- Memilih Teman Yang Baik
Rasulullah bersabda,
“Seseorang itu tergantung agama temannya. Maka hendaknya salah seorang dari kalian melihat siapa temannya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi). - Cinta Karena Allah
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
“Sesungguhnya Allah pada Hari Kiamat berseru, ‘Di mana orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini akan Aku lindungi mereka dalam lindungan-Ku, pada hari yang tidak ada perlindungan, kecuali per-lindungan-Ku.” (HR. Muslim)
Dari Mu’adz bin Jabalzia berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman, “Wajib untuk mendapatkan kecintaan-Ku orang-orang yang saling mencintai karena Aku dan yang saling berkunjung karena Aku dan yang saling berkorban karena Aku.” (HR. Ahmad). - Lemah Lembut dan Bermuka Manis
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
“Jangan sepelekan kebaikan sekecil apapun, meski hanya dengan menjum-pai saudaramu dengan wajah berseri-seri.” (HR. Muslim dan Tirmidzi). Dalam sebuah hadis riwayat Aisyah Radhiallaahu anha disebutkan, bahwasanya “Allah mencintai kelemah-lembutan dalam segala sesuatu.” (HR. al-Bukhari). - Saling Memberi Nasihat
Dalam Islam, prinsip menolong teman adalah bukan berdasar permintaan dan keinginan hawa nafsu teman. Tetapi prinsip menolong teman adalah keinginan untuk menunjukkan dan memberi kebaikan, menjelaskan kebenaran dan tidak menipu serta berbasa-basi dengan mereka dalam urusan agama Allah. Termasuk di dalamnya adalah amar ma’ruf nahi mungkar, meskipun bertentangan dengan keinginan teman. - Berlapang Dada dan Berbaik Sangka Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
“Seorang mukmin itu tidak punya siasat untuk kejahatan dan selalu (berakhlak) mulia, sedang orang yang fajir (tukang maksiat) adalah orang yang bersiasat untuk kejahatan dan buruk akhlaknya.” (HR. HR. Tirmidzi, Al-Albani berkata “hasan”)
Karena itu Nabi Shalallaahu alaihi wasalam mengajarkan agar kita berdo’a dengan:
“Dan lucutilah kedengkian dalam hati- ku.” (HR. Abu Daud, Al-Albani berkata ’shahih’) Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, ,,,
“Jauhilah oleh kalian berburuk sangka, karena buruk sangka adalah pembicaraan yang paling dusta” (HR.Bukhari dan Muslim). - Menjaga Rahasia Anas Radhiallaahu anhu pernah diberi tahu tentang suatu rahasia oleh Nabi Shalallaahu alaihi wasalam. Anas Radhiallaahu anhu berkata, ”
Nabi Shalallaahu alaihi wasalam merahasiakan kepadaku suatu rahasia. Saya tidak menceritakan tentang rahasia itu kepada seorang pun setelah beliau (wafat). Ummu Sulaim pernah menanyakannya, tetapi aku tidak memberitahukannya.” (HR. Al-Bukhari). Allah berfirman, artinya,
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf: 67)
Ya Allah, anugerahilah kami hati yang bisa mencintai teman-teman kami hanya karena mengharap keridhaan-Mu. Amin. (Ibnu Umar)
Monthly Archives: March 2014
Ayat Allah
Dialah (Allah) yang menciptakan segala yang ada di bumi, untuk kemudian dia menuju ke langit, lalu dia menyempurnakannya menjadi 7 langit. Dan dia maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S.al-Baqarah/2:29)
from: Quran dan Hadis 3: T. Ibrahim & H. Darsono
Barang siapa menghidupkan suatu bumi yang mati, maka bumi itu baginya (miliknya). (H.R. at-Tirmizi dari Jabir bin Abdullah No. 1300)
from: Quran Hadis 3: T. Ibrahim & H. Darsono
Hadis Rasul saw “Jihad”
Kaki seorang hamba yang terkena debu karena di jalan Allah tidak akan tersentuh api neraka. (H.R. al-Bukhari dari Abdurrahman no. 2600)
from: Al-Quran dan Hadis 3: T. Ibrahim dan H. Darso
Hadis Rasul
“Celakalah seseorang yang berbicara dusta untuk membuat orang tertawa,celakalah ia,celakalah ia”
(HR.Imam Ahmaf,Abu Dawud & Tirmizi)
Untuk muslim
Kamu Islam ? BACA bentar!!!
Lihat kubur Luangkan waktu hanya 2 menit aja buat bacanya :
Nasihat Kubur:
1). Aku adalah tempat yg paling gelap di antara yg gelap, maka terangilah aku dengan TAHAJUD
2). Aku adalah tempat yang paling sempit, maka luaskanlah aku dengan ber SILATURAHMI.
3). Aku adalah tempat yang paling sepi maka ramaikanlah aku dengan perbanyak baca AL-QUR’AN.
4). Aku adalah tempatnya binatang2 yang menjijikan maka racunilah ia dengan Amal SHODAQOH,
5). Aku yg menjepitmu hingga hancur bilamana tidak Shalat, bebaskan jepitan itu dg SHALAT
6). Aku adalah tempat utk merendammu dg cairan yg sangat amat sakit, bebaskan rendaman itu dg PUASA..
7). Aku adalah tempat Munkar & Nakir bertanya, maka Persiapkanlah jawabanmu dengan Perbanyak mengucapkan Kalimat “LAILAHAILALLAH”…
from: BBM
Wahfuzat
1. Kecintaan seorang teman terlihat pada saat dalam kesempitan
2. Lihatlah apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang mengatakan
from: Akidah Akhlak 3: T. Ibrahim & H. Darso
Cerpen Islam “Menyemai Cinta Dari Palestina”
Sinar bulan purnama turut menemani indahnya malamku yang terasa begitu sunyi. Kulirikkan mata ini pada indahnya maha karya sang penguasa alam. Ingatanku kembali merayap kemasa-masa indahku di Jogja. Bersama sanak saudaraku disana. Namun kini aku sendiri di Jakarta, tempatku mencari ilmu dan sekaligus untuk berdakwah serta menjadi seorang musafir yang ingin mencari sebuah jati diri.
“Assalamu’alaykum.wr.wb. ini Ukhty Riana Anggraini kan?”
![]() |
Menyemai Cinta Dari Palestina |
“Wa’alaykumsalam, warahmatullahh. . , na’am ukh, ana Riana.”
Kemudian ia membalas
“begini ukh, ana ingin ikut jadi relawan palestina, ukhty panitia para akhwatkan?”
“na’am ukh, Alhamdulillah nambah satu mujahidah lagi nih”
“ afwan ukh, masmuki?”
“oh iya, ana Dina Alfath ukh, ana min Jakarta syarqiyyah”
“jazakallahhu khayran katsiir ya ukh atas partisipasinya, ruuhul jihad ukh!. untuk lebih lanjutnya, nanti ana kerumah anty, ini no ana, 0852468664xx, sms alamatnya ya. assalamu’alaykum”
“wa’alaykumsalam”
Memoriku kembali berputar menuju sebuah penindasan penindasan yang pernah kulihat pada saudara saudaraku. Saudara saudariku yang tengah menghadapi para zionis terlaknat dan biadab.
“Negeri para nabi, tempat para rasul
Kini tlah berubah jadi kubur
Yahudi, kau terlaknat!”
Para zionis biadab yang telah membuat anak anak kehilangn sanak saudaranya. Dan kini menjadi yatim dan piatu. Kini ragaku tengah terpatri untuk membantu mereka. Kalaupun aku harus syahid, aku ikhlas. Karena jiwaku benar benar perih melihat pedihnya penderiataan saudara saudaraku di Palestina,
“pokoknya, Palestine will be free” gumamku dalam hati.
*****
Dengan ditemani kesibukanku sebagai seorang dokter dan mengasuh sebuah panti asuhan, waktu seakan begitu cepat. Tiga hari lagi aku akan berangkat ke sebuah negeri yang sangat membutuhkan sebuah bantuan.
Surat cuti selama dua minggu telah ku ajukan pada rumah sakit yang sebenarnya adalah rumah sakit milik Ayahku yang kini diurus oleh Mas Rian, kakak kandungku. Dan kini aku tinggal meminta do’a restu pada kedua orang tuaku.
“Aby, Umy, Insya Allah tiga hari lagi Riana berangkat. Mohon do’anya ya by, my.”
“ iya anakku, insya Allah aby sama umy sudah merestuimu. Semoga Allah menjagamu dan teman-temanmu ya. Jangan lupa shalat dan berdo’alah padanya, semoga langkah kalian semua dipermudah!”
“aamiin, syukran ya by. Assalamu’alaykum warahmatullahh. . ’
“Wa’alaykumsalam warahmatullahh. . . ”
Dari perbincanganku dengan aby dan umy, aku tahu bahwa ada sebuah kekhawatiran disana. Kekhawatiran pada seorang anak “gadis” semata wayangnya.
****
Setelah persiapan selesai, aku berangkat menuju bandara bersama teman-temanku yang semenjak kemarin menginap dirumahku. Dengan menggunakan taksi hampir selama 45 menit, akhirnya kami tiba dibandara.
“afwan kami agak terlambat, jalanan agak macet.” Ucapku.
“tak apa.” Jawab seseorang dengan singkat dan tenang.
Entah mengapa, perasaanku tak karuan mendengar suara itu. Suara yang sepertinya telah lama tidak kudengar.
****
Pesawat kami mengudara tepat pada pukul tiga siang. Sungguh betapa indahnya maha karyaNya yang begitu sempurna. Yang takkan pernah tertandingi oleh siapapun, bahkan oleh seorang professor dan manusia terjenius sekalipun.
Temanku Airin nampak tertidur setelah beberapa lama ia mendengarkan murattal dari mp3 playernya. Hanya aku dan beberapa orang yang saja yang masih tak terbuai dalam sebuah mimpi. Karena kali ini aku sengaja membawa novel favoritku “ Diorama Sepasang Albanna”, yang telah kubaca berulang-ulang kali. Sebuah buku yang kurasa begitu kompleks, dan tak pernah bosan untuk dibaca. Dengannya, kunikmati perjalanan yang tenang dalam dendangan pesawat yang menabrak awan.
****
Setelah beberapa jam, akhirnya pesawat kami mendarat. Para rombongan pun segera menuju sebuah bus yang akan membawa kami menuju posko untuk para relawan. Sesampainya diposko, ritual pun dimulai dengan mandi bergantian. Selepas mandi, kami shalat berjamaah disebuah mesjid dekat posko.
“Subhanallah, indah sekali ya ukh lantunan ayat dari imam tadi.” Ucap Ratih.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk, tanda setuju.
“tapiii, kayanya ana kenal suara itu loh ukh.” Timpal Rena sembari mengingat-ingat.
“aha, ana tau itu suara siapa.” Ucapnya lagi.
“siapa ukh?” Tanya Ratih.
“Akhy Rasyiid!” jawabnya.
“ohhh” sahutku dan Ratih beriringan.
Sehabis shalat, kamipun tertidur dengan lelapnya.
****
Pagi yang cerah nan sejuk dinaungan bumi Palestina. Namun tiba-tiba terdengar ledakan keras dari arah luar mesjid. Kami yang telah menunaikan shalat subuh berjamaah berlarian menuju keluar mesjid.
“Mungkin ini sudah waktunya, bismillahh” gumamku sembari berlari menuju seorang anak kecil yang terkapar ditanah. Aku menggendongnya menuju posko pengobatan. Seorang anak laki-laki yang menggunakan baju koko dan peci. Dari pakaiannya, aku tahu bahwa ia baru selesai shalat bersama kami. Ia menangis dan mencoba menahan rasa sakit akibat terkena ledakan. Kakinya berlumuran darah dan kemungkinan ia. . . akan kehilangan kakinya.
Aku mengobatinya dengan hati-hati, karena aku tahu ia sedang kesakitan.
“Masya Allah, kasihan sekali anak ini.” lirihku.
Kakinya diamputasi setelah dilakukan operasi selama hampir tiga jam. Dan kini, kaki kananya telah hilang tak berbekas.
“Ya Rabbi, kuatkan ia.” Do’aku.
****
Satu jam kemudian, ia siuman dan mulai membuka matanya secara perlahan. Aku segera mendekatinya dan kuberi salam padanya.
“Assalamu’alaykum warahmatullahhi wabarakaatuh.”
“wa’alaykum. . . salllam warahma. . tullahh..i wabarakaatuh” sahutnya dengan terbata-bata.
Untuk beberapa saat, ia terdiam dengan sesekali melihatku.
“maa haazha mustasfha?” tanyanya
“Na’am, haazha mustasfha!” sahutku.
Ia terdiam dan sesekali memperhatikanku yang tepat berdiri disampingnya. Kemudian ia bercerita tentang keluarga, teman-temannya, dan banyak hal. Dengan cepat kami akrab bagaikan sepasang saudara. Darinya, aku tahu bahwa ia telah kehilangan sanak saudaranya. Dari ayah, ibu, kemudian adiknya yang bernama Aisyah. Bahkan hampir saja kuteteskan air mataku dihadapannya. Tapi aku tak tega menangis dihadapannya hingga akhirnya kutahan air mata ini agar tetap terjaga diperaduannya.
Setelah ia selesai bercerita, aku menawarinya untuk makan siang.
“ Anta jai’?” tanyaku dengan tersenyum padanya.
Ia tersenyum dan mengangguk. Akupun menyuapinya hingga akhirnya ia tertidur dalam dekapanku.
#####
Tanpa setahu Riana, ada seseorang yang sedang memperhatikannya dibalik dinding yang cukup transparan. Sesosok manusia itu adalah seorang ikhwan tampan yang bernama Rasyid Fikri. Seseorang yang semenjak di LDk dulu mengagumi sepak terjang Riana. Namun ia tak pernah mempunyai kesempatan untuk mengatakan maksud hatinya pada murabbi Riana. Karena begitu sibuknya ia dalam memimpin LDK sekaligus kuliah dan bekerja. Hingga akhirnya ia diwisuda dan lulus kuliah.
Hari demi haripun berlalu hingga akhirnya tepat satu tahun semenjak ia tak pernah melihat Riana lagi. Ia berjumpa kembali dengan Riana di Rumah sakit, tempat Ibunya dirawat karena penyakit diabetesnya dan Rianalah yang merawat Ibunya. Bahkan Ibunya menyukai sosok dokter muslimah seperti Riana. Yang begitu anggun dengan jilbab besarnya. Ujung-ujungnya, ia kembali meminta Rasyid untuk segera menikah dan mencari isteri seperti Riana.
“Rasyid, Ibumu ini sudah tua dan sakit-sakitan, Bapakmu sudah nda ada, usahamu sudah punya banyak cabang, adikmu sudah hampir lulus kuliahnya. Umurmu juga sudah 28 tahun, sudah waktunya untuk melengkapi separuh agamamu…” jelas ibunya.
Rasyid hanya terdiam dan merenungi apa yang dikatakan Ibunya.
####
Tanpa terasa, sudah tiga hari Riana dan teman-temannya di Palestina. Riana semakin akrab dengan masyarakat disana yang sungguh ramah. Ia membantu mengobati para korban yang terluka, ia mengajak anak-anak bermain, dan mengajari mereka tentang banyak hal. Namun tiba-tiba terdengar ledakan yang semakin lama semakin terdengar mendekat. Dengan sigap, ia membawa anak-anak itu menuju tempat berlindung dengan menggendong dan menggandeng tangan mereka satu persatu. Mereka menangis dan sesekali menyemarakkan kalimah Allah. Namun tanpa sepengetahuan Riana, ada seorang pria berkaos hitam dan bertopeng mengintainya dari kejauhan dengan sesekali berjalan mendekatinya. Dan tiba-tiba. . .
“dorrr!!”
Terdengar bunyi tembakkan dengan keras dari belakang yang beriringan dengan teriakan Airin. .
“ka Riana. . .awas!!”
Riana terjatuh dan seorang anak dalam dekapannya menangis. Tembakkan itu tepat mengenai kaki kanannya yang berusaha berlari menuju tempat untuk melindungi anak-anak yang ketakutan.
Melihat Riana terjatuh, Airin segera meminta pertolongan dari teman-temannya. kemudian datanglah Erna, Nadia, Aisyah dan Rina. Mereka membawanya kesebuah tenda khusus untuk mengobati korban yang terluka. Darah segar terus menetes dari kakinya sedangkan ia tak sadarkan diri untuk beberapa saat. Hingga beberapa jam kemudian, akhirnya Riana siuman. Dengan perlahan-lahan ia buka matanya yang telah beberapa jam tak terbuka.
“afwan ya ukhty kalau ana merepotkan antum” ucapnya pelan.
“gak papa ko ukh, gimana keadaan ukhty?” jawab Nadia dengan lembut.
“Alhamdulillah sudah enakan ko, insya Allah ana sudah gak papa.” Jawab Riana.
“ya sudah, anty istirahat saja dulu. Semoga cepat sembuh ya ukhty.” Do’a teman-temannya.
“aamiin” ucap mereka serentak.
****
Lima hari kemudian, Riana dan relawan lain kembali menuju Indonesia. Setelah beberapa jam menempuh perjalanan, akhirnya mereka tiba dibandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Para keluarga mereka juga telah menunggu kedatangan mereka disana. Dengan sedikit tertatih, Riana menuju kedua orang tuanya yang telah menunggunya. Terlihat gurat-gurat kerinduan dan kekhawatiran disana.
“Masya Allah Na, kakimu kenapa to nduk?” Tanya Ibunya, khawatir.
“Kaki Riana gak kenapa-napa ko umy, Cuma sakit sedikit saja.” Jawabnya dengan tersenyum dan mengajak kedua orang tuanya untuk segera menuju restoran.
Sesampainya direstoran, tanpa sengaja mereka bertemu dengan teman lama Ibunya.
“Hai jeng, ngapain disini?” ucap seorang Ibu-ibu dengan seorang anak kecil disampingnya.
“ini, habis jemput Riana.” Jawab Ibunya, seadanya.
“oh..ini Riana….? Yang seumuran sama anak saya Lisa kan?” Tebak Ibu itu.
“iya.” Sahut Ibu Riana dengan tersenyum.
“loh, suaminya ko gak jemput?” Tanya Ibu itu lebih detail.
“anak saya belum menikah Ci, ini cucumu ya? Putrinya Lisa?”
“belum nikah jeng? Umurnya sudah 26 to? Wah bisa-bisa gak…”
“Bu, makanannya keburu dingin tuh. Ayo dimakan dulu.” Ucap Riana, mencoba mendinginkan suasana.
****
Seminggu setelah kepulangan Riana dari Palestina, budenya datang kerumahnya.
“to the point aja ya Na, sebenarnya bude kesini untuk mengantarkan berkas ta’aruf untukmu.”
“ha? Si…siapa bude?” koment Riana dengan tergagap.
Karena ia hampir tak percaya mendengar ucapan yang baru saja disampaikan padanya.
“Namanya Rasyid Fikri Na, dua hari yang lalu dia meminta tolong pada Pamanmu untuk mencarikannya calon isteri. Setelah Pamanmu bilang bahwa kami memiliki keponakan yang belum menikah dan kami berikan berkas ta’arufmu, dia langsung menyetujuinya Na.” jelas budenya.
“a..apa? Rasyid Fikri?” Tanya Riana, tergagap.
“iya, insya Allah dia adalah lelaki yang baik, sopan, bertanggung jawab, mapan, dan insya Allah sholeh..” jelas Budenya lagi.
“Insya Allah..Riana mau bude.. !” ucapnya, mantap.
****
Riana terkejut melihat siapa yang berada dibalik pintu yang ia buka.
“wa’alaykumsalam warahmatullaahh.. silahkan masuk. Saya panggil Bapak sama Ibu dulu ya Pak, Bu. Silahkan duduk dulu..” pintanya
Riana hanya terdiam dikamarnya dengan sesekali mendengarkan pembicaraan dua keluarga yang sedang merancang masa depannya.
****
Tiga minggu berlalu….
Akhirnya, hari yang telah ditunggu-tunggu telah menjemput Riana yang kini tengah berdebar-debar hatinya. Hatinya gelisah, rasa takut dan bahagia bercampur padu. Hingga tepat pukul 8 pagi, Rasyid dan keluarganya tiba dirumahnya. Acarapun dimulai setelah 15 menit kemudian. .
“saya terima nikah dan kawinnya, Riana Anggraini binti Ahmad Yani dengan maskawin sebuah tasbih mutiara dan seperangkat alat shalat dibayar tunai!!” ucap Rasyid dengan lantang, mantap dan tenang.
“bagaimana para saksi?”Tanya penghulu.
“sah!!” ucap semua saksi.
“barakallahhulakuma wa baraka’alaykuma bikhayr. . .” do’a penghulu yang menikahkan.
Pohon-pohon menjadi saksi bisu pertautan cinta mereka. Sebuah cinta yang telah lama terpendam didasar hati yang teramat dalam. Tak ada satupun orang yang tahu selain mereka dan Allah tentunya. Kini, biarkan mereka menyemai benih-benih cintanya menjadi cinta yang sempurna karenaNya. . .
The End
Cerpen “Safinah Mahabbah”
“Allahu Akbar… Allahu Akbar!”“Allahu Akbar… Allahu Akbar!”Alunan Adzan membahana di seluruh penjuru Kota Pontianak khususnya di Jalan Sepakat II yang memiliki beberapa masjid dan surau. Tidak terkecuali pula Surau Umar milik Asrama Mahasiswa Kabupaten Kubu Raya. Sosok-sosok bernyawa tergeletak tak beraturan di depan Televisi. Sungguh dua pasang mata mereka bak di lem hingga mereka tak mendengar alunan indah dari Khozin yang menyeru untuk menghadap kepada sang Ilahi. Udara pagi terasa menelusuk tulang hingga mendorong tepi mataku untuk menarik semua bagian mata agar terpejam kembali. Gerak tubuhku juga turut menyempurnakan posisi tidurku agar semakin terasa nyaman. Musim hujan ini memang membuat aku selalu terlena dalam kenikmatan tidur. Cuaca dingin memaksaku untuk bermalas-malasan menghadap kepada Sang Pencipta.”Asyhadu anlaa ilaaha illalloh…!””Asyhadu anlaa ilaaha illalloh…!”
![]() |
Safinah Mahabbah |
“Asyhadu annaa muhammadar rasululloh ….!”
Seperti biasa, aku bercakap-cakap dengan Zuhriyah melalui SMS sambil menunggu Bibi si penjual kue datang. Karena aku selalu sarapan kue yang setiap pagi berjualan keliling. Asrama Mahasiswa Kubu Raya salah satu tempat persinggahannya.
“Kue Kue “ Dengan alunan suara nan mengayun-ayun itulah yang selalu terdengar ditelingaku tatkala jam sudah menunjukan kira-kira pukul 06.30 menit. Aku masih tetap sms an dengan Zuhriyah. Aku sangat menyayanginya.
“Assalamu’alaikum, Selamat Pagi sayang !” sms ku terhadap Zuhriyah sambil senyum-senyum sendiri.
“Waalaikumsalam, Pagi juga, kuliah nggak hari ini mas ?” sambil makan kue ku baca sms dari wanita pujaanku ini.
“Kuliah, bentar lagi, sekarang lagi makan kue nih. Sayang mau nggak ?” kutambahkan emotion senyum untuk memperindah sms ku kepadanya.
“Owh, nggak kuliah nih, nggak ada dosen, mungkin nanti ke pasar sebentar. Gag mau ah, masih kenyang, karena tadi udah makan indomie. Jadi sekarang ngantuk lagi. Hehe “ ujarnya. Aku bisa menebaknya, makanan mahasiswa kalau tidak tempe tahu, telur goreng, ya mie … hehe
”Ya udah, tidur aja deh, Mas mau berangkat kuliah dulu ya. Jangan lupa sarapan nasi ya. Baik-baik di rumah.” Kataku sambil mengemaskan bukuku yang akan kubawa ke kampus. Aku begitu menyayanginya. Bahkan aku berniat untuk menikahinya jika aku sudah lulus kuliah. Dia lah wanita satu-satu nya yang sangat kucintai. Aku tak ingin berpisah darinya. Aku tahu kalau pacaran itu di larang dalam agama, tapi aku sudah terlanjur cinta. Aku tidak mau kehilangan dirinya, kalau aku memutuskan hubungan pacaran dengan Zuhriyah sampai-sampai cintaku padanya sangat membutakan hatiku untuk berfikir lebih realistis hingga cinta tersebut melebihi cintaku pada Allah Swt. “Akhhhh,,, sungguh keterlaluan diriku ini ….” Pikirku dalam hati sambil mengusap keningku.
Orang tua ku sudah menunjukan kalau mereka merestuiku dengan Zuhriyah. Begitu juga dengan orang tuanya. Kami juga sudah sama-sama saling mencintai. Saat itu tidak ada lagi wanita yang sanggup mengisi ruang hatiku karena ruang tersebut sudah dipenuhi oleh benih-benih cinta milik Zuhriyah. Aku sungguh bahagia. Tetapi aku sering berfikir, aku sekarang sangat mencintainya, belum tentu dia akan menjadi istriku. Sedangkan karena cintaku pada Zuhriyah membuat aku sedikit melupakan Allah dan melanggar ketentuan agama. Zuhriyah juga pernah bilang agar kita tidak pacaran dulu, namun aku selalu menolaknya karena aku takut kehilangan dirinya.
“Ya Allah, berilah hamba-Mu ini petunjuk. Apa yang seharusnya hamba perbuat ? Hamba sangat mencintainya, namun apakah dia jodoh hamba kelak ?” itulah Do’a ku yang selalu ku ucapkan setiap hendak memejamkan mata di malam hari. Aku sadar akan kekeliruanku saat ini. Tapi aku bingung harus berbuat apa.
Tak lama setelah aku pulang kuliah, awan yang sendari tadi mendung, kini berubah dingin. Hujan lebat mengguyur, ditingkahi cahaya kilat nan menyala-nyala yang menerangi langit hitam pekat. Rumput-rumput di depan Asrama Mahasiswa Kubu Raya tampak tidak kuat menahan terpaan angin, seluruh daunnya, batangnya, bergoyang keras bak Ratu Goyang Dangdut Inul Daratista yang sedang bergoyang di atas panggung.
“Tiang listrik! Tiang listrik!,” tiba-tiba Susandi menunjuk-nunjuk ke depan sambil mengaruk-garuk perutnya yang kurus. Matanya menunjukan rasa cemas yang berlebihan. Tampak tiang listrik di depan asrama kami memercikkan api, kabelnya turun, mengendor. Semua menahan nafas, takut akan terjadi kebakaran.
“Harvest nya kebakar nggak ya ?” Tiba-tiba Prasetyo menyeletuk dengan raut muka yang tampak tegang disertai dengan tetesan air mata menyusuri tiap lekuk-lekuk mukanya.
Dengan raut muka yang masam dan tampak marah sehingga tulang pipinya kelihatan. Bang Handri memarahi Prasetyo sambil tangannya yang kurus menunjuk ke muka Prasetyo.
“Husss, sempat-sempatnya kamu ngurusi harvest dalam kondisi kayak gini. Minum Fruit Tea aja sana di dalam kamar” Ujarnya. Mendengar kata-kata bang handri, Prasetyo langsung menunjukan muka yang ciut.
“Ya Allah, selamatkan kami ! Selamatkan kami !” Syahadat mulai terisak, menangis deras, ketakutan teramat sangat seolah mencekik lehernya hingga ia setengah mati menahan lehernya yang tersengal-sengal.
Susandi, Prasetyo, Bang Handri dan Syahadat adalah teman-temanku di asrama yang saat itu berada di asrama. Mereka juga terlihat kecemasan yang amat hingga kedua kelopak mata mereka kelihatan membesar disertai dengan melelehnya cairan dari mata mereka.
Aku terhenyak. Kaget lapis kuadrat plus kebingungan di sela-sela kerumunan orang dipinggir jalan tatkala ku saksikan dari agak kejauhan yang tertabrak cirri-cirinya mirip sekali dengan Zuhriyah.
“Sayang…, kamu baik-baik saja kan? Keringatku bercucuran tatkala wanita yang tergeletak tersebut ternyata Zuhriyah. Air mata menetes di pipiku membasahi seluruh tubuhku, seakan bermandikan air mata. Tak tega nya hati ku melihat wanita yang kucintai tergeletak tak berdaya di pinggir Jalan Ahmad Yani depan Kantor Gubernur Kalbar ini.
“Ssst, cukup, jangan banyak bicara dulu. Kita akan ke rumah sakit,” ujarku memarahi salah seorang pria yang selalu bertanya siapa diriku dan dimana keluarganya. sambil menciumi kepalanya ku bopong dia ke dalam ambulan menuju rumah sakit umum dr. Soedarso Pontianak. Aku sudah lupa bahwa dia bukan muhrimku, tetapi yang ada dalam pikiran ku saat itu hanyalah menolong dan menolong sang pemenuh ruang hatiku.
“Sayang…, sabar yah! Sebentar lagi kita sampai.” Aku terus menggenggam erat tanganya.
“Mas! Jangan sampai kamu meninggalkan shalat ya !, Aku tidak apa-apa koq mas.” Itulah kalimat yang ku dengar dari mulut mungilnya. Suara yang terpatah-patah membuatku mengeluarkan keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Aku menggigil. Perasaanku tak karuan bercampur bangga karena di sela-sela kritis dia masih mengingatkan diriku akan kewajibanku sebagai seorang muslim.
“Iya Sayang insyaallah, tapi Adek jangan tinggalkan mas ya …” Suaraku bergetar bagaikan kesetrum listrik sambil mengusap darah yang menempel di pipi tembemnya.
Dengan mata terlihat sayup-sayup Zuhriyah mengerang kesakitan. “Mas, sakit…. Adek tak kuat lagi …. Maafkan adek mas …” Ungkapnya.
“Sabar ya, kita sudah sampai di Rumah Sakit … Adek pasti sembuh … Sabar sebentar ya sayang …” Aku mencoba menenangkan dirinya. Aku tak tega melihat Zuhriyah dalam keadaan kritis. “Ya Allah, sembuhkanlah kekasihku ini, Jangan ambil dia dariku Ya Allah …”
Sayang, aku mencintaimu. Meski dingin terus menerjang, awan berubah hitam, dan mataku lembab. Aku tetap mencintaimu. Sangat mencintaimu. Aku tak mau kehilangan dirimu sayang.
Tatkala sampai di rumahnya, orang tua Zuhriyah menyambutnya dengan teriakan histeris menyaksikan anak bungsunya sudah menghadap sang Ilahi. Mataku sudah tak bisa terbendung lagi untuk memuntahkan lahar dingin yang tak pernah habis-habisnya. Entah sudah berapa liter lahar dingin yang ditumpahkan oleh kedua mataku ini. Dengan kondisi yang lemah, ibunya memeluk anaknya dengan erat seakan tak rela atas kepergian Zuhriyah yang dianggapnya terlalu cepat.
“Tuhan, kini wanita yang kucintai telah pergi untuk selamanya. Dia telah kembali kepada-Mu. Terimalah dia di sisi-Mu ya Allah …” ujarku di samping makam wanita yang kucintai itu. Pelan-pelan air mata ini kembali membasahi pipiku yang tembem ini. Tulang ini rasanya sudah tak bersum-sum lagi, otot-otot ini serasa tak mempunyai kekuatan untuk menggerakkan seluruh anggota tubuhku. Tak tergambarkan kesedihanku pada saat itu.
“Aku berjanji akan mengingat kata-kata terakhirmu, Insyaallah aku akan menjaga shalatku, terima kasih atas semua nasehatmu kepadaku sayang. Kehadiranmu di sisiku membawa banyak perubahan walaupun karena besarnya cintaku padamu, aku sedikit melupakan Tuhan. Tapi itu salahku, bukan salahmu. Engkau wanita yang solehah.”
Kini aku sadar, cintaku kepadanya selama ini sangat berlebihan melebihi cintaku kepada Allah Swt. Allah sangat menyayangi hambanya. Mungkin dengan Allah mengambil Zuhriyah dan menjauhkannya dariku, bisa membuat diriku semakin mendekatkan diri kepada Allah. Aku memang salah, seharusnya aku tidak terlalu mencintainya sebelum aku menikah dengannya. Aku juga seharusnya tidak berpacaran, karena itu sangat di larang dalam Agama Islam.
“Huh, Menyesal sungguh tak ada gunanya.” Gumamku dalam hati sambil memejamkan kedua bola mataku yang tak henti-hentinya mengucurkan air mata.
Aku bersyukur, dibalik semua ini ternyata ada hikmahnya. Sekarang aku tidak lagi memikirkan cinta dunia, terutama kepada makhluk Allah. Aku kini lebih focus kepada Kuliahku dan Aku juga sudah tidak membuat Tuhan cemburu karena aku sudah tidak lebih mencintai makhluk-Nya daripada mencintai Allah Swt. Mungkin jika ini tidak terjadi, aku akan tetap terbuai dalam cinta dunia, mungkin ruang di hatiku akan sedikit untuk Allah. Sehingga aku selalu terjajah oleh cinta seorang wanita yang bukan muhrim yang pada akhirnya menguasai diriku.
Musibah ini kunamai nahkoda, Zuhriyah kunamai perahu. Aku adalah penumpangnya. Perahu akan turut kemana nahkodanya pergi. Nahkoda akan mengarahkan kemana perahu tersebut pergi. Perahu itu membawa sang penumpang ke sebuah tempat yang dapat membuat sang penumpang lebih dapat mendekatkan diri kepada Allah, walaupun harus mengorbankan dirinya terhempas oleh hentaman ombak di lautan. Perahu itu kunamai “Safinah Mahabbah” (Perahu Cinta). Karena perahu tersebut telah mengorbankan diri serta cintanya untuk keselamatan penumpangnya serta kembali kepada cinta yang hakiki yaitu cinta kepada Allah, Rasul, serta jihad di jalan Allah. Semoga Bermanfaat !
from: http://www.lokerseni.web.id/2013/04/safinah-mahabbah-cerpen-islam.html
Pantuku
Buah berangan dari Jawa
Kain terjemur disampaian
Jangan diri dapat kecewa
Lihat contoh kiri dan kanan
================================
Di tepi kali saya menyinggah
Menghilang penat menahan jerat
Orang tua jangan disanggah
Agar selamat dunia akhirat
================================
Tumbuh merata pohon tebu
Pergi ke pasar membeli daging
Banyak harta miskin ilmu
Bagai rumah tidak berdinding
================================
Di tepi kali saya menyinggah
Menghilang penat menahan jerat
Orang tua jangan disanggah
Agar selamat dunia akhirat
================================
Jalan kelam disangka terang
Hati kelam disangka suci
Akal pendek banyak dipandang
Janganlah hati kita dikunci