Category Archives: Uncategorized

Asal-Usul Kota Bandung

Sejarah Kota Bandung
Kata “Bandung” berasal dari kata bendung atau bendungan karena terbendungnya sungai Citarum oleh lava Gunung Tangkuban Perahu yang lalu membentuk telaga. Legenda yang diceritakan oleh orang-orang tua di Bandung mengatakan bahwa nama “Bandung” diambil dari sebuah kendaraan air yang terdiri dari dua perahu yang diikat berdampingan yang disebut perahu bandung yang digunakan oleh Bupati Bandung, R.A. Wiranatakusumah II, untuk melayari Citarum dalam mencari tempat kedudukan kabupaten yang baru untuk menggantikan ibukota yang lama di Dayeuhkolot.

Kota Bandung mulai dijadikan sebagai kawasan pemukiman sejak pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, melalui Gubernur Jenderalnya waktu itu Herman Willem Daendels, mengeluarkan surat keputusan tanggal 25 September 1810 tentang pembangunan sarana dan prasarana untuk kawasan ini. Dikemudian hari peristiwa ini diabadikan sebagai hari jadi kota Bandung.
Kota Bandung secara resmi mendapat status gemeente (kota) dari Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz pada tanggal 1 April 1906 dengan luas wilayah waktu itu sekitar 900 ha, dan bertambah menjadi 8.000 ha di tahun 1949, sampai terakhir bertambah menjadi luas wilayah saat ini.
Pada masa perang kemerdekaan, pada 24 Maret 1946, sebagian kota ini di bakar oleh para pejuang kemerdekaan sebagai bagian dalam strategi perang waktu itu. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan Bandung Lautan Api dan diabadikan dalam lagu Halo-Halo Bandung. Selain itu kota ini kemudian ditinggalkan oleh sebagian penduduknya yang mengungsi ke daerah lain.
Pada tanggal 18 April 1955 di Gedung Merdeka yang dahulu bernama “Concordia” (Jl. Asia Afrika, sekarang), berseberangan dengan Hotel Savoy Homann, diadakan untuk pertama kalinya Konferensi Asia-Afrika yang kemudian kembali KTT Asia-Afrika 2005 diadakan di kota ini pada 19 April-24 April 2005.
Sumber: http://pabrikceritala.blogspot.com/2013/06/asal-usul-kota-bandung.html

Asal-Usul Kota Cirebon

Asal kota Cirebon ialah pada abad ke 14 di pantai utara Jawa Barat ada desa nelayan kecil yang bernama Muara Jati yang terletak di lereng bukit Amparan Jati. Muara Jati adalah pelabuhan nelayan kecil. Penguasa kerajaan Galuh yang ibu kotanya Rajagaluh menempatkan seorang sebagai pengurus pelabuhan atau syahbandar Ki Gedeng Tapa. Pelabuhan Muara Jati banyak di singgahi kapal-kapal dagang dari luar di antaranya kapal Cina yang datang untuk berniaga dengan penduduk setempat, yang di perdagangkannya adalah garam, hasil pertanian dan terasi.

Kemudian Ki Gendeng Alang-alang mendirikan sebuah pemukiman di lemahwungkuk yang letaknya kurang lebih 5 km, ke arah Selatan dari Muara Jati. Karena banyak saudagar dan pedangan asing juga dari daerah-daer5ah lain yang bermukim dan menetap maka daerah itu di namakan Caruban yang berarti campuran kemudian berganti Cerbon kemudian menjadi Cirebon hingga sekarang.

Raja Pajajaran Prabu Siliwanggi mengangkat Ki Gede Alang-alang sebagai kepala pemukiman baru ini dengan gelar Kuwu Cerbon. Daerahnya yang ada di bawah pengawasan Kuwu itu dibatasi oleh Kali Cipamali di sebelah Timur, Cigugur (Kuningan) di sebelah Selatan, pengunungan Kromong di sebelah Barat dan Junti (Indramayu) di sebelah Utara.

Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat kemudian digantikan oleh menantunya yang bernama Walangsungsang putra Prabu Siliwanggi dari Pajajaran. Walangsungsang ditunjuk dan diangkat sebagai Adipati Carbon dengan gelar Cakrabumi. Kewajibannya adalah membawa upeti kepada Raja di ibukota Rajagaluh yang berbentuk hasil bumi, akan tetapi setelah merasa kuat meniadakan pengiriman upeti, akibatnya Raja mengirim bala tentara, tetapi Cakrabumi berhasil mempertahankannya.

Kemudian Cakrabumi memproklamasikan kemerdekaannya dan mendirikan kerajaan Cirebon dengan mamakai gelar Cakrabuana. Karena Cakrabuana telah memeluk agama Islam dan pemerintahannya telah menandai mulainya kerajaan kerajaan Islam Cirebon, tetapi masih tetap ada hubungan dengan kerajaan Hindu Pajajaran.

Semenjak itu pelabuhan kecil Muara Jati menjadi besar, karena bertambahnya lalu lintas dari dan ke arah pedalaman, menjual hasil setempat sejauh daerah pedalaman Asia Tengara. Dari sinilah awal berangkat nama Cirebon hingga menjadi kota besar sampai sekarang ini.

Pangeran Cakra Buana kemudian membangun Keraton Pakungwati sekitar Tahun 1430 M, yang letaknya sekarang di dalam Komplek Keraton Kasepuhan Cirebon

Sumber: http://pabrikceritala.blogspot.com/2013/06/asal-usul-kota-cirebon.html

Asal-Usul Kota Padang

Diperkirakan kota ini pada awalnya berupa sebuah lapangan atau dataran yang sangat luas sehingga dinamakan Padang. Dalam bahasa Minang, kata “padang” juga dapat bermaksud pedang.Menurut tambo setempat, kawasan kota ini dahulunya merupakan bagian dari kawasan rantau yang didirikan oleh para perantau Minangkabau dari Dataran Tinggi Minangkabau (darek). Tempat pemukiman pertama mereka adalah perkampungan di pinggiran selatan Batang Arau di tempat yang sekarang bernama Seberang Padang.[6] Seperti kawasan rantau Minangkabau lainnya, pada awalnya kawasan sepanjang pesisir barat Sumatera berada di bawah pengaruh Kerajaan Pagaruyung. Namun pada awal abad ke-17, kawasan ini telah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh.Kota Padang telah dikunjungi oleh pelaut Inggris pada tahun 1649, kemudian mulai berkembang sejak kehadiran VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) pada tahun 1663 yang diiringi dengan migrasi penduduk Minangkabau dari kawasan luhak. Selain memiliki muara yang bagus, VOC tertarik membangun pelabuhan dan pemukiman baru di pesisir barat Sumatera untuk memudahkan akses perdagangan dengan kawasan pedalaman Minangkabau. Selanjutnya pada tahun 1668, VOC telah berhasil mengusir pengaruh Kesultanan Aceh dan menanamkan pengaruhnya di sepanjang pantai barat Sumatera, sebagaimana diketahui dari surat Regent Jacob Pits kepada Raja Pagaruyung yang berisi permintaan dilakukannya hubungan dagang kembali dan mendistribusikan emas ke kota ini.Dalam perkembangan selanjutnya, pada 7 Agustus 1669 terjadi pergolakan masyarakat Pauh dan Koto Tangah melawan monopoli VOC. Meski dapat diredam oleh VOC, peristiwa tersebut kemudian diabadikan sebagai tahun lahir Kota Padang.

Beberapa bangsa Eropa lain juga silih berganti mengambil alih kekuasaan di Kota Padang. Pada tahun 1781, akibat rentetan Perang Inggris-Belanda Keempat, Inggris berhasil menguasai kota ini. Namun setelah ditandatanganinya Perjanjian Paris pada tahun 1784 kota ini dikembalikan kepada VOC. Pada tahun 1793 kota ini sempat dijarah dan dikuasai oleh seorang bajak laut dari Perancis yang bermarkas di Mauritius bernama François Thomas Le Même, yang keberhasilannya diapresiasi oleh pemerintah Perancis waktu itu dengan memberikannya penghargaan. Kemudian pada tahun 1795, Kota Padang kembali diambil alih oleh Inggris.

Namun setelah peperangan era Napoleon, pada tahun 1819 Belanda mengklaim kembali kawasan ini yang kemudian dikukuhkan melalui Traktat London, yang ditandatangani pada 17 Maret 1824.
Pada tahun 1833, Residen James du Puy melaporkan terjadi gempa bumi yang diperkirakan berkekuatan 8.6–8.9 skala Richter di Padang yang menimbulkan tsunami. Sebelumnya pada tahun 1797, juga diperkirakan oleh para ahli pernah terjadi gempa bumi berkekuatan 8.5–8.7 skala Richter, yang juga menimbulkan tsunami di pesisir kota Padang dan menyebabkan kerusakan pada kawasan pantai Air Manis.

Sumber: http://pabrikceritala.blogspot.com/2013/06/asal-usul-kota-padang.html

Asal-Usul Kota Semarang

Sejarah Semarang sebenarnya berawal pada abad ke-9. Area yang tadinya bernama Bergota ini kemudian menjadi kawasan pemukiman, di mana didirikan sebuah sekolah dan asrama Islam oleh seorang keturunan Arab, Kyai Pandan Arang, pada akhir abad ke-15. Setelah berkonsultasi dengan Sunan Kalijaga. Kerajaan Pajang yang saat itu dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya, menobatkan Kyai Pandan Arang sebagai bupati kawasan ini tanggal 2 Mei 1547. Maka secara politis maupun kultural, hari inipun diperingati sebagai hari jadi Kota Semarang.

Waktu berlalu, tahun 1678 kota ini diserahkan ke tangan Dutch East-India Company (VOC) sebagai pembayaran atas hutang-hutang Sunan Amangkurat II. Namun baru pada tahun 1705 Semarang secara resmi jatuh dalam kekuasaan Belanda, ketika Susuhunan Pakubuwono I memberikan hak-hak perdagangan ekstensif pada VOC untuk membersihkan hutang-hutang Kerajaan Mataram. Sejak itu, VOC membangun kawasan ini dan menjadikannya salah satu pusat perdagangan yang esensial dan vibrant di masa penjajahan.

Namun pada era 1920-an, Semarang mendapatkan predikat lain, ‘Kota Merah’. Reputasi ini diperoleh, karena entah mengapa, Semarang dijadikan pusat para kaum nasionalis dan leftist yang kontroversial. Reputasi yang kian lekat dengan didirikannya Partai Komunis Indonesia di kota ini. Baru setelah meletusnya peristiwa G30S PKI, predikat ini lambat laun terkikis. Semarang pun kembali berbenah dan siap menyuguhkan berbagai fakta sejarah panjangnya sebagai atraksi wisata.

Perjalanan ke Semarang di era modern ini bagai melangkah dalam kapsul yang membawa diri tersedot arus waktu ke masa lalu. Bangunan-bangunan tua masih berjajar angkuh sepanjang kawasan yang kini tersohor dengan nama Kota Lama (Outstadt), memberikan atmosfir khas zaman penjajahan Belanda. Gedung-gedung berarsitektur kolonial, seperti Gereja Blenduk di Jl. Jend. Suprapto, gedung PT. Perkebunan XV Persero di JI. Mpu Tantular dan gedung Kantor Pos yang berlokasi tak jauh dari Jembatan Berok adalah saksi bisu tragedi maupun kejayaan kota ini.

Pada pedagang yang menghuni kios-kios kecil sepanjang kanal, baik di sisi kiri manpun kanan Jembatan Berok, juga menawarkan pemandangan unik yang seakan ‘diimpor’ dari masa lalu. Dari tukang pijit lesehan, praktisioner pengobatan tradisional Cina, kedai jajan dan warung kopi, hingga kios penjual pulsa isi ulang kartu ponsel, semua bisa ditemukan di sini. Tak jauh dari Kota Lama, sebuah kawasan historis lainnya dapat pula dikunjungi. Kawasan Pecinan Semarang yang melintasi Jl. KH. Wahid Hasyim dan bercabang-cabang hingga ke gang-gang kecil, seperti Gg. Pinggir, Gg. Warung dan Gg. Lombok, meriah tak ubahnya set sebuah film silat. Beberapa klenteng menyembul di antara kedai-kedai makanan Cina yang menebarkan aroma harum, mengundang selera.

Urusan makanan memang juga menjadi salah satu keunggulan Kota Semarang. Tak sebatas Chinese food saja, segala gaya makanan ada di sini. Salah satu pusatnya adalah Kawasan Simpang Lima. Jantung kota yang dipenuhi shopping centers, gedung-gedung perkantoran dan hotel-hotel berbintang ini adalah pusat jajanan yang tak pernah lengang dari pagi hingga malam! Bahkan di akhir pekan, mulai Sabtu malam sampai Minggu pagi. semua jalan seputar Simpang Lima ditutup dan dijadikan area ‘pasar kaget’ yang menjual segala hal. You name it! Semua ada, bahkan juga tanaman langka dengan harga-harga miring. Termasuk atraksi tari-tarian dan hiburan lainya.

Sumber: http://pabrikceritala.blogspot.com/2013/06/kota-semarang.html

Asal-Usul Kota Surabaya

Dahulu, di lautan luas sering terjadi perkelahian antara Ikan Hiu Sura dengan Buaya. Mereka berkelahi hanya karena berebut mangsa.Keduanya sama-sama kuat, sama-sama tangkas,sama-sama cerdik, sama-sama ganas dan sama-sama rakus.Sudah berkali-kali mereka berkelahi belum pernah ada yang menang atau pun yang kalah. akhirnya mereka mengadakan kesepakatan. “Aku bosan terus-menerus berkelahi, Buaya,” kata ikan Sura. “Aku juga, Sura.Apa yang harus kita lakukan agar kita tidak lagi berkelahi?” tanya Buaya Ikan Hiu Sura sudah punya rencana untuk menghentikan perkelahiannya dengan Buaya segera menerangkan.”Untuk mencegah perkelahian di antara kita,sebaiknya kita membagi daerah kekuasaan menjadi dua. Aku berkuasa sepenuhnya di dalam air dan harus mencari mangsa di dalam air,sedangkan kamu barkuasa di daratan dan mangsamu harus yang berada di daratan. Sebagai batas antara daratan dan air, kita tentukan batasnya,yaitu tempat yang dicapai oleh air laut pada waktu pasang surut!” “Baik aku setujui gagasanmu itu!” kata Buaya.

Dengan adanya pembagian wilayah kekuasaan, maka tidak ada lagi perkelahian antara Sura dan Buaya. Keduanya telah sepakat untuk menghormati wilayah masing-masing. Tetapi pada suatu hari,Ikan Hiu Sura mencari mangsa di sungai. Hal ini dilakukan dengan sembunyi-sembunyi agar Buaya tidak mengetahui. Mula-mula hal ini memang tidak ketahuan. Tetapi pada suatu hari Buaya memergoki perbuatan Ikan Hiu Sura ini.Tentu saja Buaya sangat marah melihat Hiu Sura melanggar janjinya. “Hai Sura, mengapa kamu melanggar peraturan yang telah kita sepakati berdua? Mengapa kamu berani memasuki sungai yang merupakan wilayah kekuasaanku?” tanya Buaya. Ikan Hiu Sura yang merasa tak bersalah tenang-tenang saja. “Aku melanggar kesepakatan? Bukankah sungai ini berair.Bukankah aku sudah bilang, bahwa aku adalah penguasa di air? Nah, sungai ini ‘kan ada airnya, jadi juga termasuk daerah kekuasaanku, ” Kata Ikan Hiu Sura. “Apa? Sungai itu ‘kan tempatnya di darat, sedang daerah kekuasaanmu ada di laut, berarti sungai itu adalah darerah kekuasaanku!” Buaya ngotot. “Tidak bisa. Aku ‘kan tidak pernah bilang kalau di air itu hanya air laut, tetapi juga airsungai” jawab Hiu Sura? “Kau sengaja mencari gara-gara,Sura?” “Tidak! kukira alasanku cukup kuat dan aku memang dipihak yang benar!” kata Sura. “Kau sengaja mengakaliku.Aku tidak sebodoh yang kau kira!” kata Buaya mulai ,marah. “Aku tidak perduli kau bodoh atau pintar, yang penting air sungai dan air laut adalah kekuasaanku!” Sura tak mau kalah. Karena tidak ada yang mau mengalah, maka pertempuran sengit antara Ikan Hiu Sura dan Buaya terjadi lagi.

Pertarungan kali ini semakin seru dan dahsyat. Saling menerjang dan menerkam, saling menggigit dan memukul. Dalam waktu sekejap, air disekitarnya menjadi merah oleh darah yang keluar dari luka-luka kedua binatang tersebut. Mereka terus bertarung mati-matian tanpa istirahat sama sekali. Dalam pertarungan dahsyat ini, Buaya mendapat gigitan Hiu Sura di pangkal ekornya sebelah kanan. Selanjutnya, ekornya itu terpaksa selalu membengkok kekiri. Sementara ikan Sura juga tergigit ekornya hingga hampir putus, lalu ikan Sura kembali ke lautan. Buaya puas telah dapat mempertahankan daerahnya.

Pertarungan antara ikan Hiu yang bernama Sura dan Buaya ini sangat berkesan di hati masyarakat Surabaya. Oleh karena itu,nama Surabaya selalu dikait-kaitkan dengan peristiwa ini. Dari peritiwa inilah kemudian dibuat lambang Kota Surabaya yaitu gambar “ikan sura dan buaya”. Namun ada juga sebahagian berpendapat, asal usul Surabaya berasal dari kata Sura dan Baya. Sura berarti Jaya atau selamat. Baya berarti bahaya, jadi Surabaya berarti “selamat menghadapi bahaya”. Bahaya yang dimaksud adalah serangan tentara Tar-tar yang hendak menghukum Raja Jawa.Seharusnya yang dihukum adalah Kartanegara, karena Kartanegara sudah tewas terbunuh, maka Jayakatwang yang diserbu oleh tentara Tar-tar itu. Setelah mengalahkan Jayakatwang, orang Tar-tar itu merampas harta benda dan puluhan gadis-gadis cantik untuk dibawa keTiongkok.

Raden Wijaya tidak terima diperlakukan seperti itu. Dengan siasat yang jitu, Raden Wijaya menyerang tentara Tar-tar di pelabuhan Ujung Galuh hingga mereka menyingkir kembali ke Tiongkok. Selanjutnya, dari hari peristiwa kemenangan Raden Wijaya inilah ditetapkan sebagai hari jadi Kota Surabaya. Surabaya sepertinya sudah ditakdirkan untuk terus baergolak.Tanggal 10 November 1945 adalah bukti jati diri warga Surabaya yaitu berani menghadapi bahaya serangan Inggris dan Belanda. Di zaman sekarang, setelah ratusan tahun dari cerita asal usul Surabaya tersebut, ternyata pertarungan memperebutkan wilayah air dan darat terus berlanjut. Di kalamusim penghujan tiba kadangkala banjir menguasai kota Surabaya. Pada musim kemarau kadangkala tempat-tempat genangan air menjadi daratan kering. Itulah Surabaya.

Sumber: http://pabrikceritala.blogspot.com/2013/06/kota-surabaya.html

Asal-Usul Kota Sukabumi

Orang selalu mencatat bahwa tanggal 13 Januari 1815 adalah hari kelahiran kota Sukabumi. Tanggal tersebut dipergunakan sejak Dr. Andreas de Wilde secara resmi menerima pengesahan nama Soeka Boemi dari pemerintah Hindia Belanda atas tanah yang dimohonnya untuk perluasan perkebunan. Kala itu de Wilde adalah konlomerat perkebunan, atau lebih dikenal dengan Preanger Planter. Anda bisa membayangkan betapa kaya dan berpengaruhnya de Wilde dengan melihat rumahnya yang sekarang dijadikan kantor Walikota (Balaikota) Bandung.

Tapi benarkah de Wilde yang menemukan Sukabumi?  Sebenarnya, tidak juga. Sejarah Sukabumi lebih tua dari itu. Anda bisa melacaknya hingga Pajajaran Runtag ( runtuhnya Kerajaan Pajajaran ) sekitar 1579. Waktu itu wilayah ini bagian dari kedatuan (setara kabupaten sekarang) kerajaan Pajajaran. Tepatnya Kedatuan Pamingkis yang beribukota di Gunung Walat, Cibadak sekarang. Jangan heran kalau Cibadak dijadikan dayeuh waktu itu. Di Cibadak ini telah berdiri sebuah kabuyutan yang diprakarsai Prabu Dharmasiksa jamannya kerajaan Sunda Galuh Kuno. Lihat tulisan mengenai prasasti Cicatih Cibadak di blog ini.

Nah, bupati yang berkuasa saat itu adalah Ki Ranggah Bitung. Istrinya bernama Nyi Raden Puntang Mayang. Masa masa itu memang tidak menentu. Ibukota Pakuan telah berhasil direbut kesultanan Banten. Uforia bumi hangus sampai juga ke Kedatuan Pamingkis. Singkat cerita Gunung walat bernasib sama dengan Pakuan. Bupati Ki Ranggah Bitung gugur. Sementara istrinya yang sedang hamil diselamatkan oleh seorang jaro (lurah) bernama Ki Load Kutud dan istrinya Nini Tumpay Ranggeuy Ringsang. Mula mula diamankan di Gunung Bongkok, Cibadak. Atas petunjuk seorang resi bernama Tutung Windu, kemudian dialihkan ke Gunung Sunda di daerah Palabuhanratu sekarang.

Kala itu wilayah selatan masih berupa hutan rimba belantara. Tidak heran bila daerah tersebut menjadi tempat persembunyian yang sempurna buat Nyi Raden Puntang Mayang. Di tengah pengungsian, mereka menemukan seorang bocah laki laki berumur 6 -7 tahun yang tersesat. Menurut pengakuaannya, kampungnya sama dibakar oleh pasukan Banten. Didorong rasa kasihan maka Jaro Kutud akhirnya memunggut anak tersebut dan menyertakannya dalam rombongan pengungsi. Mereka akhirnya tiba di tempat tujuan. Tak lama Nyi Raden Puntang Mayang melahirkan bayi perempuan. Kemudian diberi nama Nyai Raden Pundak Arum Saloyang.

Sumber: http://pabrikceritala.blogspot.com/2013/06/kota-sukabumi.html

Asal-Usul Kota Malang

S
Sebelum tahun 1964, dalam lambang kota Malang terdapat tulisan ; “Malang namaku, maju tujuanku” terjemahan dari “Malang nominor, sursum moveor”. Ketika kota ini merayakan hari ulang tahunnya yang ke-50 pada tanggal 1 April 1964, kalimat-kalimat tersebut berubah menjadi : “Malangkucecwara”. Semboyan baru ini diusulkan oleh almarhum Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka, karena kata tersebut sangat erat hubungannya dengan asal-usul kota Malang yang pada masa Ken Arok kira-kira 7 abad yang lampau telah menjadi nama dari tempat di sekitar atau dekat candi yang bernama Malangkucecwara.

Kota malang mulai tumbuh dan berkembang setelah hadirnya pemerintah kolonial Belanda, terutama ketika mulai di operasikannya jalur kereta api pada tahun 1879. Berbagai kebutuhan masyarakatpun semakin meningkat terutama akan ruang gerak melakukan berbagai kegiatan. Akibatnya terjadilah perubahan tata guna tanah, daerah yang terbangun bermunculan tanpa terkendali. Perubahan fungsi lahan mengalami perubahan sangat pesat, seperti dari fungsi pertanian menjadi perumahan dan industri.

Malang merupakan sebuah Kerajaan yang berpusat di wilayah Dinoyo, dengan rajanya Gajayana.
  • Tahun 1767 Kompeni memasuki Kota
  • Tahun 1821 kedudukan Pemerintah Belanda di pusatkan di sekitar kali Brantas
  • Tahun 1824 Malang mempunyai Asisten Residen
  • Tahun 1882 rumah-rumah di bagian barat Kota di dirikan dan Kota didirikan alun-alun di bangun.
  • 1 April 1914 Malang di tetapkan sebagai Kotapraja
  • 8 Maret 1942 Malang diduduki Jepang
  • 21 September 1945 Malang masuk Wilayah Republik Indonesia
  • 22 Juli 1947 Malang diduduki Belanda
  • 2 Maret 1947 Pemerintah Republik Indonesia kembali memasuki Kota Malang.
  • 1 Januari 2001, menjadi Pemerintah Kota Malang.

Sumber: http://pabrikceritala.blogspot.com/2013/06/sebelum-tahun-1964-dalam-lambang-kota.html

Asal-Usul Kota Cianjur

Di sebuah desa di Jawa Barat, hiduplah seorang saudagar yang memiliki hampir seluruh sawah di daerah itu. Namun, ia terkenal sangat pelit. Orang-orang menyebutnya Pak Kikir.
Pak Kikir mempunyai seorang anak laki-laki yang dermawan dan baik hati. Secara sembunyi-sembunyi, ia suka menolong warga yang kesusahan.
Pada suatu ketika, Pak Kikir merasa harus mengadakan selamatan. Menurut kepercayaan masyarakat, kalau acara selamatan dilakukan dengan baik, hasil panen akan baik pula. Pak Kikir tak ingin panennya gagal. Oleh karena itu, ia mengadakan selamatan dan mengundang seluruh warga.
Namun, Pak Kikir tidak menyediakan makan yang cukup bagi tamu yang sebagian besar warga tak mampu. Banyak tamu yang tidak kebagian makanan.
Lalu, datanglah seorang nenek pengemis. Ia meminta sedikit nasi untuk mengisi perutnya yang lapar. Namun, si nenek malah dibentak oleh Pak Kikir.
Nenek itu sangat sedih. Ia pun meninggalkan rumah Pak Kikir.
Anak Pak Kikir yang melihat kejadian itu langsung mengambil jatah makannya dan mengejar nenek itu. “Ambilah makanan ini supaya nenek tidak lapar lagi,” kata pemuda baik hati itu.
“Terima kasih, Nak, atas kebaikanmu. Kelak, kau akan mendapatkan kebaikan dan keselamatan karena sifatmu,” kata si nenek.
Nenek itu masih sakit hati pada Pak Kikir. Lalu, pergilah ia ke puncak bukit. Dari puncak bukit itu, tampaklah rumah Pak Kikir paling besar dan paling megah di antara rumah warga sekitarnya.
Nenek itu berucap lantang. “Ingatlah, Pak Kikir. Ketamakanmu akan menenggelamkan dirimu dan Tuhan akan membalas perbuatanmu!”
Si Nenek menancapkan tongkatnya ke tanah, lalu mencabutnya lagi. Dari bekas tancapan tongkat itu, mengalirlah air yang semakin lama semakin deras menuju ke desa.
“Banjir! Banjir!” Para penduduk berteriak panic melihat air yang mengalir semakin deras menuju desa mereka. Mereka berlarian menyelematkan keluarga mereka.
Anak Pak Kikir pun segera memperingati semua penduduk agar mencari tempat aman. Ia juga mengajak ayahnya untuk meninggalkan rumah.
“Apa? Meninggalkan rumah ini? Tidak! Aku harus menyelamatkan harta yang kusimpan di bawah tanah!” seru Pak Kikir. Ia pun berlari ke ruang bawah tanah di rumahnya.
Air semakin deras. Karena tak ada waktu lagi untuk menunggu ayahnya, anak Pak Kikir pun berlari menyelamatkan diri ke atas bukit. Air bah itu pun segera menenggelamkan seluruh desa.
Anak Pak Kikir dan sebagian penduduk selamat. Pak Kikir tenggelam bersama rumah dan harta bendanya. Para penduduk sangat sedih melihat desa yang tenggelam. Mereka memutuskan mencari daerah baru untuk tempat tinggal. Anak Pak Kikir diangkat sebagai pimpinan.
Di daerah yang baru, anak Pak Kikir menganjurkan penduduk mengolah tanah, bagaimana mengairi sawah, dan menanam padi yang baik.

Desa baru itu lalu diberi nama Anjuran karena penduduk selalu mematuhi anjuran pemimpin mereka. Lama-kelamaan, desa itu berkembang menjadi sebuah kota kecil bernama Cianjur. Ci artinya air. Menurut cerita, Cianjur berarti anjuran untuk mengairi dan mebuat irigasi yang baik. Hingga sekarang, Cianjur terkenal dengan hasil berasnya yang enak

Sumber: http://pabrikceritala.blogspot.com/2013/06/kota-cianjur.html

Asal-Usul Kota Banyuwangi

http://3.bp.blogspot.com/-JmElRmdhRV4/UcH3GzG6vSI/AAAAAAAAAHM/6doeM3S43uM/s1600/banyuwangi.jpeg
Pada zaman dahulu di kawasan ujung timur Propinsi Jawa Timur terdapat sebuah kerajaan besar yang diperintah oleh seorang Raja yang adil dan bijaksana. Raja tersebut mempunyai seorang putra yang gagah bernama Raden Banterang. Kegemaran Raden Banterang adalah berburu. “Pagi hari ini aku akan berburu ke hutan. Siapkan alat berburu,” kata Raden Banterang kepada para abdinya. Setelah peralatan berburu siap, Raden Banterang disertai beberapa pengiringnya berangkat ke hutan. Ketika Raden Banterang berjalan sendirian, ia melihat seekor kijang melintas di depannya. Ia segera mengejar kijang itu hingga masuk jauh ke hutan. Ia terpisah dengan para pengiringnya.
“Kemana seekor kijang tadi?”, kata Raden Banterang, ketika kehilangan jejak buruannya. “Akan ku cari terus sampai dapat,” tekadnya. Raden Banterang menerobos semak belukar dan pepohonan hutan. Namun, binatang buruan itu tidak ditemukan. Ia tiba di sebuah sungai yang sangat bening airnya. “Hem, segar nian air sungai ini,” Raden Banterang minum air sungai itu, sampai merasa hilang dahaganya. Setelah itu, ia meninggalkan sungai. Namun baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba dikejutkan kedatangan seorang gadis cantik jelita.
 “Ha? Seorang gadis cantik jelita? Benarkah ia seorang manusia? Jangan-jangan setan penunggu hutan,” gumam Raden Banterang bertanya-tanya. Raden Banterang memberanikan diri mendekati gadis cantik itu. “Kau manusia atau penunggu hutan?” sapa Raden Banterang. “Saya manusia,” jawab gadis itu sambil tersenyum. Raden Banterang pun memperkenalkan dirinya. Gadis cantik itu menyambutnya. “Nama saya Surati berasal dari kerajaan Klungkung”. “Saya berada di tempat ini karena menyelamatkan diri dari serangan musuh. Ayah saya telah gugur dalam mempertahankan mahkota kerajaan,” Jelasnya. Mendengar ucapan gadis itu, Raden Banterang terkejut bukan kepalang. Melihat penderitaan puteri Raja Klungkung itu, Raden Banterang segera menolong dan mengajaknya pulang ke istana. Tak lama kemudian mereka menikah membangun keluarga bahagia.
Pada suatu hari, puteri Raja Klungkung berjalan-jalan sendirian ke luar istana. “Surati! Surati!”, panggil seorang laki-laki yang berpakaian compang-camping. Setelah mengamati wajah lelaki itu, ia baru sadar bahwa yang berada di depannya adalah kakak kandungnya bernama Rupaksa. Maksud kedatangan Rupaksa adalah untuk mengajak adiknya untuk membalas dendam, karena Raden Banterang telah membunuh ayahandanya. Surati menceritakan bahwa ia mau diperistri Raden Banterang karena telah berhutang budi. Dengan begitu, Surati tidak mau membantu ajakan kakak kandungnya. Rupaksa marah mendengar jawaban adiknya. Namun, ia sempat memberikan sebuah kenangan berupa ikat kepala kepada Surati. “Ikat kepala ini harus kau simpan di bawah tempat tidurmu,” pesan Rupaksa.
Pertemuan Surati dengan kakak kandungnya tidak diketahui oleh Raden Banterang, dikarenakan Raden Banterang sedang berburu di hutan. Tatkala Raden Banterang berada di tengah hutan, tiba-tiba pandangan matanya dikejutkan oleh kedatangan seorang lelaki berpakaian compang-camping. “Tuangku, Raden Banterang. Keselamatan Tuan terancam bahaya yang direncanakan oleh istri tuan sendiri,” kata lelaki itu. “Tuan bisa melihat buktinya, dengan melihat sebuah ikat kepala yang diletakkan di bawah tempat peraduannya. Ikat kepala itu milik lelaki yang dimintai tolong untuk membunuh Tuan,” jelasnya. Setelah mengucapkan kata-kata itu, lelaki berpakaian compang-camping itu hilang secara misterius. Terkejutlah Raden Banterang mendengar laporan lelaki misterius itu. Ia pun segera pulang ke istana. Setelah tiba di istana, Raden Banterang langsung menuju ke peraaduan istrinya. Dicarinya ikat kepala yang telah diceritakan oleh lelaki berpakaian compang-camping yang telah menemui di hutan. “Ha! Benar kata lelaki itu! Ikat kepala ini sebagai bukti! Kau merencanakan mau membunuhku dengan minta tolong kepada pemilik ikat kepala ini!” tuduh Raden Banterang kepada istrinya. “ Begitukah balasanmu padaku?” tandas Raden Banterang.”Jangan asal tuduh. Adinda sama sekali tidak bermaksud membunuh Kakanda, apalagi minta tolong kepada seorang lelaki!” jawab Surati. Namun Raden Banterang tetap pada pendiriannya, bahwa istrinya yang pernah ditolong itu akan membahayakan hidupnya. Nah, sebelum nyawanya terancam, Raden Banterang lebih dahulu ingin mencelakakan istrinya.
Raden Banterang berniat menenggelamkan istrinya di sebuah sungai. Setelah tiba di sungai, Raden Banterang menceritakan tentang pertemuan dengan seorang lelaki compang-camping ketika berburu di hutan. Sang istri pun menceritakan tentang pertemuan dengan seorang lelaki berpakaian compang-camping seperti yang dijelaskan suaminya. “Lelaki itu adalah kakak kandung Adinda. Dialah yang memberi sebuah ikat kepala kepada Adinda,” Surati menjelaskan kembali, agar Raden Banterang luluh hatinya. Namun, Raden Banterang tetap percaya bahwa istrinya akan mencelakakan dirinya. “Kakanda suamiku! Bukalah hati dan perasaan Kakanda! Adinda rela mati demi keselamatan Kakanda. Tetapi berilah kesempatan kepada Adinda untuk menceritakan perihal pertemuan Adinda dengan kakak kandung Adinda bernama Rupaksa,” ucap Surati mengingatkan.
“Kakak Adindalah yang akan membunuh kakanda! Adinda diminati bantuan, tetapi Adinda tolah!”. Mendengar hal tersebut , hati Raden Banterang tidak cair bahkan menganggap istrinya berbohong.. “Kakanda ! Jika air sungai ini menjadi bening dan harum baunya, berarti Adinda tidak bersalah! Tetapi, jika tetap keruh dan bau busuk, berarti Adinda bersalah!” seru Surati. Raden Banterang menganggap ucapan istrinya itu mengada-ada. Maka, Raden Banterang segera menghunus keris yang terselip di pinggangnya. Bersamaan itu pula, Surati melompat ke tengah sungai lalu menghilang.
Tidak berapa lama, terjadi sebuah keajaiban. Bau nan harum merebak di sekitar sungai. Melihat kejadian itu, Raden Banterang berseru dengan suara gemetar. “Istriku tidak berdosa! Air kali ini harum baunya!” Betapa menyesalnya Raden Banterang. Ia meratapi kematian istrinya, dan menyesali kebodohannya. Namun sudah terlambat.
Sejak itu, sungai menjadi harum baunya. Dalam bahasa Jawa disebut Banyuwangi. Banyu artinya air dan wangi artinya harum. Nama Banyuwangi kemudian menjadi nama kota Banyuwangi.
Sumber: http://pabrikceritala.blogspot.com/2013/06/kota-banyuwangi.html

Asal-Usul Kota Banjarmasin

Pada jaman dahulu, di Kalimantan berdiri sebuah kerajaan, Nagara Daha namanya. Kerajaan itu didirikan Putri Kalungsu bersama putranya, Raden Sari Kaburangan alias Sekar Sungsang yang bergelar Panji Agung Maharaja Sari Kaburangan. Raja Sekar Sungsang adalah seorang penganut Hindu yang taat. Baginda mendirikan candi yang amat besar dan megah di Kalimantan.

Pengganti Raja Sekar Sungsang adalah Maharaja Sukarama. Pada masa pemerintahannya, sering terjadi pemberontakan, yaitu antara Pangeran Samudera pewaris tahta yang syah dan Pangeran Mangkubumi.Dalam perebutan kekuasaan itu, justru Pangeran Mangkubumi yang berhasil menduduki tahta kerajaan.

Pemerintahan Pangeran Mangkubumi ternyata juga tidak berlangsung lama. Dalam perebutan kekuasaan berikutnya, Pangeran Mangkubumi akhirnya terbunuh dalam usahanya untuk memadamkan pemberontakan. Dan Sebagai pemegang tampuk pemerintahan yang baru adalah Pangeran Tumenggung.

Pangeran Samudera sebagai pewaris kerajaan yang syah menjadi amat sedih hatinya menyaksikan terjadinya perebutan kekuasaan yang tiada henti itu. Sang Pangeran pun merasa tidak aman jika tetap tinggal dalam lingkungan kerajaan karena lama-kelamaan orang-orang akan tahu dirinya sebagai pewaris kerajaan yang syah dan pastilah akan menjadi sasaran pembunuhan bagi yang sedang berkuasa. Atas bantuan orang-orang kepercayaannya di Kerajaan Nagara Daha, Pangeran Samudera melarikan diri. Ia menyamar dan hidup di daerah terpencil di sekitar muara sungai Barito.

Di Muara sungai Barito itu, terdapat kampung-kampung yang berbanjar-banjar atau berderet-deret melintasi tepi-tepi sungai. Di antara kampung-kampung itu, Kampung Banjarlah yang paling strategis letaknya. Kampung Banjar dibentuk oleh lima aliran sungai yang muaranya bertemu di Sungai Kuin. Karena letaknya yang amat strategis itu, kampung Banjar kemudian berkembang menjadi Bandar, kota perdagangan yang ramai dikunjungi kapal-kapal dagang dari berbagai negeri. Bandar itu di bawah kekuasaan seorang patih yang biasa disebut Patih Masih. Bandar itu juga dikenal dengan nama Bandar Masih.
Patih Masih mengetahui bahwa Pangeran Samudera, pemegang hak atas Nagara Daha yang syah, ada di wilayahnya. Kemudian, ia mengajak Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, dan Patih Kuin untuk berunding. Mereka bersepakat mencari Pangeran Samudera di tempat persembunyiannya untuk diangkat menjadi raja, memenuhi wasiat Maharaja Sukarama.
Pangeran Samudera yang sebenarnya sudah tidak berambisi berebut kekuasaan akhirnya bersedia juga menjadi raja agar pergolakan akibat perebutan kekuasaan segera dapat diakhiri. Akhirnya dengan diangkatnya Pangeran Samudera menjadi raja dan Bandar Masih sebagai pusat kerajaan sekaligus Bandar perdagangan, semakin terdesaklah kedudukan Pangeran Tumenggung. Apalagi para patih tidak mengakuinya lagi sebagai raja yang sah. Mereka pun tidak rela menyerahkan upeti kepada Pangeran Tumenggung di Nagara Daha.
Pengaran Tumenggung pun menjadi sangat marah mengetahui Pangeran Samudera masih hidup dan menjadi raja di Banjar. Pangeran Tumenggung pun segera memerintahkan angkatan perangnya untuk menghancurkan Kerajaan Banjar. Akhirnya perang dahsyat tak terhindarkan lagi dan berlangsung sampai berhari-hari. Korban pun mulai berjatuhan di kedua belah pihak.
Pangeran Samudera amat sedih hatinya melihat begitu banyaknya korban di kedua belah pihak yang sebetulnya adalah saudara sendiri. Maka untuk menghindari jatuhnya korban lebih banyak lagi, Pangeran Samudera mengusulkan diadakan perang tanding atau duel antara kedua raja yang bertikai. Pihak yang kalah harus mengakui kedaulatan pihak yang menang.
Maka pada hari dan waktu yang sudah ditetapkan, Pangeran Tumenggung dan Pangeran Samudera naik sebuah perahu yang disebut talangkasan. Perahu-perahu itu dikemudikan oleh panglima kedua belah pihak. Kedua pangeran itu memakai pakaian perang serta membawa parang, sumpitan, keris, dan perisai atau telabang.

Pangeran Tumenggung dengan nafsu angkaranya begitu ingin membunuh Pangeran Samudera yang dianggap sebagai penghalang utamanya untuk berkuasa. Sebaliknya, Pangeran Samudera tidak tega berkelahi melawan pamannya untuk membunuhnya, biarpun berkali-kali ia mendapat kesempatan untuk membunuh Pamannya. Akhirnya, luluh juga hati Pangeran Tumenggung atas kemuliaan hati Pangeran Samudera. Kesadaran muncul, Mereka berpelukan saambil bertangis-tangisan.

Pangeran Tumenggung dengan hati tulus mernyarahkan kekuasaan kepada Pangeran Samudera. Artinya, Nagara Daha ada di tangan Pangeran Samudera. Akan tetapi, Pangeran Samudera bertekad menjadikan Bandar Masih atau Banjar Masih sebagai pusat pemerintahan sebab Bandar itu lebih dekat dengan muara Sungai Barito yang telah berkembang menjadi kota perdagangan. Tidak hanya itu, rakyat Nagara Daha pun dibawa ke Banjar Masih atau Banjar Masih. Pangeran Tumenggung diberi daerah kekuasaan di Batang Alai dengan seribu orang penduduk sebagai rakyatnya. Nagara Daha pun menjadi daerah kosong.

Pangeran Samudera mengubah namanya menjadi Sultan Suriansyah. Hari kemenangan Pangeran Samudera atau Sultan Suriansyah, 24 September 1526, dijadikan hari jadi kota Banjar Masih atau Bandar Masih. Karena setiap kemarau landing (panjang) air menjadi masin (masin), lama kelamaan nama Banjar Masih atau Bandar Masih menjadi Banjarmasin.
Akhirnya, Sultan Suriansyah pun meninggal. Makamnya sampai sekarang terpelihara dengan baik dan ramai dikunjungi orang. Letaknya di Kuin Utara, di pinggir Sungai Kuin, Kecamatan Banjar Utara, Kota Madya Daerah Tingkat II Bajarmasin.
Setiap tanggal 24 September Wali Kota madya Banjarmasin dan para pejabat berziarah ke makam itu untuk memperingati kemenangan Sultan Suriansyah atas Pangeran Tumenggung

Sumber: http://pabrikceritala.blogspot.com/2013/06/kota-banjarmasin.html