CERITA PAHLAWAN

CERITA PAHLAWAN BY FADEL HIDAYAT

cerita bung hatta

22.57

Salah satu proklamator kita, Bung Hatta, jika beliau masih hidup, tanggal 12 Agustus 2008 ini akan memasuki usia 106 tahun.Berprinsip Teguh Dua kali kejadian dimana terjadi pertentangan antara bung Hatta dan bung Karno yg ternyata memberi dampak sangat besar terhadap perjalanan bangsa ini, dimana dalam kedua hal tsb bung Hatta memilih utk mengalah.Saat mundurnya bung Hatta desember 1956 , karena tak setuju dengan cara bung Karno memimpin negara , serta perdebatan mereka sebelumnya saat Indonesia belum merdeka. Sebelumya dalam buku sejarah ada dinyatakan bahwa belia berdua pernah berbeda pendapat mengenai bagaimana bangsa ini hendak dibangun, bagaimana kemerdekaan hendak diraih, beberapa tahun sebelum indonesia merdeka.Bung Karno bilang kita perlu bangsa yang berani, revolusioner, penuh semangat utk meraih kemerdekaan, sedangkan bung Hatta berpendapat bahwa kita perlu mencerdaskan, memberi pencerahan pada bangsa Indonesia utk menyongsong kemerdekaan nya, intinya bung Hatta menyatakan pentingnya pendidikan.Namun saat itu, bung Karno tetap bersikukuh dengan pendapatnya, dan dengan gentleman nya , bung Hatta pun mengalah ….Bukti sejarah kemudian menyatakan , bahwa apa yg dinyatakan bung Hatta benar adanya , memang benar pada masa kemerdekaan th 45, bangsa yg bersemangat tinggi, revolusioner bisa meraih kemerdekaan, tapi untuk selanjutnya mereka melupakan pendidikan / pencerdasan.Dari sejarah kita belajar, ada 2 ide besar bung Hatta yg tak terwujud, karena ia mengalah pada bung Karno , dan sampai saat ini kemajuan bangsa ini masih terbelenggu karena 2 hal tsb (pendidikan yg kurang dan demokrasi yg kurang baik )Berkarya NyataBung Hatta merupakan tokoh yang selalu berkarya nyata. Salah satu karya monumental beliau adalah bentuk koperasi. Pemikiran ini dituangkan pada pembentukkan koperasi pengusaha batik, yang akhirnya sukses sampai saat ini. Koperasi tersebut berhasil mendorong kemajuan bagi pengusaha batik dan memberi mereka kesempatan untuk memperluas usaha dengan ekspor. Karya-karya lainnya adalah berbentuk tulisan. Dalam pembuangan pun, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah (Digoel-Papua) dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti.

Read On 0 komentar

cerita soedirman

22.48

SOEDIRMAN, salah seorang pahlawan nasional dan simbol Tentara Nasional Indonesia (TNI) bukanlah nama yang asing di telinga. Ia mendapat tempat istimewa dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia karena menjabat panglima angkatan bersenjata pada awal berdirinya republik ini. Namun, pengetahuan tentang Soedirman yang diberikan bangku sekolah tidak pernah cukup mendalam. Sementara ketersediaan literatur yang membahas Soedirman secara khusus jumlahnya tidak memadai.

Dalam kurun waktu 25 tahun pertama pascakemerdekaan, tercatat hanya ada satu buku saja yang menempatkan Soedirman sebagai pokok bahasan, yaitu “Djenderal Soedirman Pahlawan Kemerdekaan” (1963) yang ditulis Solichin Salam. Selebihnya pembahasan tentang Soedirman selalu hanya merupakan pelengkap bagi kerangka bahasan lain seperti tentang gerakan Pemuda Muhammadiyah, kepanduan Hizbul Wathan, perang revolusi kemerdekaan, tentara, politik militer, hingga tentang Tan Malaka.

Baru sekitar tahun 1980-an mulai bermunculan buku yang membahas Soedirman secara lebih spesifik, seperti “Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman” karya SA Soekanto (1981), “Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia, Kisah Seorang Pengawal” (1992) yang ditulis Tjokropranolo, mantan Gubernur DKI Tahun 1977-1982, atau “Panglima Besar Jenderal Sudirman Kader Muhammadiyah” (2000) karya Sardiman AM. Meskipun cukup banyak kuantitasnya, namun sebagian besar buku yang hadir tersebut cenderung mengaitkan tokoh ini dengan dunia ketentaraan dan lebih berupa memoar atau biografi Soedirman sebagai seorang tokoh.

Sedikit saja buku seperti “Genesis of Power General Sudirman and the Indonesian Military in Politics 1945-49” (1992) yang ditulis Salim Said, yang mengupas sikap dan pandangan politik Soedirman secara lebih mendalam, baik menyangkut penentangan Soedirman terhadap langkah politik pemerintah yang menjalin kerja sama dengan Belanda, tentang langkah-langkah politis yang diambil Soedirman dalam rangka mengedepankan sikap politiknya, dan keterkaitan Soedirman dengan Peristiwa 3 Juli 1946. Umumnya jika sampai pada pembahasan tentang hal tersebut, penulis-penulis cenderung “melindungi” keterlibatan Soedirman dalam peristiwa yang diyakini sebagai upaya coup d’ ètat dan “membersihkan” kecenderungan ideologi kiri Soedirman dengan berbagai alasan.

Fakta sejarah tersebut memang rawan dibicarakan ketika rezim yang berkuasa bersandar pada kekuatan militer yang mengangkat Soedirman sebagai panglima besarnya. Tak ayal lagi, ketika buku yang menganalisis Peristiwa 3 Juli 1946 terbit, pemerintah Orde Baru langsung membelenggu peredarannya lewat daftar cekal Kejaksaan Agung (Kejagung). “Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman”, buku yang mengangkat Peristiwa 3 Juli 1946 sebagai fokus bahasan, memaparkan pergolakan internal para elite politik Indonesia pada awal kemerdekaan dengan titik berat telaah pada pandangan dan sikap politik yang diambil Soedirman selaku panglima besar dalam menanggapi berbagai situasi politik yang berkembang saat itu.

Panglima Besar Soedirman” merupakan kumpulan beberapa tulisan, di antaranya tulisan dua pelaku sejarah bangsa ini yaitu Abdul Haris Nasution dari kalangan militer dan Roeslan Abdulgani yang mewakili unsur sipil yang turut berjuang dalam perang kemerdekaan. Selain itu, termaktub pula analisis terhadap Peristiwa 3 Juli 1946 dari SI Poeradisastra, sejarawan dan Guru Besar UI, dan rangkuman dari Sides Sudyarto DS, pemenang sayembara puisi Prasasti Ancol tahun 1977 dan mantan wartawan yang pernah bergabung di Kompas tahun 1974-1981.

Buku yang pertama kali dicetak sebanyak 5.000 eksemplar dan diluncurkan sekitar awal tahun 1984, ini tamat riwayat peredarannya di masyarakat kurang lebih enam bulan kemudian, tepatnya tanggal 28 Agustus 1984, setelah diharamkan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) lewat fatwa No 167/JA/8/1984. Menurut Sides, editor buku itu yang sempat diinterogasi Kejagung sebanyak sembilan kali, tidak ada alasan formal yang menjadi landasan pencekalan buku yang bermuatan fakta sejarah tersebut.

Dalam “Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman”, Nasution menuangkan pengalaman pribadi sebagai prajurit di lapangan yang langsung menerima perintah Soedirman. Sebagai seorang bawahan, ia lebih banyak menyoroti kepemimpinan Soedirman sebagai panglima besar dalam menyikapi berbagai kondisi politik bangsa dan menghindari pembahasan tentang Peristiwa 3 Juli 1946. Meskipun begitu, ia mengakui bahwa dirinya berseberangan pendapat dengan Soedirman dalam persoalan “Reorganisasi-Rasionalisasi” (Re-Ra) tentara yang merupakan imbas dari Perjanjian Renville tahun 1948.

Dalam mengulas Soedirman, Abdulgani menempatkan panglima besar tersebut dalam konteks pertikaian ideologi yang mendominasi kala itu. Meskipun dalam Peristiwa 3 Juli 1946 di Yogyakarta Soedirman dituduh membantu upaya coup d’ ètat terhadap duet Soekarno-Hatta, dengan membebaskan orang-orang dari kelompok Marxisme-Leninisme independen (Tan Malaka) yang ditahan di Penjara Wirogunan, namun menurut Abdulgani tekad untuk mempertahankan kemerdekaan dan loyalitas terhadap negara tetap dipegang teguh Soedirman yang secara historis masuk dalam kelompok Islamisme, namun bukan aliran yang fanatik dan intoleran. Walaupun sempat berseberangan pandangan politik dengan pemerintah yang saat itu dikuasai kelompok Marxisme-Liberalisme moderat (Amir Sjarifuddin dan Sjahrir), Soedirman tidak memanfaatkan posisi panglima besar yang strategis untuk menggulingkan pemerintah resmi Soekarno-Hatta.

Poeradisastra sebagai seorang sejarawan berupaya obyektif dalam melihat fakta Peristiwa 3 Juli 1946. Analisis terhadap rangkaian kejadian, proses sidang di Mahkamah Agung, kesaksian Soedirman, serta pernyataan dan pembelaan dari para pelaku yang terlibat dalam peristiwa itu, seperti Iwa Koesoema Soemantri, Ahmad Soebardjo, dan M Yamin dari kubu Persatuan Perjuangan yang berafiliasi pada Tan Malaka, melahirkan satu kesimpulan bahwa telah terjadi tawar-menawar antara Soedirman dengan para anggota Kabinet Sjahrir yang secara coute que coute membentuk pra-anggapan peristiwa tersebut sebagai suatu coup d’ ètat.

Meskipun Poeradisastra tidak mengingkari keterlibatan Soedirman dalam Peristiwa 3 Juli 1946, namun ia yakin Soedirman melakukan negosiasi tersebut untuk menyelamatkan keutuhan komando tentara saat itu. Sejarah membuktikan, Soedirman tetap menjaga manunggalnya tentara dengan pemerintah. Ia mengorbankan hati nuraninya yang tidak setuju dengan keputusan pemerintah untuk berkompromi dengan Belanda demi persatuan negara dan membayar beban psikologisnya dengan kesehatan yang kian hari semakin memburuk.

Upaya meminta Soekarno mengubah susunan Kabinet Sjahrir dan menerima minimum program Persatuan Perjuangan 7 pasal yang dikenal dengan Peristiwa 3 Juli 1946, memang tidak dibahas secara mendalam dalam wacana sejarah Indonesia selama ini. Padahal, peristiwa tersebut jelas melibatkan Soedirman yang disinyalir mendukung Persatuan Perjuangan yang berada di bawah komando Tan Malaka. Kedekatan dan kesamaan visi Soedirman dengan Tan Malaka yang oleh Orde Baru dituding sebagai komunis mengindikasikan ideologi yang dianut Soedirman.Hal inilah yang coba ditutupi rezim Orde Baru yang berdiri di atas kekuatan militer. Bagaimana publik akan bereaksi jika menyadari fakta bahwa Panglima Besar TNI adalah seorang sosialis! (Nurul Fatchiati)

Read On 0 komentar

cerita soekarno

22.42

Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika..

Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi IT. Ia berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926.

Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.

Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.

Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.

Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat yang menyebabkan penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah menganugerahkannya sebagai “Pahlawan Proklamasi”.

Nama:Ir. SoekarnoNama Panggilan:Bung KarnoNama Kecil:Kusno.Lahir:Blitar, Jatim, 6 Juni 1901Meninggal:Jakarta, 21 Juni 1970Makam:Blitar, Jawa TimurGelar (Pahlawan):ProklamatorJabatan:Presiden RI Pertama (1945-1966)Isteri dan Anak:Tiga isteri delapan anakIsteri Fatmawati, anak: Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan GuruhIsteri Hartini, anak: Taufan dan BayuIsteri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto, anak: Kartika.

Ayah:Raden Soekemi SosrodihardjoIbu:Ida Ayu Nyoman RaiPendidikan:HIS di Surabaya (indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam)HBS (Hoogere Burger School) lulus tahun 1920THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB) di Bandung lulus 25 Mei 1926

Ajaran:MarhaenismeKegiatan Politik:Mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) pada 4 Juli 1927Dipenjarakan di Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929Bergabung memimpin Partindo (1931)Dibuang ke Ende, Flores tahun 1933 dan Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.Merumuskan Pancasila 1 Juni 1945Bersama Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945

Read On 0 komentar

sisingamangaraja XII

22.32

Ketika Sisingamangaraja XII dinobatkan menjadi Raja Batak, waktu itu umurnya baru 19 tahun. Sampai pada tahun 1886, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda kecuali Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai di bawah pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang masih muda. Rakyat bertani dan beternak, berburu dan sedikit-sedikit berdagang. Kalau Raja Sisingamangaraja XII mengunjungi suatu negeri semua yang “terbeang” atau ditawan, harus dilepaskan. Sisingamangaraja XII memang terkenal anti perbudakan, anti penindasan dan sangat menghargai kemerdekaan. Belanda pada waktu itu masih mengakui Tanah Batak sebagai “De Onafhankelijke Bataklandan” (Daerah Batak yang tidak tergantung pada Belanda.

Tahun 1837, kolonialis Belanda memadamkan “Perang Paderi” dan melapangkan jalan bagi pemerintahan kolonial di Minangkabau dan Tapanuli Selatan. Minangkabau jatuh ke tangan Belanda, menyusul daerah Natal, Mandailing, Barumun, Padang Bolak, Angkola, Sipirok, Pantai Barus dan kawasan Sibolga.

Karena itu, sejak tahun 1837, Tanah Batak terpecah menjadi dua bagian, yaitu daerah-daerah yang telah direbut Belanda menjadi daerah Gubernemen yang disebut “Residentie Tapanuli dan Onderhoorigheden”, dengan seorang Residen berkedudukan di Sibolga yang secara administratif tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang. Sedangkan bagian Tanah Batak lainnya, yaitu daerah-daerah Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Humbang, Toba, Samosir, belum berhasil dikuasai oleh Belanda dan tetap diakui Belanda sebagai Tanah Batak yang merdeka, atau ‘De Onafhankelijke Bataklandan’.

Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan tentaranya mendarat di pantai-pantai Aceh. Saat itu Tanah Batak di mana Raja Sisingamangaraja XII berkuasa, masih belum dijajah Belanda.Tetapi ketika 3 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1876, Belanda mengumumkan “Regerings” Besluit Tahun 1876” yang menyatakan daerah Silindung/Tarutung dan sekitarnya dimasukkan kepada kekuasaan Belanda dan harus tunduk kepada Residen Belanda di Sibolga, suasana di Tanah Batak bagian Utara menjadi panas.Raja Sisingamangaraja XII yang kendati secara clan, bukan berasal dari Silindung, namun sebagai Raja yang mengayomi raja-raja lainnya di seluruh Tanah Batak, bangkit kegeramannya melihat Belanda mulai menganeksasi tanah-tanah Batak.

Raja Sisingamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda. Kalau Belanda mulai mencaplok Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan lain-lain.Raja Sisingamangaraja XII cepat bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langkah konsolidasi. Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat raksasa di Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu diambil tiga keputusan sebagai berikut :1. Menyatakan perang terhadap Belanda2. Zending Agama tidak diganggu3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.

Terlihat dari peristiwa ini, Sisingamangaraja XII lah yang dengan semangat garang, mengumumkan perang terhadap Belanda yang ingin menjajah. Terlihat pula, Sisingamangaraja XII bukan anti agama. Dan terlihat pula, Sisingamangaraja XII di zamannya, sudah dapat membina azas dan semangat persatuan dan suku-suku lainnya.

Tahun 1877, mulailah perang Batak yang terkenal itu, yang berlangsung 30 tahun lamanya.Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga dasawarsa, 30 tahun.Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang pasukan rakyat semesta yang dipimpin Raja Sisingamangaraja XII.

Pasukan Belanda yang datang menyerang ke arah Bakara, tempat istana dan markas besar Sisingamangaraja XII di Tangga Batu, Balige mendapat perlawanan dan berhasil dihempang.Belanda merobah taktik, ia menyerbu pada babak berikutnya ke kawasan Balige untuk merebut kantong logistik Sisingamangaraja XII di daerah Toba, untuk selanjutnya mengadakan blokade terhadap Bakara.Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige telah dikuasai Belanda, sedangkan Laguboti masih tetap dipertahankan oleh panglima-panglima Sisingamangaraja XII antara lain Panglima Ompu Partahan Bosi Hutapea. Baru setahun kemudian Laguboti jatuh setelah Belanda mengerahkan pasukan satu batalion tentara bersama barisan penembak-penembak meriam.

Tahun 1883, seperti yang sudah dikuatirkan jauh sebelumnya oleh Sisingamangaraja XII, kini giliran Toba dianeksasi Belanda. Domino berikut yang dijadikan pasukan Belanda yang besar dari Batavia (Jakarta sekarang), mendarat di Pantai Sibolga. Juga dikerahkan pasukan dari Padang Sidempuan.Raja Sisingamangaraja XII membalas menyerang Belanda di Balige dari arah Huta Pardede. Baik kekuatan laut dari Danau Toba, pasukan Sisingamangaraja XII dikerahkan. Empat puluh Solu Bolon atau kapal yang masing-masing panjangnya sampai 20 meter dan mengangkut pasukan sebanyak 20 x 40 orang jadi 800 orang melaju menuju Balige. Pertempuran besar terjadi.

Pada tahun 1883, Belanda benar-benar mengerahkan seluruh kekuatannya dan Sisingamangaraja XII beserta para panglimanya juga bertarung dengan gigih. Tahun itu, di hampir seluruh Tanah Batak pasukan Belanda harus bertahan dari serbuan pasukan-pasukan yang setia kepada perjuangan Raja Sisingamangaraja XII.Namun pada tanggal 12 Agustus 1883, Bakara, tempat Istana dan Markas Besar Sisingamangaraja XII berhasil direbut oleh pasukan Belanda. Sisingamangaraja XII mengundurkan diri ke Dairi bersama keluarganya dan pasukannya yang setia, juga ikut Panglima-panglimanya yang terdiri dari suku Aceh dan lain-lain.

Pada waktu itulah, Gunung Krakatau meletus. Awan hitam meliputi Tanah Batak. Suatu alamat buruk seakan-akan datang. Sebelum peristiwa ini, pada situasi yang kritis, Sisingamangaraja XII berusaha melakukan konsolidasi memperluas front perlawanan. Beliau berkunjung ke Asahan, Tanah Karo dan Simalungun, demi koordinasi perjuangan dan perlawanan terhadap Belanda.Dalam gerak perjuangannya itu banyak sekali kisah tentang kesaktian Raja Sisingamangaraja XII.Perlawanan pasukan Sisingamangaraja XII semakin melebar dan seru, tetapi Belanda juga berani mengambil resiko besar, dengan terus mendatangkan bala bantuan dari Batavia, Fort De Kok, Sibolga dan Aceh. Barisan Marsuse juga didatangkan bahkan para tawanan diboyong dari Jawa untuk menjadi umpan peluru dan tameng pasukan Belanda.

Regu pencari jejak dari Afrika, juga didatangkan untuk mencari persembunyian Sisingamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri dari orang-orang Senegal. Oleh pasukan Sisingamangaraja XII barisan musuh ini dijuluki “Si Gurbak Ulu Na Birong”. Tetapi pasukan Sisingamangaraja XII pun terus bertarung. Panglima Sarbut Tampubolon menyerang tangsi Belanda di Butar, sedang Belanda menyerbu Lintong dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat Situmorang. Tetapi Sisingamangaraja XII menyerang juga ke Lintong Nihuta, Hutaraja, Simangarongsang, Huta Paung, Parsingguran dan Pollung. Panglima Sisingamangaraja XII yang terkenal Amandopang Manullang tertangkap. Dan tokoh Parmalim yang menjadi Penasehat Khusus Raja Sisingamangaraja XII, Guru Somaling Pardede juga ditawan Belanda. Ini terjadi pada tahun 1889.

Tahun 1890, Belanda membentuk pasukan khusus Marsose untuk menyerang Sisingamangaraja XII. Pada awal abad ke 20, Belanda mulai berhasil di Aceh.

Tahun 1903, Panglima Polim menghentikan perlawanan. Tetapi di Gayo, dimana Raja Sisingamangaraja XII pernah berkunjung, perlawanan masih sengit. Masuklah pasukan Belanda dari Gayo Alas menyerang Sisingamangaraja XII.

Tahun 1907, pasukan Belanda yang dinamakan Kolonel Macan atau Brigade Setan mengepung Sisingamangaraja XII. Tetapi Sisingamangaraja XII tidak bersedia menyerah. Ia bertempur sampai titik darah penghabisan. Boru Sagala, Isteri Sisingamangaraja XII, ditangkap pasukan Belanda. Ikut tertangkap putra-putri Sisingamangaraja XII yang masih kecil. Raja Buntal dan Pangkilim. Menyusul Boru Situmorang Ibunda Sisingamangaraja XII juga ditangkap, menyusul Sunting Mariam, putri Sisingamangaraja XII dan lain-lain.

Tahun 1907, di pinggir kali Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang, gugurlah Sisingamangaraja XII oleh peluru Marsuse Belanda pimpinan Kapten Christoffel. Sisingamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya Lopian. Konon Raja Sisingamangaraja XII yang kebal peluru tewas kena peluru setelah terpercik darah putrinya Lopian, yang gugur di pangkuannya.Pengikut-pengikutnya berpencar dan berusaha terus mengadakan perlawanan, sedangkan keluarga Sisingamangaraja XII yang masih hidup ditawan, dihina dan dinista, mereka pun ikut menjadi korban perjuangan.

Demikianlah, tanpa kenal menyerah, tanpa mau berunding dengan penjajah, tanpa pernah ditawan, gigih, ulet, militan, Raja Sisingamangaraja XII selama 30 tahun, selama tiga dekade, telah berjuang tanpa pamrih dengan semangat dan kecintaannya kepada tanah air dan kepada kemerdekaannya yang tidak bertara.Itulah yang dinamakan “Semangat Juang Sisingamangaraja XII”, yang perlu diwarisi seluruh bangsa Indonesia, terutama generasi muda.Sisingamangaraja XII benar-benar patriot sejati. Beliau tidak bersedia menjual tanah air untuk kesenangan pribadi.

Sebelum Beliau gugur, pernah penjajah Belanda menawarkan perdamaian kepada Raja Sisingamangaraja XII dengan imbalan yang cukup menggiurkan. Patriotismenya digoda berat. Beliau ditawarkan dan dijanjikan akan diangkat sebagai Sultan. Asal saja bersedia takluk kepada kekuasaan Belanda. Beliau akan dijadikan Raja Tanah Batak asal mau berdamai. Gubernur Belanda Van Daalen yang memberi tawaran itu bahkan berjanji, akan menyambut sendiri kedatangan Raja Sisingamangaraja XII dengan tembakan meriam 21 kali, bila bersedia masuk ke pangkuan kolonial Belanda, dan akan diberikan kedudukan dengan kesenangan yang besar, asal saja mau kompromi, tetapi Raja Sisingamangaraja XII tegas menolak. Ia berpendirian, lebih baik berkalang tanah daripada hidup di peraduan penjajah.

Raja Sisingamangaraja XII gugur pada tanggal 17 Juni 1907, tetapi pengorbanannya tidaklah sia-sia.Dan cuma 38 tahun kemudian, penjajah betul-betul angkat kaki dari Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamirkan Sukarno-Hatta.Kini Sisingamangaraja XII telah menjadi sejarah. Namun semangat patriotismenya, jiwa pengabdian dan pengorbanannya yang sangat luhur serta pelayanannya kepada rakyat yang sangat agung, kecintaannya kepada Bangsa dan Tanah Airnya serta kepada kemerdekaan yang begitu besar, perlu diwariskan kepada generasi penerus bangsa Indonesia.

Dalam upaya melestarikan system nilai yang melandasi perjuangan Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII dengan menggali khasanah budaya dan system nilai masa silam yang dikaitkan dengan keinginan membina masa depan yang lebih baik, lebih bermutu dan lebih sempurna, maka Lembaga Sisingamangaraja XII yang didirikan dan diketuai DR GM Panggabean pada tahun 1979, telah membangun monumen Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII di kota Medan yang diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Soeharto di Istana Negara dalam rangka peringatan Hari Pahlawan 10 Nopember 1997 dan Pesta Rakyat peresmian monumen tersebut di Medan dihadiri sekitar seratus ribu orang, dengan Pembina Upacara Menko Polkam Jenderal TNI Maraden Panggabean.

Kemudian oleh Yayasan Universitas Sisingamangaraja XII pada tahun 1984 telah didirikan Universitas Sisingamangaraja XII (US XII) di Medan, pada tahun 1986 Universitas Sisingamangaraja XII Tapanuli (UNITA) di Silangit Siborong-borong Tapanuli Utara dan pada tahun 1987 didirikan STMIK Sisingamangaraja XII di Medan.

Read On 1 komentar

1o november

22.19

Seperti anak SD, kalau kita ditanya tanggal 10 November itu diperingati sebagai hari apa, kita serentak akan berseru, Hari Pahlawan. Demikian melekatnya tanggal tersebut dengan nama peringatannya. Hampir semua orang, dari yang tidak pernah mengenal alfabet sampai kepada guru-guru besar, menghapal mati hal ini. Namun kepopulerannya ternyata hanya sebatas kulit. Hari Pahlawan memang rutin diperingati di seluruh Indonesia, tapi itu tidak lebih dari pada seremonial belaka. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak dihayati dan tidak mewarnai aktivitas kehidupan bermasyarakat. Kehidupan dinamis ala barat, yang sangat mendewakan individu, tampak berperan penting sebagai penyebab memudarnya nilai-nilai kepahlawanan tersebut. Orang-orang, terutama di lingkungan perkotaan, sering menunjukkan sifat individualisme, kurang memperdulikan orang lain di sekitarnya dan hanya berpusat pada kepentingan diri sendiri. Berkaitan dengan judul tulisan, mungkin akan terbetik pertanyaan mengapa sampai dikatakan Indonesia kekurangan pahlawan. Bukankah taman makam pahlawan sudah berjubel dengan nisan-nisan yang indah? Bukankah kita bisa menikmati kemerdekaan dari penjajah karena banyaknya pahlawan yang rela mengorbankan dirinya dan hartanya untuk bangsa? Berbicara masalah pahlawan, tentu tak bisa dilepaskan dari pengertian tentang pahlawan itu sendiri. Selama ini, kita sering salah dalam menetapkan siapakah yang pantas disebut pahlawan di negeri ini. Kita hanya memandang bahwa pahlawan adalah orang-orang yang pernah berjuang membebaskan negeri ini dari cengkraman kaum penjajah. Malah ada yang lebih lucu lagi dimana banyak orang yang beranggapan bahwa seseorang baru disebut pahlawan apabila orang itu berjasa bagi negara dan orang tersebut sudah meninggal. Itulah sebabnya, banyak kasus ironis di negeri ini, di mana seseorang yang pernah mati-matian membela bangsa dan negara, selepas kemerdekaan, hidup dengan sangat melarat dan tak terperhatikan. Baru pada saat meninggal, orang-orang mengingat dan mengagung-agungkannya. Malah ada yang sampai mati pun tidak terperhatikan. Kadang juga ada yang pikirannya sedikit lebih luas, dengan menganggap bahwa pahlawan itu tidak cuma ada di zaman kemerdekaan saja. Sekarang pun, di masa pembangunan, banyak pahlawan-pahlawan di tanah air ini. Sebagai contoh, Susi Susanti (bidang olahraga). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (politik), Abdullah Gymnastiar (bidang agama). Pokoknya semua orang-orang ternama yang mengabdikan dirinya untuk bangsa. Tapi sebenarnya, pemahaman pahlawan seperti ini masih sempit. Yang benar, pahlawan adalah semua orang yang rela dan mau membantu atau berbuat baik kepada orang lain, bangsa ataupun negara tanpa adanya rasa pamrih. Tidak peduli baik orang terkenal maupun tersembunyi di hutan belantara, baik yang meninggal maupun yang masih hidup. Mereka merasa bahwa mereka ini hidup tidak sendiri. Mereka satu kesatuan dengan masyarakat dan bangsa. Mereka merasa bahwa orang lain adalah saudara yang wajib mereka bantu. Tidak akan tenang hati mereka kalau orang lain kesusahan. Itulah hakikat pahlawan yang sebenarnya. Dari batasan ini, sudah jelaslah, sangat tepat kalau dikatakan bahwa Indonesia dewasa ini kekurangan pahlawan. Sebagian besar orang hanya hidup untuk diri sendiri dan keluarganya. Sikut sana, sikut sini, biarkan saja orang lain seperti apa adanya, asal mereka sendiri dapat hidup dengan enak. Mereka tidak merasa bahwa kehidupan orang lain adalah bagian dari kehidupan mereka juga. Egois atau individualis adalah istilah yang tepat. Itulah salah satu hal yang memperpuruk kehidupan ekonomi dan sosial bangsa ini yang sudah carut-marut. Kurangnya jiwa kepahlawanan, menyebabkan semakin melebarnya gap antara si kaya dan si miskin. Yang kaya semakin makmur, yang miskin semakin melarat. Kurangnya jiwa kepahlawanan juga menjadi sebab, tidak dinikmatinya kekayaan alam Indonesia yang konon berlimpah secara merata oleh masyarakat. Pihak yang berkuasa, karena mementingkan diri sendiri, mengelola kekayaan tersebut dengan seenak perut, bahkan mereka rela menjual kekayaan tersebut ke pihak asing, sehingga otomatis hasilnya lari ke negara lain. Jadilah kita seperti tikus yang mati di lumbung padi. Sejenak, kita perlu menapak tilas asal muasal hari pahlawan itu sehingga kita akan semakin mengerti betapa pentingnya jiwa kepahlawan ditumbuhkan dalam diri kita. Secara ringkas,diceritakan sebagai berikut: Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Ini setelah sekutu berhasil menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki. Dengan menyerahnya Jepang, praktis selama beberapa saat Indonesia bebas dari pendudukan negara manapun. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh pemuka-pemuka bangsa untuk memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Dengan proklamasi ini, semakin bergeloralah tekad seluruh bangsa Indonesia untuk merdeka dan mempertahankan kemerdekaan tersebut. Karena itu tatkala, tentara Inggris datang pada tanggal 15 September 1945 di Jakarta dan 25 Oktober 1945 di Surabaya dengan maksud melucuti senjata tentara Jepang dan sekaligus mengembalikan Indonesia menjadi jajahan Belanda, maka Indonesia bereaksi keras. Peristiwa di hotel Yamamoto, Surabaya, benar-benar mempertegas maksud bahwa Indonesia akan segera dikembalikan ke tangan Belanda. Saat itu, dikibarkan bendera Belanda Merah-Putih-Biru di hotel Yamamoto. Rakyat Surabaya marah besar, dan terjadilah insiden tunjungan untuk menurunkan bendera tersebut. Insiden ini menyulut bentrokan-bentrokan antara tentara Inggris dengan badan-badan perjuangan yang dibentuk oleh rakyat. Bentrokan-bentrokan itu meluas dan memuncak tatkala pimpinan tentara Inggris di Surabaya, Brigadir Jendral Mallaby pada tanggal 30 Oktober terbunuh. Akibatnya, pengganti Brigadir Jendral Mallaby, Mayor Jendral Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia bersenjata harus melapor dan meletakkan sejata di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum yaitu jam 6 pagi tanggal 10 November 1945. Ini merupakan penghinaan yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Tentu saja ultimatum itu ditolak. Akibatnya, pada tanggal 10 November 1945, tentara Inggris melancarkan serangan besar-besaran dan dahsyat, dengan mengerahkan sekitar 30.000 serdadu, 50 pesawat terbang, dan sejumlah besar kapal perang. Surabaya dibombardir dengan bom, ditembaki secara membabibuta dengan meriam dari laut dan darat. Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan lebih banyak lagi yang luka-luka. Akan tetapi Tentara Keamanan Rakyat dan badan-badan perjuangan serta dibantu oleh rakyat terus mengadakan perlawanan. Mereka rela mengorbankan hidup mereka yang sangat tidak ternilai demi kemerdekaan. Dari peristiwa bersejarah tersebut, tampak jelas betapa besar pengorbanan yang mereka lakukan demi sesuatu yang sangat berharga yaitu kemerdekaan. Begitu besar jasa-jasa mereka terhadap kehidupan kita. Mereka benar-benar pahlawan sejati. Seharusnya diri kita pun bisa menerapkan rasa kepahlawanan seperti mereka dalam kehidupan kita. Kita tidak harus bertempur seperti mereka untuk jadi pahlawan. Situasinya sekarang lain. Kalau dulu mereka menjadi pahlawan untuk merebut kemerdekaan, sekarang kita menjadi pahlawan untuk mengisi kemerdekaan. Itu adalah sama mulianya dengan nilai kepahlawanan mereka. Memang, hati kita lebih sering terusik jika ada provokasi dari luar. Rasa kepahlawanan kita untuk membela milik kita secara otomatis muncul jika menghadapi sesuatu yang mengancam keberadaannya. Pada peristiwa bersejarah di atas, ada provokasi dari penjajah, sehingga muncul semangat untuk membela negara sampai titik darah penghabisan. Contoh lain, masih kita ingat, saat panas-panasnya kasus Ambalat di perbatasan antara Malaysia dan Indonesia. Serta merta, ratusan bahkan ribuan orang mendaftarkan diri secara sukarela untuk menghadapi Malaysia kalau sampai negeri jiran tersebut menginvasi wilayah Indonesia. Tapi kita tidak lantas hanya mempersempit lingkup kepahlawanan seperti itu saja. Nilai-nilai kepahlawanan yang kita terapkan di kala damai, dengan cara bersedia menolong dan berbuat kebaikan kepada orang lain, bangsa, dan negara tanpa pamrih, malah lebih bernilai dibandingkan nilai-nilai kepahlawanan saat perang. Kita berharap saja semoga semangat ramadan yang baru saja kita tinggalkan tidak pudar di tengah jalan dan bisa menginspirasi kita untuk terus mengobarkan semangat kepahlawanan dengan jalan berbuat kebaikan di dalam masyarakat, bangsa, dan negara tanpa mengharapkan pamrih.

Read On 0 komentar

22.03

cerita pahlawan ini bertujuan untuk memperkenalkan ke masyarakat umum umtuk mengetahui betapa pentingnya perjuangan para pahlawan yang mana dia telah memerdekakan negara kita ini..

Read On 0 komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *