Pagi telah menyambut. Sinar kehangatannya memancar ke seluruh penjuru dunia. Kicauan burung menambah cerahnya pagi ini. Semakin membuktikan kebesaran dari sang pencipta.
Hari ini hari Minggu. Saatnya untuk memberikan waktu istirahat pada otakku, karena selama enam hari dalam seminggu otakku ini lah yang bekerja keras untuk menentukan masa depanku nanti.
Dengan gontai aku meyusuri jalan setapak. menuju tempat di mana aku dapat merasakan kedamaian dan mencurahkan segala isi hati yang tersimpan. Kedua tongkat tua masih setia untuk menyanggah berat badanku. Ya, kalian pasti mengerti, bahwa aku adalah anak yang terlahir secara tidak sempurna. Aku terlahir dengan keadaan yang memilukan. Kedua kakiku tidak dapat berjalan dengan sempurna.. Aku adalah anak yang lumpuh sobat. Kalian tahu, betapa aku di remehkan oleh setiap orang yang melihatku. Tak jarang mereka mencemooh keadaanku tepat di depan mata kepalaku sendiri. Teman-teman di sekolahpun tak sedikit yang berbuat demikian. Namun ada juga beberapa dari mereka yang mau berteman denganku, entah karena mereka benar-benar tulus berteman denganku ataupun hanya karena mereka mengasihaniku, aku tak tau.
Bagi sebagian besar anak seorang Ibu adalah bagaikan dewa penolong di dalam hidupnya. Bagaikan malaikat yang selalu melindunginya. Tapi mengapa aku tak pernah merasa demikian? Aku tak pernah merasakan belaian hangat seorang Ibu, tak pernah ku mendapat kasih tulusnya. Tak pernah aku mendapat kelembutan darinya. Hanya cacian, amarah dan segala tindakan yang semakin membuat hari hari ku terasa semakin menyiksa. Aku tak tau mengapa Ibu bersikap sedemikian tega kepadaku. Apakah karena keadaanku yang seperti ini? Anak seperti apakah yang Ibu inginkan? Apakah Ibu ku menginginkan anak yang sempurna? Cantik bagaikan ratu, ataupun putih bagaikan malaikat? Lalu salahkah aku jika keadaanku seperti ini? Jika aku bisa memilih aku lebih memilih untuk hidup di atas awan saja. Berlari ke sana kemari. Biarkan aku hidup seorang diri, biarkan aku menikmati segala apa yang ada dalam tubuhku. Daripada hidup di antara orang-orang yang tak bisa menerima semua keadaanku. Hidup yang membuat aku semakin merasa bersalah karena telah lahir di dunia ini.
Tak terasa aku telah sampai ke tempat favoritku. Taman indah yang selalu mencoba menghibur di tengah kekalutanku. Aku merasakan bahwa tempat inilah tempat yang paling mengerti dan paling bisa menerima aku di dalamnya. Kusandarkan tubuhku di bawah pohon. Kuhirup segarnya udara sambil kupejamkan mata. Membayangkan banyak pengalaman masa lalu. Kembali aku teringat akan kehangatan sosok seorang Ayah yang selama ini aku rindukan. Ayah yang telah meninggal 4 tahun yang lalu. Tepat di saat aku mulai menginjakkan kaki di bangku SMP. Ayah yang selalu membelai aku dengan kasih sayangnya. Aku merasakan kehagatan sosok Ibu di dalamnya. Ayah selalu membelaku di saat Ibu mulai menyakitiku. Ayahku terserang penyakit jantung. Sungguh saat Ayah meninggal aku merasakan separuh jiwa yang ada dalam tubuhku ikut pergi bersamanya. Mungkin kalian mengira bahwa aku bukalah anak kandung Ibuku, melainkan anak tiri bagaikan di sebuah cerita dongeng masa lalu. Sempat aku berfikir demikian. Namun saat aku tanyakan kepada Ayah, dia menjawab dengan meneteskan air mata. Meyakinkanku bahwa aku adalah anak kandung mereka. Sempat aku mengajukan protes terhadapnya. Aku tak dapat menerima. Jika aku anak kandung mereka mengapa Ibu begitu tega terhadapku. Ayah kemudian memelukku. Mencoba menguatkan hati dan perasaanku. Aku tak tega melijhatnya menangis seperti itu. Maka aku mengalah. Aku mencoba mempercayai meskipun jauh di dalam lubuk hati selalu mencoba untuk menentangnya.
Tak terasa sudah hampir satu jam aku berada di sini. Segera aku bangkit dan mulai berjalan kembali menuju rumah yang membuat aku merasa tak betah di dalamnya. Saat aku berjalan menuju rumah tak sengaja aku berpapasan dengan sekelompok anak jail yang suka mengejekku. Kali ini mereka melakukan hal yang sama seperti biasanya.
“Hai kakak. Kau memang anak yang sempurna yah.”
“Apa yang kau lihat? mengapa kau mengatakan dia sebagai orang yang sempurna?.” Kata anak yang berambut ikal.
“hhaha.. jelas dong.. lihat tuh kakinya.. kerena dia terlalu sempurna sampai-sampai dia memiliki empat kaki sekaligus.. hhaha”
“Hahaha.. benar juga kau. Mengapa ada orang yang seperti ini di dunia? benar-benar tak berguna”
“hhaahahahaha” gelak ketiga anak itu bersamaan.
Tak ku gubris sedikitpun perkataan mereka. Rasanya hati ini sudah mati rasa uuntuk menerima semua perkataan yang menyakitkan. Kembali aku berjalan dengan gontai.
“Dari mana saja kau? Pagi-pagi begini sudah keluyuran. Apakah kau melupakan tugasmu?!” teriak Ibu membuatku kaget. Tak terasa aku sudah memasuki halaman rumah mungilku.
“Maaf Ibu..”
“Maaf.. Maaf.. Apa dengan kata maafmu kau bisa mengembalikan semua waktu yang terbuang karena pekerjaan konyolmu itu? Sekarang cepat cuci baju, piring-piring kotor dan jangan lupa bersihkan seluruh isi rumah.. Kau mengerti?!”
“Mengerti Ibu.”
Beginilah keadaanku. Aku bagaikan seorang pesuruh yang memiliki seorang majikan jahat. Tapi apa daya. Sebagai seorang anak, aku harus menuruti perintah orang tua, terutama Ibu. Meskipun aku tak pernah mengerti, apa arti Ibu sesungguhnya. di dalam hidupku.
Hari terus berganti. Kini aku sudah duduk di bangku kelas 3 SMA. Tak ada yang berubah dari perlakuan ibu kepadaku. Beberapa minggu lagi Ujian Nasional akan datang. Hari dimana penentuan nasib masa depan akan segera di mulai. Kadang aku merasa tidak sanggup untuk berkosentrasi saat di dalam kelas. Bukan karena memikirkan hal hal yang tidak penting, namun karena tubuh dan otakku sudah terlalu lelah akan beban yang selalu ibu berikan kepadaku. Tak ada toleransi ataupun pengertian sedikit darinya. Tapi untunglah di sini ada Siska, sahabatku yang selalu memberi dukungan penuh terhadapku.
Hari yang di tunggu pun tiba. Ujian Nasional perlahan-lahan telah terlewati. Kini hanya tinggal memasrahkan semuanya kepada Tuhan. Aku curahkan segala isi hatiku padanya. Tak lupa juga untuk ku goreskan harapan kecilku pada lembaran-lembaran buku diary yang selama ini menyimpan segala keluh kesah yang ada di dalam benakku.
Hari ini, tanggal 23 Mei 2013, aku kembali mendapat perlakuan kasar dari ibuku. Hanya karena aku sedikit terlambat saat beliau menyuruhku membeli beberapa bahan dapur di pasar. Keterlambatan itu tak pernah aku sengaja. Tongkat tua ku lah yang membuat semuanya menjadi lambat. Mungkin tongkat tua itu telah lelah menemaniku selama ini sehingga saat aku gunakan pergi ke pasar, salah satu dari tongkat itu patah sehingga aku harus berhenti dan menggunakan berbagai cara sehingga aku bisa berjalan dengan kedua tongkat ku itu. Penjelasan tak di terima oleh ibuku, sehingga dia terus memukuliku. Tak di hiraukan isakan maupun teriakan sakit dariku. Saat itu aku memang telah pasrah. Biarkan ibuku melakukan apa yang bisa membuat dirinya merasakan senang meskipun nyawaku adalah taruhannya.
Malam semakin larut, menambah sakit tubuh ini. Besok adalah hari pengumuman kelulusan untuk tingkat SMA/K dan sederajat. Perasaan tegang sedikit menghampiriku. Perasaan tegang ini sama sekali tak dapat mengurangi seluruh sakit di dalam tubuhku. Ku coba memulai tidurku, berharap esok mendapatkan hal yang sedikit lebih indah daripada hari ini.
Tok.. tok… tok..
“Selamat siang”
“Oh kau Siska, ada apa?”
“Dina nya ada bu? saya mau mengabarkan hasil kelulusannya. Sebab dari tadi saya tunggu di rumah, Dina tidak kunjung datang. Kebetulan kakak Siska datang sehingga tidak perlu repot repot pergi ke warnet untuk melihat hasil kelulusan secara online.”
“Ibu gak tau Dina di mana. Sebab dari tadi pagi Ibu sudah gedor-gedor kamarnya juga tak ada jawaban darinya. Daripada ibu marah marah kepadanya hari ini mending ibuk biarkan dia mengurung dirinya seperti itu di dalam kamar. Itu lebih baik, karena setelah ini mungkin ada teman ibu yang mau mampir ke sini. Jadi dia tidak membuat malu saya”
“Astagfirullah, ibu istighfar. Bagaimanapun Dina anak ibu. Dia anak yang patut di banggakan. Meskipun dia cacat secara fisik namun kemampuan berfikirnya luar biasa. Dia mendapat nilai tertinggi di sekolah kami”
“Oh, benarkah? bagus kalau begitu. Tidak menambah beban fikiran ibu. Kalau kau mau menemuinya, langsung saja pergi ke kamarnya. Ibu mau keluar sebentar.”
Tok.. tok..
“Dina, apa kau di dalam? ini aku Siska. Aku membawa berita baik untukmu”
Hening.. Tak ada jawaban. Karena lama tak ada jawaban maka dengan terpaksa Siska mencoba mendobrak pintu kamar Dina. Siska merasa ada yang aneh, sebab pintu terkunci dari dalam, menandakan seharusnya si pemilik kamar berada di dalamnya. Pintu terbuka. Terlihat di mata Siska, Dina terbaring lemah tak berdaya. Wajahnya pucat. Siska hendak membangunkannya namun niatnya berubah ketika jemarinya menyentuh bagian tubuh sahabatnya itu. Dingin sekali dan terasa kaku. Seakan masih tak percaya dengan apa yang dia fikirkan, dia mencoba memeriksa denyut nadi di tangannya. Sontak dia menjerit, menangis pilu. Jeritan dan raungan yang cukup membuat para tetangga yang mendengarnya kaget. Lantas para tetangga yang mendengar teriakan Siska berbondong-bondong memasuki rumah Dina. Bergegas menuju di mana sumber teriakan berada. Mereka semua tercengang ketika melihat apa yang ada di depan mata mereka. Tubuh Dina yang sudah tak bernyawa dengan sahabat di sampingnya yang terus menangis histeris. Para tetangga segera mencoba menenangkan Saskia. Ibu Restu, ibunda Dina yang baru datang setelah kepergian sesaatnya sangat kaget melihat kondisi rumah yang penuh sesak dengan para tetangganya. Raut mukanya menampakkan kebingungan yang amat dalam.
“Ada apa ini? Mengapa kalian semua berkumpul di sini?”
“Bu Restu, ibu harus sabar dan tabah”
“Apa maksud kalian?”
“Anak ibu, Dina sudah di panggil oleh sang khalik”
“Apa? Tidak mungkin … Dinaaa!”
Ibuku tercinta, kini kau peluk aku saat aku sudah tak bernyawa. Jasadku memang sudah mati bu, tapi arwahku di sini. Di sampingmu. Mengapa bu.. mengapa kau baru memelukku sekarang? selama 17 tahun kau tak pernah memelukku seperti ini. Bu, aku sangat meyayangimu. Tapi mengapa kau bersikap demikian kepadaku. Bu.. dengar aku.. aku di sampingmu. Aku ingin marah padamu. Tapi aku terlalu menyayangimu bu.. Percuma kau peluk aku sekarang, karena yang kau peluk hanyalah jasad yang telah mati, yang setelah ini akan hancur menjadi tanah. Aku ingin merasakan pelukan yang nyata darimu. Bu, bisakah kau mengatakan bahwa kau juga sangat menyayangiku? Biarkan aku mendengarnya bu. Biarkan aku bawa pelukan terakhirmu di tempat kedamaianku. Bu, sebenarnya aku takut akan kematian ini, tapi mungkin inilah jalan yang lebih indah untuk mengakhiri penderitaanku. Aku akan bertemu ayah yang menyayangiku bu, bertemu dengan malaikat tanpa sayapku, separuh jiwaku. Satu. satunya orang yang meyayangiku tanpa batas dan pamrih. Hanya Ayah bu, dan sekarang, sebentar lagi aku akan bertemu dengannya. Bu.. dengarkan aku. Aku sangat menyayangimu, aku lahir karenamu dan matipun juga karenamu. Sampai kapanpun kau tetaplah Ibu yang terbaik untukku..
“Dinaaa! bangun nak. Maafkan ibu. Ayo bangun nak. Ibu janji tidak akan menyakitimu lagi nak. Ibu sangat menyayangimu.. Ibu inginkan kau kembali di samping ibu. Ayo sayang, bangun. Jangan kau hukum ibu seperti ini”
Ibu… maafkan aku. Aku lebih memilih untuk tinggal bersama Ayah di sini. Aku sudah tak mampu untuk kembali menatap dunia yang terlalu keji kepadaku bu. Bu.. percayalah, aku selalu di hatimu. Aku darah dagingmu dan sampai kapanpun aku tetap selalu mengingatmu. Bu, ijinkan Dina pergi menuju kedamaian. Aku selalu mendoakan apa yang terbaik untukmu. Semoga ibu mendapatkan hidayah dari kepergianku bu. Teruskanlah hidup ibu ke arah yang lebih baik. Aku sudah tenang bu, karena mungkin aku telah mendapatkan pelukan kasih pertama dan terakhirmu ibuku tersayang …
– END –
Cerpen Karangan: Anteng Maya Surawi
Facebook: Umeegg Mhaiya SiiAnashikatosha