Semua artikel oleh 112298

Cerita Gadis Berjilbab Pilihan

Gadis Berjilbab Pilihan
Cantik nian akhlak gadis berjilbab, mengajar anak di gubuk yang tua
Daerah gubuk tempat si miskin, baca dan tulis huruf Al-Qur’an
Berbagi kasih pada putra harapan…
Diterik mentari si gadis cantik berbagi kasih
Kerja tanpa pamrih dengan hati bersih
Dan ikhlaas hati…

Sepenggal lagu lawas dari grup musik qosidah Nasidaria, mengingatkanku pada sahabat karibku. Jilbab yang pernah diberikannya, masih aku simpan dengan baik, dan sering aku kenakan. Lama aku tak berjumpa dengannya. Aku rindu akan kebersamaan dengannya, canda tawa yang menghiasi kebersamaan kami, susah senang kami hadapi dengan hati yang lapang. Tapi, kini ia telah pergi jauh. Aku sangat merindukannya. ’Obi, dimana persahabatan kita yang dulu?’ tanyaku dalam hati.

Aku beranjak dari tempat tidurku, dan berdiri mendekati almari bajuku. Aku mengambil jilbab yang pernah Obi berikan padaku. Aku dekap dalam pelukanku, sebagaimana aku melepaskan rinduku pada Obi. “Obi, kau adalah sahabatku yang terbaik. Apa yang kau berikan padaku begitu berharga. Aku tak sanggup untuk menandingi kebaikanmu. Pulanglah Obi, aku menunggumu” kata Nayla, yang masih mendekap jilbab itu dalam pelukannya. Kenangan Nayla dengan Obi beberapa tahun lalupun hinggap dalam pikirannya. Nayla masih ingat saat Obi memberikan jilbab itu.

***

Usai pulang sekolah aku berpisah dengan Obi di perempatan jalan. Sebenarnya, namanya, bukan Obi. Melainkan Riana Febrina. Aku lebih senang memanggilnya dengan sebutan Obi. Dia sendiri juga tidak keberatan. “Nay, aku ke rumah bu Ana dulu ya..” kata Obi sebelum kami berpisah. “Bi, kenapa kamu tidak pulang dulu? Kamu kan capek, baru pulang sekolah.” Kataku pada Obi. “Nay, anak-anak TPA di tempatnya bu Ana sudah menunggu. Aku kemarin sudah dapat uang dari bu Ana. Aku memintanya terlebih dahulu untuk membayar buku.” Obi menjelaskan. “Baiklah, kamu hati-hati ya..!” kata Nayla. “Iya Nay, makasih ya, makan siangnya tadi. Aku jadi ngerepotin kamu.” Kata Obi. “Sudahlah Bi, kan kamu juga yang sering bantu aku belajar. Les privat, gratis lagi.” kata Nayla dengan senyum manjanya, hingga lesung pipinya semakin dalam laksana pusaran air.

Di perempatan itulah, aku sering berpisah dengan Obi. Aku langsung pulang, tapi Obi terus melangkahkan kakinya untuk menunaikan tugas mulia. Ia ikut mengajar anak-anak mengaji di rumah bu Ana. Beliau adalah salah satu guru di SMK kami. Dan beliau juga yang menawari Obi untuk mengajar anak-anak mengaji, beserta guru mengaji yang lain.

Kali ini, aku ikut dengan Obi ke rumah bu Ana. Aku ingin melihat seperti apa cara Obi mengajar anak-anak. Aku sering mendengar komentar bahwa cara Obi mengajar sangatlah menyenangkan. Terkadang, saat aku pergi ke perpustakaan umum daerah, aku sering melihat murid Obi yang begitu akrab dengannya. Mereka sangat senang dengan Obi. Aku sengaja ikut dengan Obi, karena aku ingin mengamati kegiatan Obi. Aku merekomendasikan ia sebagai murid teladan. Aku pernah membaca dari sebuah majah islam. Aku ingin menuliskan kegiatan Obi, yang nantinya akan aku kirimkan ke majalah itu. Tapi, aku tidak mengatakannya kepada Obi. Meskipun ia tadi sempat curiga, karena tidak seperti biasanya. Aku begitu ngotot untuk ikut. Wajahku masih kusam dengan paikaian seragam lengkap. Begitu juga dengan Obi.Tapi, bekas air wudhu sholat dzuhur masuh terasa segar di wajah kami.

“Sekarang, kita nyanyi dulu ya, sebelum pulang. Satu, dua, tiga” Obi memandu anak-anak menyanyi. Kamudian anak-anak secara serentak mulai menyanyi. “Tuhanku hanya satu. Tiada bersekutu. Dia tidak berputra, tidak pula berbapa. Siapa bilang tiga, hai… Itu musyrik namanya. Orang seperti dia nerakalah tempatnya. (lagu balonku ada lima)” anak-anak menyanyi dengan antusias. Aku hanya tersenyum mendengar nyanyian itu. Karena, aku tahu persis lagu itu. Itu lagu yang pernah aku dan Obi dapatkan saat diklat di kantor desa. Saat itu ada mahasiswa dari IAIN sunan ampel Surabaya yang sedang melaksanakan KKN di desa kami. Kemudian mereka mengadakan diklat, memberikan pengajaran tentang pendidikan agama, pelajaran mengenai tajwid, nyanyian, qiroah, dan lain-lain.

“Nay, kamu melamun apa?” suara Obi memgagetkanku, dan menyadarkanku dari lamunan. “Aa,” aku tergagap dan kaget, karena Obi ada di sampingku. “Kamu kenapa Nay?” tanya obi tersenyum melihat mukaku yang aneh. “Aku ingat dulu Bi, saat kita diklat di desa. Waktu ada KKN dari IAIN sunan ampel Surabaya. Lagu itu mengingatkanku Bi.” kataku menjelaskannya pada Obi. Obipun tersenyum mendengar ceritaku. “Oleh karena itu, apa yang sudah kita dapatkan saat diklat itu aku amalkan Nay. Apa yang sudah diajarkan oleh kakak-kakak mahasiswa dari IAIN sunan ampel Surabaya sangat bermanfaat.” kata Obi. “Iya ya Bi,” jawabku dengan menganggukkan kepala.

“Kamu ingatkan, dulu kamu susah belajar tajwid. Masih ingat lagu potong bebek angsa kan?” Obi tersenyum menggoda, dia ingin mengetes ingatanku. “Ok..” jawabku dengan tersenyum. “Macam-macam idghom itu ada dua. Idghom bilagunnah dan idghom bigunnah. Idghom bugunnah ya’ nun mim wawu. Idghom bilagunnah lam ra’ hurufnya. Idghom bigunnah ya’ nun mim wawu. Idghom bilagunnah lam ra’ hurufnya…” aku dan Obi tersenyum bersama, usai menyanyikan lagu itu bersama-sama.

***

“Obi, Obi…” Aku berlari usai memarkir sepeda di depan pagar rumah bu Ana. Obipun tergejut denganku yang berlari terengah-engah dengan majalah di tangan kananku. “Obi, hah..hah..hh..” aku berusaha menarik nafas dalam-dalam, nafasku masih tersengal-sengal juga. Tapi, aku harus menyampaikan kabar gembira ini. “Kamu menang lomba di majalah Bi..!” kataku sangat gembira, aku langsung memeluk Obi. “Nay, aku menang apa? Aku tidak pernah ikut acara di majalah Nay..” Obi sangat kebingungan, ia tidak mengerti dengan sikapku.

“Aku menulis artikel tentang kamu Nay, aku merekomendasikan kamu sebagai murid teladan. Semua kegiatanmu mulai dari memimpin organisasi osis di sekolah, mengajar mengaji, dan membantu teman-teman belajar. Pokoknya aku ceritakan semua Bi. Dan kamu menang Bi. Kamu dapat juara pertama.” Aku sangat antusias menceritakannya. “Apa itu benar Nay?” Obi masih tidak percaya. “Benar Bi, kamu jadi gadis berjilbab pilihan. Kamu baca saja di majalah ini. Kemudian, Obi membacanya. Raut wajah Obi sangat terkejut, ada perasaan senang yang merona di wajahnya. Iapun langsung memelukmu. “Makasih Nay..” kata Obi sambil memelukku.

***

“Nay, ini untuk kamu.” Obi memberikan sesuatu yang dibalut kertas berwarna coklat. “Obi, inikan hadiah dari majalah itu. Kenapa kamu berikan padaku?” tanyaku. “Nay, aku ingin kamu memakainya.” Obi memberikan bungkusan itu padaku. “Ini apa Bi?” tanyaku. “Bukalah..!” pinta Obi. “Jilbab?” kataku saat mengetahui isi dari hadiah itu. “Iya, aku ingin kamu memakainya Nay. Tapi, aku ingin juga, niat itu benar-benar ada dalam hatimu Nay. Aku tidak ingin kamu memakainya karena aku sahabatmu. Karena kamu tidak enak menolaknya. Aku ingin niat itu datang dari hatimu Nay. “Obi menjelaskannya padaku. Aku hanya terdiam, merenung. Sesekali melihat raut wajah Obi, dan melihat jilbab yang sekarang ada di gengamanku. Aku berusaha menata hati, untuk menata niat yang tulus.

Dengan sigap aku memakainya. Sebuah jilbab berwarna salem. Aku sangat menyukainya. “Sepertinya, gadis berjilbab pilihan itu adalah kamu Nay. Kamu menjadi orang pilihan karena, kamu adalah gadis yang Allah pilih agar berjilbab. “Kata Obi sangat menyentuh hatiku. Aku lantas memeluknya.

***

“Nay, lagunya jangan keras-keras..!” teriak ibuku dari luar kamarku. Aku langsung terbangun dari lamunanku. “Iya bu..” Jawabku. Aku sudah melamun lama tentang Obi dan aku dulu. “Bi, lagu dari Nasidaria ini mengingatkanku padamu. Obi, aku sangat rindu denganmu. Semoga kuliahmu di semarang berjalan dengan lancar. “Kataku yang ingat dengan Obi, sahabat karibku.

Selesai

Cerpen Karangan: Choirul Imroatin

Cerita Kesederhanaan Sebuah Cita-Cita

Sore yang indah, ditemani oleh bunyi ombak dan semilir angin yang kian beriringan dengan suara daun kelapa yang tak mau berhenti untuk melambai. Suasana tenang disini setidaknya dapat mengurangi rasa penatku. Kudengar decitan kursi roda yang makin lama kian mendakatiku. Kulihat sosok yang memang akhir-akhir ini sering bersamaku di tempat ini. Aku sangat bingung jika melihat ekspresi wajahnya terkadang dia terlihat sangat tenang dan terkadang dia terlihat datar.

“Apa hari ini kau baik-baik saja?” tanyaku padanya karena memang dia adalah sosok yang sangat sulit ditebak, bukannya jawaban yang kudapat tapi hanya senyum kecil yang mengembang di bibirnya. Aku semakin bingung dengan semua tingkahnya, sangat aneh bagiku karena memang dia sosok yang pendiam tak banyak kata yang dia lontarkan untukku.

“Disini sangat tenang, aku menyukainya” ucapku menceracau sendiri, inilah kebiasaanku setiap bertemu dengannya meskipun tak ada satupun respon darinya tapi aku tahu bahwa dia mendengarkanku dan mengerti apa yang ku mau.

“Hari ini sama seperti hari-hariku sebelumnya, tak ada yang istimewa ataupun terkesan semuanya sama dan kau tau bukan hariku selalu berakhir disini bersama senja, berakhir dengan gambar-gambar yang hanya bisa menemani sesaat” ucapku padanya, dia menoleh dan tersenyum padaku.

“Mengapa kau selalu berkata bahwa hari ini selalu sama seperti hari kemarin?” ujarnya lembut tapi terkesan sangat dingin.

“ya, karena menurutku semuanya sama, tak ada apapun yang berkesan” jawabku tanpa menatapnya.
“Itu semua karena ulahmu sendiri yang tak pernah mau tau kan indahnya kehidupan” Ujarnya seraya menatapku. Entah angin dari mana yang telah membawanya untuk bercakap denganku, biasanya hanya aku yang berbicara sendiri.

“Aku?” tanyaku seraya membenarkan posisi dudukku untuk menghadapnya. Jujur aku paling tak suka disalahkan atas kekejaman dunia karena menurutku tak ada yang salah pada diriku hanya saja dunia ini yang terlalu kejam untuk kupijaki.

“ya, dirimu sendiri” ucapnya menatapku, aku mendongakkan kepalaku dan mengernyitkan dahi atas pernyataannya.

“Apa yang salah denganku? Aku hanya ingin hidup bahagia di dunia yang kejam ini tapi nyatanya semua sama saja kan? Tak ada yang indah” ucapku sedikit emosi karena bisa-bisanya dia menyalahkanku.

“Gracia, sekarang coba kamu fikir apa yang telah kamu perbuat atas kehidupan kamu? Apa kamu merasa bahagia dengan itu semua?” tanyanya lagi dan semakin manatapku intens. Sepertinya dia benar-benar lelah mendengarkan ucapan yang sama selalu terlontar dari bibirku.

“ya, karena menurutku itu yang terbaik Rey” suaraku sedikit meninggi kali ini karena memang telingaku semakin panas karena perkataannya.
“Berarti, kau belum mengenali dirimu sendiri” ujarnya santai seraya melempar pandang pada laut lepas yang meyajikan pertunjukan yang sangat sayang untuk dilewatkan.

“Mengenali diri sendiri? Bukankah kita hidup untuk mnegenali orang lain?” tanyaku semakin menjadi.

“Seharusnya..” dia menghela nafas sebelum melanjutkan perkataannya,
“Seharusnya apa?” ucapku penasaran dengan apa yang akan dikatakannya
“Seharusnya, sebelum kau ingin tahu siapa orang lain, kau harus bisa mengenali siapa dirimu? Sehingga kau dengan mudah menyesuaikan dengan siapa kau harus tahu? Apa yang bisa membuatmu bahagia? Keinginan apa yang benar-benar ingin kamu miliki?” ucapnya dengan tatapan datar dan tetap lurus menghadap ombak. “Apa kau memiliki cita-cita?” tanyanya kemudian.

“Ada, bukankah kita hidup untuk mencapai cita-cita? Dan itu yang bisa buat kita bangga bukan?” tanyaku penuh selidik.

“Apa yang kau ketahui tentang cita-cita?” tanyanya lagi. Entah, sekarang aku tak merasa emosi ketika dia berbicara jika difikir benar juga, dunia akan kejam jika kita tak pandai menyesuaikannya.

“Cita-cita? Itu sebuah harapan yang menujukan dirinya untuk menjadi seseorang yang dia ingini” jawabku menatapnya. “Seperti?” tanyanya lagi
“Seperti menjadi guru, dokter, author, fotographer, ya pokoknya yang berhubungan dengan profesi” ujarku santai.

“Kurang tepat” ucapnya seraya melempar pandangan dan senyum kepadaku.

“Salah lagi? Kenapa ucapanku tak ada satupun yang benar di telingamu” ucapku sebal.

“aku kan tidak mengatakan bahwa kau salah, tapi aku berkata kau kurang tepat Gracia” ujarnya seraya mencubit pipiku dengan gemas.

“Sama saja Rey” ujarku. “Ikut aku” ucapnya mengajakku untuk ke suatu tempat.

“Nanti saja aku masih ingin mengabadikan senja disini” ucapku dengan nada memohon.

“Tidak, sudah cukup kau mengabadikannya sejak minggu kemarin, apa kau tak kasian melihat kameramu yang jengah karena kau selalu menyuruhnya untuk mnegabadikan senja” ujarnya seraya menarik pergelangan tanganku untuk mendorong kursi rodanya.

“ok” ucapku pasrah. Entah akan dibawanya kemana diriku ini, aku hanya mengikuti instruksinya saat berjalan, memang selama perjalanan tak ada obralan penting hanya saja cuap-cuap yang menunjukkan jalan untuk ke tempat yang akan dia tunjukkan padaku.

“Sampai” ujarnya. Rumah yang tak terlalu mewah tapi berukuran cukup besar yang telah ada di hadapanku sekarang. Jujur, aku sangat bingung banyak sekali orang yang menghuni tempat ini. Tapi disini ada yang berbeda, Ya.. hampir semua orang yang tinggal disini adalah mereka-mereka yang tidak seberuntung diriku.

“Mereka siapa mengapa banyak sekali yang menghuni tempat ini?” Tanyaku seraya menjajari posisinya yang tengah ada di kursi roda miliknya.

“ayo, akan kutunjukkan kau betapa banyak cita-cita yang ada disini bukan hanya sekedar profesi belaka” ucapnya seraya menjalankan kursi rodanya. Aku segera bangkit dan menyusulnya, tak jarang dia disapa oleh penghuni disini. Sungguh, aku tak kuasa berada di tempat ini. Hidup dengan banyak kekurangan tapi mereka masih bisa bertahan hanya itu yang sedari tadi mengelilingi otakku.

Di sepanjang perjalananku mengelilingi rumah ini, Rey banyak bercerita tentang Rista yang tunanetra tapi dia berusaha untuk mengahafal semua yang pernah dia lewati. Arga yang lumpuh tapi, sepertinya dia tak ingin hanya berdiam diri sehingga dia belajar untuk berjalan agar dia kembali normal dan banyak hal-hal yang meurutku sepele tapi menjadi cita-cita banyak orang disini.

“Aku tinggal dulu ya? Kau boleh melihat-lihat sekitar sini, bertemanlah bersama mereka, kau akan tahu nanti siapa dirimu” ujarnya sebelum benar-benar pergi.

Setelah lama merasa bosan duduk termenung sendiri tanpa teman, aku memutuskan untuk melihat-lihat aktivitas mereka, mulai dari bermain, bercanda bahkan menyalurkan hobi. Meskipun mereka banyak kekurangan tapi mereka tak pernah lelah untuk berusaha. Hingga akhirnya pandanganku menangkap sosok gadis kecil dengan kanvas dan kuas di hadapannya. Perlahan aku mendekatinya dan ingin tahu lebih jauh siapa sosok gadis kecil misterius ini.

“Hai, boleh kaka duduk disini” tanyaku sembari menunjuk bangku kosong di sebelahnya. dia hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
“Lagi apa?” tanyaku lagi untuk mencoba akrab dengannya.

“Lagi ngelukis kak” ucanya lembut. “Nama kamu siapa?” tanyaku lagi, karena memang entah kenapa aku ingin mengenalinya lebih jauh. “Rere” jawabnya singkat tapi cukup untukku. “Rere lagi ngelukis apa?” tanyaku lebih banyak.

“Cita-cita Rere” dahiku semakin mngernyit saat menatap kanvas yang ada di hadapannya. Karena disana hanya ada torehan sebuah gambar taman dengan anak-anak kecil yang bermain tapi, mengapa itu bisa menjadi cita-citanya? Aneh, cuma itu sekarang yang aku tahu tentang dia.

“Cita-cita? Boleh kakak tahu kenapa Rere punya cita-cita itu? Itu sangat sederhana sayang, kita tinggal pergi ke taman dan bermain-main dengan mereka” ucapku menjelaskan. Dia menatapku sambil tersenyum.

“Bagi orang normal seperti kaka itu memang biasa, tapi bagiku itu hal yag sangat membahagiakan, berlari sepuas mereka, bermain semau mereka, sebenarnya bahagia itu sederhana yang penting kita bisa melakukan hal yang kita suka dengan sendirinya kita akan merasa bahagia atas itu semua” diam, hanya itu yang dapat kulakukan sekarang bagaimana bisa gadis sekecil dia bisa mengerti kehidupan sedangkan aku hanya bisa menyalahkan dunia.

“kamu bisa kok seperti mereka, toh kamu baik-baik saja kan?” tanyaku selanjutnya

“Aku menderita leukimia kak, terkadang jika aku merasa sedikit lelah kaki dan tanganku tiba-tiba akan lumpuh meskipun hanya sementara tapi, itu bisa jadi untuk selmanya aku tak akan bisa melakukan hal-hal yang bisa kulakukan sekarang” ujarnya lagi.

Seketika aku diam dan tak berani mengatakan apapun. Gadis kecil seperti dia harus menanggung beban hidup yang cukup berat? tapi, mengapa dia mampu bertahan? Sedangkan aku? Normal, tapi tak mampu menahan semua beban hidup. Cita-citanya sangat sederhana akan tetapi karena cita-citanya itulah yang membuat mereka mampu bertahan hingga saat ini. Dan baru kali ini aku sadar bahwa cita-cita bukan hanyalah sekedar profesi belaka yang ingin dijalani kelak, tapi bisa jadi cita-cita adalah sebuah harapan tentang kehidupan atau kegiatan yang ingin kita lakukan untuk kemudian hari. Tak seharusnya aku menyamakan hari ini dengan hari kemarin karena yang seharusnya aku lakukan adalah menjadikan hari kemarin sebagai pembelajaran, menjalani hari ini, dan berfikir untuk menjalani hari esok agar semua cita-cita dapat dicapai sesuai dengan keinginan.

Cerpen Karangan: Diana Margareta

Cerita Pengabdianku

Aku adalah seorang guru. Keseharianku mengajar di sekolah-sekolah, salah satunya SMP Dirgantara, Jakarta. Untuk menjadi guru memang sulit. Namun itu tidak mematahkan semangatku untuk mengajar anak bangsa. Membuat mereka pintar dan bisa memimpin bangsa merupakan salah satu tujuan dan impianku. Menurutku bangsa Indonesia masih perlu beberapa pembenahan untuk warganya. Sekarang waktuku untuk membuat anak bangsa lebih berkualitas lagi.

Suatu hari aku mengajar seperti biasa. Tiba-tiba bapak Kepala Sekolah mengumpulkan semua dewan guru untuk rapat. Sambil menyusuri jalan setapak menuju ruang rapat, aku berpikir apa yang akan dirapatkan pada siang ini. Ku taburkan senyum kepada beberapa dewan guru yang sudah siap di meja masing-masing. Tak lama bapak kepala sekolah pun datang.
“Selamat siang dewan guru. Hari ini kita akan membahas berita yang mendadak”, ucap bapak Kepala Sekolah dengan sedikit keraguan.
“Apa itu berhubungan dengan sekolah kita, pak?”, balasku dengan perkataan yang berhati-hati.
“Tidak, Bu Marni. Tapi ini tentang sebuah tawaran kepada dewan guru disini. Jadi… ada sebuah daerah yang membutuhkan guru. Dan daerah itu sangat terpencil yaitu di perbatasan Kalimantan. Orangnya juga masih kurang pengetahuan. Saya rasa pemerintah ingin mereka berpengetahuan sama seperti masyarakat yang lain. Maka dari itu pemerintah memilih sekolah ini untuk mengirim salah satu gurunya ke daerah itu.”
“Maaf, pak. Bukannya saya mau protes, Tapi kenapa harus SMP Dirgahayu ini?. Kan sekolah kita sekolah yang berkualitas unggul.”, protes Pak Buty.
“Oleh karena itulah, pemerintah memilih sekolah ini.”, jawab bapak Kepala Sekolah.

Setelah beberapa lama berunding masih tidak ada jawaban. Akhirnya bapak Kepala Sekolah mengakhiri rapat hari itu dan akan melanjutkannya pulang sekolah nanti. Lagi-lagi di perjalanan menuju kelas aku berpikir, apakah aku orang itu?. Sesampainya di depan kelas aku mencoba memikirkan hal itu nanti. Tapi pikiran itu masih ada di benakku.

Saat pelajaran berlangsung, aku sengaja untuk memberi soal saja kepada murid-murid ku. Karena aku masih belum bisa melupakan hal itu. Keputusan diambil usai pulang sekolah dan itu 1 jam lagi. Tak boleh diriku ceroboh dalam mengambil keputusan. Tiba-tiba bel pulang sekolah berbunyi dan dewan guru melanjutkan rapat yang terhenti tadinya. Semua duduk pada posisi semula pada awal rapat. “Jadi… bagaimana dewan guru ada yang berminat?. Kalau tidak saya yang akan pilih salah satu.”, ucap bapak Kepala Sekolah dengan santai. Aku sadar apa tujuanku menjadi seorang guru. Seketika aku mengangkat tangan dan berkata,
“Saya bersedia dikirim ke daerah itu, pak.”.
“Bagus!. Tepat seperti pilihan saya. Jadwal keberangkatan 2 hari lagi bu.”. kata bapak Kepala Sekolah dengan perasaan gembira.
“Inilah saatnya aku lebih berusaha untuk bangsa ini”, Ulasan dalam hati ku. Setelah itu beberapa dewan guru menjabat tangan saya dan berkata semoga lancar, begitu juga bapak kepala sekolah. Mungkin beberapa orang berpikir aku bersedia karena gaji yang diberikan, tapi ini semua aku lakukan semata-mata untuk sebuah tujuan. Kepala Sekolah memintaku untuk benar-benar siap untuk mengajar disana. Dan aku yakin bahwa aku sudah siap.

2 hari berikutnya pun tiba. Waktuku untuk berkemas dan bersiap-siap meluncur ke Kalimantan. Dimana disanalah aku mengabdikan diriku sebagai seorang guru yang sesungguhnya aku inginkan. Setiap langkahku berdoa semoga perjalanan ini tidak sia-sia. Dengan banyak tekad dan niat aku mulai memasuki kawasan pantai untuk menuju daerah itu. aku benar-benar berpikir daerah itu sangat terpencil. Sesampainya disana, aku melihat anak-anak yang sedang bermain permainan tradisional dan para orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Berbeda sekali, tidak seperti suasana di kota Jakarta.

Tiba-tiba kepala desa menghampiriku dan mengajakku berkeliling sebentar. Banyak yang beliau ceritakan kepada ku, termasuk kondisi perekonomian di daerah itu. Setibanya di gubuk yang kecil, kepala desa berkata, “Disinilah bu guru bisa mengajar anak-anak.”.
“Baiklah, pak. Apakah hari ini bisa dimulai?”
“Boleh, saya akan panggilkan anak-anak.”

Dengan cepat dan tergesa-gesa aku menata meja lipat dan buku yang aku bawa dari Jakarta. Tak lupa aku memasang papan tulis yang tidak begitu besar dan menyiapkan barang-barang lainnya. Tidak sampai 5 menit, anak-anak itu pun datang. Mereka datang dengan semangat dan tekad yang sudah terlihat. Mereka juga saling berebut tempat duduk yang terdepan. Setelah semua sudah teratur, aku membagikan peralatan tulis yang akan mereka pakai. Saat pengajaranku mulai, mata mereka tidak luput dari papan tulis yang tidak begitu besar itu.

Aku berharap mereka adalah penerus bangsa yang tepat. Tekad dan semangatnya tak berbeda dengan murid-murid ku di sana. Hanya kondisi yang membuat mereka berbeda. Inilah pengabdian yang ku inginkan sebenarnya. Indonesia bangga dengan insan yang ada di sini. Walaupun mereka masih kurang pengetahuan, cara berpikir mereka sangatlah cepat. Tak sia-sia perjalanan ku disini, Tuhan.

Cerpen Karangan: Annisa Mega
Blog: Annisamega.blogdetik.com

Cerita Keajaiban Saat Pesimis

Panasnya udara di dalam studio musik, tidak membuat band kami merasa malas berlatih. Apalagi, minggu depan ada lomba yang harus kami ikuti. Siapa tahu bisa menang dan maju ke tingkat selanjutnya. Jika demkian, impian bersama untuk masuk dapur rekaman dan menjadi band papan atas bisa terwujud. Aamiin.
“Kalian harus kompak agar bisa memenangkan lomba ini.” Pak Aditya, sang manager memberi semangat.
“Baik, Pak!”, seru kami berlima.
Beliau mengamati latihan kami dengan tenang. Ia tersenyum dengan kekompakkan yang kami perlihatkan. Hal itu membuatku yakin jika bisa menang nantinya.

Hari perlombaan pun tiba. Kami berangkat menuju tempat yang telah ditentukan dengan berboncengan motor. Hanya memerlukan waktu sekitar lima belas menit. Setelah sampai, Pak Aditya mendaftarkan band kami dan mendapatkan nomor undian tiga.
“Selanjutnya, kita saksikan bersama penampilan Alaya Band!” teriak pembawa acara. Itu tandanya kami harus naik ke panggung.
“Silahkan pilih angka berapa untuk menentukan lagu yang akan kalian bawakan.” salah satu dewan juri memberi instruksi.
Rama mengambil undian dan membukanya.
“Lima belas.” jawabnya.
“Lagu yang akan kalian bawakan adalah Kenangan Terindah dari Samson.” fiuh, untung kemarin baru saja latihan lagu itu.
Saat sampai di tengah lagu, suara Rama jadi tidak sesuai dengan instrumen. Tanganku yang sedang memegang stik drum basah karena keringat dingin akibat khawatir. Aku takut gagal. Wajah teman-temanku yang lain ikut cemas, tapi kami lanjutkan sampai lagu berakhir. Padahal, sampai selesai pun, Rama tidak menunjukkan perbaikan terhadap penampilannya itu.

Kami melihat penampilan band lain dari kursi penonton sambil menunggu pengumuman pemenang. Menurutku, banyak yang berpenampilan sangat baik dan pantas menjadi juaranya.
“Juar ketiga, jatuh pada… Topi Band!” teriak pembawa acara. Aku tahu jika penampilan mereka cukup memuaskan. Jelas bisa kalah kalau begini.
“Untuk juara dua adalah… Love Band!” teriaknya lagi.
“Sudahlah, ‘gak mungkin menang juga. Pulang aja kalau gitu.” mukaku sudah kusut, begitu juga yang lainnya. Kami pun berdiri dan hendak keluar dari ruang audisi.
“Dan pemenangnya adalah…” hatiku cukup deg-degan, tapi tetap berjalan saja.
“Alaya.. Band!” apa, nama band kami dipanggil? Tidak salah ya?

Kami berlima naik ke atas panggung dengan hati bahagia bercampur kaget dan tidak percaya.
“Terima kasih atas doa yang telah kalian berikan untuk kami sehingga dapat memenangkan perlombaan ini.” Rama sampai mengucurkan air mata bahagia.
“Ini piala untuk kalian.” kami memegang bersama piala itu.
“Jangan lupa, bulan depan kalian harus mengikuti perlombaan di tingkat provinsi agar bisa maju ke tingkat nasional.” katanya lagi.
“Baik. Terima kasih kami ucapkan sekali lagi.” ucap kami bersama

Kami berlatih hampir setiap hari. Beberapa lagu sudah bisa dikuasai dengan baik. Hanya tinggal melatih kekompakkan agar sempurna. Alasannya cuma satu, yaitu agar bisa memenangkan lomba dan melanjutkan perjuangan ke tingkat yang lebih tinggi lagi dan menggapai cita-cita sebagai band papan atas negri ini.

Hari perlombaan hanya tinggal menghitung hari. Akan tetapi, vokalis kami, Rama, justru menunjukkan sikap yang buruk. Ia tidak mengikuti latihan sama sekali. Jika sehari, mungkin bisa ditoleransi, tapi ini sudah hampir dua mingguan! Apa maksud dia sebenarnya yang ia pikirkan sehingga melakukan hal ini?

Maaf, hari ini aku tidak bisa latihan karena ada kepentingan mendadak. Itulah bunyi pesan yang ia kirim setiap harinya. Kesabaran kami hampir habis jika seperti ini terus. Semoga saja Rama berubah dan berlatih kembali. Jika sampai kalah dan berantakan, jangan harap kami maafkan!

Pak Aditya sengaja menyewa mobil agar kami cepat sampai ke tempat perlombaan. Aku sedikit takut karena kontestan yang akan maju nantinya pasti sudah terpilih yang terbaik. Bahkan mungkin kami tidak ada apa-apanya dinbandingkan mereka. Belum lagi, vokalis kami jarang sekali berangkat latihan tanpa alasan yang jelas.

Suasana semakin menegangkan beberapa saat sebelum tampil. Angga sudah terlalu emosi dengan sang “vokalis malas” itu.
“Kamu itu gimana sih? Berangkat aja ‘gak pernah! Kalau ‘gak menang, apa kamu mau tanggung jawab?” Angga benar-benar dalam puncak emosinya.
“Iya, kamu ‘gak menghargai kami yang sudah capek latihan selama ini, mengorbankan waktu luang, untuk Alaya Band. Kamu yang vokalis ’gak peduli semua itu!” aku ikut marah padanya. Rama masih tidak menjawab.
“Tahu kalau bakal kaya begini, lebih baik kita cari vokalis cadangan dari dulu. Percuma mengandalkan kamu, tapi malah disia-siakan seperti ini.” tambahnya lagi. Kulihat Rama sudah menitikkan air mata. Semoga ia sudah menyesali perbuatannya itu.
“Jangan dilanjutkan lagi! Kita sudah hampir maju. Tunjukkan penampilan kalian secara maksimal, jangan terbawa emosi. Tetap optimis walaupun kemungkinan kecil.” kata Pak Aditya di tengah kemarahan kami semua.
“Tapi kelakuan Rama sudah keterlaluan, Pak! Kita semua bisa rugi karena kelalaiannya itu!” kata Angga sedikit tenang.
“Yang penting sekarang kalian harus fokus dan tampilkan yang maksimal. Anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa.” tambah pelatih kami lagi.
“Baik, Pak.” kami semua mengangguk.

Akhirnya, aku dan lainnya naik ke panggung. Aku bersyukur saat suara Rama bisa seimbang dengan instrumen walaupun mengalami salah di beberapa bagian. Paling tidak, lagu yang kami bawakan sudah pernah digunakan untuk latihan dulu, mungkin inilah yang menyebabkan ia bisa melakukannya dengan baik.

Ketenangan kami berubah saat lagu hampir selesai. Tiba-tiba, Angga melakukan kesalahan fatal saat memetik gitarnya. Korda lagu bait terakhir banyak yang terbalik, bahkan beda sama sekali. Sudah pasti, para juri mengetahui hal ini, begitu pula penikmat musik yang lain. Terlihat ia menangis sambil meneruskan lagunya. Keringat dingin terus mengalir dari dahiku, tidak berbeda dengan yang lainnya. Rama yang tadi sudah baik, sekarang jadi berantakan lagi, konsentrasinya buyar. Bisa dipastikan kami akan kalah tanpa membawa piala kemenangan.

Kami turun panggung tanpa ada sepatah katapun keluar. Teman-temanku sudah pucat pasi menahan malu saat di panggung tadi. Aku yakin jika aku juga seperti itu. Angga masih terus menyalahkan dirinya sendiri di ruang tunggu. Pak Aditya hanya menenangkan sebisanya saja. Kami tak bisa mengatakan apapun saat ini. Perasaan begitu kacau dan pesimis yang tinggi.

Saat pengumuman pemenang saja, Angga menutup telinganya agar tidak mendengar siapa saja yang akan menjadi juaranya. Sedangkan Rama, ia mondar-mandir di depan kami, yang lain hanya pasrah menghadapi kenyataan yang akan menimpa semuanya.
“Yang menjadi juara dua adalah band dengan nomor undian sepuluh! Beri tepuk tangan untuk Alaya Band!” pembawa acara meneriakkannya dengan semangat, seperti sebelumnya. Suasana hening di antara kami berubah menjadi kekagetan yang luar biasa. Bagaimana tidak, baru saja nama band kami dipanggil! Apa ini nyata, apa aku tertidur tanpa menyadarinya?
“Ayo naik ke panggung, kalian sudah dipanggil! Terima piala kalian!” kata Pak Aditya dengan mata berkaca-kaca seolah tak percaya. Akhirnya, kami naik dengan wajah bahagia.

Piala sudah berada di tangan. Tidak ada satupun dari kami yang mengira akan mendapatkan juara dua. Bisa dibilang, kemungkinan untuk membawa pulang sebuah piala saja tidak ada karena peristiwa tadi. Kami bersyukur atas kemenangan ini. Mungkin, perjalanan lomba ini hanya sampai di tingkat ini saja, tapi kami tahu jika jalan lain masih menanti kami di depan. Oleh karena itu, kami bertekad untuk lebih baik ke depan agar bisa meraih impian bersama.

~ TAMAT ~

Cerpen Karangan: Reimut
Blog: rayiokty.blogspot.com

Cerita Aku Sebutir Pasir

Di tengah teriknya hawa siang. Di tengah luasnya gurun menghampar. Di tengah tingginya langit menjulang, sebutir pasir tengah berdiri. Sendirian. Mengapa? Tentu saja. Dia adalah sebutir. Hanya sebutir. Walaupun dia memang sedikit tak benar disebut sebutir, tapi apakah pantas disebut seorang pasir?

Pandangannya menegadah ke atas langit. Kakinya menapak di atas gurun. Tubuhnya berdiri di atas siang. Matanya tak sama sekali silau melihat matahari yang sedang terik-teriknya. Kakinya tak sama merasa panas dan sakit. Tubuhnya pun tak merasakan haus atau lapar. Dia kini hanya bisa memandang langit sambil menitikan satu tetes air mata.

Pasir namanya. Gadis yang tak pantas disebut kecil itu tengah berdiri di antara ribuan pasir yang terbaring luas. Entah mengapa orangtuanya menamai gadis itu Pasir. Entah ada maksud apa dalam penamaannya. Tapi sekarang dia malah berdiri seorang diri tanpa seorang pun menemani. Entah di mana orangtuanya yang telah memberi nama Pasir pada dia. Entah masih ada atau pun tidak. Tapi mengapa gadis itu sekarang begitu tampak kucel dan kotor. Dia hanya sebatang kara berdiri di sana. Mungkin dengan bayangannya.

“Pasir.” Desah seorang pria berbaju putih dan terlihat sangat rapi.

Sebutir Pasir itu pun mendongak dan menatap pria tadi yang memanggilnya. Matanya mengamati tiap bagian di tubuh sang pria.

“Pasir. Namamu aneh!”

“Kau siapa?” Pasir mulai mengeluarkan sepenggal kata dari mulutnya.
Pria bergamis putih itu tersenyum.

“Mengapa orangtuamu memberi nama Pasir?”

“Bukan mereka. Aku yang menamai diriku Pasir.” Bantahnya.
Pria tadi tersenyum kembali.

“Lantas mengapa kau ingin nama itu?”

“Kau mungkin tahu berapa banyak pasir di sini?”

Pria itu menggeleng.

“Aku tidak tahu. Apakah perlu aku menghitungnya?”

“Sudah kuduga. Tak ada seorang pun yang bisa mengetahuinya.”

“Tak ada? Bagaimana dengan Tuhan? Apakah Dia juga tak tahu? Bukankah Dia yang telah menciptakan pasir di gurun ini?”

“Ya mungkin. Kecuali Tuhan.” Ujar Pasir.
Pria bersorban itu tersenyum kembali.

“Lantas, apa maksudmu menamai dirimu Pasir?”

“Di sini aku melihat banyak pasir. Dan sungguh ironis sekali hanya ada sebutir pasir di gurun ini. Dan itulah aku. Aku sangat ironis. Sebutir Pasir. Dan aku juga berfikir bahwa tak akan ada sebutir pasir, pasir yang sendirian. Tak ada kawan dalam hidupnya. Pasir pasti selalu berkumpul dengan pasir-pasir lainnya.”

“Lekas, mengapa kau menyebut dirimu sebutir pasir?”

“Ya karena itu. Aku sendirian. Aku tak punya kawan. Aku sangat ironis.”

“Lantas mengapa kau tak bergabung dengan pasir-pasir lainnya agar bisa menjadi gurun?”

Pasir terdiam. Dia tak bisa mengeluarkan sepenggal kata pun. Mulutnya terkunci rapat. Air matanya dia tahan agar tak pernah keluar.

“Coba kau pikirkan! Tak pernah ada satu pun orang yang mau sekedar bertanya padaku. Tak ada satu pun orang yang peduli terhadapku! Apakah aku bisa bergabung dengan mereka dan menjadi sebuah gurun?”

“Apakah aku bukan seseorang yang peduli padamu? Apakah aku bukan seseorang yang bertanya pada dirimu, Pasir?” Jawabnya tenang.

Pasir kembali terdiam. Kata-kata pria tadi seolah menusuk tajam di dalam hatinya. Namun dari wajah pria itu tak nampak sedikit pun tersirat kecurangan. Wajahnya suci dan bersih. Tak ada setitik noda dosa tersirat dalam hatinya.

“Ya mungkin. Hanya kau yang mau bertanya padaku.”

“Selain aku, bayanganmu juga masih setia bersamamu. Dia selalu mengikutimu ke mana pun kau pergi. Tapi memang, ada kalanya bayanganmu itu pergi meninggalkan tubuhmu.”

“Kapan?”

“Di saat gelap. Tak ada setitik cahaya pun menerangimu. Dan saat itu tak akan ada siapa pun yang menemanimu.”

“Lalu aku harus bagaimana?”

“Mendekatlah pada Tuhan! Sadarilah perbuatanmu itu salah!”

“Aku tak punya Tuhan. Aku tak punya teman. Aku tak punya segalanya.”

“Maka dari itu, dekatilah mereka. Jika kau ingin mengenal Tuhan, dekatilah Tuhan. Jika kau ingin punya teman, dekatilah mereka. Jangan hidup sebutir sepertimu ini. Jangan sia-siakan waktu dengan menyendiri seperti ini.”

“Tak apa. Ini hidupku. Jalan mana pun yang aku pilih, biarkan. Kau tak berhak untuk mengatur apa yang kulakukan dalam hidupku. Hidupku terserah diriku.”

“Memang benar. Tapi apakah aku akan membiarkan seseorang yang tersesat di jalan yang salah untuk tetap berjalan? Tentu tidak. Aku tak akan membiarkannya. Aku harus membenarkannya.”

“Kau siapa diriku? Sebegitu pedulikah kau tentangku?”

“Aku mencintaimu karena Allah. Maka dari itu aku peduli terhadapmu.”

“Siapa dirimu?”

“Aku adalah sebilah kayu.”

“Lekas mengapa dirimu menyebut diri sendiri kayu? Mengapa kau menurutiku sebagai sebutir pasir?”

“Jika kau pasir, aku adalah kayu. Kau mungkin tahu apa gunanya kayu. Kayu berawal dari sebatang pohon. Dan kau mungkin tahu, seberapa berguna pohon bagi dirimu. Apalagi di tengah padang pasir seperti ini. Setelah pohon tersebut ditebang, pasti mereka banyak digunakan. Kayu bisa dibuat meja, kursi dan mungkin sebagai bahan bangunan. Seperti untuk rumah. Kayu juga sangat kokoh. Kayu tak mudah patah. Maka dari itu, aku menyebut diriku kayu. Karena aku ingin menjadi seperti kayu. Walaupun masih jauh sesempurna itu.”

“Mengapa tidak besi saja? Besi lebih kokoh daripada kayu. ”

“Ya. Kau benar, Pasir. Besi lebih kokoh dari kayu. Namun asalkan dirimu tahu, besi melambangkan seseorang yang tangguh namun sombong. Maka dari itu, aku tak akan meniru besi.”

Pasir kembali terdiam. Otaknya dia buat bekerja. Dia memikirkan sesuatu yang mungkin tak pernah bisa dijawab oleh pria itu. Pandangannya menatap ke atas.

“Bagaimana caranya aku mengenal Tuhan?” Tanya Pasir polos.

“Kau bisa belajar dari orang lain.”

“Apakah kau bisa mengajariku?”

“Aku tak punya banyak waktu.”

“Bukankah kayu itu sangat berguna. Pasir itu tak pernah berguna. Untuk apa juga aku mengenal Tuhan.”

“Ish, kau jangan bilang sembarangan.” Tegur pria itu lembut.

“Sebutir pasir memang tak akan berguna jika hanya sebutir. Jika kau bergabung dengan pasir lain, dengan semen, besi, batu, kayu dan air. Kau bisa menjadi sebuah gedung.”

“Kebersamaan?”

“Ya benar. Umat muslim itu seperti sebuah bangunan yang saling menguatkan. Jika kau sebutir pasir, dan banyak lagi pasir sepertimu, bergabunglah dengan mereka. Setelah itu, carilah orang lain. Seperti besi, kayu, air, semen, batu. Dan bersatulah. Maka kalian akan menjadi sebuah gedung yang kokoh.”

“Jadi aku tak boleh menyendiri?”

“Benar sekali. Kau hanya bisa menjadi sebutir pasir di hadapan Tuhan-Mu. Allah. Kau hanya sebutir pasir di hadapan-Nya. Dan jangan pernah menjadi lagi sebutir pasir di hadapan para manusia-manusia itu. Bergabunglah dan menjadi padang. Bergabunglah dan menjadi gedung.”

“Lalu bagaimana diriku mengenal Tuhan? Allah. Dari siapa aku akan belajar?”

“Kau bisa belajar dari siapa pun yang memiliki ilmu. Ilmu tauhid. Sedari dulu kamu memang selalu berjalan di kesesatan. Maka dari itu, sekarang kau sadari dan segera beralih ke jalan yang benar. Segeralah bergabung dengan orang-orang itu.”

“Tapi apakah mereka akan menerimaku?” Tanya Pasir polos.
Pria itu tersenyum lagi.

“Tentu saja. Mereka adalah orang baik. Lebih baik dari yang kau pikirkan.”

“Jadi sekarang aku harus ke kota itu?”

“Ya. Pergilah. Dan ingat, kau sebutir pasir di hadapan Tuhan. Maka jangan melampaui batas. Tapi kau sama seperti manusia derajatnya di sini. Kau tak pantas sendirian. Kau tak pantas sebutir saja. Di tengah gurun pasir luas seperti ini, sama seperti orang bodoh. Kau masih muda. Jangan sia-siakan waktumu. Masih banyak orang-orang di sana yang sangat membutuhkan waktunya untuk hidup. Maka dari itu, bertakwalah. Dan jalin silaturahmi. Perbaikilah amalanmu. Jangan hidup di tengah kesendirian dan kebimbangan.”

Pasir pun tersenyum. Pria tadi ikut tersenyum. Pria itu pun melangkah menjauh dari Pasir. Pasir menatapnya heran.

“Kau mau ke mana?”

“Masih banyak urusan yang harus kukerjakan. Sebaiknya kau bergabung dengan orang-orang di sana. Mereka pasti menerimamu dengan baik.”

Pasir mengangguk.

Di tengah teriknya hawa siang. Di tengah luasnya gurun menghampar. Di tengah tingginya langit menjulang, sebutir pasir tengah berdiri. Sendirian. Mengapa? Tentu saja. Dia adalah sebutir. Hanya sebutir. Walaupun dia memang sedikit tak benar disebut sebutir, tapi apakah pantas disebut seorang pasir?

Pandangannya menegadah ke atas langit. Kakinya menapak di atas gurun. Tubuhnya berdiri di atas siang. Matanya tak sama sekali silau melihat matahari yang sedang terik-teriknya. Kakinya tak sama sekali merasa panas dan sakit. Tubuhnya pun tak merasakan haus atau lapar. Dia kini hanya bisa memandang langit sambil menitikan satu tetes air mata. “Ya Allah, Tuhanku. Terima kasih Engkau telah menyadarkanku dari kebodohan ini. Seharusnya aku tak hidup seperti ini. Hanya karena kedua orangtuaku meninggal, aku sudah tak ingat dan kenal pada-Mu. Aku sudah tak punya semangat hidup. Ampuni aku Ya Allah. Sekarang aku berjanji, tak akan ada lagi sebutir pasir di hidupku, kecuali ketika menghadap pada-Mu. Ya Rabb yang Maha Agung.”

Satu tetes air mata keluara dari pelupuk matanya. Bukan kesedihan. Melainkan kebahagiaan. Kini Pasir sudah tak jadi sebutir lagi. Dia akan pergi berkelana mencari teman dan lebih mempelajari tentang Rabb-Nya. Dia mungkin tak akan menjadi sebutir pasir, kecuali di hadapan-Nya. Sang Rabb pencipta.

– SEKIAN –

Cerpen Karangan: Selmi Fiqhi
Blog: https://selmifiqhi.blogspot.com/

Cerita Allah SWT Memang Maha Adil

Dari selembar kertas kutulis pengalamanku yang membuatku menangis. Menangis deras untuk sebuah benda yang hilang. Betapa pentingnya benda itu untukku dan keluargaku. Benda itu hanyalah sebuah hp dan sebuah mobil pick up yang menemani ayahku bekerja, ayahku seorang mebeler (memiliki usaha membuat kursi dan meja sekolah). Karena itu aku menangis karena untuk membeli hp saja aku harus menyisihkan uang jajanku. Dan orangtuaku pun harus memulai menabung untuk membeli mobil lagi.

Saat itu aku akan memulai kehidupan baru. yaitu MOS di SMKN 1 KARAWANG. Yang tidak lain sekolah yang kuinginkan. Aku sangat bahagia memulai kehidupan baru di SMKN 1 KARAWANG. aku adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakaku adalah laki-laki yang sudah bekerja di PT kusuma Jaya sebagai drafter (gambar bangunan), dan aku seorang pelajar yang memulai kehidupannya di SMK, dan adikku yang masih duduk di TK (Taman Kanak-Kanak)

Suatu hari ada kejadian yang membuat orangtuaku terpuruk dan hampir jatuh sakit. kejadian itu saat malam hari. Betapa nyeyaknya keluargaku tidur pada malam hari itu. Pada jam 4 pagi ibuku bangun seperti biasanya. Dan ia mengintip ke jendela dan biasanya mobil parkir di depan rumah, ternyata mobil tidak ada. Ibuku langsung menjerit dan memanggil ayahku yang sedang tidur sehabis shalat tahajud. Ayahku langsung menghampiri dan semua orang yang ada di dalam rumahku bangun untuk menghampiri ibuku yang menjerit. Ayahku terkejut melihat mobil tidak ada di depan rumah. Dia panik dan dia mencari ke arah barat. Tetapi mobil itu tidak ditemukan. Orangtuaku menangis dan aku juga ikut kesal dengan kejadian ini.

Beberapa hari kemudian, aku akan mengikuti MOS dan aku harus memcuci foto 4×6 untuk persyaratan MOS. Dan aku mencuci foto itu dari hp. Saat aku berada di tukang cuci foto aku melupakan hp ku yang sedang di atas meja. Setelah aku mencuci foto, aku langsung pulang. Dan aku baru ingat setelah makan siang bahwa hp ku tidak ada di dalam tas. Lalu aku mencari-cari ke tempat yang sudah di datangi sebelum aku makan siang. Hp ku tidak ditemukan. Lalu aku harus berkata jujur kepada ibuku kalau hp ku hilang. Saat aku memberitahu ibuku bahwa hp ku hilang, ibuku langsung terkejut dan memarahiku. Dan akhirnya aku mengeluarkan air mataku. Ibuku berkata “beberapa hari lalu kita dapat musibah kehilangan mobil dan sekarang hp, kamu harusnya mengerti orang tua kamu yang sedang sedih karena musibah yang lalu”. Air mataku mengalir lagi dengan rasa takut.

Beberapa minggu kemudian, keluargaku menonton TV yang filmnya tentang arti kehidupan. Ternyata kita merasa tersentuh atas kehidupan mereka yang kurang beruntung. Ceritanya itu, seorang nenek tua yang hidup sebatang kara dan dia bekerja sebagai pengumpul rambut. Dia membeli rambut-rambut tetangga yang dikumpulkan oleh tetangganya. Untuk kebutuhan sehari-harinya dia harus bekerja dulu. Setiap dia tidak bekerja pasti dia tidak mempunyai uang untuk makan maupun untuk membeli rambut-rambut tetangganya yang akan di jual. Dia hanya berkata “saya bekerja itu hanya untuk menyambungi hidup saya, saya tidak peduli orang mau bilang apa atau kasihan kepada saya. Tapi saya tetap tidak menyerah untuk menghidupi kebutuhan saya yang sebatang kara ini. Karena masih ada kesempatan yang saya jalani. Meskipun itu pahit untuk saya”

Setelah aku dan keluargaku menonton film itu, ibuku berkata “ya allah, masih ada yang tidak lebih baik kehidupannya dari kita. Meskipun kita di landa musibah yang sangat besar. Allah memang adil”. Dan di situ ayahku menangis untuk pertama kalinya ku lihat dan juga berkata “mobil masih bisa di beli, mau mobil mah nabung lagi aja”. Hati aku ter-iris mendengar ucapan dan nada ayahku yang sedih. Aku langsung masuk kamar karena aku tidak kuat menahan air mataku yang akan keluar dari mataku. Di dalam kamar aku tersedu menangis karena ucapan ayahku. Dalam hatiku berkata “ya allah, musibah yang hanya seperti ini saja menjadikan keluargaku down. Mungkin ini ujian untuk keluargaku. Engkau maha adil ya allah”.

Betapa bahagianya aku dilahirkan di kehidupan sederhana yang tidak penuh dengan kemewahan yang mungkin akan membuatku sombong. Dan keharmonisan keluargaku yang membuat aku dan keluargaku dekat. Allah memang maha adil.

Cerpen Karangan: Nurannisa Widiawati

Cerita Musuh Bebuyutan Si Kancil

Di suatu siang yang terik, ada seekor kancil yang sedang menyelinap ke kebun pak tani.
Ketika si Kancil menyelinap semakin dalam ke kebun, ia menemukan sebuah wortel raksasa (mungkin dikarenakan si Kancil telah bosan dengan ketimun). Timbulah hasratnya untuk mencuri wortel tersebut. Kemudian, ia segera berlari menuju wortel itu dan memakannya.

Setengah jam berlalu, si Kancil masih tetap asyik dengan wortelnya. Tak lama berselang, datanglah Pak Tani menghampiri si Kancil yang tengah asik makan. Si Kancil pun tak sempat menghabiskan sisa wortel tersebut. Ingin membawa wortel itu pergi, tidak bisa! Sangat berat!

Dengan cepat, kancil itu mengambil langkah seribu. Pak Tani pun juga tak ingin kalah!
Diambilah senapan canggihnya, AK-47. Karena dia tidak mungkin mengulangi kesalahanya di saat dia hanya memakai celurit ketika cerita “Si Kancil Mencuri Ketimun”.

Di saat pak Tani mau menembak si Kancil… ternyata, MELESET!
Si kancil pun kaget, ketika pak tani mengeluarkan ‘senjata’ pamungkas. Ya, granat!
Kancil pun terus berlari, dan berlari di saat Pak Tani membombardirnya. Pak Tani dkk pun terus mengejar dan mengejar kancil itu hingga jauh ke dalam hutan. Si Kancil pun bingung mau kemana dia sekarang. Hanya ada dua pilihan, masuk ke dalam gua yang sempit bin gelap, atau menyerahakan diri ke tangan pak Tani.

Dengan cepat, Si Kancil langsung menjatuhkan diri ke dalam gua tersebut. Bruuuggh… terdengar suara tubuh si Kancil. Beberapa saat kemudian, si kancil bangkit berdiri dan berjalan menyusuri gua hingga dalam. Tak beberapa lama, ada seekor mahkluk mirip dirinya. Tapi setelah dilihat-lihat oleh si Kancil jantan yang barusan jatuh ke gua, ternyata dia adalah kancil legendaris yang dikenal suka mencuri ketimun Pak Tani. Dan selebihnya, Kancil legendaris itu adalah kancil betina. Dan setelah mereka saling bicara lama. Mereka berencana tinggal di gua itu dan bahagia untuk selamanya.

Sementara itu, hutan-hutan di sekeliling gua itu telah habis terbakar, banyak warga tak terima dengan ulah Pak Tani serta para pengikutnya. Pak Tani serta para pengikutnya langsung tak berkutik ketika para warga sekitar bersama satuan polisi dan TNI menghadangnya. Langsung saja para warga desa beserta satuan pengaman mengarak mereka ke kantor polisi.

Dan sepasang Kancil pun bahagia selamanya.

Cerpen Karangan: Dimas Prayoga Waluyo

Cerita Kekacauan Hutan

Di sebuah hutan yang lebat, tinggallah sekelompok hewan yang hidup di hutan itu. Salah satu hewan itu, ada gajah yang bernama bona. Bona adalah seekor gajah yang lincah dari pasangan bu gajah dan pak gajah. Setiap hari ia bermain dengan teman-temannya di tengah hutan. Terkadang ia bermain air, main ayunan, dan masih banyak lagi. Ia mempunyai banyak teman, hampir semua anak hewan di hutan itu menjadi temannya. Bona memang gajah yang pandai bergaul. Akan tetapi, ia agak keras kepala. Setiap apa yang dia mau harus terlaksana walaupun itu adalah ide yang bodoh atau gila. Jika ia mau melaksanakan sesuatu yang bodoh, dan teman-temannya mengingatkan, jarang ia mau menuruti nasihat temannya itu. Akan tetapi, walaupun ia agak keras kepala, teman-temannya tetap menyukainya sebagai gajah yang pandai bergaul

Pada suatu hari, seperti biasa bona bermain bersama teman-temannya. Hari ini mereka hendak bermain petak umpet. Bona pun menjadi bagian yang bersembunyi bersama-sama temannya yang lainnya. Karena tidak ingin cepat ketahuan, ia pun bersembunyi agak jauh dari tempat bermainnya. Ia pun bersembunyi di balik semak-semak yang berbuah seperti buah berry dan berwarna ungu. Sementara itu, semua teman-teman bona sudah tertemukan semua dan mereka bingung mencari bona. Bona yang tak pernah tahu itu buah apa, mencobanya. “wuahh, enak sekali buah ini. Buah apa ya ini?” kata bona sambil terus melahap buah itu. Bona pun membawa beberapa buah itu dan hendak diberikannya kepada teman-temannya jika ia sudah dapat ditemukan. Tiba-tiba bona mendengar suara dari teman-temannya “bon… bona! Kemarilah, komala sudah menyerah nih! Ayo keluar!”. Yes! Batinnya, ia senang karena tak dapat ditemukan oleh teman-temannya. “yeee! Aku tidak dapat kalian temukan kan? Eh ini aku bawakan buah enak tapi aku tak tahu namanya. Nih makan! Hmmmm enak…” kata bona menawarkan buahnya sambil memakannya. “eeehhh! Bona, jangan dimakan! Itu buah beracun yang sarinya bisa buat gigimu sakit lho” kata temannya memperingatkan bona. Akan tetapi bona tidak mendengarkannya malahan ia tambah lahap memakannya. “waduuhhh gimana nih teman-teman? Kalau dia menangis gara-gara giginya sakit? Wahhh bisa gawat nih” bisik temannya. “yuk kita bilang ayah dan ibunya saja agar kita yang tidak disalahkan” usul temannya.

Tiba-tiba bona berhenti makan dan memegangi pipinya dan merintih kesakitan, teman-temannya pun kaget. “wadow! Sakit banget nih” rintih bona, “tuh kan kamu dibilangin juga apa?” sahut temannya panik. “ya udah yuk kita pulang” ajak teman bona. Bona terlihat seperti hendak menangis tapi di tahan olehnya. Bona dan teman-temannya pun pulang beriringan. Sesampainya di rumah bona, ayah dan ibunya kaget melihat bona memegang pipi kesakitan. “paman, bibi, bona tadi makan buah merry. Buah beracun yang bisa buat gigi sakit. Bona tadi makan sepertinya banyak sekali, kami juga sudah memperingatkan tapi dia tidak menggubris” jelas teman bona. “ya bu. Tadi bona makan buah yang gak bona tahu jenis buahnya. Mulanya bona bersembunyi di semak-semak yang ada buah kayak gini, terus bona makan dan rasanya enak, ya udah bona makan aja. Sekarang gigiku sakit sekali bu” jelas bona yang masih memegang pipinya. “ya sudah… ya sudah sekarang kamu masuk istirahat sana nanti biar dipanggilkan pak rusa oleh ayah untuk menyembuhkan gigimu. Oh ya makasih juga ya untuk komala, nuri, rommy dan pony kalian baik sekali” ujar ibu gajah. “iya bibi, sama-sama. Kalau begitu kami hendak pulang dulu karena hari beranjak malam, permisi” pamit teman-teman bona. Bu gajah mengangguk dan tersenyum menjawabnya. Sementara teman-teman bona pergi, bu gajah mengantar bona ke kamarnya dan memberinya segelas teh hangat dengan maksud mengurangi sedikit sakit di gigi bona. Tapi gigi bona malah bertambah sakit karena tehnya itu panas. Bona pun menangis dengan sangat kencang hingga membuat ibu bona menutup telinganya, bahkan tetangga bona, keluarga pak landak pun mendengarnya, begitu juga tetangga yang lain. Ibu bona segera mengambil air teh dengan sedikit dingin alias sejuk di tenggorokan untuk menghentikan tangis anaknya. Tetangga bona yang mendengar tangisan bona pun mendatanginya. Ibu bona pun terkejut, “ah ada apa ya?”. “ini kami tadi dengar suara tangisan seperti tangisannya bona jadi kami kemari. Mengapa bona menangis sekencang itu?” Tanya salah satu tetangganya seraya melihat bona yang masih sesenggukan dan mencoba menahan tangisnya. “oh kedengaran ya, kalau begitu saya minta maaf ya. Ini si bona habis makan buah merry banyak sekali jadi giginya sakit, sekali lagi maaf ya” jawab bu bona. Tetangganya pun mengangguk dan beranjak pulang setelah memberi beberapa ucapan doa kepada bona. Setelah tetangga pulang, ayah bona pun datang dengan pak rusa, mantri kesehatan di hutan itu. Pak rusa pun memeriksa bona, dan mengangguk tanda paham. “ooh dia habis makan buah merry ya?” Tanya pak rusa membuka percakapan. “iya pak, apa bisa disembuhkan ya pak?” jawab bu gajah. “bisa tapi karena kelihatannya dia makan sangat banyak jadi lama menyembuhkannya. Nah ini obatnya. Yang ini tempelkan di gigi, yang ini…” kata pak rusa menjelaskan. Bu gajah pun mengangguk dan mengantar pak rusa sampai di depan rumah. Seusai pak rusa pergi, bu gajah pun memberikan obat pada bona. Setelah memberi obat pada bona, bona pun tertidur.

Malam harinya, tiba-tiba bona menangis dengan kencangnya. “huwaaa! Gigiku sakit bu!” tangis bona dengan kencang yang membangunkan seisi rumah dan hampir seluruh penduduk hutan itu. Pak gajah dan bu gajah pun mendatangi kamar bona dan mendapatinya sedang memegangi pipinya sambil terus menangis. “ya sudah… sudah, jangan menangis nanti akan membangunkan tetangga” kata pak gajah menenangkan. Bona pun masih terus menangis, tiba-tiba tetangganya pun datang dan melihat apa yang terjadi. Dengan malu bu gajah meminta maaf, dan para tetangga pun maklum atas tangisan bona itu dan jika mereka mendengar tangisan bona lagi mereka tak akan mendatanginya lagi, jadi hanya cukup menjenguknya saja. Akan tetapi bona menangis berhari-hari dengan kencang sehingga membuat hutan kacau. Jika pagi hari, membuat pusing dan jika malam hari membuat tidak bisa tidur, hal ini membuat hutan terganggu dan kacau. Sampai-sampai tempat bekerja para semut dan hewan lainnya terganggu karena karyawannya tidak konsentrasi ataupun banyak yang tidak masuk.

Suatu pagi hari, bona kembali menangis karena giginya sakit. murai, burung itu sudah tak tahan lagi dengan tangisan bona. Ia pun berkata pada temannya “aduh, aku sudah tak tahan dengan tangisan bona ini, sangat mengganggu sekali”. “iya bahkan aku terbang saja sempoyongan” sahut temannya. “ya sudah ayo ke pak rusa kita tanyakan obatnya biar bona berhenti menangis” ajak murai. Temannya pun mengangguk setuju dan mereka pun terbang beriringan. Sesampainya di rumah pak rusa, mereka pun mengadu tentang hal yang mereka alami bahkan seluruh penduduk hutan alami. Saat murai menceritakan masalahnya, kebetulan singa si raja hutan itu lewat dan menghampirinya. “ada apa ini kok ramai sekali?” Tanya singa. Mereka pun menunduk tanda hormat, “ampun baginda, kami hanya menanyakan obat untuk bona karena kami sudah tak tahan mendengar tangisan bona lagi” adu murai. “aku pun begitu, jadi apa tak ada obatnya?” Tanya singa balik. “ada tapi sembuhnya memerlukan waktu yang lama” jawab pak rusa. “apa tak ada obat yang bisa menyembuhkan dengan cepat?” sahut murai. “hmmm…” gumam pak rusa berfikir. “sudah, biar aku kumpulkan seluruh penduduk hutan untuk merapatkan masalah ini” ujar singa mengambil keputusan.

Setelah berselang beberapa lama, penduduk hutan pun berkumpul di tempat pertemuan para penduduk yaitu di pohon tua tepat di tengah hutan yang terdapat batu tinggi sebagai tempat duduk raja. Mereka pun berdiskusi. “jadi bagaimana pak rusa, apa tidak ada obat yang bisa menyembuhkan dengan cepat?” Tanya raja singa membuka diskusi. “ampun baginda, akan saya lihat dulu di buku obat saya, semoga saja ada” jawab pak rusa sembari membuka buku mengingat-ingat bagaimana ia dulu bisa meyembuhkan hewan yang keracunan karena buah merry. Semua hewan di tempat itu menjadi dag dig dug. “nah, ini dia baginda sudah ditemukan. Saya baru ingat dulu pernah mengobati hewan terkana penyakit dari buah merry ini. Untuk membuat obatnya, dibutuhkan bahan yang banyak di tempat yang sangat jauh baginda jadi susah untuk membuatnya” jelas pak rusa dengan nada agak kecewa. Para hewan yang semula agak menampakkan rona bahagia jadi mengkeret lagi. Tiba-tiba salah satu hewan menyampaikan usul “ampun raja! Bagaimana kita bersama-sama mencarinya dan menggotongnya ramai-ramai sekalian kita ajak hewan yang besar termasuk bu gajah dan pak gajah. Dan yang menenangkan bona nanti kita pilih hewan yang paling lucu dan menyenangkan, bagaimana?” serunya sambil mengacungkan tangan. “hmmh, usul yang bagus baiklah akan saya atur semuanya, tapi apa pak rusa punya petanya?” tanyanya pada pak rusa. “oh tentu saja punya, biar saya ambilkan petanya” jawab pak rusa berlari. Dan selang beberapa detik pak rusa datang kembali dengan membawa peta yang sudah sobek lipatannya. Pak rusa pun memberikan peta itu kepada raja singa, “sepertinya tidak terlalu jauh dan sulit, disana tidak banyak hewan buas jadi untuk antisipasi kita bawa bala tentara kita beberapa saja ya. Saya akan pilih bu kangguru dan bu kelinci putih untuk menemani bona di rumah. Dan…” raja menghela nafas karena terlalu semangat bicara “sisanya di rumah ya” imbuh raja. Semua hewan pun stuju dan melaksanakan titah raja. Singa sendiri menghampiri bu gajah dan pak gajah untuk meminta persetujuannya dan mereka setuju, maka dilaksanakanlah rencana itu.

Rombongan hewan ke tempat tujuan terlihat semangat. Banyak rintangan di jalan tapi semuanya dihadapi dengan gagah berani. Sedangkan bona di rumah masih menangis di rumah walaupun telah dihibur bu kanguru, bu kelinci putih dan beberapa hewan yang disuruh tinggal untuk menyiapkan bahan-bahan yang terdapat di sekitar hutan dan mempersiapkan alatnya untuk memasak. Akhirnya di rumah bona sudah tertidur sehabis didongengkan oleh bu kanguru dan bu kelinci putih dan diberi obat pemberian pak rusa sebelumnya. Menjelang siang, gerombolan hewan dari mengambil obat pun kembali dengan banyak bawaan. Selepas itu mereka pun bergotong royong membuat obat dengan pemimpin pak rusa dan koordinator raja singa. Mereka bekerja sama hingga sore menjelang. Ketika sore sudah mau habis, pekerjaan itu selesai. Mereka pun langsung memberikannya pada bona. Setelah mengusapkan ke giginya dan meminumnya, bona sudah tidak menangis tapi hanya merintih. Dan ketika matahari mulai terbenam bona sudah sembuh total. Semua penduduk hewan pun bersorak membuat bona bingung, mengapa ia sembuh semua hewan menjadi sangat gembira tapi pertanyaannya itu hanya sesaat dan ia pun kembali hanyut dalam kegembiraan penduduk hutan itu.

Malam itu raja memutuskan diadakan pesta karena kekacauan hutan berakhir sudah dan semua bergembira dan bersuka ria. Sedangkan bona berjanji tak akan makan buah merry lagi.

Cerpen Karangan: Sylvia Rijha Putri

Cerita Kancil Yang Bijaksana

Di sebuah hutan, hiduplah seekor Kancil yang besar dan gemuk. Kancil itu dikenal sangat baik dan suka menolong oleh hewan-hewan lainya. Selain itu Kancil juga hewan yang cerdik. Kancil selalu membantu dan menolong temannya yang akan menyeberangi danau, karena Danau itu dijaga oleh seekor buaya yang sangat besar dan rakus.

Pada suatu hari, saat Kancil pergi untuk mencari makan. Tiba-tiba Kancil mendengar temannya minta tolong di sekitar danau. Lalu Kancil berlari cepat menghampiri temannya. Ternyata lagi-lagi Buaya itu tidak memperbolehkan hewan lain masuk ke wilayahnya, dan selalu mengancam siapapun yang masuk ke wilayahnya akan dimakan.

Tiba-tiba Kancil melihat ikan kecil di tepi Danau. Lalu Kancil mengambil ikan kecil itu tanpa sadarnya buaya. Lalu, Kancil melempari ikan-ikan kecil itu kepada buaya agar buaya itu memakan ikan kecil itu dan tidak sadar bahwa Kancil dan temannya menyeberangi Danau itu melewati punggung Buaya. Lalu Kancil mengantarkan temannya mencari makan.

Teman-teman Kancil bangga memiliki teman yang bijaksana. Teman kancil yang di tolong tadi berterima kasih kepada Kancil, sampai akhirnya Kancil di juluki Kancil yang bijaksana.

Cerpen Karangan: Mutiara Nur Cahyaningrum

Cerita Karena di Atas Langit Masih Ada Langit

Ada hal menarik yang selalu membuatku penasaran dengan dia, Suci namanya. Dia teman sekelasku saat aku duduk di bangku kelas V di SD Negeri 1 Tanjung. Dia begitu sederhana dan tak jarang aku melihat dia berdiam di kelas dan memilih membaca buku daripada jajan di kantin bersama temam-temannya.

“Mungkin dia gak bawa sangu?”, tanyaku dalam hati.
“Ya, bisa jadi”, celetukku kemudian karena setelah itu dia mengeluarkan sekantong plastik yang ternyata itu adalah sekotak nasi lengkap dengan lauknya.
“Ups, Tapi kayanya pendapatku salah, soalnya dia barusan menyisihkan uangnya ke kotak amal”.

Pernah suatu hari, aku bertemu dengannya di taman kota dan dia yang kukira pendiam justru menyapaku dengan riang, “Assalamu’alaikum, Tina. Apa kabar?”
“Wa’alaikumussalam, Suci. Alhamdulillah baik, kamu?”, jawabku dan diapun segera menghampiri dan menyalamiku.

Setelah kutanya apa yang sedang dia lakukan, dia pun menjawab kalau dia sedang membantu saudaranya.
“Saudaranya?” pikirku penasaran sebab yang kulihat hanya ada beberapa anak jalanan yang sedang berlatih membaca ataupun berhitung.

Tiba-tiba, seorang anak seusiaku menghampiri kami seraya menyodorkan secarik kertas pada Suci. Dan tak lama kemudian, Suci pun mengacungkan jempol sembari berkata, “Alhamdulillah, nilai seratus buat kamu. Makin semangat ya belajarnya, aku bangga sama kamu”.
Ternyata, yang ia maksud saudara yaitu mereka yang punya tekad kuat untuk belajar, namun tidak bisa mengenyam bangku sekolahan.
“Astaghfirullahal’adzim, aku jadi malu pada mereka”.

Hampir setiap tindakan temanku itu membuatku bengong keheranan, apalagi tadi pagi ketika dia maju ke depan kelas dan mengumumkan kepada kami, “Bagi yang berkenan menyumbangkan pakaian dan buku, baik baru ataupun bekas. Silahkan menghubungi aku ya. Terimakasih”.

Keesokan harinya banyak teman-teman yang turut menyumbang, termasuk dia. Ia pun tak lupa mengucapkan terimakasih dan mendoakan kebaikkan untuk kami lagi. karena masih penasaran atas apa yang ia lakukan, maka aku pun ikut serta membawakan pakaian-pakaian yang telah kami masukan dalam kardus untuk disumbangkan sesuai rencana.

Aku sesekali mengeluh kecapaian, ditambah lagi kakiku terasa pegal-pegal karena sudah sejam perjalanan. Namun, kami belum sampai di tempat tujuan.
“Ya, udah kalau gitu kita istirahat lagi ya?”, ucapnya seraya melemparkan senyum padaku.
“Subhanallah, dia begitu sabar, bahkan raut kesal akan keluh kesahku pun tak pernah tampak. Aku salut sama dia”, gumamku dalam hati sehingga aku mencoba tetap semangat dan semangat lagi seperti dia.

Tak jauh dari pemberhentian kami yang terakhir, dia berkata, “Alhamdulillah, sampai juga”.
“Alhamdulillah”, sahutku sembari menghela nafas panjang.

Deg, aku terkejut dibuatnya ketika ia mengetuk pintu sebuah gubug tua yang menurutku tak layak untuk dihuni. “Apa dia tinggal disini?”.
Belum sempat terjawab rasa penasaranku, tiba-tiba pintu terbuka, “kretek, kretek” terdengar begitu. Lalu, keluarlah beberapa anak kecil menyambut kedatangan kami.

Tampak jelas rona bahagia di wajah mereka, terlebih ketika mereka membuka kardus bawaan kami.
“Makasih ya kakak”, ucap mereka berbarengan kepada Suci.
“Iya, sama-sama, De. Ucapin juga ke teman kakak ini, namanya kak Tina” Balasnya seraya melirik ke arahku.
“Terima kasih, kak Tina”, seru mereka.

Tak sampai disitu, karena sebelum melaksanakan sholat berjamaah, Suci pun mengulungkan buku-buku dan seperangkat alat sholat baru untuk mereka.
“Ya, Allah. Ternyata dia baik banget”, ucapku lirih.

Pukul 16.00 WIB..
Sedih rasanya beranjak dari tempat itu, namun aku juga tak ingin membuat orangtuaku khawatir karena belum pulang sehingga kami segera berpamitan dan menuju halte.

Kupikir kita akan pulang menggunakan angkutan umum, tapi satu, dua hingga empat atau lima bis ia biarkan lewat, padahal hari sudah mulai sore. “Sebenernya apa yang ia tunggu?” pikirku.

“Cit..”, sebuah mobil mewah berhenti di depan kami dan “Ayo”, ajaknya usai membuka pintu mobil yang entah milik siapa itu.

Sambil melihat-lihat isi mobil yang dipenuhi dengan buku-buku, aku kembali dibuatnya terkejut ketika sang sopir berkata, “Nak, Suci. Tadi ibu pesen agar kita mampir ke toko ibu dulu ya?”. Sedangkan Suci hanya mengangguk, lalu mengajakku mengobrol tentang pelajaran di sekolah.

Kami berhenti di depan toko atau lebih tepatnya restoran dan ia lekas memesankan hidangan untuk kami, begitu juga untuk sopir mobil tadi.

Beberapa saat kemudian, seorang ibu menghampiri seraya mengecup kening Suci. Suci pun langsung memperkenalkanku pada ibu itu dan ternyata, “Waw, ibu pemilik restauran itu adalah ibunya. Aku benar-benar tak menyangka. Meski Suci serba punya, namun ia selalu tampil sederhana dan tidak menyombongkan diri”.

Dan aku memberanikan diri untuk bertanya pada dia saat kami melanjutkan perjalanan pulang dan jawab dia, “Untuk apa menyombongkan diri, di atas langitkan ada langit, ya kan? Apalagi semua ini juga titipan-Nya semata”.

“Subhanallah”.

Cerpen Karangan: Adinta Asfiratun Husna