah terlambat, lebih tepatnya aku tak mungkin menyampaikannya,” desahku sembari memandangi foto seseorang. Seseorang yang menjadi cinta pertamaku. Seseorang yang sudah 3 tahun terakhir ini mengisi kesendirian hidupku. Seseorang itu bernama Fitrah Dinda.

12 Agustus 2008…
“Mas Fadli!” panggil seseorang.
“Iya, ada apa?” sapaku dengan bertanya.
“Mas yang jadi ketua Forum Remaja Muslim ‘kan? Ehm… aku mau daftar jadi anggota, bisa nggak?” tanya cewek itu.
“Ya bisalah… kamu tinggal datang ke acara FRM Jumat besok, Nggak dipungut biaya ko! Nama anti siapa?” tanyaku.
“Nama ana… Fitrah!” jawabnya.
“Nama yang cantik seperti orangnya! Astaghfirullah.. pikiran apa ini!” batinku.
“Ya sudah mas, Fitrah duluan… Assalamu’alaikum…,” ucap Fitrah.
“Wa’alaikumsalam…,”jawabku.
Di taman kampus inilah…awal perkenalanku dengannya.
♥♥13 September 2008…
“Hari ini.. aku nggak bertemu mas Fadli! Mas Fadli kemana, mbak?” tanya Fitrah seusai kegiatan FRM.
“Fadli… lagi di kelas. Dia sakit!” jawab Mira.
“Mas Fadli sakit?! Ya Allah… Fitrah duluan ya, mbak!” seru Fitrah yang langsung lari entah kemana. Mira hanya bisa terpaku melihat sikap Fitrah yang seperti itu.

Di kelas…
Ruangan ini terasa sunyi senyap, hanya aku yang duduk dengan mata terpejam di dalamnya. Aku mencoba merasakan rasa sakitku.
“Mas Fadli nggak apa-apa?!” seru seseorang yang langsung menyentuh keningku.
“Astaghfirullahaladzim..!” seruku terbangun. Ku dapati Fitrah dengan kerut kekhawatiran.
“Mas sakit apa? Sudah makan? Sudah minum obat? Apa yang mas rasakan sekarang?” tanya Fitrah memburuku.
“Cuma pusing, nggak perlu khawatir!” jawabku.
“Adik belikan teh hangat, ya?” lanjut Fitrah.
“Nggak perlu..,” bantahku.
“Nggak! Adik mau belikan teh hangat dulu!” bantah balik Fitrah.
Tanpa aku sadari… dari peristiwa inilah aku mulai menyayanginya lebih dari adik.
♥♥

4 Oktober 2008..
Hari ini ada baksos untuk anak yatim piatu. Kebetulan sekali salah satu relawannya adalah Fitrah. Kini… aku sedang memperhatikan dia dari kejauhan, tampaknya dia sudah kelelahan.
“Assalamu’alaikum… Fitrah capek? Sudah makan? Wajah kamu pucat? Kamu sakit?” tanyaku. Guratan kecemasan di wajahku mungkin sudah dilihat olehnya.
“Adik cuma sakit maag! Bentar lagi juga sembuh kalau di buat aktifitas!” bantah Fitrah. Aku ragu akan hal itu, apalagi dengan wajahnya yang memucat. Tanpa pikir panjang, aku menarik pergelangan tangannya untuk istirahat dari tepi jalan.
“Astaghfirullahaladzim…maaf, mas sudah berani menggenggam jemari adik!” seruku tersadar.
“Nggak apa-apa kok, mas!” seru balik Fitrah.
“Ya Allah… apa yang terjadi dengan degupan jantungku? Kenapa debarannya berbeda, saat mas Fadli menggenggam jemariku?” tanya Fitrah dalam hati.

26 Oktober 2008…
Cinta itu seperti cahaya yang mengalir manis di sela-sela hati. Sebenarnya.. apa yang telah aku rasakan untuk Fitrah? Apa kau memang mencintainya atau sekedar rasa sayang kepada seorang adik?
“Fitrah bicara dengan siapa?” tanya batinku setelah aku mendapati Fitrah dengan seorang cowok berdiri di depan mushola kampus.
“Cowok itu! Sepertinya aku kenal. Kenapa terlihat akrab sekali?” tanyaku sekali lagi.
Ada rasa sakit dan kecewa yang tiba-tiba hinggap di hatiku. Mungkinkah ini yang dinamakan cemburu?
♥♥

17 November 2008….
Kali ini… aku sudah memastikan perasaanku untuknya. Aku mencintainya. Apakah aku harus menyatakannya? Aku takut kalau dia tak memiliki perasaan yang sama, tapi mungkin saja perasaan kita sama? Sepertinya ada kebimbangan untuk menjawab pertanyaan ini!
“Nggak perlu bimbang! Dia juga suka sama kamu!” seru Mira.
“Kamu bisa baca pikiran aku?” tanyaku. Mira hanya tersenyum.
“Fitrah juga mencintaimu! Aku tahu ketika Fitrah langsung lari saat dia tahu kamu sakit. Mungkin dia belum menyadarinya, tapi matanya sudah berbicara,” jelas Mira.
“Alhamdulillah…,” desahku.

23 November 2008…
Hari ini.. aku menyatakan perasaanku. Sedikit gugup! Ya.. itu pasti! Tapi… daripada aku pendam dan jadi penyakit, lebih baik aku menyatakannya.
“Mas mau ngomong apa?’ tanya Fitrah membuyarkan pikiranku.
“Bismillaahir Rohmaanir Rohiim… Ana behibek!” seruku. Aku bisa menebak jawabannya pasti TIDAK! Terlihat dari ekspresi Fitrah yang terkejut dan sedikit kerut di alisnya..
“Ehm… haah… Bismillaahir Rohmaanir Rohiim… Ana behibak!” jawab Fitrah.
Ya Allah… akhirnya rasa sesak di dada ini sudah terobati. Alhamdulillah… Selang beberapa bulan, aku memperkenalkan Fitrah ke keluargaku, terutama ibu. Ibuku menyetujui hubungan ini. Kuliahku lancar dan pertengahan tahun 2009 ini.. aku sudah wisuda.
♥♥

Di tahun 2010… aku mendapatkan berkah yang luar biasa. Aku bisa satu tempat kerja dengan Fitrah. Kita sama-sama mengajar di Pesantren Darus Salam. Di tahun ini pulalah.. aku beritikad untuk menjadikan Fitrah sebagai mukhrimku.
“Adik sayang mas!” ucap Fitrah berseri-seri.
“Mas juga sayang adik! Adik kelihatannya bahagia. Memang ada apa?” lanjutku.
“Karena hubungan kita lancar sampai sekarang, mas!” seru Fitrah. Aku juga tersenyum bahagia. Rencananya tepat tanggal 1 Mei, aku akan melamarnya. Namun, akhir-akhir ini kau sering ketakutan. Aku takut kehilangan Fitrah.

1 Mei 2010…
Aku tidak tahu, apa yang ingin Fitrah sampaikan?! Tapi, kedengarannya itu sangat penting. Aku melihat dia bermuram durja duduk sendiri di taman. Hatiku semakin tak karuan. Sebenarnya ada apa?
“Abi dan umi berencana menjodohkan Fitrah, mas!”seru Fitrah.
“Fitrah dijodohkan dengan seorang ustadz lulusan dari Yaman. Namanya ustadz Abid!” lanjut Fitrah.
“Fitrah sudah memperjuangkan hubungan kita, tapi abi tetap pada pendiriannya. Fitrah sekarang harus bagaimana sekarang?” tanya Fitrah yang mulai menangis.
“Ya Allah…,” desahku.
“Fitrah seakan-akan jatuh dalam dua cinta, tak bisa menolak juga tak mau kehilangan!” lanjut Fitrah.

Aku tahu apa yang dia maksud! Fitrah tak mungkin mengecewakan abi dan uminya. Begitu juga denganku, kalau aku diposisi Fitrah. Aku juga tak mungkin mengecewakan orang tuaku. Di satu sisi, Fitrah juga tak ingin melepaskanku.
“Astaghfirullah… Bismillaahir Rohmaanir Rohiim. Turuti permintaan orang tuamu, dik! Insya allah..pilihan orang tuamu akan lebih baik dari aku.

Insya allah… dialah jodoh yang disiapkan oleh Allah SWT untuk adik dan dialah yang sepadan untuk adik! Adik pasti akan bahagia dengannya!” jelasku meski hati ini perih untuk mengatakannya.
“Mas nggak mau memperjuangkan hubungan kita?!” seru Fitrah sedikit emosi.
“Bukannya aku nggak mau, tapi aku nggak bisa menjadikanmu sebagai anak durhaka!” jawabku.
Aku tahu Fitrah kecewa mendengar pernyataan dariku. Aku juga terluka,Fitrah…. Tidak akan ada orang yang mau merelakan kekasih hatinya untuk orang lain.
♥♥

19 Juni 2010…
Aku melihat diriku memang tak berguna untuk Fitrah di depan cermin.
“Ijab kabulnya pukul 09.00! Sekarang sudah 08.30, 30 menit lagi kekasihku pergi! Sebaiknya aku berangkat sekarang,” gumamku.
• Benar dugaanku, rumah Fitrah sudah penuh dengan orang. Sekilas.. aku melihat calonnya, dia memang tampan dan terlihat cerdas tak sebanding dengan diriku. Di satu sisi…

Di balik cadar, Fitrah diam-diam menitihkan air mata.
“Bagaiman bisa seperti ini? Aku menikah dengan seseorang yang tak ku cintai!” ucap Fitrah lirih.
“Melihat raut umi yang bahagia, aku tak tega untuk mengecewakannya!” lanjut Fitrah. Tepat pukul 09.00…
“Saya terima nikah dan kawinnya Fitrah Dinda binti Muhammad Usman dengan maskawin tersebut di bayar tunai,” ucap Abid.
“Ya Allah…,”desahku menunduk dengan meneteskan air mata.

Setelah itu…
Aku menghampiri mereka. Raut wajahku yang terluka sudah terlihat oleh Fitrah. Aku tersenyum manis sebisaku, walau sedikit memaksa.
“Mas Abid, Fitrah boleh bicara sama mas Fadli sebentar?” tanya Fitrah.
“Dia teman adik, ya! Berarti teman mas juga, dong!? Ya..boleh!” jawab Abid. Di taman..
“Ini yang mas inginkan, bukan?’ tanya Fitrah. Aku hanya bisa diam.
“Ini yang terbaik buat adik!” seruku tersenyum walau menitihkan air mata.
“Astaghfirullahaldzim… maafkan mas, dik! Mas telah menjadi pecundang dalam cinta kita. Sampai sekarang, tak ada yang mampu menggantikan posisi adik di hati mas,” desahku dengan mendekap fotonya.

Sumber: http://www.lokerseni.web.id/2012/06/cerpen-islam-romantis-senyuman-air-mata.html

Indahnya Bersedekah

Saskia adalah gadis berumur 7thn, namun dia adalah gadis yang kurang beruntung. Orang tua mereka bermatapencaharian sebagai pekerja serabutan yang tidak mempunyai penghasilan yang tetap. Saskia duduk dibangku kelas I SD, dia anak yang baik, rajin, pintar, dan patuh serta selalu bersemangat untuk menuntut ilmu. Sepulang sekolah dia selalu mencari pekerjaan untuk membantu orang tuanya membayar biaya sekolah.
“Bu aku berangkat sekola dulu ya” suara mungilnya menghampiri ibunya yang sedang mengumpulkan cucian tetangga sembari tangan mungilnya itu mencium tangan ibunya.
“Iya, hati-hati ya Kia, belajarlah yang benar ya nak” jawab ibunya sembari mengelus kepala anaknya itu.
“Iya, pasti ibu !” ujar Saskia penuh dengan semangat.
Kaki kecilnya itu berjalan menyelusuri sawah yang becek dan sungai yang sedang surut airnya, sungguh besar perjuangan gadis kecil itu untuk menuju sekolahnya itu.
SDN Maju Jaya, adalah sekolah yang belum terjamah oleh pemerintah, sekolah itu sangatlah tidak layak pakai dan saat musim hujanpun sekolah terpaksa untuk diliburkan.
Di kelas Saskia adalah siswi yang sangat aktif dan cerdas, dia mendapatkan peringkat pertama di kelas semester pertama.
“Saskia, ikut ibu dulu nak ke kantor” ucap Bu Hidayah.
“Iya bu” jawab Saskia.
Tiba di ruang kantor guru, saskia duduk dikursi usang itu.
“Nak… ini surat untuk ibu mu, besok ibu mu menghadap ibu ya” ujar Bu Hidayah pelan.
“Memangnya ada apa bu?” tanya Saskia polos.
“Kamu belum bayar SPP 5bln Nak” jawab Bu Hidayah.
“Oh soal itu, baiklah bu, terimakasih” jawab Saskia sembari beranjak pergi dari ruangan itu.Waktu pulang sekolah pun tiba. Saskia segera menuju kamar mandi dan berganti pakaian untuk mencari pekerjaan hari ini. Lalu perlahan Saskia menuju pasar yang sudah biasa ia datangi.
“Kasihan ibu dan ayah, aku harus membantu mereka” ucapnya dalam hati.
Kali ini Saskia bekerja membantu ibu-ibu yang membawa belanjaan banyak.
“Ibu boleh saya bantu bawaannya?” tawar Saskia.
“Iya boleh nak”
Hari itu lumayan Saskia mendapatkan uang 25rb dan ia segera pulang karena waktu yang sudah sangat sore. Diperjalanan dia bertemu dengan pengemis tua, dan dia merasa sangat kasihan pada pengemis itu.
“Nenek kelihatannya lemas sekali, nenek sakit?” tanya Saskia pada pengemis itu.
“Saya belum makan 2 hari ini nak, saya hanya minum air putih saja, itupun hanya dua kali” jawab pengemis itu lemas.
“Kalau begitu ini untuk nenek, lumayan untuk nenek makan dan beli minum” sembari menyerahkan uang 25rb yang tadi dia dapatkan dari hasil kerjanya.
“Terimakasih nak, kau memang gadis kecil yang berhati mulia, semoga tuhan selalu memberikan kecukupan untuk mu” ucap pengemis itu merasa terharu dengan sikap gadis mungil itu.
“Iya sama-sama nek, kalau begitu aku pulang dulu ya nek, nenek segeralah membeli makan dan minum agar nenek selalu sehat” ucap Saskia dan beranjak meninggalkan emperan toko itu lalu ia pulang.
“Iya hati-hati nak”
“Iya nek” sembari tesenyum manis melihat nenek itu tersenyum untuknya.

Setibanya Saskia di rumah.
“Assalamualaikum…” dengan suara yang lucu itu ia membuka pintu.
“Walaikumsalam, kamu dari mana saja Kia ?” tanya ibunya.
“Tadi aku bekerja membantu ibu-ibu di pasar membawakan belanjaannya bu” jelas Saskia dengan wajah yang polos.
“Ya ampun nak, kamu ga usah bekerja lagi ya nak, tugas mu hanyalah belajar sekarang, biar ibu dan ayah yang mencari uang untuk biaya sekolah mu nak” respon ibu Saskia sembari meneteskan air mata karena ia kagum dengan anaknya yang mau ikut bekerja demi kelangsungan sekolahnya.
“Ibu ga usah nangis, Kia ga apa-apa ko” tangan kecilnya itu mengusap air mata sang ibunda.
“Maafkan ibu dan ayah ya Kia? Kami belum bisa membahagiakan mu seperti anak-anak yang lainnya, sekarang kamu mandi lalu makan ya nak” sembari mencium pipi gembilnya itu.
“Aku tidak apa-apa ibu, tapi maaf juga ya ibu, hari ini aku ga bawa uang, uangnya aku kasih untuk nenek tua yang belum makan tadi” ucap polosnya Kia memeluk ibundanya.
“Kamu memang anak ibu yang sangat cantik dan baik, itu adalah hal yang mulia, kamu ga perlu minta maaf sama ibu” jawabnya bangga pada anaknya.
“Hem ini surat untuk ibu dari bu guru, dan katanya besok ibu ke sekolah ku untuk menemui Bu Hidayah guru ku” sembari mengeluarkan surat dari tas yang sudah robek kecil dibagian kanan dan kirinya itu.
“Baik, besok ibu akan ke sekolah mu nak”

Keesokan harinya Saskia berangkat sekolah ditemani ibundanya. Diperjalanan Saskia memberikan uang recehnya kepada para pengemis yang ia jumpai.
“Kamu memang peri kecil ibu nak” ucap ibunya dalam hati sembari tersenyum bangga.
Sesampainya mereka disekolah, Saskia langsung mengantarkan ibunya ke ruang guru untuk menemui Bu Hidayah.
“Assalamualaikum bu..” ucap ibu Saskia.
“Walaikumsalam, silahkan duduk ibu..” jawab bu Hidayah.
“Sebenarnya ada apa ya ibu menyuruh saya datang kemari?”
“Mengenai bayaran SPP, Kia belum membayarnya 5bln” jelas bu Hidayah.
“Oh masalah itu ya bu, baik bu saya akan segara melunasinya, namun saya butuh waktu satu minggu ini ya bu” jawab ibu Saskia.
“Oke, baiklah kalau begitu ibu”

Lalu ibu Saskia pun pulang, ia berfikir bagaimana caranya agar ia bisa membayarnya dalam jangka waktu yang seminggu ini. Berjalan perlahan dan dia menubruk Ibu muda dan kaya raya yang mengenakan pakain berwarna biru langit dan jilbabnya yang menutupi auratnya.
“Ma, ma, maaf bu, saya tidak sengaja” ucap ibu Saskia gugup.
“Ya tidak apa-apa bu, ibu mengapa melamun dikeramaian seperti ini?” tanya ibu Riyana pelan.
“Tidak, saya hanya memikirkan anak saya saja bu”
“Memang anak ibu kenapa, sakit?”
“Tidak bu, saya perlu biaya untuk sekolah anak saya”
“kalau begitu ibu mau tidak menjadi pembantu di rumah saya, kebetulan saya sedang memerlukan pembantu bu, saya akan beri upah Rp 1.000.000,00 -,bulan? Bagaimana bu?” tawar ibu Riyana pada ibu Saskia itu.
“I, i..iya saya mau bu, tapi saya butuh uang itu minggu ini bu?” dengan wajah yang mulai berseri dan meredup kembali.
“Kamu tidak perlu khawatir untuk biaya anak kamu biar saya yang tanggung”
“Benar begitu bu?” rasa tak percaya menatap wajah bu Riyana.
“Iya benar ibu” dengan tersenyum manis dan penuh rasa percaya bahwa ibu Saskia adalah seorang ibu yang jujur dan bertanggung jawab.
“Terimakasih ya bu, terimakasih banyak bu !” jawab ibu Saskia bahagia.
“Kalau begitu sekarang ibu ke rumah saya dan kalau bisa ibu mulai bekerja hari ini” jelas bu Riyana.
“Iya bu saya mau !” dengan nada yang penuh semangat.

Dan akhirnya Saskia dapat bersekolah dengan nyaman dan menikmati masa kecilnya dengan wajar.
“Ini berkat anak ku juga, dia selalu bersedekah kepada sesama dan kini Allah memberikan balasan yang lebih dari yang anak ku keluarkan, keikhlasan adalah hal yang terpenting dalam bersedekah, Allah tidak pernah tidur dan Dia slalu mendengarkan curahan hati hambanya, terimakasih ya Allah atas segala karunia-Mu, kini ku rasakan betapa Indahnya Bersedekah J”

Sumber:http://www.lokerseni.web.id/2012/09/cerpen-pendidikan-islam-indahnya.html

Cinta dalam Diam

Namaku Putri, aku biasa dipanggil Puput. Aku masuk salah satu universitas islam di Bandung. Walau basic ku dari SMA. Hehehe. Hari pertama masuk kuliah, di kelas ku melihat sosok pria yg misterius. Dia tampan, sangat pendiam, putih, tinggi dan cukup menarik perhatianku juga rasa penasaranku. Hari demi hari ku lalui, rasa keingintahuanku tentangnya pun terjawab. Pria itu bernama Hilman, dia pintar dan aktif dikelas, aku kira dia orang yang pendiam, tapi ternyata tidak juga. Lama kelamaan lincahnya terlihat, dia bawel, gokil pula, dan yang paling aku terkaget itu dia seorang pemain biola. Hmmm… waw.

Dengan berjalannya waktu kitapun saling mengenal satu sama lain, yang awalnya aku dan Hilman sangat kaku sampe kemudian kami menjadi teman dekat, bahkan lebih dekat dari sahabat. Aku selalu menceritakan semua kejadian yang menimpaku, dari cerita susah, senang, sedih, dan sebagainya begitu pula dengannya. Dia pria yang sangat baik dan mengerti aku. Dia tempat curhat yang asik, tempat sharing pelajaran yang menyenangkan. Dan pria yang penuh dengan kharisma, sehingga banyak perempuan lain yang kagum padanya.
Cinta Dalam Diam
Aku seperti buntut baginya, kemanapun dia pergi, aku selalu mengikutinya. Dari mulai dia futsal, main dengan teman temanya dan mereka juga temanku, sampai satu organisasi pun bersama. Dia yang selalu ada saat aku membutuhkan bantuan. Dari mulai meminta bantuan menyelesaikan tugasku, mengantarku pulang, sampai menemaniku jalan jalan. Seakan akan dia itu ambulan yang pada saat aku keluar dari pintu gawat darurat, dia selalu ada. Banyak orang yang menyangka kita pacaran. Oh… itu tidak mungkin. Hahahah
Sampai suatu hari, entah apa yang terjadi padaku? Ketika aku melihatnya bermain biola di taman kampus, hatiku berdegup kencang, tanganku berkeringat, lidahku kelu, bahkan kakiku sampai gemetar, tak mampu ku melangkahkan kaki untuk berpaling darinya. Ku tutup mataku agar aku mendapat ketenangan. Tapi saat ku terpejam…..
“Put, lagi apa berdiri disini?” serentak aku terkaget mendengar suaranya.
“Panas tau. Sini temenin aku latihan biola!” hilman mengagetkanku, kemudian kubuka mataku.

“eh… heheheh Hilman. Lagi diem aja, nyari tukang dagang nih laper.” Sanggahanku
“hahaha put… put… sejak kapan ada tukang dagang keliling masuk kampus? Ngaco nih kamu, saking laparnya ya? Kamu mah lapar mulu deh perasaan. Yuk, aku traktir makan. Hari ini aku jadi pemadam kelaparan kamu. Hahaha” ledeknya padaku
“eh… iya. Lupa. Hehehe asik…. makan…..” jawabku

Aku berusaha bersikap seperti biasa dihadapannya, entah sampai kapan aku harus berpura-pura dan berperang dengan hatiku sendiri. Oh… rasanya sangat tersiksa. Aku perempuan yang memang agak sedikit tomboy, aku yang cuek akan keadaan sekitarku, aku yang kadang memalukan diriku sendiri dengan tidak sadar, dan aku yang selalu bersikap paling heboh dan gokil diantara teman temanku termasuk juga hilman.Tapi sesaat kemudian, aku menjadi sosok yang pendiam, jaga image, salah tingkah, dan lain lain jika berhadapan dengannya. Oh…. itu sangat menyebalkan ketika secara tidak sadar aku menjadi orang lain yang amat sangat jauh berbeda dari kepribadianku jika ada dia dihadapanku. Somebody help me

Apa ini yang dinamakan cinta? Apa ini yang dinamakan kasih sayang? Apa ini….??? ssstttt…. sudah cukup sampai disitu pertanyaanku. Rasanya perutku lapar jika aku selalu berpikiran hal itu. Oh… tidak….. Aku mencoba berpositive thinking akan keadaanku ini. Ya, agar semuanya berjalan seperti biasanya. Hari demi hari ku lalui seperti biasanya, tugas kuliah yang menumpuk, pekerjaan rumah seperti pembantu rumah tangga, menjadi pembisnis coklat online, dan tentunya have fun dengan sahabatku Hilman walau aku harus merasakan perang batin jika harus berhadapan dengannya.
Suatu hari, saat kami sedang kerja kelompok salah satu teman perempuanku mendekati Hilman. Dia bertanya ini itu, ini itu, sampai bosan aku melihatnya bulak balik dihadapan Hilman. Geram rasanya melihat dia, ingin sekali aku menyingkirkannya. Rasa kesal melandaku saat itu, seperti masuk kedalam lubang yang berisi kantung pasir tinju yang siap ku hantam satu persatu. Aduh, perasaan ini timbul kembali. Aku benci.

Malam hari ku menulis puisi untuknya….

CINTA DALAM DIAM
Kumencintaimu dalam diam
Karena diamku tersimpan kekuatan harapan
Dan cintaku hingga saat ini masih terjaga
Mungkin Allah akan membuat harapan ini menjadi nyata
Ku ingin cintaku dapat berkata
Dikehidupan yang nyata
Namun jika tak memiliki kesempatan berkata
Biar semua in i tetap diam jika kau bukan untukku
Aku yakin Allah akan menghapus cintaku
Dengan berjalannya waktu
Dan memberi rasa yang lebih indah untukku
Yang menjadi jalan takdirku
Biar cinta dalam diamku ini
Menjadi memori tersendiri
Dan relung hatiku menjadi tempat rahasia
Kau dan perasaan cintaku ini

Puisi ini mewakili semua perasaanku padanya. Aku hanya dapat berkata melalui tinta, dapat berbicara melalui irama, dan dapat bercerita melalui karya. Satu satunya yang membuatku seperti orang bisu yaitu perasaanku ini. Aku tidak ingin terobsesi memilikinya, karena itu akan membuatnya pergi dariku. Cinta dalam diam yang memang tepat untukku. Dia tidak tahu akan perasaanku, sikapnya yang menunjukkanku bahwa dia hanya menganggapku sahabat.
Itu tidak masalah untukku, karena berada didekatnya sudah lebih dari cukup, melihat tawanya, mendengar suaranya, dan merasakan kehadirannya sudah membuatku bahagia. Aku mencintainya dalam diam, karena aku tak mau merusak semua ini.

Pada suatu hari di kampus, Hilman memintaku untuk menemaninya pergi ke suatu tempat. Ternyata ada sesuatu yang ingin dia beli, kita pergi ke pasar bunga dan membeli 1 rangkaian bunga mawar yang akan dia berikan untuk hari ulang tahu ibunya. Setelah dia mendapatkannya, dia petik satu bunga mawar merah untukku.
“ini buat kamu put.” Sambil memberikan bunga mawar merah itu
“lah? Buat aku? Untuk apa?” tanyaku terheran heran
“tanda terimakasih, karena udah temenin kesini” jawab hilman
“oh… ya, makasih” ku tersipu malu

Sungguh hari yang amat sangat luar biasa untukku.hahahaha aku mendapatkan satu bungan mawar dari seorang Hilman? Rasanya seperti melayang ke udara dersama awan awan putih selembut salju yang menjadi bantalanku, dan turun kembali ke bumi dengan pelang indah warna warni yang menjadi perosotanku. ihihihihi WAW… its amazing  ya walau ku tau itu tak ada arti apa apa untuknya. Tapi untukku? Itu sangat berarti. Kusimpan bunga mawar itu diatas meja belajarku, disamping fotoku dan Hilman. Rasanya itu sangat serasi. Meja belajarku adalah tempat baru yang menyenangka ke 2 setelah tempat tempat menyenangkan yang ku lalaui dengan Hilman. Karena meja belajarku adalah saksi bisu dari semua pengakuan atas perasaanku. Setiap hari kutuliskan diary atas namanya, tak pernah ku bosan menulis nama Hilman dalam diary ku walau berjuta kali banyaknya. Dan fotoku dengan Hilman yang bersender bunga mawar merah menjadi pemandangan yang menyejukkan hati. Hehehe 

Tutup pintu hatimu untukku
Jika semua yang ku lakukan
Karena ingin memilikimu
Buka pintu kebencianmu
Jika semua yang ku lakukan
Hanya ingin mempermainkanmu

Aku masih bingung, apa yang harus ku lakukan? Sungguh ini sangat menyiksa batinku. Ketika pada suatu sore, setelah pulang kampu kami pulang bersama. Seperti biasa, jalur taman kota yang kami lewati. Karena suasana sore hari di taman kota sangat menyenangka. Ku berfikir disitu tempat yang tepat untuk mengutarakan perasaanku. Walau ku cegah adanya pertanyaan padanya seperti: apa pendampat Hilman tentangku? Bagaimana perasaan Hilman ke aku? Apa Hilman mau menjalin hubungan denganku? Tidak ingin ku lontarkan pertanyaan itu. Kami tertawa sepanjang perjalanan, dan dia memang bakat menjadi pelawak. Hahaha. Saat kami sedang berjalan santai di taman, tiba tiba…..
“aaaaa……..” ku menjerit saat hilman mendorongku ke pinggir jalan.
Ternyata sebuah motor hampir menabrakku, dan Hilman melindungiku. Tapi saat ku lihat dia, ternyata motor itu menabrak Hilman. Betapa shocknya aku melihat dia tergeletak tak berdaya dijalan, dengan mata yang terpejam, dan tak sadarkan diri. Aku yang terjatuh dijalan kemudian bergegas lari menghampirinya, tak peduli betapa sakitnya kakiku terbentur batu. Dengan jalan yang terpincang pincang, ku kuatkan diri menghampiri Hilman.
“Hilman…. Hilman…..” teriakku padanya, sambil menolongnya.
Ingin ku berkata sesuatu, tapi lidahku terlalu kelu. Seakan hanya namanya yang dapat ku panggil dengan jelas dan lancarnya. Ya, hanya namanya saja.  air mataku meleleh membentuk anak sungai di pipiku. Ini adalah peristiwa yang sangat membuatku terpukul.
“Ya Alloh, tolong aku. Jangan kau ambil dia pergi dari sisiku dan sampai kau ambil dia ke sisimu. Apa yang harus ku lakukan tanpanya? Aku akan merasa bersalah, dan penyesalan yang amat sangat mendalam karena perasaanku tak dapat berkata dikehidupan nyata.”

Serentak ku panggil ambulan untuk membawanya kerumah sakit. Dia yang jadi ambulanku saat aku keluar dari pintu gawat darurat, sekarang aku yang memanggil ambulan untuknya? Sungguh menyedihkan. Aku terdiam sepanjang perjalanan menuju kerumah sakit. Entah apa yang harus aku lakukan untuk membantunya bangun kembali?apa canda tawa tadi adalah hal terakhir yang kulakukan dengan Hilman? Apa tadi adalah terakhir kalinya aku mendengar suaranya? Dan melihat nya? Aku mengingat semua kenangan bersama Hilman, kenangan manis yang tak akan bisa terlupakan.

Setiba dirumah sakit, kegelisahanku makin menjadi jadi. Setelah ku hubungi keluarganya. Aku menangis dalam dekapan ibunya, ya kami memang sudah akrab satu sama lain. Bahkan seperti anak dan ibu sendiri. Di luar pintu GAWAT DARURAT ku menunggu dengan kegelisahan, tatapan yang penuh dengan sejuta harapan pada satu orang yang keluar dari pintu itu. Semoga aku dapat menjadi ambulan saat Hilman keluar dari pintu gawat darurat, karena biasanya dia yang melakukan itu. Tapi kali ini, aku yang harus menggantikan tugasnya. Saat ada seseorang keluar…..
“dokter, bagaimana keadaan temanku? Apa dia baik baik saja? Apa dia selamat? Apa dia sehat sehat saja?” tanyaku pada dokter itu
“Maaf, kami tidak dapat menolongnya. Benturan dikepalanya sangat keras, tak ada darah yang keluar, tapi darah itu bergumpal banyak diotaknya.”

Serentak hal itu membuat harapanku menjadi hancur berkeping keping.
“Kami ingin melakukan pembedahan, tapi waktu yang tidak memungkinkan, dia menghembuskan nafas terakhir dan membaca dua kalimat sahadat dan memanggil nama “Put”. Siapa itu?” jelas dokter padaku
“ Put? Namaku Putri dok” sampai tersedu sedu ku berkata.
“ sungguh dia pria yang mengagumkan. Saat keadaannya sekarat, dia masih mengingat Alloh dan kamu”.
Lekas ku berlari menghampiri hilman yang sudah terbaring tak bernyawa. Air mataku semakin deras membasahi pipiku. Aku tak dapat berkata apapun lagi. Langsung keluarganya membawa dia kerumah, dan mengurus jenazahnya. Sungguh, aku tak ingin melihatnya dalam posisi di balut kain putih dan wajah yang pucat. Aku penakut, dan tak ingin melihatnya. Tapi ku kuatkan diri untuk selalu mendampingi disisinya sampai tanah terakhir menutupi kuburnya.

Hanya do’a yang bisa kulantunkan
Keikhlasan yang selalu ku genggam
Kekuatan yang jadi tumpuan
Dan kenangan yang menjadi senyuman

Perubahan kepribadianku serentak berubah, aku menjadi sosok yang pendiam, cuek, dingin, dan menjauh dari apa yang ada hubungannya denganku dan Hilman. Rasanya itu sangat menyiksa. Dan penyesalan terbesarku yaitu karena aku belum sempat mengutarakan persaanku sampai dia menutup mata. Teman temanku berkata padaku, bahwa Hilman sangat mencintaiku. Tapi dia tak mau mengatakannya karena takut merusak persahabat kita, dan yang paling ia tidak mau yaitu menjalin hubungan terlarang yang dapat merusak izzah dan iffahku. Hilman yang selalu hadir dalam mimpiku dan membuatku semakin bersedih.
Teman teman yang silih berganti menghiburku bahkan tak sanggup membuatku tersenyum. Bunga mawar merah dan foto yang terletak dikamarku menjadi tempat pelamunanku mengingat kenangan manis bersamanya. Semakin lama, semakin layu. Tapi tak ku buang, bunga itu ku simpan baik baik.

Ku jalani hari dengan kesendirian
Tanpa seorang sahabat yang mengisi ruang dan waktu
Rasanya ku ternanam menahan luka yang dalam
Hampir saja ku mati rasa padamu
Dan hilangkan relung hatiku

“ketika kau mencintai seseorang, katakan padanya. Tak usah takut akan apapun resikonya. Tapi ingat, janganlah kamu memberinya pertanyaan apapun. Itu akan membuatmu gelisah. Cukup dengan kau jujur atas perasaanmu, itu sudah sangat mengurangi beban hatimu.”

Satu tahun kemudian, tetap tak ada perubahan padaku. Aku belum kembali seperti dulu, tak ada aku yang ceria, tak ada aku yang bawel, tak ada aku yang gila. Seakan semuanya terkubur bersama kenangan manis disisinya. Pada pagi hari, 14 februari 2013 saat pergi kuliah aku melihat sosok pria yang sedang memegang biola. Aku terkaget saat sosok Hilman yang ada dihadapanku. Tapi kulihat kembali dengan kesadaranku, ternyata bukan. Aku melewat dihadapannya dengan sedikit tersenyum, diapun membalas senyumanku. Pria itu membuatku penasaran. Pada sore hari saat pulang kuliah, hal yang memalukan terjadi. Pada saat itu aku sedang asik sms-an dengan temanku. Tiba tiba saat ku berjalan….
“ awas…..” teriak seorang pria di hadapanku
Sejenak ku terdiam dan melihat kedepan. Hampir saja aku terjatuh pada kubangan air. Hahaha  itu sangat memalukan. Saat kulihat pria itu, ternyata dia pria yang tadi pagi ku temui.
“hati hati ya jalannya” dengan lembut dia memperingatkanku

Rasanya sangat memalukan, kejadian yang tak kulupakan. Rasa penasaranku padawa makin menjadi. Aku cari tahu tentangnya. Dia bernama Adit, dia adalah kakak tingkatku. Dan ternyata kami satu jurusan. Rasanya aku belum pernah melihatnya. Ya, bagaimana aku tahu, setelah kuliah saja aku pulang kerumah karena tidak ada tempat lagi yang kutuju. Dulu selagi Hilman ada, banyak tempat yang terjelajahi bersamanya. Seakan akan, semua tempat itu menjadi neraka untukku, dan aku tak ingin pergi kesana lagi.

Hari demi hari ku lalaui seperti biasa, sedikit ada perubahan. Aku mulai tersenyum, setelah kejadian memalukan itu. Teman teman sekelasku senang akan adanya perubahanku. Aku selalu memata matai Adit, saat dia di kampus, di kelas, bahkan saat bermain biola. Rasanya sosok hilman masuk kedalam dirinya. Oh…. tidak mungkin, tak ada yang bisa menandingi Hilman dimataku. Tempat favorit Hilman main biola itu di taman kampus, suasana yang sejuk sangat mendukung. Tapi mengapa Adit juga sering berlatih disitu? Apa benar Adit adalah jelmaan dari Hilman? Oh…. sungguh mengherankan.
Makin kesini, aku makin mencari tahu tentangnya. Dari mulai tempat tinggalnya, jadwal kuilahnya, tempat favoritnya, hobinya, sampai makanan kesukaanya. Nah loh? Ko mirip Hilman ya? Tidak mungki itu Hilman, tapi semuanya ada hubungannya dengan hilman. Ku yakinkan bahwa Hilman adalah Hilman, tak ada orang yang menyamainya. Dan Adit adalah Adit, orang yang kebetulan, ya seperti itu adanya. Rasa kagumku pada Adit semakin besar, tapi bukan berarti ku melupakan Hilman. Tidak sama sekali. Karena dia abadi tersimpan disisi lain relung hatiku. Aku yang selalu menguntupi Adit kemana ia pergi. Kejadian yang sama saat dulu bersama Hilman, tapi perbedaannya aku menguntip Adit diam diam. Hehehe
Selalu saja begitu setiap hari. Ku luangkan waktu untuk mengikutinya pergi. Sampai ku berpikir aku akan memberikan satu bunga mawar merah untuknya. Aku tak ingin perasaanku ini menyiksa diriku seorang diri. Mungkin jika ku utarakan padanya, dia bisa sedikit mengerti aku dan mengurang bebanku. Dan akhirnya kuputuskan untuk mengutaraknnya, aku mebawa satu tangkai bunga mawar yang menjadi kekutanku yang mengingatkanku pada Hilman. tapi saat ku berjalan di depan rumahnya, aku melihatnya bersama perempuan lain. Dia mengajak perempuam itu kerumahnya. Apa perempuan itu…..? tak sanggu ku lanjutkan kalimatku. Bunga mawar yang ku genggam, serntak jatuh bersama semua anganku. Hancur lebur, membentuk butiran debu.
“apa ini takdirku? Apa Alloh memang menahan perasaanku hanya untuk Hilman. Dan sengaja membuatku hancur karena Adit.” Ku duduk terdiam memetik kelopak bunga mawar.

Memang benar, cintaku pada Hilman tak memiliki kesempatan untuk berkata. Bukan berarti dia bukan untukku, tapi memang Alloh mencegahku untuk mengatakan dikehidupan yang nyata. Dan mungkin memberi kesempatanku berkata di kehidupan yang abadi, selamanya. Bunuh diri? Hahaha bodoh. Itu adalah kata yang ku benci. Mungkin Alloh merencanakan sesuatau dengan Hilman. Dia yang tak ingin aku menjalin hubungan terlarang (pacaran) dengan lelaki lain, karena dia mencintaiku. Dan hanya ingin bersamaku di ikatan yang halal bagiku.
Biarlah saat ini ku belajar jauh darinya di dunia ini, dia mengajarkanku kesabaran dan keikhlasan. Mungkin dia sedang menguji cintaku, dia sengaja membiarkanku hidup agar rasa rinduku semakin dalam untuknya. Dan suatu saat nanti jika kita bertemu, rindu itu akan lenyap dan berubah menjadi butiran cinta juga kehidupan yang baru.
“ Jangan takut, aku akan mencintaimu seribu tahun, dan akan mencintaimu seribu tahun lebih ”
THE END
Sumber:http://www.lokerseni.web.id/2013/05/cinta-dalam-diam-cerpen-cinta-islami.html

Sebuah Jilbab, Seribu Kebaikan

Zaman sekarang, dikota besar, dikota kecil, desa, kampung dan pedalaman yang sangat jauh, islam sudah dikenal sejak datangnya Nabi Muhammad saw yang membawa cahaya untuk para manusia yang jahiliah. Nabi Muhammad saw mewarisi kita akhlak mulianya,yang dibawa dari waktu kewaktu sampai sekarang. Beliau pun mengajar kita menutup aurat dan menjaga kehormatan masing-masing, menahan nafsu dan sebagainya. Ya, kata-kata itu aku dapat dari guru Pendidikan Agama Islam. Dia masih muda, umurnya masih sekitar dua puluhan. Dia mengajar sebagai guru pengganti sementara, karena guru yang biasa mengajar Pendidikan Agama Islam sedang melaksanan pekerjaannya diluar kota, jadi beliaulah yang menggantikan sementara.

Tapi walau hanya sebentar, walau hanya beberapa bulan. Beliau berhasil menjadikan beberapa anak berubah. Yang tadi sifat dan sikap mereka begitu nakal dan susah dikendalikan, tiba-tiba menjadi anak yang sholeh, patuh dan berubah seratus delapan puluh derajat dari sifat aslinya. Termasuk aku. Beliau merubah pemikiranku tentang islam, membuatku mencintai islam, dan melaksanakan kewajibanku sebagai muslim.
Sebuah Jilbab, Seribu Kebaikan

Ceritanya dimulai dari sejak beliau datang kesekolahku…
“ Assalamualaikum. Selamat pagi anak-anak.” Ucapnya dengan senyuman manis.
Tepat saat panas yang terik, pelajaran terakhir membuat penat semua siswa didalam sekelasku. Apalagi waktu itu pelajaran Pendidikan Agama Islam adalah pelajaran terakhir. Pelajaran ini membuat aku dan teman sekelasku mengantuk dan ingin cepat pulang, karena guru yang mengajar dikelasku hanya berbicara-bicara yang membuat kami mengantuk. Tapi disiang itu, guru yang biasa mengajar kami digantikan dengan seorang perempuan berpakaian tertutup dengan jilbab yang hampir menutup tubuh bagian atasnya. Wajahnya sangat bersih dan putih, jerawat, noda hitam atau keriput didaerah tertentu tidak nampak sama sekali, dia guru tercantik yang pernah kulihat.

Tak lama setelah memberi salam, beliau menaruh buku mengajarnya dan langsung berdiri memperkenalkan dirinya…
“ Assalamualaikum, anak-anak.” Ucapnya.
“ Walaikumsalam.” Sahut kami dengan serentak.
“ Perkenalkan nama ibu, Khadijah Muslimah. Ibu berasal dari universitas Kairo. Ibu mengajar disini menggantikan Pak Sholih sementara sampai beliau kembali mengajar. Jadi ada yang mau ditanyakan?” jelasnya dan langsung menyuruh kami bertanya.
Kami hanya diam, sepertinya kami agak canggung. Dia melihat kami yang diam seperti batu, dia pun tersenyum…
“ Ya sudah kalau tidak ada yang ditanyakan. Hari ini adalah hari pertama ibu mengajar, jadi pertemuan pertama kita games saja. Bagaimana?” tanya dengan ceria.
Wajahku dan teman-temanku berubah cerah, kami kegirangaan karena hari ini tidak ada materi. Tak lama beliau membagi kelompok sebanyak empat kelompok dan ketuanya adalah yang duduk paling depan. Karena aku duduk paling depan aku menjadi ketua kelompokku. Lalu guru baru dari Kairo ini menyuruh kami berdiri dan menyuruh kami keluar kelas. Setelah keluar kelas Bu Khadijah menjelaskan peraturan permainan kami siang ini. Kami bersorak “Setuju” dan langsung berpencar berdasarkan kelompok kami masing-masing…

Ditaman sekolah…
“ Saya bantu, Pak.” Ucapku sambil mengangkat pot buang yang lumayan berat.
Aku dan kelompokku berpencar mencari banyak senyum, aku bertemu dengan seorang Cleaning Service yang biasanya kulihat menyiram buang-buang ditaman sekolah. Aku pun menolong CS itu menaruh pot buang yang bakal disiramnya nanti…
Setelah itu…
“ Terima kasih, Nak.” Ucap Pak CS itu sambil tersenyum.

Aku berhasil mendapatkan satu senyum. Aku pun langsung pamit diri dan menemui kelompokku. Ternyata setelah aku kesana, kelompokku sedang duduk bersantai dengan Bu Khadijah. Aku pun menghampiri mereka…
“ Kalian kenapa disini?” tanyaku dengan heran.
“ Sudah, istirahat dulu pasti capek mengangkat pot besar untuk mendapat satu senyum.” Ucap Bu Khadijah.
“ Tapi permainan belum selesai.” Sahutku.
Tiba-tiba salah satu anggotaku memotong pembicaraan…
“ Kata Bu Khadijah, setelah permainan ini nggak ada pemenangnya.” Ucap temanku itu.
“ Ha, yang betul. Cuma pemainan bikin capek aja. Percuma saja mendapat banyak senyum dari orang-orang kalau nantinya nggak ada pemenangnya. Bagaimana kalau yang curang? Mereka pasti bilang mereka yang terbanyaklah, inilah, itulah.” Ucapku dengan kesal.

Ibu Khadijah tersenyum menahan tawa…
“ Kamu lucu sekali, ibu masih ingat dulu pertama kali bermain permainan ini. Ibu juga sempat geram dan kesal dengan guru ibu. Dulu ibu dan anggota ibu sudah dapat banyak senyum, sudah menolong banyak orang, tapi ternyata tidak ada pemenangnya. Ibu kira permainan ini hanya membuang waktu dan sia-sia, tapi ibu salah…” jelasnya.
“ Apa ada maksud tertentu dari permainan ini?” tanya seorang temanku.
“ Didalam kitab suci Al-quran Allah berbicara melalui ayat-ayatnya…
Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Dimana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah, 2:148)
Allah menyuruh kita dalam berbuat baik, malah harus berlomba-lomba melakukan kebaikan. Jadi permainan kita itu bertujuan untuk melatih diri kita untuk lomba-lomba dalam melakukan kebaikan.” Jelasnya dengan panjang lebar.
Kata-kata Bu Khadijah membuat hatiku bergetar, baru kali ini ada yang berceramah membuat hatiku bergetar seperti ini…
Tak terasa kami berbincang-bincang dengan Bu Khadijah, bel pulang sekolah berbunyi. Bu Khadijah bergegas pamit diri, dia pun pergi dengan cepat…
Sepulang sekolah…

Aku berjalan menuju rumahku melawati masjid yang berada didekat rumahku. Aku melihat masjid itu dipenuhi dengan ibu-ibu pengajian, tapi disana ada Bu Khajidah. Aku kaget, begitu cepat meninggalkan kelas hanya untuk pengajian. Bu Khadijah memang perempuan yang hebat. Aku tersenyum dan mendengar ceramah bertema menutup aurat…
“ Allah berkata disurah-Nya Al-Ahzab ayat lima puluh Sembilan
Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “ Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampuan, Maha Penyayang. (QS. Al-Hazab 33:59).” Jelasnya didepan ibu-ibu pengajian itu.
Aku mendengar lagi ceramah Bu Khadijah yang sekali lagi membuat hatiku bergetar…

Sebulan Bu Khadijah mengajar…
“ Katanya Bu Khadijah sakit ya?” tanyaku kepada teman sebangkuku.
“ Iya katanya dia masuk rumah sakit tadi malam.” Ucapnya.
“ Kok, kamu tahu?” tanyaku.
“ Ayahku yang memeriksanya tadi malam.” Ucapnya lagi.
Terpikirlah aku menjenguk Bu Khadijah di rumah sakit…

Sorenya…
“ Selamat sore, Bu.” Ucapku dengan ceria.
Aku pun pergi kerumah sakit menjenguk Bu Khadijah…
“Ibu sakit apa?” tanyaku.
“ Tidak parah. Insya Allah besok lusa ibu sudah bisa mengajar lagi.” Ucap Bu Khadijah.
“ Syukurlah.” Ucapku dengan sambil tersenyum.

Aku dan Bu Khadijah berbincang-bincang lamanya sampai akhirnya azan sholat Maghrib.
“ Ayo sholat.” Ajak Bu Khadijah.
“ Bagaimana ibu sholat berdiri saja tidak bisa.” Ucapku.
“ Ibu bisa sholat sambil berbaring.” Ucapnya.
Aku dan Bu Khadijah sholat berjamaah. Dan aku berdoa untuk kesembuhan Bu Khadijah.

Keesokkan sorenya…
“ Lho, Bu Khadijah mana?” tanyaku didalam kamar yang sudah tidak ada pasiennya.
Lalu seorang suster menghampiriku dan membawa sebuah bingkisan.
“ Adik, yang kemarin ya. Bu Khadijah memberikan ini buat adik.” Ucapnya dengan ramah.

Suster itu langsung keluar kamar itu, dan aku pun membuka bingkisan itu. Ternyata ada sebuah jilbab berwarna putih dan ada juga surat…
“ Jaga dirimu dan tutupi auratmu. Berbahagialah dengan menutup aurat serta berbuatlah kebaikan dimanapun dan kapanpun. Allah selalu ada disisi kamu.”
Membaca surat itu aku menitikkan air mata, entah kenapa aku begini sepertinya hatiku telah dibuka untuk bertaubat dan menutup auratku…
***

Seminggu kemudian…
Hari-hari baru menyapaku, dulu aku dikenal dengan preman sekolah sekarang aku tampak cantik dan feminim memakai jilbab. Semua anak-anak dikelasku kaget ketika keesokkan harinya setelah Bu Khadijah memberikan sebuah jilbab, aku memakainya kesekolah. Dengan memakai jilbab ini aku ingin bertaubat dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Berbuat kebaikan dimana saja.
Dan setelah hari itu aku tidak pernah bertemu dengan Bu Khajidah, dia pun tidak mengajar atau berada dipengajian, tapi aku tahu Bu Khadijah pasti ada disuatu tempat. Aku sangat berterima kasih kepadanya. Dialah malaikat yang diturun Allah untuk merubah akhlakku menjadi lebih baik lagi.

Sumber: http://www.lokerseni.web.id/2013/07/sebuah-jilbab-seribu-kebaikan-cerpen.html

Indah pada Waktunya

Pagi itu masih berselimut kabut. Di sebuah garasi agen bus lintas jawa, tampak seorang gadis sedang berdiri sendirian, terus memegangi hpnya. Sambil membenahi jilbab hitam dan kemeja berwarna biru lembayungnya, sesekali dia memandangi pintu masuk dan sedikit gelisah.
“ mau kemana, dek?”, seorang pria setengah baya menghampirinya dengan niat ingin membantu.
“ mau ke tempat teman saya, pak. Ini lagi tunggu dijemput “, gadis itu menjawab sambil tersenyum ramah. Dan pria itupun berlalu. Gadis itu kembali memandangi pintu masuk lalu melihat hpnya yang ternyata sudah mati sejak tadi. Karena itulah dia tampak agak gelisah. Namun dia berusaha untuk terlihat tenang. Duh….mudah-mudahan Ercham membaca sms terakhirku tadi..dan sudah menuju kesini….batinnya dalam hati.

Gadis itu bernama Indah. Sangat wajar untuknya merasa sedikit gelisah. Bahkan seharusnya dia jauh lebih gelisah dari itu. Bagaimana tidak, untuk pertama kalinya dia menginjakkan kaki di tempat ini. Tempat yang berjarak ribuan kilometer dari tempat asalnya. Dia berasal dari Sulawesi Tengah. Sementara saat ini, dia sedang berada di daerah Gunungkidul, Jogjakarta. Terlebih lagi, hanya sendirian. Dua hari sebelumnya dia masih berada di Bandung, di rumah kakak sepupunya. Lalu pamit ke Jakarta, dan kemarin terus menuju Jogja dengan menumpangi bus. Dia awalnya berangkat dari Palu menuju Jakarta untuk mengikuti sebuah seminar bisnis di senayan. Tapi terjadi hal di luar rencana. Dia tiba-tiba jatuh sakit setibanya di Jakarta, dan sempat dirawat di rumah sakit. Dengan kondisi lemah, dia tetap mengikuti seminar dan kegiatan lainnya. Tapi saat harus pulang bersama teman-temannya, terpaksa dia menunda kepulangannya. Karena kakak sepupunya memintanya untuk berkunjung ke Bandung terlebih dahulu, sekalian memulihkan kondisinya.
Indah Pada Waktunya
Indah menarik napas panjang, menikmati udara pagi yang begitu sejuk. Membiarkan udara bersih itu perlahan mengisi rongga dadanya. Menggelitik sebuah tanya yang tersimpan jauh di lubuk hatinya. Bahkan tanpa disadarinya. Tidak terbesit sedikitpun pertanyaan mengapa dia bisa begitu nekad sampai di tempat ini, hanya untuk silaturahmi dengan teman kerjanya itu. Ercham adalah rekan kerjanya saat dia masih bekerja di sebuah hotel di kota Palu. Tapi mereka sudah tidak bertemu lagi selama dua tahun ini. Karena Ercham terpaksa harus pulang ke jawa waktu itu. Mereka sama sekali tidak memiliki hubungan yang spesial. Hanya sesekali Ercham mengantarnya pulang, saat kebetulan Indah mengisi shift sore atau malam. Awal berkenalan, Indah memang merasa simpati dengan pembawaan Ercham yang kalem, sopan dan rapi. Seterusnya, mereka hanya bertemu sesekali. Karena Indah hanya bergelut dengan tugas keuangannya setiap hari, di dalam ruangannya. Sementara Ercham sibuk dengan pekerjaannya di bagian kasir depan. Hingga setahun kemudian, Indah harus membuatkan surat pengalaman kerja untuk Ercham saat dia pamit untuk pulang ke jawa bersama sepupunya Bagus.
Tiba-tiba Indah menangkap bayangan orang yang dikenalinya sedang mengendarai sebuah motor bersama satu orang lainnya, memasuki area garasi itu. Alhamdulillah….akhirnya Ercham datang juga. Indah tersenyum lega saat Ercham dan kawannya yang juga ternyata dikenalinya, berhenti tepat didepannya. “ eh, ada Bagus juga….” Indah segera menyalaminya, lalu melihat ke arah Ercham yang hanya diam sambil tersenyum. “ yuk, ….”. Ercham memberi isyarat agar Indah naik ke motor bersamanya. Merekapun berlalu dari tempat itu.
***Bagaimana ini?….apa yang terjadi?…..Indah terus bergelut dengan hatinya. Karena tanpa disadari, dia dan Ercham telah mengungkapkan rasa masing-masing. Sementara….sebenarnya saat ini dia sedang dalam posisi berencana menikah dengan Rama. Ya, Rama adalah seorang ikhwan yang sudah setahun ini mengisi hatinya. Dan mereka sudah memiliki rencana untuk menghalalkan hubungan mereka di atas ikatan pernikahan. Ingatan Indah tiba-tiba membiaskan lagi kejadian saat Rama berpamitan padanya untuk berdakwah selama 4 bulan lagi. Rama adalah seorang jamaah tabligh yang berjuang menebarkan keindahan islam dengan dakwahnya. Indah sangat mendukung perjuangan Rama itu. Namun….saat itu dia sama sekali kecewa. Karena sebelumnya mereka sudah saling berjanji untuk memperteguh hubungan mereka dengan niatan khitbah dari Rama. Indah tidak menyangka kalau Rama malah akan pergi. Yang akhirnya meringankan lisannya untuk berucap, “ maaf Rama….aku akan coba untuk menunggumu, namun….aku tidak bisa berjanji untuk menolak, saat ada seseorang yang mungkin akan hadir di selang waktu kepergianmu, yang punya niatan baik untukku..” Ramapun hanya terdiam.

Bukan tanpa alasan Indah berucap seperti itu. Karena dirinya sedang dalam tahap dimana dia benar-benar mengharapkan segera menikah untuk menghalalkan hubungannya dan memberinya rasa aman sebagai seorang wanita muslimah. Mengharapkan segera menemukan sosok imam bagi hidupnya kelak. Dan untuk itu, sudah beberapa kali dia berikhtiar untuk menemukan orang yang cocok. Namun belum juga bertemu dengan belahan jiwa yang diridhai oleh Allah. Harapan terakhirnya kali ini adalah bisa bersama dengan Rama, yang memang sudah dikenalnya sejak kuliah dulu. Bahkan sudah banyak suka duka yang mereka lalui. Masing-masing orang tuapun sudah sama-sama ridha. Namun Rama belum juga menyampaikan niatnya langsung pada ibu Indah.Tiba-tiba lamunan Indah dibuyarkan oleh suara kak Lika. “ gimana?, udah saatnya check in,dek. Kok melamun?….”
“ ah ya kak. Kalau begitu aku masuk dulu ya. Terima kasih dah mau nganter. Salam buat tante Hasnah. “ Indah memeluk kak Lika dengan hangat, lalu segera memasuki terminal keberangkatan bandara. Sambil menunggu antrian check in, Indah sesekali melihat ke hpnya. Setelah mendapatkan boarding pass, diapun segera memasuki ruang tunggu.

Wajahnya terlihat bingung dan gundah. Apakah ini suatu kesalahan?…ya, tentu saja ini salah. Kok bisa-bisanya aku membiarkan ini semua menjadi seperti ini. Sambil menahan napas, dia memencet tombol di hpnya…..
“ halo, assalamu’alaykum er….”
“ wa’alaykumsalam….gimana?, dah mau berangkat nih?…”
“ er…ada yang mau aku omongin….” Indah mencoba menata lisannya dengan hati-hati. “ Sebenarnya….saat ini aku sedang ada hubungan dengan seseorang. Dan kami sudah berniat untuk menikah. Maaf, kemarin aku tidak sempat cerita. Karena itu….aku tidak bisa nerusin semua ini. Sekali lagi maaf….”
“ gak….pokoknya aku gak mau tahu..”
“ tapi…”
“ itu saja….ok..”

Ya Allah…..malah jadi seperti ini. Bahkan Ercham tetap teguh. Indah menarik napas panjang. Dadanya terasa begitu sesak. Semua rasa berbaur menjadi satu. Tidak bisa dia pungkiri, dia memang teramat simpati pada Ercham. Terlebih, dengan suasana yang begitu akrab dengan keluarga Ercham kemarin. Entah kenapa, rasanya seperti tidak asing sama sekali dengan rumah si mbah, lingkungannya, orang-orang yang menyapanya saat shalat tarawih dan subuh berjamaah di mesjid. Apalagi pada si mbah putri, yang begitu ramah padanya. Ada rasa yang begitu damai dengan semua hal di Gunungkidul kemarin. Walaupun hanya sehari. Ya….hanya sehari….Karena itulah, tanpa sadar air matanya tumpah saat berada di kereta menuju kembali ke Jakarta. Ada rasa haru dan rindu yang teramat dalam, saat harus meninggalkan Ercham dan semua hal yang ditemuinya di Gunungkidul. Rasa itu terus menyelimutinya seharian di Jakarta, hingga akhirnya dia menceritakan itu ke Ercham. Dan, saat itulah perasaan keduanya terungkap begitu saja…..ternyata Ercham sudah menyimpan rasa simpati padanya sejak bertemu di hotel dulu. Pantas saja, Ercham tetap sesekali menghubunginya selama dua tahun belakangan ini. Indah sama sekali tidak menyadari sebelumnya. Hhhh….kembali Indah mencoba membuang rasa sesak itu. Hingga akhirnya sms Ercham yang terakhir masuk, sebelum pesawat take off dari bandara Soekarno Hatta saat itu…
“ selamat jalan sayang…semoga selamat sampai tujuan…”
***

Malam yang dingin menyelimuti kota Palu saat itu. Waktu sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Dan Indah masih terjaga…..siang tadi, dia sudah tiba dengan selamat di rumah. Ibu , kakak-kakak dan ponakannya menyambut dengan begitu bahagia. Karena sebelumnya mereka sempat khawatir dengan kabar saat dia harus dirawat di rumah sakit Jakarta. Setelah membuka oleh-oleh dari kak Lika dan Ercham, Indahpun mengajak ibunya untuk bicara berdua. Rasanya sudah tidak sabar. Diceritakannya semua yang sudah dialaminya, khususnya pertemuannya dengan Ercham dan keluarga di Gunungkidul. walau sebelumnya, Indah memang sudah pamit untuk silaturrahmi ke tempat Ercham pada ibunya. Tapi banyak hal yang harus disampaikannya. Dan tiba-tiba Indah tertegun saat ibunya tanpa sadar menangis saat melihat foto mbah putri lalu berucap, “ nak….jujur…selama ini, hati ibu memang agak ragu dan berat dengan hubunganmu dan Rama. Tapi ibu mencoba untuk mengikhlaskan semuanya pada Allah….asal kau bisa bahagia. Namun….saat mendengar ceritamu tentang Ercham…..hati ibu terasa begitu ringan dan pintu hati ini seakan terbuka begitu lebar untuknya…ibu juga tidak tahu kenapa. Sekarang….semua kembali kepadamu. Cobalah berpikir dengan tenang dan meminta petunjuk dari Allah…”

Dengan perlahan Indah membasuh kedua tangannya…diambilnya air wudhu dengan khusyuk dan akhirnya menenggelamkan gelisah, tangis dan keragu-raguannya dalam sujud shalat istikharah dan tahajud malam itu….
“ Ya Allah…ya Rabb….berikanlah apa yang terbaik bagiku menurut ilmuMu….teguhkan hatiku padanya….dan hilangkan keraguan pada yang lainnya…amin……
***“ Sesungguhnya laki-laki yang baik itu adalah untuk wanita yang baik pula. Begitupun sebaliknya…..”
Sore itu, wajah Indah terlihat begitu cerah dan tenang…..tak ada lagi rasa ragu dan kalut yang menyelubungi kalbunya. Ya….hatinya sudah menetapkan pilihan…dan dia yakin inilah yang terbaik untuk semuanya.
Tanpa terasa sudah dua bulan berlalu setelah kepulangannya dari Jakarta. Dan hari itu Indah sudah menghubungi adik Rama untuk memintanya ke rumah malam itu. Karena Rama baru saja kembali dari perjalanan dakwahnya beberapa hari yang lalu. Indah segera ingin bertemu. Setelah kurang lebih 4 bulan lamanya menunggu kepulangan Rama, tanpa komunikasi sama sekali. Ibu dan saudara-saudaranya juga sudah mengetahui niatnya untuk bicara dengan Rama. Indah ingin menceritakan semuanya. Sebagai bentuk keterbukaan mereka. Sehingga saat Rama datang, merekapun membiarkan keduanya leluasa mengobrol. Walaupun Indah tahu, kak Ahmad tetap terjaga di kamarnya yang tepat berada di sebelah ruang tamu.

Bismillahirrahmanirrahim…..Indah menata perasaannya dalam hati sebelum memulai bicara pada orang di hadapannya. Orang yang selama lima tahun ini sudah dikenalnya. Awalnya hanya sebagai teman sekampus, hingga akhirnya mereka telah mengikat hati untuk berniat menyatukannya dalam ikatan ridha Allah. Orang yang selama ini sudah begitu banyak membantu dan mendukungnya dalam segala hal. Orang yang selama ini sudah cukup menghabiskan tawa dan air mata bersama. Orang yang sudah menyayanginya dengan tulus. Ya, begitu banyak kebaikan yang sudah diberikan untuknya dari sosok lelaki di hadapannya saat itu. Dan malam ini, biarlah Allah dan malaikat menjadi saksi dari keputusannya. Hasil dari istikharahnya….dari tahajud tahajud penenang hatinya selama ini…
***Alhamdulillah…..segala puji hanya bagi Allah…..atas segala nikmat dan karuniaNya….atas perkenan terhadap doa-doa hambaNya yang memasrahkan diri…..

Siang itu matahari menyinari begitu cerah….namun rasanya begitu sejuk dan syahdu dalam hati Indah. Sudah tepat lima bulan setelah kepulangannya dari Jakarta. Indah sedang duduk sendiri dalam kamarnya yang berhiaskan sutera dan bunga-bunga. Sehelai jilbab putih dan kebaya putih membaluti tubuhnya yang membiaskan kemantapan hati dan rasa syukurnya yang tak terhingga. Terima kasih ya Allah….terima kasih ibu….akhirnya hari ini dirinya akan dipersatukan dengan pasangan hidupnya. Dalam ikatan berkah dan ridha Allah…setelah penantian dan pencarian yang lumayan panjang….semuanya ternyata begitu indah pada waktunya. Skenario Yang Maha Kuasa memang teramat indah….

Indah menunduk khusyu sambil mendengarkan dengan seksama aktifitas yang sedang berlangsung di ruang tamu, tepat di sebelah kamarnya.
“ dengan ini saya terima nikahnya Marindah binti Muhammad Husain dengan maskawin sebentuk cincin emas dibayar tunai…..”…..
Suara orang-orangpun mensyahkan ijab Kabul itu, seiring dengan Indah mengucap hamdalah dan shalawat setelah mendengar suara Ercham tadi….

Sumber: http://www.lokerseni.web.id/2013/07/indah-pada-waktunya-cerpen-islam.html

Kerinduan Membawa Maut

Matahari dengan garang memancarkan sinarnya yang tak terkalahkan memaksa keringatku keluar tanpa harus kuperintah. Mukenah musholla Al-Badr yang tak terlalu tebal segera kutanggalkan usai melaksanakan sholat Duha’. Kuarahkan pandanganku ke luar musholla. Terlihat guru bahasa Inggrisku berjalan melintasi depan musholla.
“Assalamu’alaikum…” segera kusapa guruku yang terkenal humoris itu sebelum beliau berlalu. Lekat terekam dalam otak kecilku tulisan yang terpampang di beberapa dinding madrasah. ‘BUDAYAKAN 3S! Salam, Senyum, Sapa!’
“Wa’alaikumussalam… eh, Bi? What are doing there alone?”1
“Meet my Allah sir”2
“Your Allah?”3
“Hehe, just kidding… our Allah exactly, our best!”4
“Haha… okay-okay! Well… I must teach now”5
“Okay, see you!”6, obrolan singkat namun cukup membuatku melupakan ketidaknyamanan yang sebelumnya kurasakan karena keringatku yang mulai membasahi kerudungku. Kulangkahkan kakiku menuju kelas. Dari jauh sudah terlihat jelas tulisan di atasnya menunjukkan identitasnya, XII SCIENCE-1. Kusunggingkan senyum melihatnya. Tulisan tanganku sendiri yang ditulis dengan terburu-buru beberapa menit sebelum penilaian lomba kebersihan kelas satu bulan lalu. “Kelasku sang juara!” kalimat kagumku terlisankan kembali. Kelasku yang meraih juara pertama dalam lomba kebersihan kelas membuatku dan teman-teman sekelasku bangga. Namun karena gelar juara itulah kami harus lebih serius lagi menjaga kebersihan dan kerapiannya.

Kerinduan Membawa Maut

Pintu kelasku tertutup. “Mungkin guru sudah ada di dalam”, batinku. Kupercepat langkah kakiku. Sesampai di depan pintu, kutekan gagang pintu dengan segera sambil kuucapkan salam. Ah, Alhamdulillah dugaanku tidak tepat. Tidak ada guru di dalam sana. Beberapa bangku juga belum ditempati pemiliknya. “Syukurlah…”
*

All lessons was ended for today. See you next time and have a nice day!!7
Bel yang ditunggu-tunggu beberapa siswa yang sudah bosan di madrasah berbunyi sudah. Jeda beberapa detik saja sudah terlihat para siswa berhamburan keluar kelas. Suara mesin motor di parkiran bawah kelasku membuatku sedikit tergangu. Aku masih membetahkan diri di atas bangkuku memindahkan catatan yang memadat di papan tulis bak segerombolan semut yang berbaris rapi.
“Liqo’ kan ukh?” kupastikan teman satu halaqohku untuk menghadiri liqo’ kali ini yang terlihat tengah mengemas-ngemas isi tasnya.
“Tidak bisa ukh, ‘afwan!”
Kuhelas napas panjang mendengar jawabannya. Jawaban yang tak kuharapkan. Ada sedikit kecewa menyeruak di batinku sebagai ketua halaqoh. Tiap kali liqo’, anggota yang hadir selalu berkurang. Aku mulai malu menyampaikan alasan yang menurutku tidak pas untuk dijadikan alasan ketidakhadiran mereka jika ditanya murobbiyah. “Ah mbak… alasan apalagi yang harus Biona berikan kali ini?”, kutarik napas panjang untuk kedua kalinya sambil kulangkahkan kaki yang mulai terasa berat. Keramik-keramik coklat yang kuinjak satu persatu tanpa permisi menghantarkanku sampai ke depan musholla. Aku terus memutar otak untuk bisa menemukan cara agar liqo’ kami ramai kembali. Sia-sia! Tak ada ide termunculkan.
Panas semakin menjadi. Menusuk-nusuk kulitku yang dibasahi keringat. Musim kemarau masih jauh. Namun panas matahari terasa melebihi saat musim kemarau. Perasaanku menjadi gusar dibuatnya. “Alam sudah mulai enggan bersahabat dengan penduduk bumi”, gumamku. Tak ingin menunggu lama, usai liqo’ kupakaikan kepalaku helm dan kutunggangi Beat biru yang dibelikan kakakku. Segera kukendarai motor itu menuju rumah. Hanya dalam waktu belasan menit saja gubuk bercat hijau muda sudah dapat terlihat, rumahku. Rumah tempat merajut cita-cita dan cinta.

Kulebarkan senyum melihat adik balitaku yang berlari ke arahku saat kuucapkan salam.
“Wa’alaikumussalam… Kak Biona lelah?”.

Ah, adikku sayang. Pertanyaan itu selalu kau ucapkan tiap kali kakakmu ini pulang. “Tidak sayang, kakak kan hanya sekolah, belajar. Masa lelah?” lisanku mulai pandai membohonginya. Tak apalah! Agar dia besarnya nanti tidak malas belajar, pikirku.
“Ahwa besok boleh ikut kakak sekolah?”
“Besok tanggal merah sayang, kakak tidak sekolah. Juga… Ahwa kan masih empat tahun, tidak boleh ke sekolahnya kakak. Kalau sudah besar seperti kak Biona, baru Ahwa boleh ikut. Ngerti sayang? Makanya… jangan malas kalau disuruh makan, biar cepat besar seperti kakak, ya?”. Kutinggalkan adikku dengan mainannya. Kurebahkan badanku yang terasa penat di atas ranjang dengan sprei hijau bermotif bunga-bunga. Haus tak terelakkan kurasakan. “Ah, Biona puasa! Tidak boleh memikirkan makanan ataupun minuman.” Mataku mulai meneliti coretan-coretan di dinding kamarku. Hobi menulisku membuatku sering diomeli umi karena dinding kamar sering kujadikan buku kedua. Tanpa sadar aku tergiring menuju alam bawah sadarku. Indera pendengaran karunia Illahi tak kufungsikan lagi.
*

Drrttt… drrttt… drrtt…
Getaran cukup panjang dari ponsel tak jauh dari kepalaku memaksaku kembali ke alam sadarku. Telepon dari Ana, teman sebangkuku yang tak keburu kuangkat. Kenapa Na? ‘afwan tadi Biona ketiduran. Kuletakkan kembali ponselku setelah laporan terkirimnya SMSku kubaca. Kebiasaan buruk membiarkan ponsel di dekat kepala membuatku sering menyalahkan diri. “Kalau radiasinya sudah menyebabkan sakit berat, baru dah nyesel. Astagfirullah…”
“Bio… bangun… sholat Ashar….”
“Iiyaa…”, kujawab teriakan umi yang sepertinya sedang di dapur. Beliau rupanya masih mengira aku tertidur. “Terimakasih Mi, selalu memperhatikan sholatku”, syukurku.
Sudah setengah lima. Tak ingin kutunda waktu lagi. Sholatku tak boleh kulalaikan. Bergegas kuterobos jalan menuju kamar mandi sambil kutenteng handuk. Gemercik air yang didahului suara mesin dynamo air membuat ribut kamar mandi. Terdengar sampai dapur.
“Habis mandi dan sholat langsung makan Bi…”

Aku sampai lupa memberi tahu umi aku sedang berpuasa. “Tak apalah, nanti saja!”, bisikku dalam hati. Berbicara di dalam kamar mandi setahuku dihukumkan makruh dalam dienku. Kutahan suaraku sampai keluar dari kamar mandi. Tak ingin kubiarkan diriku berkubang dalam perkara makruh.
“Bio bisa bantu apa Umi?” kumulai pembicaraan sesampainya aku di dapur tempat umi terlihat sibuk. Sudah berjejer beberapa makanan yang memikat selera tersaji di meja makan. Kutelan ludahku menahan lapar.
“Makan gih! Umi tidak melihatmu makan sejak pulang sekolah.”
“Puasa Umi”
“Puasa? Bukannya puasa sunnah hari jumat dilarang ya?”
“Iya, kecuali jika kita berpuasa sehari sebelum atau sesudahnya. Kemarin Bio puasa, jadi hari ini boleh puasa lagi.”
“Anak umi yang sholihah,” senyum hangat dihadiahkan umi untukku. Refleks kubalas dengan senyuman yang serupa.
“Kakak kapan pulang Mi?”
“Terakhir nelpon bilangnya sabtu depan. Kakakmu kan baru kerja di Gili Trawangan sana, jadi jadwal kerjanya belum pasti. Katanya dia menjadi staff IT sendiri saja di hotel sebesar itu. Tidak seperti di tempat kerjanya yang kemarin.”
“Hm…”, kuanggukkan kepala tanda mengerti. Namun tak bisa kupungkiri rinduku sudah menjadi-jadi. Tiga pekan kakak tidak pulang. Tidak seperti saat masih kerja di tempat lama, tiap hari sabtu selalu pulang. Rencanaku menghabiskan libur sabtuku bersama kakak sirna sudah. “Biona rindu kakak…”, jeritku yang hanya terdengar olehku seorang.
*

“Bindari Okta Nanda Puteri?”
“Yes? Me sir!”8 sontak kujawab panggilan guru bahasa Inggrisku. Namaku yang berada di urutan teratas di absensi kelas selalu mempersilakanku mendapat giliran pertama untuk dipanggil. Tak apalah!
“Come forward, and tell your friends your short story you’ve made”9
“Yes sir!”10. Mendapat giliran pertama tak masalah bagiku. Terkadang juga sangat aku syukuri. Present my own short story11, memuaskan! Ada lega menyusup di hatiku. Alhamdulillah… ini tentu tak terlepas dari campur tangan illahi.
Belajarku hari ini menyenangkan. Materi pelajaran dapat kucerna dengan baik. Meski sempat tersenggal ketidakfahaman. Ah, Fisika! Pelajaran yang menyenangkan namun sering membuat otakku loading lama. Sering kusayangkan memang. Pelajaran pokok yang harus kukuasai untuk bisa mewujudkan ambisiku menjadi seorang astronot justru low kukuasai. Apa menjadi astronot tidak untukku? “Ah! Tidak!”, kutepis pikiran-pikiran tak berbobot dan kulirik jam tangan di pergelangan tangan kiriku. Hampir jam tiga!
Drrttt… drrtttt… drttt…

Getaran ponselku memerintahku untuk memasukkan kunci motorku kembali ke saku. Nama ‘Kk Gio’ terpampang di LCDnya yang sedikit retak. Bahagiaku mengembang. “Pasti ingin mengabari kepulangannya besok lusa”, pikirku.
“Assalamu’alakum… Kk…” tak kudengar suara kakakku di seberang sana. Hanya suara kerumunan orang-orang yang kudengar.
“Kak…”
“Wa’alaikumussalam… benar ini adiknya yang punya handphone?”
Bukan suara kakakku. Bahagiaku tergeserkan khawatir yang sangat. “Iya, Kk Gio mana?”
“Dik, boat yang ditumpangi kakakmu tadi tenggelam. Sekarang kakakmu sudah kami bawa ke pinggir pantai. Handphonenya kami temukan di sakunya yang basah. Untung masih bisa dipakai.”
“Kakak…” aku menjerit sekeras mungkin. Teman-teman yang memandangku keheranan tak kuhiraukan. Kuraih kunci motor di saku rok cokelatku. Tak kubiarkan waktu mendahuluiku. “Kak, tunggu Bio…”, kulajukan motor matic dengan kecepatan yang tak kuhiraukan lagi. Yang ada di otakku hanya satu. Menemui kakakku yang sekarang sedang tak berdaya di sana. Dua puluh kilometer kurasakan sangat lama untuk ditempuh. Perasaanku tak karuan. Kurasakan getaran ponsel berulang-ulang yang akhirnya kujawab sambil tetap melaju. “Kakakmu tak terselamatkan!” Suara orang di seberang sana membunuh kesadaranku. Tubuhku kehilangan berat. Gaya gravitasi bumi berkurang bak di bulan sana. Motor kukendarai dengan tak sempurna. Hilang kendali. Terlihat truk di depanku melaju dengan kecepatan ekstra. Bruk! Seketika semuanya gelap. Hanya suara orang-orang sekitar yang mampu kudengar “Ada yang tabrakan…! Ada yang tabrakan…!”. “Robby… pertemukan aku dengan kakak…”, rintihku sampai aku tak mampu merasakan apa-apa lagi.
*

“Alhamdulillah, sayang… akhirnya kamu siuman.”
Siuman? Aku pingsan? Koma? Berapa lama? 19 hari? Selama itu? Robby… sholatku… kakakku… “Ka-kak, man-na? Um-mi?”, kalimat susah terucap. Tapi aku rindu kakak. Tak ada kakak terlihat disekelilingku. Hanya umi dan adik.
“Kakakmu sedang istirahat nak. Tidak apa-apa. Kamu cepat sembuh ya sayang.”
“Is-ti-ra-hat?”, kufahami arti tersembunyi kalimat umi. Kakakku? Istirahat? Di alam berbeda yang jauh dari kami. Kakak meninggalkan kami. Mutiara-mutiara cair membelah tangisku. Kehadirannya yang kurindukan, kepergiannya yang kutangiskan. Kakak…

Sabtu, 30 Maret… detik jam mengantarku menuju tepat pukul tujuh malam. Beberapa menit lagi waktu berulang seperti waktu kelahiranku. Kubuka kelopak mataku. Terlihat adikku disamping ranjang rumah sakit tempat tubuhku tergolek lemah tengah menungguku. Doa khusyuk umi terhenti melihat terbukanya mataku. Tubuhku lelah… terbayang kakak dengan baju putih bersih tersenyum di hadapanku. Melambai-lambaikan tangan mengajakku pergi. Entah kemana. Kugenggam tangan adikku yang lembut.
“Kakak lelah dik, kakak ingin istirahat.”
“Kak…”
“Kakak rindu abi… kakak rindu kak Gio… kakak ingin bertemu abi dan kak Gio. Jaga umi sayang… kakak percayakan umi padamu!” kalimatku lancar terucap. Kutatap wajah umi dengan mukenah yang masih dipakainya berlinang air mata, Biona ingin selalu di pelukan umi… jangan nangis umi… hatiku kelu. Nafasku mulai tersenggal-senggal, “ma-af-kan Bi-o um-mii… Asyhadu an-laailaahaillallah… wa asyhadu anna muhammadarrosuulallah…”.12 Mataku terpejam sudah. Kurasakan jiwaku melayang. Jasad terasa remuk. Sakit teramat sangat yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Tangisan umi dan adikku tak mampu kuindera lagi. Panca indera yang kumiliki tak berfungsi total. Kita sama-sama kembali ke pangkuan-Nya kak. Kita juga akan bertemu abi. Robby… kuwujudkan kerinduanku!

Sumber: http://www.lokerseni.web.id/2013/07/kerinduan-membawa-maut-cerpen-islami.html

Doa Untuk Bidadari

Di sebuah auditorium kampus, berdiri seorang laki-laki berkemeja biru tua, tampak rapi dengan mengenakan peci hitam tertancap di kepala. Dengan wajah tampannya, Ia tebarkan senyuman pagi cerah, siap akan menyampaikan kuliah di hari pertamanya menjadi dosen. Kegagahan beliau memancarkan pesona kekaguman semua pelajar di dalam ruangan. Tak heran seorang mahasiswi berkerudung kuning penasaran bertanya kepadanya, “ Pak, kalau boleh tahu, apakah bapak sudah berkeluarga?”, perempuan itu agak malu rupanya bertanya demikian. Namun dengan bijaknya sang dosen tersenyum dan menjawab, “ hhhmmm,,, mungkin saya jawab dengan sebuah cerita…”. Semua orang terkesima penasaran ingin mendengarkan cerita pak dosen, suasanapun menjadi hening, semua telinga terpusat, pak dosen perlahan bercerita.

“ Dahulu, ada seorang pemuda yang telah lama belajar agama di sebuah pesantren di Jawa Tengah, Ia termasuk anak yang baik akhlak dan budi pekerti, pintar dan juga banyak prestasi yang pernah ia raih, baik di dalam pesantren maupun di luar pesantren. Orang-orang sering memanggilnya dengan nama Fawwaz, si peraih banyak prestasi. Alasan mengapa Fawwaz selalu mendapat juara dalam segala hal, karena ia terangkat dan termotivasi oleh seseorang. Dia bagi Fawwaz adalah perhiasan berharga yang selalu menghiasi hatinya, selalu membuat jiwanya membara untuk meraih apa yang Fawwaz cita-citakan. Iapun sebenarnya telah lama bersemayam dalam lubuk hati Fawwaz, namun Fawwaz belum berani mengatakan isi hatinya.

 

 

 

Setelah lulus dari Sekolah Aliyah dan pesantrennya, Fawwaz dipanggil oleh Kyai pesantrennya. Fawwaz merasa ada yang aneh dengan sikap yang dilakukan sang kyai pada hari itu sampai-sampai memanggilnya masuk ke dalam rumah. Tidak disangka pak Kyai ternyata telah mengetahui bahwa Fawwaz menyukai seorang santriwati Tahfidz al Qur’an, ia bernama Nurul Hidayah. Fawwaz tertunduk malu. Seketika itu Pak Kyai menghubungi orang tua Nurul dan meminta anaknya untuk bersedia dilamar oleh seorang santri yang akan melanjutkan kuliah di Mesir. Orang tuanya dengan ta’dzimnya menerima permohonan Pak Kyai itu. Tanpa basa basi, Pak Kyaipun menanyakan kesiapan Fawwaz langsung dan memohon orang tuanya untuk mempersiapkan lamaran. Fawwazpun mengiyakan dengan ekspresi kaku tidak menyangka.

 

Akhirnya digelarlah acara lamaran Fawwaz di kediaman Nurul yang dihadiri keluarga Fawwaz dan juga Pak Kyai dan istri. Resmilah kedua sejoli ini menjadi pasangan lamaran yang tinggal menunggu janur kuning ditancapkan. Semuanya sepakat pernikahannya agar diadakan setelah kepulangan Fawwaz dari Mesir. Senyum wajah Nurul memancar, dengan anggun Iapun menunduk sebagai isyarat mengiyakan.

 

Kemudian, Fawwazpun diberangkatkan dengan diantar oleh keluarganya dan Nurul yang ikut melepas kepergian menuju pengembaraannya ke Negri Pyramid. Sebelum berangkat, beberapa patah kata terlontar dari bibir dingin Fawwaz, “ wahai bidadariku, bersabarlah kau menanti, tetap tancapkan rasa cinta ini untuk obati, kerinduan kita yang kan mekar disaat ku pulang nanti, ku siap menjadikanmu satu-satunya bidadari, yang kan selalu menemani hidup kemana ku pergi, untuk mendapat ridho ilahi rabbi…”. Hati Nurul memerah merona mendengarnya, Iapun menjawab, “ baiklah wahai kekasihku, aku ikhlas dengan kepergianmu, akupun kan bersabar menantimu, tak lupa iringan do’aku kan selalu menyertaimu, sampai tiba waktunya kita kan bersatu, mengukir kasih cinta yang kian menggebu-gebu, dalam nahkoda bimbinganmu wahai kekasihkku…”

 

Sesampainya di Kairo, Fawwaz mulai disibukan dengan kegiatan kuliahnya, ia begitu semangat, serius dan bersungguh-sungguh. Cita-citanya ingin berhasil dengan predikat terbaik. Fawwaz masuk di Fakultas Ushuluddin, jurusan Tafsir Al Qur’an. Kesenangannya dengan tafsir membuat kesehariannya senantiasa digeluti dengan kitab-kitab tafsir. Fawwaz seolah orang yang kehausan akan ilmu, waktunya hampir habis dengan kegiatan keilmuannya, dari mulai kuliah, mengulang pelajaran, menghafal al qur’an, mengaji dan mengikuti dauroh-dauuroh yang diadakan oleh kalangan masisir (mahasiswa Indonesia di Mesir) dengan para masyayikh.Di tengah kesibukannya, sebetulnya Fawwaz terkadang merasa rindu kepada pesona indah wajah Nurul. Ketika itu, Ia selalu pergi ke pinggiran sungai Niil, menikmati keindahan aura sungai terpanjang dan termakmur di dunia, sambil duduk menyendiri meresapi angin kota Kairo, membayangkan bidadari impian hatinya dengan ditemani burung-burung beterbangan, Iapun sering mengungkapan isi hatinya dengan menendangkan syi’ir cinta arab,
“ asirbal qithoo, hal man yu’iiru janaahahu # la’alli ila man qod hawaitu athiiruu “
“Wahai segerombolan merpati,,,apakah diantara kalian ada yang berkenan meminjamkan sayapnya # sehingga aku bisa terbang menuju orang yang sangat ku cinta” .

Nurul yang merupakan santriwati tahfidz terbaik, seringkali mengirim surat lewat pos untuk Fawwaz, dalam suratnya Nurul memberi tahu bahwa ia sudah menyelesaikan hafalan Al Qur’an lebih cepat, Ia juga memohon izin untuk mengabdi sambil mengikuti kuliah keguruan di Instutut yang ada di pesantrennya. Nurul memang perempuan yang sangat sholehah, Ia sering memberi nasihat dan motivasi agar Fawwaz senantiasa tekun ibadah, kuliah dengan rajin, sehingga mendapat ilmu yang berkah dan manfa’at. Setelah membacanya, Fawwaz seolah mendapat energi dan semangat baru. Kata-kata Nurul membuat gelora jiwanya meningkat. Ia bertekad harus menjadi yang terbaik, karena ia akan menjadi Imam dari bidadari jelitanya.

 

Akhirnya kurang dari empat tahun, Fawwaz mampu menyelesaikan kuliahnya dengan predikat syaraf ula / cumlaude, Ia berhasil menghafal al qur’an 30 juz dan nadzom-nadzom penting yang selalu dibutuhkan dikalangan masyarakat, seperti Alfiyyah, Zubad, dan ilmu penting lainnya. Fawwazpun pernah meraih dua kali kejuaraan pembacaan puisi arab dalam even yang di adakan Universitas Al Azhar. Semua itu berkat sosok seorang bidadari calon pendamping hidupnya, yang senantiasa menentramkan jiwa, membakar semangat dan cita-cita.

 

Setelah kepulangannya dari Mesir, Keluarga Fawwaz dan Nurul sepakat meresmikan pernikahan di pertengahan bulan syawwal, tepat setelah satu bulan Fawwaz di tanah air. Persiapan acara sudah meriah, siap untuk digelar. Keluarga, kerabat dan masyarakat berbondong-bondong menghadiri acara. Iqrar ijab qobul diucapkan dari lisan Fawwaz dengan bahasa arab fasih, semua hadirin mengesahkan, semarak suasana membahana bahagia, akhirnya kedua sojoli telah sah terikat dengan tali pernikahan, Fawwaz dan Nurul diarak dengan mobil sedan yang sudah dihias indah, saat itulah Nurul telah halal untuk Fawwaz, dengan hangat Nurul mencium tangan Fawwaz, dengan kasih dan sayang Fawwaz mencium kening wajah anggun Nurul dan membelainya dalam pelukan. Namun ketika berada di jalan raya, tiba-tiba sedan yang ditunggangi sepertinya oleng, terlihat si sopir sepertinya mengantuk karena semalaman begadang, sekilas dari arah yang berlawanan mobil truk yang melaju kencang menabrak sedannya hingga terguling, kecelakaanpun terjadi.”
Semua orang di auditorium kaget dan menjerit histeris, bahkan ada yang menangis. seorang bertanya keheranan, “ lalu bagaimana nasib Fawwaz dan Nurul, Pak? “

Sang dosen melanjutkan lagi ceritanya, “ Ya, Alhamdulillah Fawwaz masih bisa diselamatkan, Namun,,, Nurul,,,, Ia tewas di tempat kejadian“… ruang auditorium menangis, tetesan air mata tidak bisa dibendung. “ Fawwaz waktu itu sangat terpukul dan frustasi, namun Ia masih diberi ketabahan. Ia berdo’a, semoga istrinya dimasukan ke dalam surga, menjadi bidadari pendamping diakhiratnya kelak. Kemudian, untuk menghilangkan kesedihannya, Fawwaz bertekad kembali ke Mesir melanjutkan Master sampai doktoral, kemudian kembalilah Fawwaz ke Indonesia, dan saat ini dia berdiri di depan kalian semua”, DR. H. Muhammad Ulul Azmi el Fawwaz, MA.

Sumber:http://www.lokerseni.web.id/2012/08/cerpen-islami-doa-untuk-bidadari.html

Durhaka Seorang Anak Tiri

“April, ikut mamah yuk?” ajak mamah April pada April yang tengah asyik menonton kartun kesukaannya, Crayon shincan. “Kemana mah?” tanya April kepada mamahnya tanpa melepas pandangannya dari layar televisi. “Biasa mamah mau ke pasar, ikut gak ? bantuin mamah donk. Mamah mau masak ayam goreng nih, kesukaan kamu kan, sayang ?” bujuk sang mamah kepada April supaya April mau ikut dan membantunya. “apa mah,? Ayam goreng ? mau banget donk. Lagi pula shincannya juga udah abis” jawab April langsung bangkit dari sofa dan mematikan televisi. “ayo mah. April udah siap. April juga udah laper nih. April gak sabar mau masak ayam terus makan deh. Heheheh….” ajak April pada mamahnya sambil tersenyum manja. Mamahnya pun mengangguk dan tersenyum melihat kelakuan anak semata wayangnya ini yang manja. April dan mamahnya pun pergi kepasar bersama. Ditengah perjalanan April melihat seorang pedagang es krim yang berada di sebrang jalan yang menarik perhatianya. “mamah, aku mau itu, es krim mah.” Kata April seraya menunjuk pedagang es krim tersebut. “Yasudah, mamah aja yang beli. Kamu tunggu sini ya. Jangan kemana-mana. Mamah mau nyebrang dulu.” Ucap sang mamah kepada April seraya berjalan menyebrangi jalan meninggalkan April. Namun, tanpa disadarinya sebuah truk melaju dengan kecepatan tinggi, dan akhirnya menabrak mamah April yang sedang menyebrang. Dan kejadian itu merenggut nyawa mamah April seketika. “Maaamaaaaaaaaa” …………

 

 

“April, kamu kenapa nangis sayang?” Tanya papah April yang khawatir pada April karna melihat April yang tengah menangis tersedu-sedu. “Lia inget mamah, pah. Andai, Lia gak minta es krim sama mamah. Pasti mamah sekarang masih hidup pah. Masakin makanan favorit Lia. Hikss…. hikss.. hikss…” jawab April sambil menangis tersedu-sedu. “sudahlah sayang. Mamah sudah tenang disana. Ini semua bukan salah April koq. Ini semua udah takdir dari Allah, sayang. Lagi pula gak ada gunanya juga kamu menyesali ini semua. Toh, itu sudah 6 tahun berlalu. Ayolah April kamu sudah besar, sebentar lagi kamu sudah berumur 17 tahun sayang. ” Ucap sang papah mencoba menenangkan April sambil memeluk April yang masih menangis tersedu-sedu, dan tanpa diketahui April papahnya pun meneteskan air mata.

Kejadian itu memang sudah 6 tahun berlalu. Mamahnya meninggal disaat April berusia 11 tahun, dan sekarang usia April menuju 17 tahun. Lama memang namun April belum bisa melupakan sosok mamahnya yang memiliki nama panjang Elisa Aliyani Syafitri dan April bernama lengkap Aprillia Andita Syafitri. Semenjak peristiwa itu sifat April pun berubah menjadi 180 derajat. Sekarang April menjadi jutek, cuek, angkuh, sombong, dan pemarah. April terlahir pada tanggal 4 April 1995, dan sang mamah pun terlahir pada tanggal 4 April 1975. Maka dari itu April yang dahulu sangat senang jika ingin berulang tahun sekarang dia menjadi sangat membenci tanggal lahirnya. Karna dia akan teringat pada mamahnya. Selain itu, mamahnya meninggal pada tanggal 6 April, dua hari setelah April, papah dan mamahnya pergi ke puncak untuk merayakan ulang tahun April dan mamahnya. Bahkan, April sekarang tidak ingin lagi dipanggil dengan sebutan April. Dia lebih senang dipanggil Lia. Jika ada seseorang yang memanggilnya April sontak April marah, dan moodnya pun akan langsung turun.

 

“papah, Lia kan sudah bilang. Jangan panggil aku April lagi, panggil aku Lia pah…” kata April sambil melepas pelukannya dan mulai menghapus air matanya. “iya sayang, maafin papah ya ?” tanya papahnya pada April. “iya.. hikss, hikss…” jawab April yang mencoba berhenti menangis. “ udah donk sayang nangisnya.” Bujuk sang papah kepada April agar April tidak menangis lagi seraya menghapus air mata di pipi April. “iya.” Jawab April masih sedikit sesenggukan. “senyum donk.” Ucap sang papah agar April mau tersenyum lagi. Karna sudah lama April jarang tersenyum. Dan April pun tersenyum. “nah, gitu kan jadi tambah cantik dan manis.” Ucap sang papah melihat April tersenyum dan melihat lesung pipi April. “apa siih papah.” Jawab April yang tersipu malu.

“Lia, papah mau ngomong sesuatu sama kamu. Sudah waktunya kamu tau.” Ucap papah serius, dengan wajah yang agak gugup. “ngomong apa pah ?” tanya April penasaran. “kamu kenal tante Erinta, kan?” tanya papah April pada April. “iya April kenal lah, tante April mamahnya kak Farel sama Alina kan ?” tanya April pada papahnya dengan raut wajah yang penasaran. “hmm, papah, papah akan menikah dengan tante Erinta bulan depan. Papah sudah persiapkan semuanya, dan undangan pun sudah papah sebarkan. Papah fikir jika papah menikah dengan tante Erinta kamu tidak akan kesepian lagi. Karna ada kak Farel dan Alina yang akan menemani kamu kan ? Maaf, karna sebelumnya papah tidak memberitahu kamu.” Ucap papahnya pada April dengan terbata-bata karna gugup, dan takut jik April akan marah. Dan hal yang ditakutinya pun terjadi. “ asal papah tau ya, gak akan ada yang bisa gantiin mamah dirumah ini.” Kata April penuh dengan emosi dan matanya pun berkaca-kaca. “tapi Lia, tante Erinta baik kok. Papah yakin dia bisa menjaga kamu dan menyayangi kamu dengan baik.” Ucap sang papah mencoba meredakan amarah April. “GAK, sekarang mending papah keluar dari kamar April. April benci papah. Lia gak mau punya ibu tiri. Sebaik-baiknya tante Erinta dia itu bukan mamah April.” Ucap April pada papahnya penuh dengan emosi. “sekarang papah mendingan keluar dari kamar April.” Bentak April pada papahnya seraya menunjuk pintu. Dan April pun sudah berani melawan papahnya.

(3 bulan kemudian…..)
“Lia, kamu sudah pulang ? makan dulu ya ? atau mau tante ambilkan ? tunggu sebentar ya sayang.” Tanya tante Erinta pada April seraya berdiri menuju dapur. “udah tau dirumah, ya pasti udah pulang lah.” Ucap April sedikit berbisik. “ini Lia makanannya. Habiskan ya ?” kata tante Erinta sambil memberikan sepiring nasi dengan lauk ayam goreng kesukaan April. Praaaannnggg… “astaghfirullah…” ucap tante Erinta kaget karena makanannya dibanting oleh April. “udahlah, gak usah sok baik sama gue. Percuma lo tuh gak akan pernah bisa gantiin mamah. Pake ngasih lauk ayam goreng lagi. Gue Cuma mau makan ayam goreng buatan mamah, bukan lo !!! gue tuh masih punya kaki, gue bisa ambil sendiri.” Bentak April pada tante Erinta lalu meninggalkannya. “April, kamu bisa gak sih sopan sedikit aja sama mamah.” Ucap Alina kepada April karna kesal dan tidak terima atas perlakuan April terhadap mamahnya. April pun langsung menghentikan langkahnya dan berjalan menuju Alina. “tadi lo manggil gue apa ? April. Gue bilangin lagi ya sama lo. Jangan panggil gue April, panggil gue Lia. Ngerti gak ? dan satu hal lagi ya, dia itu mamah lo bukan mamah gue. Paham ?” ucap April tepat di depan muka Alina. Alina ingin melawan namun dicegah oleh mamahnya, dan Alina pun hanya dapat menahan emosinya. “tapi Lia, mamahku juga udah jadi mamah kamu kan sekarang.” Ucap kak Farel dengan nada yang lebih lembut. “gue harus ngomong berapa kali sih sama kalian, mamah gue itu Elisa Aliany Syafitri bukan dia. Dan gak ada satupun yang bisa gantiin posisi dia dalam hati gue.” Ucap April dengan suara agak serak dan mata yang berkaca-kaca, dan akhirnya April pun lari menuju kamarnya.

Braaakkk….. April pun langsung membanting pintu kamarnya dan di dalam April langsung menangis tersedu-sedu. Setelah sekian lama April menangis, akhirnya dia memutuskan untuk pergi dari rumah. Karena dia sudah tidak tahan lagi berada di rumahnya. Setelah, dia mengkemasi pakaiannya April mengambil kunci mobilnya. April pergi menaiki mobil honda jazz kesayangannya yang berwarna merah muda.
“ April… April… bangun sayang….” berkali-kali tante Erinta mengetuk pintu kamar April dan memanggil nama April namun tidak ada jawaban apapun dari dalam kamar April. Beruntung kamar April tidak dikunci, tante Erinta pun masuk ke kamar April. Namun, ternyata April tidak ada dikamarnya. Tante Erinta pun terkejut, hanya terdapat tulisan menggunakan lipstik berwarna merah muda di cermin bertuliskan “ GAK USAH CARI APRIL LAGI.”
“ Papah, Farel, Alina….” teriak tante Erinta panik. “ada apa sih mah pagi-pagi udah teriak-teriak.” Tanya sang papah sambil menggunakan dasi. “ Pah, April kabur dari rumah.” Jawab tante Erinta sambil menangis. “Apa ?” tanya sang papah kaget dan tidak percaya, lalu sang papah pun berlari menuju kamar April. “ Ada apa, mah ?” tanya Farel dan Alina serentak tanpa sengaja. “ April… April kabur dari rumah.” Jawab tante Erinta yang menangis dan panik.

Kriiiinngggg…. kriiinngggg…. “ Biar Farel aja mah yang angkat teleponnya.” Ucap Farel sambil melangkah ke telepon rumah yang berdering. “Halo, Assalamualaikum…” ucap Farel. Setelah mengangkat telepon wajah Farel berubah menjadi gelisah. “mah, pah, na… April kecelakaan sekarang April berada di rumah sakit Anindya.” Setelah Farel berbicara mamahnya pun langsung tak sadarkan diri.
“mah, mamah sudah sadar ?” tanya Alina kepada tante Erinta saat tante Erinta membuka matanya secara perlahan. “April mana ? ayo cepat kita harus ke rumah sakit.” Ucap tante Erinta sambil memaksakan diri untuk berdiri walaupun sebenarnya dia masih lemas. “ Iya mah, sabar. Pelan-pelan.” Kata Farel sambil membantu tante Erinta untuk berdiri.

Sesampainya di rumah sakit mereka pun menuju UGD. Dan beruntung saat mereka datang tak lama dokter keluar dari ruang UGD. “ Dokter, kami dari keluarga Aprillia. Bagaimana keadaannya sekarang, dok ? ” tanya sang papah panik. “beruntung kalian datang tepat waktu. Keadaan Aprillia sekarang sangat kritis, dia membutuhkan donor darah secepatnya, kalau tidak kami sulit menolongnya. Dan bank darah di rumah sakit ini sudah habis. Adakah yang ingin mendonorkan darahnya untuk Aprillia? Bapak bagaimana ?” jawab sang dokter. “ saya diabetes dok. Saya tidak mungkin mendonorkan darah saya.” Jawab sang papah semakin bingung mendengar penjelasan dokter. “dok, kalo saya boleh tau apa golongan darah April ?” tanya tante Erinta kepada dokter dan bermaksud untuk mendonorkan darahnya. “golongan darah Aprillia AB. Ibu berminat mendonorkan darah ibu ?” tanya sang dokter kepada tante Erinta. “iya dok. Kebetulan golongan darah saya O. Bisa kan dok, jika saya ingin mendonorkan darah saya?” jawab tante Erinta. “bisa, Yasudah ibu ikut saya untuk memeriksakan darah ibu, setelah itu jika darah ibu bersih kita akan mentransfusikan darah itu secepatnya. Karena April benar-benar membutuhkan darah itu secepatnya.” Ajak sang dokter kepada tante Erinta untuk memeriksakan darah tante Erinta.

Nyawa April pun tertolong, dan April berhasil melewati masa kritisnya. Setelah beberapa lama April pun sadar. “pah,?” ucap April lirih nyaris tak terdengar. “apa sayang ? allhamdullillah kamu udah sadar.” Jawab papahnya seraya mengelus kepala April, dan mengucap syukur karna April sudah sadar. “Pah, April kenapa ?” tanya April bingung. “Tadi malem, kamu pergi dari rumah sayang. Dan disaat semua orang di rumah bingung mencari kamu telepon rumah berbunyi, ternyata pihak rumah sakit mengatakan bahwa kamu sedang kritis di rumah sakit. Papah, tante Erinta, kak Farel, dan Alina pun langsung ke rumah sakit. Dan disaat papah baru sampe dokter bilang katanya kamu butuh donor darah secepatnya, karena golongan darah AB lagi kosong di bank darah.” Jawab papah panjang lebar kepada April. “terus siapa yang donorin darah buat Lia?” tanya April yang bingung dan penasaran siapakah yang menolongnya karena April merasa berhutang nyawa kepada orang yang telah mendonorkan darahnya. “Lia merasa berhutang nyawa pah sama orang itu?” tanya April yang semakin penasaran karena papahnya hanya diam dan tidak menjawab sama sekali pertanyaan itu. “yang mendonorkan darah itu… Tante Erinta.” Jawab papahnya gugup. “apa tante Erinta ?” jawab April kaget seolah tak percaya ternyata yang mendonorkan darah itu adalah orang yang selama ini dia hina, April pun merasa bersalah. “Sekarang tante Erinta mana pah ?” tanya April pada papahnya. “Lia mau minta maaf, Lia bener-bener merasa bersalah sama tante Erinta karena selama ini Lia selalu menghina dan menyakiti hati tante Erinta.” Ucap April pada papahnya supaya papahnya mau memberitahukan dimana keberadaan tante Erinta. Sang papah seolah-olah tidak percaya karena ia kira April akan marah namun ternyata April berniat untuk meminta maaf padanya. “tunggu sebentar ya sayang. Papah panggilin tante Erinta. Tapi kamu benar-benar ingin meminta maaf padanya?” tanya papahnya kepada April karena masih kurang percaya. April hanya mengangguk dan tersenyum papahnya. Papahnya pun keluar kamar dan memanggil tante Erinta. Tak lama kemudian tante Erinta, kak Farel dan Aliana masuk ke dalam ruang perawatan April. “tante maafi Lia ya. Selama ini Lia jahat sama tante, Lia selalu menghina tante dan berlaku kasar sama tante. Lia benar-benar minta maaf tante.” Ucao Lia kepada tante Erinta sambil menangis dan menggenggam tangan tante Erinta. “Sebelum kamu minta maaf tante sudah maafin kamu kok.” Jawab tante Erinta kepada April, tante Erinta pun menangis karena tak percaya dan merasa bahwa yang dialaminya sekarang adalah mimpi. “ Alina, kak Farel. Maafin aku juga ya kalo aku punya salah sama kalian.” Ucap April seraya menoleh ke arah Farel dan Alina yang berada di sebelah kiri tempat ia berbaring. “iya aku udah maafin kamu kok.” Ucap kak Farel. “aku juga udah maafin kamu kok.” Ucap Alina. Mereka pun saling tersenyum satu sama lain.

Setelah peristiwa itu, mereka pun menjadi keluarga yang bahagia dan rukun. April pun sudah mau memanggil tante Erinta dengan sebutan mamah. Selain itu, April pun sudah mau merayakan ulang tahunnya dan ia pun bersedia jika dipanggil April lagi.

Sumber: http://www.lokerseni.web.id/2012/07/cerpen-islam-durhaka-seorang-anak-tiri.html

Jadikan Aku Bidadari Surga-Mu

Pagi yang cerah dihari minggu, rasanya sangat berbeda dari pagi-pagi sebelumnya yang selalu diguyur hujan dan awan kelabu. Alhamdulillah, pagi ini mentari kembali menyinari bulan setelah hampir tiga hari vakum bersinar. Hari ini aku tidak ada mata kuliah, dan kebetulan hanya ada satu acara untuk pergi ke salah satu daerah terpencil di kota Metropolitan bersama dua teman LDK-ku untuk mengajari para ibu yang sangat jarang mendapat siraman keagamaan. Sebelum berangkat, aku membereskan rumah kos ku yang ku tinggali dengan empat teman kampusku. Yaitu Teh Rini, Mbak Nana, Nisa dan Fatma. kebetulan hari ini adalah jadwalku untuk membersihkan rumah, sedangkan teman-temanku sudah pergi sejak pukul delapan pagi. Entahlah, apa yang ingin mereka kerjakan.Sembari menyapu, ngepel, mencuci piring, aku mendengar lagu-lagu nasyid favoritku yang menanmbah semangatku dalam berjuang dijalanNya.
“Ketika yahudi-yahudi membantaimu
merah berkesimbah ditanah airmu
mewangi harum genangan darahmu
membebaskan bumi jihad Palestina. . . ”

Terkadang akupun ikut terbawa dalam keindahan suara para munsyidnya, hingga aku ikut bernyanyi dan memecahklan kesunyian rumah kosku saat aku sedang sendiri.
jam pun terus berganti, tibalah adzan dzuhuh memanggil para umat islam untuk mengerjakan satu kewajibannya. Aku pun berwudhu dan melakukan ibadah shalat berjamaah dengan Teh Rini dan Teh Nana yang sudah tiba dirumh semenjak pukkul 12 siang tadi. Sesudah shalat, aku beranjak dari tempatku shalat dan bergegas mengganti baju. Aku pergi dengan yamaha mio yang ku beli dengan uang tabunganku sendiri.
Setibanya disana, para Ibu menyambutku dan teman-temanku dengan ramah dan sopan. Salah satu dari mereka pun mempersilahkan kami untuk masuk kerumahnya. Kami pun larut dalam nuansa islami dan kekeluargaan yang sangat kental.
~~~~~~~~~~Hari terus berganti, kegiatan ku semakin padat saja. Karena aku diminta Akhy Huda yang bertugas sebagai ketua LDK memberikan amanah baru untukku. Yaitu untuk mengajari para anak yang berada dipenjara anak tentang agama, serta beberapa tugas lainnya.
“Ukhty Dinda, ada beberapa tugas baru untuk anty. Semoga anty bersedia.” Beriotahunya dengan suara yang menyejukkah hatiku.
“astagfirullahgh” ucapku dalam hati.
~~~~~~~~~~
Waktu terasa terus berlalu, dua tahun sudah aku berkecimpung dalam indahnya berjuang dijalan Allah, Tapi jujur saja, aku belum puas akan perjuanganku ini. tapi ada hal yang teruys mengganjal hatiku. Begitu juga dengan Ummy dan Abah didesa. Setiap kali menelponku, mereka seringkali menanyaiku akan siapnya aku melenkapi separuh agamaku.
“Nduk, Ibu dan Bapakmu ini sudah tua. Umurmu sudah hampir 24 tahun. Lekaslah nduk menikah.” pinta Ibu padaku.
Aku hanya bisa berkata bahwa “Allah belum memberinya padaku, doakan saja ya Bu.”.

Tapi suatu hari, Ibu menelponku. ia berkata bahwa ada seorang kyai yang meminangku untuk cucunya yang katanya tinggal di Jakarta. Kata Ibu, pemuda itu juga kuliah sepertiku. ia bernama Rasyid, cucu dari Kyai Burhan yang sangat dihormati didesaku.
“Maaf nduk, Ibu harap kamu pikirkan baik baik ya. Insya Allah cucunya kyai Burhan cocok untukmu.” harap Ibu
“Inggih bu, Dinda Istikharah dulu ya.” sergah ku.
Aku bingung sekaligus bimbang dengan apa yang harus aku lakukan. setelah istikharah aku tertidur dan bermimpi membaca Surah Arrum.”

Aku terbangun dari mimpiku dan bersyukur karena Allah telah ,memberikan petunjuknya padaku. Keesokan harinya, aku menelpon Ibu dan mengatakan kesediaanku untuk menikah. Ibu menangis mendengarkan pernyataanku, ia berkata bahwa cucu kyai Burhan juga bersedia untuk dinikahkan denganku.
” Ya Allah, semuanya ku serahkan pada kekuasaanMU” doaku
aku pulang kedesa, dan subhanallah ternyata cucu kyai Burhan adalah Akhy Huda, seorang ikhwan impianku.
Pernikahan kami diadakan dengan sederhana namun terasa begitu sakral.
“saya nikahkan dan kawinkau engkau, Muhammad Rsyid Alhuda bin Muhammad Alhabsyi dengan Dinda Azzahra Ramadhani binti Syamsul rahman dengan. . . .” ucap Abah dengan lantang.
“saya terima nikah dan kawinnya Dinnda Azzahra Ramadhani binti Syamsul Rahman dengan. . .” sahutnya lantang.
Subhanallah, aku telah menjadi isterinya, dan kurasakan butiran – butiran halus tlah membanjiri wajahku yang sangat bhagia.
” terimakasih Ya Allah, kau anugerahkan aku mujahidmu.
bimbinglah kami kejalan lurusmu” aamiin

Sumber: http://www.lokerseni.web.id/2012/11/jadikan-aku-bidadari-surgamu-cerpen.html

Ikhlas dalam Penantian

Setelah menunggu setengah hari, akhirnya surat pengumuman kelulusan sampai juga, dan aku dinyatakan lulus, alkhamdulillah nilainya memuaskan. Begitu pula sahabatku Astrid. Kami sangat bahagia, tidak sia-sia usaha giat dalam belajar akhirnya membuahkan hasil yang maksimum.

Meneruskan jenjang pendidikan ke Perguruan Tinggi adalah rencana kita. Dari berbagai banyak pertimbangan, akhirnya kita memilih UIN Yogyakarta. Setelah dinyatakan diterima, kami pun mencari tempat tinggal. Tiba-tiba teringat akan nasihat Ibu tercinta,
“Nduk, carilah ilmu sebanyak-banyaknya, tidak hanya ilmu duniawi saja, tetapi ilmu akhirat pun harus dicari dan diamalkan. Tujuan hidup kita adalah bahagia dunia akhirat. Jagalah diri kalian masing-masing dan hiduplah dilingkungan orang-orang yang sholeh, ibu hanya bisa mendoakan dari sini. Semoga kalian sukses dunia akhirat.” Di ucapkan dengan suara halusnya.

 

Ikhlas Dalam Penantian

Akhirnya kami memutuskan untuk tinggal di sebuah pesantren yang letaknya tidak jauh dari kampus kami. Astrid adalah sahabat dekatku, sejak SD,SMP,SMA, bahkan sekarang di PT kami pun bersama. Suka duka kami rasakan bersama. Tetapi ada satu hal yang membedakan kami, yaitu masalah percintaan. Astrid jagonya dalam menggaet cowo manapun yang disukainya. Hampir tidak terhitung berapa banyak cowo yang di deketin. Beda halnya dengan aku, aku belum berani untuk bermain-main dengan hati. Entah aku tidak peduli dengan orang-orang yang menganggap aku tidak butuh seorang pendamping hidup. Yang aku pikirkan saat ini belajar dengan sungguh-sungguh.
***

Hari pertama masuk pesantren membuat aku terkejut dengan keadaan di pesantren, aku yang terbiasa hidup dalam keadaan rapi, suasana yang tenang, kini semua itu berbanding terbalik. Sungguh membuat aku ingin pingsan seketika. Barang-barang berserakan tidak jelas dimana tempat aslinya, disetiap sudut-sudut tembok terdapat tumpukan baju yang tidak rapi, entah itu baju bersih atau kotor, keadaan kamar mandi yang begitu menjijikan membuat aku tidak ingin memasukinya. Ya Allah inikah tempat yang di inginkan Ibu untuk aku tempati..?? sejenak aku menganggap Ibuku kejam, tega membiarkan anaknya hidup dalam keadaan seperti ini. Tetapi pikiran buruk itu aku buang jauh-jauh, karena aku yakin Ibuku ingin aku menjadi anak yang terbaik.
“Apa kamu yakin mau tinggal ditempat ini?” tanya Astrid kepada ku..
“Yakin..! kenapa tidak…..?” dengan tegas aku menjawabnya.

Mendengar jawabanku yang meyakinkan, Astrid pun ikut yakin untuk tinggal di pesantren ini. Kami berdua berjalan mencari kamar yang disediakan untuk kami. Tetapi belum ketemu-ketemu, karena tempatnya begitu luas. Tiba-tiba ada seorang santriwati menghampiri kami,
“Assalamu’alaikum ya ukhti..?”
“Wa’alaikumsalam.. ukhti..”
“Afwan, ukhti-ukhti ini santri baru ya?”
“Ia benar, perkenalkan saya Keyla dan ini teman saya Astrid, kami sedang mencari kamar yang disediakan untuk kami. Tetapi kami belum menemukannya..”
“Ohh..saya aminah, afwan ukhti ! sebaiknya ukhti soan ke ndalem dahulu.. nanti disana bertemu dengan Abah dan Umi. Nanti baru kami tunjukan kamar yang bisa ukhti tempati..”
“Soan ? Ndalem?” Astrid seketika terkejut.
“Ya ukh, soan itu seperti halnya orang bertamu, sedangkan ndalem itu tempat tinggalnya Kyai. Mari saya antar ke ndalem”

Aku dan Astrid saling menatap dan tersenyum bersama, dan akhirnya kami ikuti santriwati itu ke ndalem. Letaknya tidak terlalu jauh dari asramanya. Sesampainya di depan ndalem lalu santriwati itu mengetuk pintu, dan mengucapkan salam. Melihat sikap dan tingkah laku santriwati itu sangat sopan. Kami heran, di zaman Agnes Monica ternyata masih ada orang seperti Siti Nurbaya.
“Assalamu’alaikum…..??”
“Wa’alaikumsalam..” dari arah dalam Umi menjawab salamnya.
“Ngapunten Umi, niki wonten santri enggal bade soan.”
“Ya silahkan masuk, sebentar nunggu Abah ya.”
“Nggihh…” kami serentak menjawabnya.
Aku dan Astrid hanya diam dan tersenyum ketika mendengar percakapan diantara Bu nyai dan santrinya.

Abah pun keluar, dan kami duduk di ruang tamu bersama Umi dan Abah. Aku memulai pembicaraannya dengan sedikit deg-degan karena berhadapan dengan seorang Kyai.
“Maaf Abah Umi, kita dari Semarang. Perkenalkan nama saya Keyla Nur Istiqomah, dan ini teman saya Astrid Pangesti. Kami berniat untuk masuk ke pesantren ini”
“Ya kami ucapkan selamat datang. Yang terpenting ketika belajar dipesantren adalah sabar dan istiqomah, insya Allah bisa dan semoga ilmunya bermanfaat.”

Itulah sepenggal nasihat dari Abah. Setelah mendengar berbagai nasihat dan cerita dari Abah dan Umi. kami pun pamit dan menuju ke asrama. Tiba-tiba Umi menghentikan langkah kami.
“Sebentar mba Keyla, di ndalem ada kamar kosong, berhubung putri kami sekarang kuliah di Amerika. Ada baiknya jika kamarnya diisi mba Keyla dan mba Astrid. Bagaimana?”

Sejenak kami berdiam, dan serentak menyetujui tawaran Umi untuk tinggal di ndalem. Karena pertimbangan dari pada kamarnya kosong, sedangkan di asrama sepertinya penuh, jadi untuk sementara kami disuruh untuk menempatinya untuk menggantikan anak bungsunya yang sekarang kuliah di Amerika.
“Ternyata jika hati kita ikhlas menerimanya, maka kita diberikan yang terbaik untuk kita, buktinya kita menempati tempat yang nyaman dan bersih seperti ini.” Astrid hanya tersenyum mendengar ucapanku.
Kami mulai merapikan barang-barang kami. Dan tidak terasa waktu ashar pun tiba, kami siap-siap berangkat jam’ah dan memulai aktivitas mengaji. Diawal pertemuan kami pun memperkenalkan diri kami di depan banyak santri. Ternyata begitu banyak santrinya, ada yang masih kecil ada yang remaja dan ada yang dewasa. Jelas saja karena pesantren ini dibuka untuk umum.
***

3 tahun sudah aku dan Astrid menetap di pesantren. Kuliah pun berjalan dengan lancar. Kini aku semester 7, itu artinya harus lebih giat dan serius untuk menggarap skripsi.

Tiba-tiba Astrid menepuk punggungku dengan tangannya ketika aku sedang duduk asik sambil baca buku.
“Key, kamu tau tidak, santri-santri sedang asik berbincang-bincang tentang apa?”
“Tidak, memang apa? Awas loh jangan nggosip lagi seperti kemarin-kemarin. Ntar kamu yang terjebak sendiri…!” aku mewanti-wanti sahabatku karena memang kupingnya diman-mana.
“Kata santri, bentar lagi putra Abah yang di kairo pulang.”
“Ah kata siapa kamu? memang Abah punya putra yang di kairo?”
“Yaah sahabatku yang satu ini ketinggalan berita. Abah memang punya putra yang kuliah di kairo, sudah 4 tahun belum pernah pulang. Denger-denger si ganteng. Heheeee..”
“Mulai deh kamu. Cowo mana aja kamu gebet…” Ledek ku pada Astrid.
“Biarin. Awas loh kalo kamu sampai naksir.”
“Astrid senyum-senyum sendiri, sepertinya dalam pikirannya membayangkan yang aneh-aneh.”
“Ketimbang kamu naksir sama orang yang belum jelas, siapa itu namanya? Zulfi ya. Hanya sekedar di dunia maya. Kalau cowo itu gentle, pasti dia sudah menemui kamu. Coba kamu pikir key, sudah 2 tahun lamanya kamu dekat dengan cowo, dan itu pun hanya dalam sebuah jejaring sosial Facebook. Sedangkan kamu belum tau wujud aslinya seperti apa, keluarganya bagaimana. Kapan kamu bertemu? “Dan yang aneh lagi kenapa kamu bisa suka dan mempertahankan dia. Padahal cowo-cowo yang ada di sekitar kita banyak yang ngantri buat ndapetin kamu. Tapi sayang tidak ada yang kamu respon satupun. Kamu sadar gak sih key….???” Dengan panjang lebar Astrid berusaha menyadarkanku.
“Aku tidak tahu kenapa aku bisa mempunyai keyakinan dengan Zulfi. Meskipun hanya di dunia maya. Aku nyaman, aku tenang, aku baru merasakan perasaan seperti ini. Kamu tahu aku belum pernah berpengalaman dekat sama laki-laki. Mungkin ini kuasa Allah. Belum saatnya untuk bertemu dengannya. Aku terus berharap suatu saat nanti aku bisa bertemu dengannya.”
“Mau sampai kapan key?? “
“Aku hanya bisa sabar, dan menanti takdir Allah. Sudah lah kamu tidak perlu pusing memikirkan aku ya. Aku punya sahabat sepertimu saja sudah merasa bahagia, dan cukup untuk menjadi teman keluh kesah, canda tawa. Aku sayang kamu Astrid…..”sambil memeluknya aku teteskan air mata dipipiku.
“Aku juga sayang kamu key, kamu sahabat terbaik ku. Aku tidak akan pernah melupakanmu. Jika memang menanti laki-laki itu membuat kamu bahagia, akupun ikut bahagia. Sudah ya jangan nangis lagi. Ayo dong senyum.” diusaplah airmata dipipiku olehnya. Dan setelah itu kami tersenyum bahagia.
***

Ternyata benar apa yang dikatakan Astrid 1 minggu yang lalu. Putra Abah pulang.
“Astrid !!! benar apa yang kamu katakan 1 minggu yang lalu, putra Abah pulang, nanti sore insya Allah sampai di rumah. Tadi pagi Umi bilang padaku kalau putranya pulang dan diperkirakan sampai rumah nanti sore. Jadi kita disuruh nyiapin makanan untuk nanti sore.”
“Asiiik, akhirnya aku ketemu cowo ganteng. Hhehe..”Astrid kegirangan.

Terdengar suara mobil didepan. Seorang laki-laki berpostur tubuh tinggi berkulit putih dengan wajah yang menenangkan jika dipandang, dan senyuman yang sangat manis turun dari mobil, dan mencium tangan Abah dan Umi. Apakah dia putranya yang digemari banyak santriwati.? Aku dan Astrid mengintip dari jendela.
“Waahhh gantengnya,, lihat key.!! Memang benar-benar ganteng ya.,” Astrid memujinya.
Abah Umi dan putranya duduk bersama di ruang tamu, terlihat sangat bahagia karena putranya yang dibanggakan akhirnya pulang dengan selamat. Karena sekitar 4 tahun mereka tidak bertemu, dan akhirnya rasa kangen yang terobati dengan kembali berkumpul.

Aku dan Astrid mengantarkan minuman keruang tamu. Aku hanya bisa menundukan kepalaku, karena rasa malu yang luar biasa, dan jantung yang berdetak begitu kencang membuat aku nerves ketika mengantarkan minuman. Astrid ada di depanku membawa makanan ringan.
“Terimakasih, ini santri-santri yang tinggal di sini.” Ucap Umi memperkenalkan kami pada putranya.

Setelah selesai menyuguhkan makanan dan minuman, kami pun kembali ke kamar. Astrid senyum-senyum terus karena merasa senang bertemu dengan laki-laki ganteng.
“Ganteng banget key, aku benar-benar menyukainya. Aku memimpikan punya pendamping hidup seperti dia key. Bagaimana menurutmu key?”
“Apa dia mau sama kamu,, hehe” nadaku bercanda.
“Ah kamu, sahabat lagi bahagia palah di ledekin, gak asiik ah.,” kesal Astrid padaku.
“Sudah-sudah yuk belajar, besok ujian kan..” ajaku pada Astrid.
***

Sebelum aku baringkan tubuhku diatas ranjang, tiba-tiba aku ingin membuka Facebook, barangkali ada pesan dari Zulfi, laki-laki yang selama ini ada di hatiku. Dan ternyata benar dia kirim pesan.
“Keyla, aku sekarang sudah di indonesia, 2 hari yang lalu aku sampai dirumah. Bagaimana keadaanmu, baik-baik saja kan? Aku ingin bertemu. Aku tunggu besok ba’da dhuhur di masjid Ar-Rahman dekat pesantren kamu. Aku harap kamu bisa datang. Aku ingin perkenalkan kamu pada orang tuaku.”

Aku kaget, senang, takut, campur aduk gak jelas. Entah apa yang akan aku lakukan. Sampai malam pun aku tidak bisa tidur karena teringat pesan itu. Dan akhirnya aku ambil air wudhu dan shalat tahajud.
“Ya Allah Dzat yang Maha membolak mbalikan hati,
Aku serahkan semua urusanku padaMU
Berikanlah yang terbaik untukku ya Rabb
Jika memang laki-laki yang aku nanti adalah jodohku
Maka berikanlah kesabaran dalam penantianku
Dan jika laki-laki yang aku nanti bukan untukku
Maka balikanlah hati ini, dan berikanlah rasa ikhlas”
Setelah selesai bermunajat hati dan pikiranku mulai tenang.
Waktu dhuhur telah tiba, kini saatnya aku siap-siap untuk menemui Zulfi ditempat yang di janjikan. Astrid tidak mengetahui pertemuanku dengan Zulfi, karena aku takut dia marah-marah pada zulfi yang telah menggantungkan perasaanku selama 2 tahun. aku datang menemui Zulfi sendirian.

Ketika aku sampai di masjid, aku terkejut seketika. Di dalam masjid ada Abah, Umi, putranya dan ternyata Astrid juga ada dan beberapa santri. Aku bingung kenapa mereka semua berkumpul disini, apa mereka tahu kalau aku mau menemui laki-laki yang aku nanti? Lalu aku berjalan mendekati mereka.
“Keyla, sini mendekat.” Ucap Umi memanggilku untuk mendekat.
“Apa kamu mencari sosok laki-laki yang menjajikan akan menemuimu di masjid ini?”
“Benar Umi..”
“Ini laki-laki yang selama ini kamu nanti, anak Umi, namanya Ahmad Zulfikar. Umi sudah mendengar banyak cerita dari Astrid. Kesetiaanmu menunggu pasangan hidupmu kini sudah terjawab. Umi bangga kepadamu. Kamu begitu sabar menantinya. Ahmad juga sering cerita sama Umi lewat telfon kalau dia mengagumi seorang perempuan. Dan tidak disangka kalau ternyata perempuan itu akan nyantri dipesantren ini. Makanya untuk mengenal lebih dekat kami tempatkan kalian di ndalem” Umi menceritakan kejadian sebenarnya.
Aku semakin bingung dengan keadaan ini semua. Ingin rasanya lari meninggalkan masjid ini, tapi sulit bagiku. Aku pun hanya terdiam dalam wajah kebingungan.

Zulfi pun angkat bicara,
“Aku lah Zulfi Key, mau kah kamu menyempurnakan separuh agamaku??”

Detak jantungku semakin kencang, mulut tidak bisa berucap sekatapun. Hanya kedua mataku yang langsung mengarah ke Astrid sahabatku. Karena aku tau kalau dia mengharapkan untuk menjadi pendamping Gus Ahmad. Astrid mendekatiku,
“Tenang sayang, aku hanya mengaguminya, dia untukmu. Aku bahagia akhirnya laki-laki yang kamu nanti sudah jelas wujudnya sekarang. Dan dia melamarmu key. Ayo ini saatnya kamu ungkapkan perasaanmu yang sudah lama kamu pendam key”
“Bagaiman key,” tanya Zulfi.,
“a..a…a.kuu terima…” jawabku gemetar.
“Alkhamdulillah…” serentak orang yang ada didalam masjid. Kini aku merasakan suasana yang selalu bahagia mengiringi langkahku untuk melewati hari demi hari.
Seusai wisuda, Zulfi, yang sekarang aku panggil Gus Zulfi, karena dia putra Kyai, datang kerumah dan segera diselenggarakan acara Ijab Qobul.
Mungkin ini yang dinamakan barokahnya berbakti kepada orang tua, yang pada akhirnya aku hidup di pesantren, sehingga aku bisa bertemu dengan cinta sejatiku. Dan keikhlasan dalam menanti akhirnya berbuah manis.

Sumber:http://www.lokerseni.web.id/2013/05/ikhlas-dalam-penantian-cerpen-islam.html