“Allahu Akbar… Allahu Akbar!”“Allahu Akbar… Allahu Akbar!”Alunan Adzan membahana di seluruh penjuru Kota Pontianak khususnya di Jalan Sepakat II yang memiliki beberapa masjid dan surau. Tidak terkecuali pula Surau Umar milik Asrama Mahasiswa Kabupaten Kubu Raya. Sosok-sosok bernyawa tergeletak tak beraturan di depan Televisi. Sungguh dua pasang mata mereka bak di lem hingga mereka tak mendengar alunan indah dari Khozin yang menyeru untuk menghadap kepada sang Ilahi. Udara pagi terasa menelusuk tulang hingga mendorong tepi mataku untuk menarik semua bagian mata agar terpejam kembali. Gerak tubuhku juga turut menyempurnakan posisi tidurku agar semakin terasa nyaman. Musim hujan ini memang membuat aku selalu terlena dalam kenikmatan tidur. Cuaca dingin memaksaku untuk bermalas-malasan menghadap kepada Sang Pencipta.”Asyhadu anlaa ilaaha illalloh…!””Asyhadu anlaa ilaaha illalloh…!”
![]() |
Safinah Mahabbah |
“Asyhadu annaa muhammadar rasululloh ….!”
Seperti biasa, aku bercakap-cakap dengan Zuhriyah melalui SMS sambil menunggu Bibi si penjual kue datang. Karena aku selalu sarapan kue yang setiap pagi berjualan keliling. Asrama Mahasiswa Kubu Raya salah satu tempat persinggahannya.
“Kue Kue “ Dengan alunan suara nan mengayun-ayun itulah yang selalu terdengar ditelingaku tatkala jam sudah menunjukan kira-kira pukul 06.30 menit. Aku masih tetap sms an dengan Zuhriyah. Aku sangat menyayanginya.
“Assalamu’alaikum, Selamat Pagi sayang !” sms ku terhadap Zuhriyah sambil senyum-senyum sendiri.
“Waalaikumsalam, Pagi juga, kuliah nggak hari ini mas ?” sambil makan kue ku baca sms dari wanita pujaanku ini.
“Kuliah, bentar lagi, sekarang lagi makan kue nih. Sayang mau nggak ?” kutambahkan emotion senyum untuk memperindah sms ku kepadanya.
“Owh, nggak kuliah nih, nggak ada dosen, mungkin nanti ke pasar sebentar. Gag mau ah, masih kenyang, karena tadi udah makan indomie. Jadi sekarang ngantuk lagi. Hehe “ ujarnya. Aku bisa menebaknya, makanan mahasiswa kalau tidak tempe tahu, telur goreng, ya mie … hehe
”Ya udah, tidur aja deh, Mas mau berangkat kuliah dulu ya. Jangan lupa sarapan nasi ya. Baik-baik di rumah.” Kataku sambil mengemaskan bukuku yang akan kubawa ke kampus. Aku begitu menyayanginya. Bahkan aku berniat untuk menikahinya jika aku sudah lulus kuliah. Dia lah wanita satu-satu nya yang sangat kucintai. Aku tak ingin berpisah darinya. Aku tahu kalau pacaran itu di larang dalam agama, tapi aku sudah terlanjur cinta. Aku tidak mau kehilangan dirinya, kalau aku memutuskan hubungan pacaran dengan Zuhriyah sampai-sampai cintaku padanya sangat membutakan hatiku untuk berfikir lebih realistis hingga cinta tersebut melebihi cintaku pada Allah Swt. “Akhhhh,,, sungguh keterlaluan diriku ini ….” Pikirku dalam hati sambil mengusap keningku.
Orang tua ku sudah menunjukan kalau mereka merestuiku dengan Zuhriyah. Begitu juga dengan orang tuanya. Kami juga sudah sama-sama saling mencintai. Saat itu tidak ada lagi wanita yang sanggup mengisi ruang hatiku karena ruang tersebut sudah dipenuhi oleh benih-benih cinta milik Zuhriyah. Aku sungguh bahagia. Tetapi aku sering berfikir, aku sekarang sangat mencintainya, belum tentu dia akan menjadi istriku. Sedangkan karena cintaku pada Zuhriyah membuat aku sedikit melupakan Allah dan melanggar ketentuan agama. Zuhriyah juga pernah bilang agar kita tidak pacaran dulu, namun aku selalu menolaknya karena aku takut kehilangan dirinya.
“Ya Allah, berilah hamba-Mu ini petunjuk. Apa yang seharusnya hamba perbuat ? Hamba sangat mencintainya, namun apakah dia jodoh hamba kelak ?” itulah Do’a ku yang selalu ku ucapkan setiap hendak memejamkan mata di malam hari. Aku sadar akan kekeliruanku saat ini. Tapi aku bingung harus berbuat apa.
Tak lama setelah aku pulang kuliah, awan yang sendari tadi mendung, kini berubah dingin. Hujan lebat mengguyur, ditingkahi cahaya kilat nan menyala-nyala yang menerangi langit hitam pekat. Rumput-rumput di depan Asrama Mahasiswa Kubu Raya tampak tidak kuat menahan terpaan angin, seluruh daunnya, batangnya, bergoyang keras bak Ratu Goyang Dangdut Inul Daratista yang sedang bergoyang di atas panggung.
“Tiang listrik! Tiang listrik!,” tiba-tiba Susandi menunjuk-nunjuk ke depan sambil mengaruk-garuk perutnya yang kurus. Matanya menunjukan rasa cemas yang berlebihan. Tampak tiang listrik di depan asrama kami memercikkan api, kabelnya turun, mengendor. Semua menahan nafas, takut akan terjadi kebakaran.
“Harvest nya kebakar nggak ya ?” Tiba-tiba Prasetyo menyeletuk dengan raut muka yang tampak tegang disertai dengan tetesan air mata menyusuri tiap lekuk-lekuk mukanya.
Dengan raut muka yang masam dan tampak marah sehingga tulang pipinya kelihatan. Bang Handri memarahi Prasetyo sambil tangannya yang kurus menunjuk ke muka Prasetyo.
“Husss, sempat-sempatnya kamu ngurusi harvest dalam kondisi kayak gini. Minum Fruit Tea aja sana di dalam kamar” Ujarnya. Mendengar kata-kata bang handri, Prasetyo langsung menunjukan muka yang ciut.
“Ya Allah, selamatkan kami ! Selamatkan kami !” Syahadat mulai terisak, menangis deras, ketakutan teramat sangat seolah mencekik lehernya hingga ia setengah mati menahan lehernya yang tersengal-sengal.
Susandi, Prasetyo, Bang Handri dan Syahadat adalah teman-temanku di asrama yang saat itu berada di asrama. Mereka juga terlihat kecemasan yang amat hingga kedua kelopak mata mereka kelihatan membesar disertai dengan melelehnya cairan dari mata mereka.
Aku terhenyak. Kaget lapis kuadrat plus kebingungan di sela-sela kerumunan orang dipinggir jalan tatkala ku saksikan dari agak kejauhan yang tertabrak cirri-cirinya mirip sekali dengan Zuhriyah.
“Sayang…, kamu baik-baik saja kan? Keringatku bercucuran tatkala wanita yang tergeletak tersebut ternyata Zuhriyah. Air mata menetes di pipiku membasahi seluruh tubuhku, seakan bermandikan air mata. Tak tega nya hati ku melihat wanita yang kucintai tergeletak tak berdaya di pinggir Jalan Ahmad Yani depan Kantor Gubernur Kalbar ini.
“Ssst, cukup, jangan banyak bicara dulu. Kita akan ke rumah sakit,” ujarku memarahi salah seorang pria yang selalu bertanya siapa diriku dan dimana keluarganya. sambil menciumi kepalanya ku bopong dia ke dalam ambulan menuju rumah sakit umum dr. Soedarso Pontianak. Aku sudah lupa bahwa dia bukan muhrimku, tetapi yang ada dalam pikiran ku saat itu hanyalah menolong dan menolong sang pemenuh ruang hatiku.
“Sayang…, sabar yah! Sebentar lagi kita sampai.” Aku terus menggenggam erat tanganya.
“Mas! Jangan sampai kamu meninggalkan shalat ya !, Aku tidak apa-apa koq mas.” Itulah kalimat yang ku dengar dari mulut mungilnya. Suara yang terpatah-patah membuatku mengeluarkan keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Aku menggigil. Perasaanku tak karuan bercampur bangga karena di sela-sela kritis dia masih mengingatkan diriku akan kewajibanku sebagai seorang muslim.
“Iya Sayang insyaallah, tapi Adek jangan tinggalkan mas ya …” Suaraku bergetar bagaikan kesetrum listrik sambil mengusap darah yang menempel di pipi tembemnya.
Dengan mata terlihat sayup-sayup Zuhriyah mengerang kesakitan. “Mas, sakit…. Adek tak kuat lagi …. Maafkan adek mas …” Ungkapnya.
“Sabar ya, kita sudah sampai di Rumah Sakit … Adek pasti sembuh … Sabar sebentar ya sayang …” Aku mencoba menenangkan dirinya. Aku tak tega melihat Zuhriyah dalam keadaan kritis. “Ya Allah, sembuhkanlah kekasihku ini, Jangan ambil dia dariku Ya Allah …”
Sayang, aku mencintaimu. Meski dingin terus menerjang, awan berubah hitam, dan mataku lembab. Aku tetap mencintaimu. Sangat mencintaimu. Aku tak mau kehilangan dirimu sayang.
Tatkala sampai di rumahnya, orang tua Zuhriyah menyambutnya dengan teriakan histeris menyaksikan anak bungsunya sudah menghadap sang Ilahi. Mataku sudah tak bisa terbendung lagi untuk memuntahkan lahar dingin yang tak pernah habis-habisnya. Entah sudah berapa liter lahar dingin yang ditumpahkan oleh kedua mataku ini. Dengan kondisi yang lemah, ibunya memeluk anaknya dengan erat seakan tak rela atas kepergian Zuhriyah yang dianggapnya terlalu cepat.
“Tuhan, kini wanita yang kucintai telah pergi untuk selamanya. Dia telah kembali kepada-Mu. Terimalah dia di sisi-Mu ya Allah …” ujarku di samping makam wanita yang kucintai itu. Pelan-pelan air mata ini kembali membasahi pipiku yang tembem ini. Tulang ini rasanya sudah tak bersum-sum lagi, otot-otot ini serasa tak mempunyai kekuatan untuk menggerakkan seluruh anggota tubuhku. Tak tergambarkan kesedihanku pada saat itu.
“Aku berjanji akan mengingat kata-kata terakhirmu, Insyaallah aku akan menjaga shalatku, terima kasih atas semua nasehatmu kepadaku sayang. Kehadiranmu di sisiku membawa banyak perubahan walaupun karena besarnya cintaku padamu, aku sedikit melupakan Tuhan. Tapi itu salahku, bukan salahmu. Engkau wanita yang solehah.”
Kini aku sadar, cintaku kepadanya selama ini sangat berlebihan melebihi cintaku kepada Allah Swt. Allah sangat menyayangi hambanya. Mungkin dengan Allah mengambil Zuhriyah dan menjauhkannya dariku, bisa membuat diriku semakin mendekatkan diri kepada Allah. Aku memang salah, seharusnya aku tidak terlalu mencintainya sebelum aku menikah dengannya. Aku juga seharusnya tidak berpacaran, karena itu sangat di larang dalam Agama Islam.
“Huh, Menyesal sungguh tak ada gunanya.” Gumamku dalam hati sambil memejamkan kedua bola mataku yang tak henti-hentinya mengucurkan air mata.
Aku bersyukur, dibalik semua ini ternyata ada hikmahnya. Sekarang aku tidak lagi memikirkan cinta dunia, terutama kepada makhluk Allah. Aku kini lebih focus kepada Kuliahku dan Aku juga sudah tidak membuat Tuhan cemburu karena aku sudah tidak lebih mencintai makhluk-Nya daripada mencintai Allah Swt. Mungkin jika ini tidak terjadi, aku akan tetap terbuai dalam cinta dunia, mungkin ruang di hatiku akan sedikit untuk Allah. Sehingga aku selalu terjajah oleh cinta seorang wanita yang bukan muhrim yang pada akhirnya menguasai diriku.
Musibah ini kunamai nahkoda, Zuhriyah kunamai perahu. Aku adalah penumpangnya. Perahu akan turut kemana nahkodanya pergi. Nahkoda akan mengarahkan kemana perahu tersebut pergi. Perahu itu membawa sang penumpang ke sebuah tempat yang dapat membuat sang penumpang lebih dapat mendekatkan diri kepada Allah, walaupun harus mengorbankan dirinya terhempas oleh hentaman ombak di lautan. Perahu itu kunamai “Safinah Mahabbah” (Perahu Cinta). Karena perahu tersebut telah mengorbankan diri serta cintanya untuk keselamatan penumpangnya serta kembali kepada cinta yang hakiki yaitu cinta kepada Allah, Rasul, serta jihad di jalan Allah. Semoga Bermanfaat !
from: http://www.lokerseni.web.id/2013/04/safinah-mahabbah-cerpen-islam.html