Cerpen Ketika Sahabatku Menjadi Musuhku

Ketika Sahabatku Menjadi Musuhku
 
            Saat libur sekolah, aku pergi berlibur ke luar kota. Saat itu, umurku masih 13 tahun atau lebih tepatnya kelas 8 SMP. Dan kisahku berawal dari sini.

 

            “Internetan dulu..” ucapku. Tiba-tiba ponselku berdering. Aku pun bergegas mengambil ponselku yang ada di dalam kamar. Setelah ku buka, ternyata sms dari operator yang tidak ada kerjaan. Aku pun kembali duduk di depan laptop.
            Tak lama kemudian, ponselku berdering lagi. Ku ambil ponsel itu tanpa tergesa-gesa. Dan setelah ku buka, “Dimas? Ngapain dia sms aku” ucapku dalam hati. Semenjak itulah, Dimas selalu mengirimkan sms padaku. Hari-hari pun berlalu. Sudah lama aku mengenalnya, dan rasa itu timbul dengan sendirinya.
            Libur sekolah sudah hampir usai, aku pun pulang ke kota asalku. Sehari setelah aku sampai di rumah, tepatnya tanggal 27 Desember 2011 Dimasmemintaku untuk menjadi pacarnya. Hatiku senang bercampur bimbang, karena mengingat Dimas adalah mantan pacar salah satu sahabatku. Aku merasa tidak nyaman pada Ila (mantan pacar Dimas), tapi dilain sisi aku menyayangi Dimas. Aku sepakat untuk tidak memberitahu Ila.
            Beberapa jam kemudian, sahabat-sahabatku datang ke rumah. Termasuk Ila. Karena aku tidak bisa menyembunyikan perasaanku pada sahabt-sahabatku, akhirnya aku menceritakan semuanya. Kulihat, Ila baik-baik saja. Ekspresi wajahnya pun tidak sedih atau pun marah. Aku pun merasa lega dengan semua itu.
            Tapi ternyata, Ila sangat-sangat marah. Ia menyindirku di setiap status facebook maupun twitter. Aku merasa bersalah pada Ila, dan akhirnya aku memutuskan untuk putus dengan Dimas pada hari itu juga.
            Sehari setelah kejadian itu, malam harinya Dimas datang ke rumahku. Aku tak tau apa maksud kedatangannya. Tak lama kami berbincang-bincang, Dimas datang menghamipiriku dan memberikan sebatang coklat untukku. Saat itu, hatiku berdegub dengan kencangnya. Aku tak bisa berbicara satu patah kata pun. Dimas mengajakku balikan dengannya. Dan bodohnya aku, aku menerimanya kembali. Padahal aku tau, sahabatku masih mempunyai rasa suka pada Dimas.
            Selang beberapa hari aku memberitahukan kejadian itu pada Ila. Ila menjawab sms ku dengan singkatnya. “Sepertinya Ila marah padaku” ucapku dalam hati.
Tahun baru pun aku lewati bersama Dimas. Meski ia tak datang ke rumah, tetapi ia menyempatkan untuk menelponku. Sunngguh tahun baru yang menyenangkan bagiku meski hatiku sedikit resah karena Ila.
            Satu minggu lebih aku sudah berpacaran dengan Dimas, dan satu minggu lebih pun aku disindir oleh Ila. Semakin lama, sindiran Ila membuatku tak tahan. Akhirnya aku memutuskan Dimas meski aku tak rela. Demi sahabatku, akan ku lakukan apapun.
            Hari masuk sekolah pun datang, keadaanku dan Ila sudah kembali baik seperti dulu. Meski tak lagi bercanda bersama lagi, tapi aku tetap menganggapnya sahabatku.
            Beberapa bulan kemudian, aku digosipkan berpacaran dengan Arya. Memang aku dekat dengan Arya, tapi aku tak pernah sekali pun berpacaran dengannya. Ternyata, Ila cemburu padaku. Ia marah lagi padaku karena telah merebut lelaki yang ia sukai. Aku sudah berusaha menjelaskan semuanya pada Ila, tapi ia tak pernah percaya padaku.
            Ila semakin membenciku karena aku dituduh menjiplak gaya berfotonya. Tapi untung saja, masih banyak teman-teman yang mau mendukungku. Apa yang aku lakukan, sepertinya selalu salah di mata Ila. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk mengirim sms pada Ila. Aku berusaha meminta maaf pada Ila. Dan akhirnya Ila pun memaafkanku meski ia sudah tak menganggapku sebagai sahabatnya lagi.
            “Kamu sudah mau memaafkanku saja, aku sudah senang” ucapku dalam hati.
Seiring berjalannya waktu, kini aku sudah menginjak ke kelas 9 SMP. Meski semuanya sudah berlalu, Ila masih saja tak menyapaku. Aku sungguh-sungguh merasa bersalah pada Ila.
Aku bertemu Ila di twitter. Aku pun mencoba akrab kembali padanya. Respon Ila pun baik padaku. Sampai sekarang, keadaanku dan Ila baik-baik saja, meski tak akrab seperti dulu. Tapi itu sudah cukup membuatku senang.
(Tamat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *