Sifat Wajib Dan Mustahil Bagi Rasul

Sifat Wajib Dan Mustahil Bagi Rasul

Sifat Wajib Dan Mustahil Bagi Rasul

Berikut ini adalah 4 sifat yang wajib bagi Rasul :
  1. Siddiq. Artinya benar dalam segala ucapan dan tingkah lakunya. Sifat Rasul ini berarti menerjemahkan, bahwa Rasul tidak pernah berbohong.
  2. Amanah. Artinya bisa dipercaya. Rasul adalah utusan Allah yang diberikan amanah untuk menuntun umatnya kejalan yang benar.
  3. Tabligh. Artinya menyampaikan. Pada diri seorang Rasul memiliki sifat ini, yaitu menampaikan semua yang di wahyukan Allah kepadanya.
  4. Fatanah. Artinya adalah pintar, cerdas. Seorang Rasul memiliki kecerdasan yang bisa digunakan untuk menebarkan agama Allah.
Berikut adalah sifat yang mustahil bagi Rasul :
  1. Kazib. Artinya dusta. Seorang Rasul tidak pernah berdusta atau berbohong
  2. Khianat. Artinya curang
  3. Kitman. Artinya Tdak menyampaikan atau selalu menyembunyikan
  4. Biladah. Artinya bodoh.

Sifat Yang Wajib Dan Mustahil Di Allah

Sifat Yang Wajib Dan Mustahil Di Allah

Sifat Wajib
Tulisan Arab
Arti
Sifat
Sifat Mustahil
Tulisan Arab
Arti
Wujud
ﻭﺟﻮﺩ
Ada
Nafsiah
Adam
ﻋﺪﻡ
Tiada
Qidam
ﻗﺪﻡ
Terdahulu
Salbiah
Huduts
ﺣﺪﻭﺙ
Baru
Baqa
ﺑﻘﺎﺀ
Kekal
Salbiah
Fana
ﻓﻨﺎﺀ
Berubah-ubah (akan binasa)
Mukhalafatuhu lilhawadis
ﻣﺨﺎﻟﻔﺘﻪﻟﻠﺤﻮﺍﺩﺙ
Berbeda dengan makhluk-Nya
Salbiah
Mumathalatuhu lilhawadith
ﻣﻤﺎﺛﻠﺘﻪﻟﻠﺤﻮﺍﺩﺙ
Menyerupai sesuatu
Qiyamuhu binafsih
ﻗﻴﺎﻣﻪﺑﻨﻔﺴﻪ
Berdiri sendiri
Salbiah
Qiamuhu bighairih
ﻗﻴﺎﻣﻪﺑﻐﻴﺮﻩ
Berdiri-Nya dengan yang lain
Wahdaniyat
ﻭﺣﺪﺍﻧﻴﺔ
Esa (satu)
Salbiah
Ta’addud
ﺗﻌﺪﺩ
Lebih dari satu (berbilang)
Qudrat
ﻗﺪﺭﺓ
Kuasa
Ma’ani
Ajzun
ﻋﺟﺰ
Lemah
Iradat
ﺇﺭﺍﺩﺓ
Berkehendak (berkemauan)
Ma’ani
Karahah
ﻛﺮﺍﻫﻪ
Tidak berkemauan (terpaksa)
Ilmu
ﻋﻠﻢ
Mengetahui
Ma’ani
Jahlun
ﺟﻬﻞ
Bodoh
Hayat
ﺣﻴﺎﺓ
Hidup
Ma’ani
Al-Maut
ﺍﻟﻤﻮﺕ
Mati
Sam’un
ﺳﻤﻊ
Mendengar
Ma’ani
Sami
ﺍﻟﺻمم
Tuli
Basar
ﺑﺼﺮ
Melihat
Ma’ani
Al-Umyu
ﺍﻟﻌﻤﻲ
Buta
Kalam
ﻛﻼ 
Berbicara
Ma’ani
Al-Bukmu
ﺍﻟﺑﻜﻢ
Bisu
Kaunuhu qaadiran
ﻛﻮﻧﻪﻗﺎﺩﺭﺍ
Keadaan-Nya yang berkuasa
Ma’nawiyah
Kaunuhu ajizan
ﻛﻮﻧﻪﻋﺎﺟﺰﺍ
Keadaan-Nya yang lemah
Kaunuhu muriidan
ﻛﻮﻧﻪﻣﺮﻳﺪﺍ
Keadaan-Nya yang berkehendak menentukan
Ma’nawiyah
Kaunuhu mukrahan
ﻛﻮﻧﻪمكرها
Keadaan-Nya yang tidak menentukan (terpaksa)
Kaunuhu ‘aliman
ﻛﻮﻧﻪﻋﺎﻟﻤﺎ
Keadaan-Nya yang mengetahui
Ma’nawiyah
Kaunuhu jahilan
ﻛﻮﻧﻪﺟﺎﻫﻼ
Keadaan-Nya yang bodoh
Kaunuhu hayyan
ﻛﻮﻧﻪﺣﻴﺎ
Keadaan-Nya yang hidup
Ma’nawiyah
Kaunuhu mayitan
ﻛﻮﻧﻪﻣﻴﺘﺎ
Keadaan-Nya yang mati
Kaunuhu sami’an
ﻛﻮﻧﻪﺳﻤﻴﻌﺎ
Keadaan-Nya yang mendengar
Ma’nawiyah
Kaunuhu ashamma
ﻛﻮﻧﻪﺃﺻﻢ
Keadaan-Nya yang tuli
Kaunuhu bashiiran
ﻛﻮﻧﻪﺑﺼﻴﺭﺍ
Keadaan-Nya yang melihat
Ma’nawiyah
Kaunuhu a’maa
ﻛﻮﻧﻪﺃﻋﻤﻰ
Keadaan-Nya yang buta
Kaunuhu mutakalliman
ﻛﻮﻧﻪﻣﺘﻜﻠﻤﺎ
Keadaan-Nya yang berbicara
Ma’nawiyah
Kaunuhu abkam
ﻛﻮﻧﻪﺃﺑﻜﻢ
Keadaan-Nya yang bisu

 

Malin Kundang

Selamat datang, selamat menyunting, dan selamat berkompetisi bagi ke-90 peserta kompetisi menulis di Wikipedia bahasa Indonesia: “Bebaskan Pengetahuan 2014” 1 April–27 Juni 2014.
[tutup]

Malin Kundang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Batu yang mirip seorang manusia yang dilegendakan sebagai Malin Kundang.

Malin Kundang adalah kaba yang berasal dari provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Legenda Malin Kundang berkisah tentang seorang anak yang durhaka pada ibunya dan karena itu dikutuk menjadi batu. Sebentuk batu di pantai Air Manis, Padang, konon merupakan sisa-sisa kapal Malin Kundang.

Cerita rakyat yang mirip juga dapat ditemukan di negara-negara lain di Asia Tenggara. Di Malaysia cerita serupa berkisah tentang Si Tenggang[1] yang berasas dari kisah lebih awal lagi pada 1900 dalam buku Malay Magic yang ditulis oleh Walter William Skeat sebagai satu cerita rakyat berjudul Charitra Megat Sajobang dalam buku Malay Magic (1900) ms 54-55 dicetak oleh The Macmillan Company : New York [2]. Cerita Si Tenggang pernah diterbitkan oleh Balai Pustaka, Jakarta pada 1975 sebagai judul Nakoda Tenggang : sebuah legenda dari Malaysia / oleh A. Damhoeri. [3]

Cerita

Pada suatu waktu, di desa terpencil ada sebuah keluarga nelayan di pesisir pantai wilayah Sumatera Barat. Karena kondisi keuangan keluarga memprihatinkan, sang Ayah memutuskan untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan mengarungi lautan yang luas. Ayah Malin tidak pernah kembali ke kampung halamannya sehingga ibunya harus menggantikan posisi ayah Malin untuk mencari nafkah.

Malin termasuk anak yang cerdas tetapi sedikit nakal. Ia sering mengejar ayam dan memukulnya dengan sapu. Suatu hari ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang.

Karena merasa kasihan dengan ibunya yang banting tulang mencari nafkah untuk membesarkan dirinya. Malin memutuskan untuk pergi merantau agar dapat menjadi kaya raya setelah kembali ke kampung halaman kelak.

Awalnya Ibu Malin Kundang kurang setuju, mengingat suaminya juga tidak pernah kembali setelah pergi merantau tetapi Malin tetap bersikeras sehingga akhirnya dia rela melepas Malin pergi merantau dengan menumpang kapal seorang saudagar. Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman.

Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut. Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang beruntung, dia sempat bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu sehingga tidak dibunuh oleh para bajak laut.

Malin Kundang terkatung-katung di tengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan tenaga yang tersisa, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.

Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga kepada ibu Malin Kundang. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur dan sangat gembira anaknya telah berhasil. Sejak saat itu, ibu Malin setiap hari pergi ke dermaga, menantikan anaknya yang mungkin pulang ke kampung halamannya.

Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin yang melihat kedatangan kapal itu ke dermaga melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya, Malin Kundang beserta istrinya.

Ibu Malin pun menuju ke arah kapal. Setelah cukup dekat, ibunya melihat bekas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. “Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?”, katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tetapi melihat wanita tua yang berpakaian lusuh dan kotor memeluknya, Malin Kundang menjadi marah meskipun ia mengetahui bahwa wanita tua itu adalah ibunya, karena dia malu bila hal ini diketahui oleh istrinya dan juga anak buahnya.

Mendapat perlakukan seperti itu dari anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Tidak berapa lama kemudian Malin Kundang kembali pergi berlayar dan di tengah perjalanan datang badai dahsyat menghancurkan kapal Malin Kundang. Ditengah kekacauan itu, diwaktu yang sama dan tempat yang lain ibu Malin Kundang sedang berdoa. Karena kemarahannya yang memuncak, ia pun berteriak “Tuhan! Jika benar ia Malin anakku, KUKUTUK DIA JADI BATU!”

Tepat setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang. Sampai saat ini Batu Malin Kundang masih dapat dilihat di sebuah pantai bernama pantai Air Manis, di selatan kota Padang, Sumatera Barat.

Adaptasi

Karena kepopulerannya kisah Malin Kundang berkali-kali diolah dalam berbagai bentuk, baik cerpen, drama, dan sinetron. Karya-karya adaptasi ini sangat beragam.

Drama

Dramawan dan sastrawan Wisran Hadi menjadikan kisah Malin Kundang sebagai dasar dalam dramanya Malin Kundang (1978) dan Puti Bungsu (1979)

Sinetron

Malin Kundang merupakan sinetron yang diputar di SCTV sejak 11 Januari 2005. Dalam sinetron ini latar cerita Malin Kundang dibawa ke alam modern. Malin Kundang diperankan oleh Fachri Albar. Dalam versi sinetron ini ibu Malin Kundang bernama Zainab dan diperankan Desy Ratnasari.

CERITA PAHLAWAN

CERITA PAHLAWAN BY FADEL HIDAYAT

cerita bung hatta

22.57

Salah satu proklamator kita, Bung Hatta, jika beliau masih hidup, tanggal 12 Agustus 2008 ini akan memasuki usia 106 tahun.Berprinsip Teguh Dua kali kejadian dimana terjadi pertentangan antara bung Hatta dan bung Karno yg ternyata memberi dampak sangat besar terhadap perjalanan bangsa ini, dimana dalam kedua hal tsb bung Hatta memilih utk mengalah.Saat mundurnya bung Hatta desember 1956 , karena tak setuju dengan cara bung Karno memimpin negara , serta perdebatan mereka sebelumnya saat Indonesia belum merdeka. Sebelumya dalam buku sejarah ada dinyatakan bahwa belia berdua pernah berbeda pendapat mengenai bagaimana bangsa ini hendak dibangun, bagaimana kemerdekaan hendak diraih, beberapa tahun sebelum indonesia merdeka.Bung Karno bilang kita perlu bangsa yang berani, revolusioner, penuh semangat utk meraih kemerdekaan, sedangkan bung Hatta berpendapat bahwa kita perlu mencerdaskan, memberi pencerahan pada bangsa Indonesia utk menyongsong kemerdekaan nya, intinya bung Hatta menyatakan pentingnya pendidikan.Namun saat itu, bung Karno tetap bersikukuh dengan pendapatnya, dan dengan gentleman nya , bung Hatta pun mengalah ….Bukti sejarah kemudian menyatakan , bahwa apa yg dinyatakan bung Hatta benar adanya , memang benar pada masa kemerdekaan th 45, bangsa yg bersemangat tinggi, revolusioner bisa meraih kemerdekaan, tapi untuk selanjutnya mereka melupakan pendidikan / pencerdasan.Dari sejarah kita belajar, ada 2 ide besar bung Hatta yg tak terwujud, karena ia mengalah pada bung Karno , dan sampai saat ini kemajuan bangsa ini masih terbelenggu karena 2 hal tsb (pendidikan yg kurang dan demokrasi yg kurang baik )Berkarya NyataBung Hatta merupakan tokoh yang selalu berkarya nyata. Salah satu karya monumental beliau adalah bentuk koperasi. Pemikiran ini dituangkan pada pembentukkan koperasi pengusaha batik, yang akhirnya sukses sampai saat ini. Koperasi tersebut berhasil mendorong kemajuan bagi pengusaha batik dan memberi mereka kesempatan untuk memperluas usaha dengan ekspor. Karya-karya lainnya adalah berbentuk tulisan. Dalam pembuangan pun, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel untuk surat kabar. Honorariumnya cukup untuk biaya hidup di Tanah Merah (Digoel-Papua) dan dia dapat pula membantu kawan-kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti.

Read On 0 komentar

cerita soedirman

22.48

SOEDIRMAN, salah seorang pahlawan nasional dan simbol Tentara Nasional Indonesia (TNI) bukanlah nama yang asing di telinga. Ia mendapat tempat istimewa dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia karena menjabat panglima angkatan bersenjata pada awal berdirinya republik ini. Namun, pengetahuan tentang Soedirman yang diberikan bangku sekolah tidak pernah cukup mendalam. Sementara ketersediaan literatur yang membahas Soedirman secara khusus jumlahnya tidak memadai.

Dalam kurun waktu 25 tahun pertama pascakemerdekaan, tercatat hanya ada satu buku saja yang menempatkan Soedirman sebagai pokok bahasan, yaitu “Djenderal Soedirman Pahlawan Kemerdekaan” (1963) yang ditulis Solichin Salam. Selebihnya pembahasan tentang Soedirman selalu hanya merupakan pelengkap bagi kerangka bahasan lain seperti tentang gerakan Pemuda Muhammadiyah, kepanduan Hizbul Wathan, perang revolusi kemerdekaan, tentara, politik militer, hingga tentang Tan Malaka.

Baru sekitar tahun 1980-an mulai bermunculan buku yang membahas Soedirman secara lebih spesifik, seperti “Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman” karya SA Soekanto (1981), “Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia, Kisah Seorang Pengawal” (1992) yang ditulis Tjokropranolo, mantan Gubernur DKI Tahun 1977-1982, atau “Panglima Besar Jenderal Sudirman Kader Muhammadiyah” (2000) karya Sardiman AM. Meskipun cukup banyak kuantitasnya, namun sebagian besar buku yang hadir tersebut cenderung mengaitkan tokoh ini dengan dunia ketentaraan dan lebih berupa memoar atau biografi Soedirman sebagai seorang tokoh.

Sedikit saja buku seperti “Genesis of Power General Sudirman and the Indonesian Military in Politics 1945-49” (1992) yang ditulis Salim Said, yang mengupas sikap dan pandangan politik Soedirman secara lebih mendalam, baik menyangkut penentangan Soedirman terhadap langkah politik pemerintah yang menjalin kerja sama dengan Belanda, tentang langkah-langkah politis yang diambil Soedirman dalam rangka mengedepankan sikap politiknya, dan keterkaitan Soedirman dengan Peristiwa 3 Juli 1946. Umumnya jika sampai pada pembahasan tentang hal tersebut, penulis-penulis cenderung “melindungi” keterlibatan Soedirman dalam peristiwa yang diyakini sebagai upaya coup d’ ètat dan “membersihkan” kecenderungan ideologi kiri Soedirman dengan berbagai alasan.

Fakta sejarah tersebut memang rawan dibicarakan ketika rezim yang berkuasa bersandar pada kekuatan militer yang mengangkat Soedirman sebagai panglima besarnya. Tak ayal lagi, ketika buku yang menganalisis Peristiwa 3 Juli 1946 terbit, pemerintah Orde Baru langsung membelenggu peredarannya lewat daftar cekal Kejaksaan Agung (Kejagung). “Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman”, buku yang mengangkat Peristiwa 3 Juli 1946 sebagai fokus bahasan, memaparkan pergolakan internal para elite politik Indonesia pada awal kemerdekaan dengan titik berat telaah pada pandangan dan sikap politik yang diambil Soedirman selaku panglima besar dalam menanggapi berbagai situasi politik yang berkembang saat itu.

Panglima Besar Soedirman” merupakan kumpulan beberapa tulisan, di antaranya tulisan dua pelaku sejarah bangsa ini yaitu Abdul Haris Nasution dari kalangan militer dan Roeslan Abdulgani yang mewakili unsur sipil yang turut berjuang dalam perang kemerdekaan. Selain itu, termaktub pula analisis terhadap Peristiwa 3 Juli 1946 dari SI Poeradisastra, sejarawan dan Guru Besar UI, dan rangkuman dari Sides Sudyarto DS, pemenang sayembara puisi Prasasti Ancol tahun 1977 dan mantan wartawan yang pernah bergabung di Kompas tahun 1974-1981.

Buku yang pertama kali dicetak sebanyak 5.000 eksemplar dan diluncurkan sekitar awal tahun 1984, ini tamat riwayat peredarannya di masyarakat kurang lebih enam bulan kemudian, tepatnya tanggal 28 Agustus 1984, setelah diharamkan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) lewat fatwa No 167/JA/8/1984. Menurut Sides, editor buku itu yang sempat diinterogasi Kejagung sebanyak sembilan kali, tidak ada alasan formal yang menjadi landasan pencekalan buku yang bermuatan fakta sejarah tersebut.

Dalam “Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman”, Nasution menuangkan pengalaman pribadi sebagai prajurit di lapangan yang langsung menerima perintah Soedirman. Sebagai seorang bawahan, ia lebih banyak menyoroti kepemimpinan Soedirman sebagai panglima besar dalam menyikapi berbagai kondisi politik bangsa dan menghindari pembahasan tentang Peristiwa 3 Juli 1946. Meskipun begitu, ia mengakui bahwa dirinya berseberangan pendapat dengan Soedirman dalam persoalan “Reorganisasi-Rasionalisasi” (Re-Ra) tentara yang merupakan imbas dari Perjanjian Renville tahun 1948.

Dalam mengulas Soedirman, Abdulgani menempatkan panglima besar tersebut dalam konteks pertikaian ideologi yang mendominasi kala itu. Meskipun dalam Peristiwa 3 Juli 1946 di Yogyakarta Soedirman dituduh membantu upaya coup d’ ètat terhadap duet Soekarno-Hatta, dengan membebaskan orang-orang dari kelompok Marxisme-Leninisme independen (Tan Malaka) yang ditahan di Penjara Wirogunan, namun menurut Abdulgani tekad untuk mempertahankan kemerdekaan dan loyalitas terhadap negara tetap dipegang teguh Soedirman yang secara historis masuk dalam kelompok Islamisme, namun bukan aliran yang fanatik dan intoleran. Walaupun sempat berseberangan pandangan politik dengan pemerintah yang saat itu dikuasai kelompok Marxisme-Liberalisme moderat (Amir Sjarifuddin dan Sjahrir), Soedirman tidak memanfaatkan posisi panglima besar yang strategis untuk menggulingkan pemerintah resmi Soekarno-Hatta.

Poeradisastra sebagai seorang sejarawan berupaya obyektif dalam melihat fakta Peristiwa 3 Juli 1946. Analisis terhadap rangkaian kejadian, proses sidang di Mahkamah Agung, kesaksian Soedirman, serta pernyataan dan pembelaan dari para pelaku yang terlibat dalam peristiwa itu, seperti Iwa Koesoema Soemantri, Ahmad Soebardjo, dan M Yamin dari kubu Persatuan Perjuangan yang berafiliasi pada Tan Malaka, melahirkan satu kesimpulan bahwa telah terjadi tawar-menawar antara Soedirman dengan para anggota Kabinet Sjahrir yang secara coute que coute membentuk pra-anggapan peristiwa tersebut sebagai suatu coup d’ ètat.

Meskipun Poeradisastra tidak mengingkari keterlibatan Soedirman dalam Peristiwa 3 Juli 1946, namun ia yakin Soedirman melakukan negosiasi tersebut untuk menyelamatkan keutuhan komando tentara saat itu. Sejarah membuktikan, Soedirman tetap menjaga manunggalnya tentara dengan pemerintah. Ia mengorbankan hati nuraninya yang tidak setuju dengan keputusan pemerintah untuk berkompromi dengan Belanda demi persatuan negara dan membayar beban psikologisnya dengan kesehatan yang kian hari semakin memburuk.

Upaya meminta Soekarno mengubah susunan Kabinet Sjahrir dan menerima minimum program Persatuan Perjuangan 7 pasal yang dikenal dengan Peristiwa 3 Juli 1946, memang tidak dibahas secara mendalam dalam wacana sejarah Indonesia selama ini. Padahal, peristiwa tersebut jelas melibatkan Soedirman yang disinyalir mendukung Persatuan Perjuangan yang berada di bawah komando Tan Malaka. Kedekatan dan kesamaan visi Soedirman dengan Tan Malaka yang oleh Orde Baru dituding sebagai komunis mengindikasikan ideologi yang dianut Soedirman.Hal inilah yang coba ditutupi rezim Orde Baru yang berdiri di atas kekuatan militer. Bagaimana publik akan bereaksi jika menyadari fakta bahwa Panglima Besar TNI adalah seorang sosialis! (Nurul Fatchiati)

Read On 0 komentar

cerita soekarno

22.42

Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno yang biasa dipanggil Bung Karno, lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidupnya, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika..

Masa kecil Soekarno hanya beberapa tahun hidup bersama orang tuanya di Blitar. Semasa SD hingga tamat, beliau tinggal di Surabaya, indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam. Kemudian melanjutkan sekolah di HBS (Hoogere Burger School). Saat belajar di HBS itu, Soekarno telah menggembleng jiwa nasionalismenya. Selepas lulus HBS tahun 1920, pindah ke Bandung dan melanjut ke THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi IT. Ia berhasil meraih gelar “Ir” pada 25 Mei 1926.

Kemudian, beliau merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan PNI (Partai Nasional lndonesia) pada 4 Juli 1927, dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda, memasukkannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929. Delapan bulan kemudian baru disidangkan. Dalam pembelaannya berjudul Indonesia Menggugat, beliau menunjukkan kemurtadan Belanda, bangsa yang mengaku lebih maju itu.

Pembelaannya itu membuat Belanda makin marah. Sehingga pada Juli 1930, PNI pun dibubarkan. Setelah bebas pada tahun 1931, Soekarno bergabung dengan Partindo dan sekaligus memimpinnya. Akibatnya, beliau kembali ditangkap Belanda dan dibuang ke Ende, Flores, tahun 1933. Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.

Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir.Soekarno mengemukakan gagasan tentang dasar negara yang disebutnya Pancasila. Tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945 Ir.Soekarno terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.

Sebelumnya, beliau juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beliau berupaya mempersatukan nusantara. Bahkan Soekarno berusaha menghimpun bangsa-bangsa di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian berkembang menjadi Gerakan Non Blok.Pemberontakan G-30-S/PKI melahirkan krisis politik hebat yang menyebabkan penolakan MPR atas pertanggungjawabannya. Sebaliknya MPR mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Kesehatannya terus memburuk, yang pada hari Minggu, 21 Juni 1970 ia meninggal dunia di RSPAD. Ia disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta dan dimakamkan di Blitar, Jatim di dekat makam ibundanya, Ida Ayu Nyoman Rai. Pemerintah menganugerahkannya sebagai “Pahlawan Proklamasi”.

Nama:Ir. SoekarnoNama Panggilan:Bung KarnoNama Kecil:Kusno.Lahir:Blitar, Jatim, 6 Juni 1901Meninggal:Jakarta, 21 Juni 1970Makam:Blitar, Jawa TimurGelar (Pahlawan):ProklamatorJabatan:Presiden RI Pertama (1945-1966)Isteri dan Anak:Tiga isteri delapan anakIsteri Fatmawati, anak: Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan GuruhIsteri Hartini, anak: Taufan dan BayuIsteri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto, anak: Kartika.

Ayah:Raden Soekemi SosrodihardjoIbu:Ida Ayu Nyoman RaiPendidikan:HIS di Surabaya (indekos di rumah Haji Oemar Said Tokroaminoto, politisi kawakan pendiri Syarikat Islam)HBS (Hoogere Burger School) lulus tahun 1920THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi yang sekarang menjadi ITB) di Bandung lulus 25 Mei 1926

Ajaran:MarhaenismeKegiatan Politik:Mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) pada 4 Juli 1927Dipenjarakan di Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929Bergabung memimpin Partindo (1931)Dibuang ke Ende, Flores tahun 1933 dan Empat tahun kemudian dipindahkan ke Bengkulu.Merumuskan Pancasila 1 Juni 1945Bersama Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945

Read On 0 komentar

sisingamangaraja XII

22.32

Ketika Sisingamangaraja XII dinobatkan menjadi Raja Batak, waktu itu umurnya baru 19 tahun. Sampai pada tahun 1886, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda kecuali Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai di bawah pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang masih muda. Rakyat bertani dan beternak, berburu dan sedikit-sedikit berdagang. Kalau Raja Sisingamangaraja XII mengunjungi suatu negeri semua yang “terbeang” atau ditawan, harus dilepaskan. Sisingamangaraja XII memang terkenal anti perbudakan, anti penindasan dan sangat menghargai kemerdekaan. Belanda pada waktu itu masih mengakui Tanah Batak sebagai “De Onafhankelijke Bataklandan” (Daerah Batak yang tidak tergantung pada Belanda.

Tahun 1837, kolonialis Belanda memadamkan “Perang Paderi” dan melapangkan jalan bagi pemerintahan kolonial di Minangkabau dan Tapanuli Selatan. Minangkabau jatuh ke tangan Belanda, menyusul daerah Natal, Mandailing, Barumun, Padang Bolak, Angkola, Sipirok, Pantai Barus dan kawasan Sibolga.

Karena itu, sejak tahun 1837, Tanah Batak terpecah menjadi dua bagian, yaitu daerah-daerah yang telah direbut Belanda menjadi daerah Gubernemen yang disebut “Residentie Tapanuli dan Onderhoorigheden”, dengan seorang Residen berkedudukan di Sibolga yang secara administratif tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang. Sedangkan bagian Tanah Batak lainnya, yaitu daerah-daerah Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Humbang, Toba, Samosir, belum berhasil dikuasai oleh Belanda dan tetap diakui Belanda sebagai Tanah Batak yang merdeka, atau ‘De Onafhankelijke Bataklandan’.

Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan tentaranya mendarat di pantai-pantai Aceh. Saat itu Tanah Batak di mana Raja Sisingamangaraja XII berkuasa, masih belum dijajah Belanda.Tetapi ketika 3 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1876, Belanda mengumumkan “Regerings” Besluit Tahun 1876” yang menyatakan daerah Silindung/Tarutung dan sekitarnya dimasukkan kepada kekuasaan Belanda dan harus tunduk kepada Residen Belanda di Sibolga, suasana di Tanah Batak bagian Utara menjadi panas.Raja Sisingamangaraja XII yang kendati secara clan, bukan berasal dari Silindung, namun sebagai Raja yang mengayomi raja-raja lainnya di seluruh Tanah Batak, bangkit kegeramannya melihat Belanda mulai menganeksasi tanah-tanah Batak.

Raja Sisingamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda. Kalau Belanda mulai mencaplok Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan lain-lain.Raja Sisingamangaraja XII cepat bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langkah konsolidasi. Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat raksasa di Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu diambil tiga keputusan sebagai berikut :1. Menyatakan perang terhadap Belanda2. Zending Agama tidak diganggu3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.

Terlihat dari peristiwa ini, Sisingamangaraja XII lah yang dengan semangat garang, mengumumkan perang terhadap Belanda yang ingin menjajah. Terlihat pula, Sisingamangaraja XII bukan anti agama. Dan terlihat pula, Sisingamangaraja XII di zamannya, sudah dapat membina azas dan semangat persatuan dan suku-suku lainnya.

Tahun 1877, mulailah perang Batak yang terkenal itu, yang berlangsung 30 tahun lamanya.Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga dasawarsa, 30 tahun.Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang pasukan rakyat semesta yang dipimpin Raja Sisingamangaraja XII.

Pasukan Belanda yang datang menyerang ke arah Bakara, tempat istana dan markas besar Sisingamangaraja XII di Tangga Batu, Balige mendapat perlawanan dan berhasil dihempang.Belanda merobah taktik, ia menyerbu pada babak berikutnya ke kawasan Balige untuk merebut kantong logistik Sisingamangaraja XII di daerah Toba, untuk selanjutnya mengadakan blokade terhadap Bakara.Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige telah dikuasai Belanda, sedangkan Laguboti masih tetap dipertahankan oleh panglima-panglima Sisingamangaraja XII antara lain Panglima Ompu Partahan Bosi Hutapea. Baru setahun kemudian Laguboti jatuh setelah Belanda mengerahkan pasukan satu batalion tentara bersama barisan penembak-penembak meriam.

Tahun 1883, seperti yang sudah dikuatirkan jauh sebelumnya oleh Sisingamangaraja XII, kini giliran Toba dianeksasi Belanda. Domino berikut yang dijadikan pasukan Belanda yang besar dari Batavia (Jakarta sekarang), mendarat di Pantai Sibolga. Juga dikerahkan pasukan dari Padang Sidempuan.Raja Sisingamangaraja XII membalas menyerang Belanda di Balige dari arah Huta Pardede. Baik kekuatan laut dari Danau Toba, pasukan Sisingamangaraja XII dikerahkan. Empat puluh Solu Bolon atau kapal yang masing-masing panjangnya sampai 20 meter dan mengangkut pasukan sebanyak 20 x 40 orang jadi 800 orang melaju menuju Balige. Pertempuran besar terjadi.

Pada tahun 1883, Belanda benar-benar mengerahkan seluruh kekuatannya dan Sisingamangaraja XII beserta para panglimanya juga bertarung dengan gigih. Tahun itu, di hampir seluruh Tanah Batak pasukan Belanda harus bertahan dari serbuan pasukan-pasukan yang setia kepada perjuangan Raja Sisingamangaraja XII.Namun pada tanggal 12 Agustus 1883, Bakara, tempat Istana dan Markas Besar Sisingamangaraja XII berhasil direbut oleh pasukan Belanda. Sisingamangaraja XII mengundurkan diri ke Dairi bersama keluarganya dan pasukannya yang setia, juga ikut Panglima-panglimanya yang terdiri dari suku Aceh dan lain-lain.

Pada waktu itulah, Gunung Krakatau meletus. Awan hitam meliputi Tanah Batak. Suatu alamat buruk seakan-akan datang. Sebelum peristiwa ini, pada situasi yang kritis, Sisingamangaraja XII berusaha melakukan konsolidasi memperluas front perlawanan. Beliau berkunjung ke Asahan, Tanah Karo dan Simalungun, demi koordinasi perjuangan dan perlawanan terhadap Belanda.Dalam gerak perjuangannya itu banyak sekali kisah tentang kesaktian Raja Sisingamangaraja XII.Perlawanan pasukan Sisingamangaraja XII semakin melebar dan seru, tetapi Belanda juga berani mengambil resiko besar, dengan terus mendatangkan bala bantuan dari Batavia, Fort De Kok, Sibolga dan Aceh. Barisan Marsuse juga didatangkan bahkan para tawanan diboyong dari Jawa untuk menjadi umpan peluru dan tameng pasukan Belanda.

Regu pencari jejak dari Afrika, juga didatangkan untuk mencari persembunyian Sisingamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri dari orang-orang Senegal. Oleh pasukan Sisingamangaraja XII barisan musuh ini dijuluki “Si Gurbak Ulu Na Birong”. Tetapi pasukan Sisingamangaraja XII pun terus bertarung. Panglima Sarbut Tampubolon menyerang tangsi Belanda di Butar, sedang Belanda menyerbu Lintong dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat Situmorang. Tetapi Sisingamangaraja XII menyerang juga ke Lintong Nihuta, Hutaraja, Simangarongsang, Huta Paung, Parsingguran dan Pollung. Panglima Sisingamangaraja XII yang terkenal Amandopang Manullang tertangkap. Dan tokoh Parmalim yang menjadi Penasehat Khusus Raja Sisingamangaraja XII, Guru Somaling Pardede juga ditawan Belanda. Ini terjadi pada tahun 1889.

Tahun 1890, Belanda membentuk pasukan khusus Marsose untuk menyerang Sisingamangaraja XII. Pada awal abad ke 20, Belanda mulai berhasil di Aceh.

Tahun 1903, Panglima Polim menghentikan perlawanan. Tetapi di Gayo, dimana Raja Sisingamangaraja XII pernah berkunjung, perlawanan masih sengit. Masuklah pasukan Belanda dari Gayo Alas menyerang Sisingamangaraja XII.

Tahun 1907, pasukan Belanda yang dinamakan Kolonel Macan atau Brigade Setan mengepung Sisingamangaraja XII. Tetapi Sisingamangaraja XII tidak bersedia menyerah. Ia bertempur sampai titik darah penghabisan. Boru Sagala, Isteri Sisingamangaraja XII, ditangkap pasukan Belanda. Ikut tertangkap putra-putri Sisingamangaraja XII yang masih kecil. Raja Buntal dan Pangkilim. Menyusul Boru Situmorang Ibunda Sisingamangaraja XII juga ditangkap, menyusul Sunting Mariam, putri Sisingamangaraja XII dan lain-lain.

Tahun 1907, di pinggir kali Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang, gugurlah Sisingamangaraja XII oleh peluru Marsuse Belanda pimpinan Kapten Christoffel. Sisingamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya Lopian. Konon Raja Sisingamangaraja XII yang kebal peluru tewas kena peluru setelah terpercik darah putrinya Lopian, yang gugur di pangkuannya.Pengikut-pengikutnya berpencar dan berusaha terus mengadakan perlawanan, sedangkan keluarga Sisingamangaraja XII yang masih hidup ditawan, dihina dan dinista, mereka pun ikut menjadi korban perjuangan.

Demikianlah, tanpa kenal menyerah, tanpa mau berunding dengan penjajah, tanpa pernah ditawan, gigih, ulet, militan, Raja Sisingamangaraja XII selama 30 tahun, selama tiga dekade, telah berjuang tanpa pamrih dengan semangat dan kecintaannya kepada tanah air dan kepada kemerdekaannya yang tidak bertara.Itulah yang dinamakan “Semangat Juang Sisingamangaraja XII”, yang perlu diwarisi seluruh bangsa Indonesia, terutama generasi muda.Sisingamangaraja XII benar-benar patriot sejati. Beliau tidak bersedia menjual tanah air untuk kesenangan pribadi.

Sebelum Beliau gugur, pernah penjajah Belanda menawarkan perdamaian kepada Raja Sisingamangaraja XII dengan imbalan yang cukup menggiurkan. Patriotismenya digoda berat. Beliau ditawarkan dan dijanjikan akan diangkat sebagai Sultan. Asal saja bersedia takluk kepada kekuasaan Belanda. Beliau akan dijadikan Raja Tanah Batak asal mau berdamai. Gubernur Belanda Van Daalen yang memberi tawaran itu bahkan berjanji, akan menyambut sendiri kedatangan Raja Sisingamangaraja XII dengan tembakan meriam 21 kali, bila bersedia masuk ke pangkuan kolonial Belanda, dan akan diberikan kedudukan dengan kesenangan yang besar, asal saja mau kompromi, tetapi Raja Sisingamangaraja XII tegas menolak. Ia berpendirian, lebih baik berkalang tanah daripada hidup di peraduan penjajah.

Raja Sisingamangaraja XII gugur pada tanggal 17 Juni 1907, tetapi pengorbanannya tidaklah sia-sia.Dan cuma 38 tahun kemudian, penjajah betul-betul angkat kaki dari Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamirkan Sukarno-Hatta.Kini Sisingamangaraja XII telah menjadi sejarah. Namun semangat patriotismenya, jiwa pengabdian dan pengorbanannya yang sangat luhur serta pelayanannya kepada rakyat yang sangat agung, kecintaannya kepada Bangsa dan Tanah Airnya serta kepada kemerdekaan yang begitu besar, perlu diwariskan kepada generasi penerus bangsa Indonesia.

Dalam upaya melestarikan system nilai yang melandasi perjuangan Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII dengan menggali khasanah budaya dan system nilai masa silam yang dikaitkan dengan keinginan membina masa depan yang lebih baik, lebih bermutu dan lebih sempurna, maka Lembaga Sisingamangaraja XII yang didirikan dan diketuai DR GM Panggabean pada tahun 1979, telah membangun monumen Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII di kota Medan yang diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Soeharto di Istana Negara dalam rangka peringatan Hari Pahlawan 10 Nopember 1997 dan Pesta Rakyat peresmian monumen tersebut di Medan dihadiri sekitar seratus ribu orang, dengan Pembina Upacara Menko Polkam Jenderal TNI Maraden Panggabean.

Kemudian oleh Yayasan Universitas Sisingamangaraja XII pada tahun 1984 telah didirikan Universitas Sisingamangaraja XII (US XII) di Medan, pada tahun 1986 Universitas Sisingamangaraja XII Tapanuli (UNITA) di Silangit Siborong-borong Tapanuli Utara dan pada tahun 1987 didirikan STMIK Sisingamangaraja XII di Medan.

Read On 1 komentar

1o november

22.19

Seperti anak SD, kalau kita ditanya tanggal 10 November itu diperingati sebagai hari apa, kita serentak akan berseru, Hari Pahlawan. Demikian melekatnya tanggal tersebut dengan nama peringatannya. Hampir semua orang, dari yang tidak pernah mengenal alfabet sampai kepada guru-guru besar, menghapal mati hal ini. Namun kepopulerannya ternyata hanya sebatas kulit. Hari Pahlawan memang rutin diperingati di seluruh Indonesia, tapi itu tidak lebih dari pada seremonial belaka. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak dihayati dan tidak mewarnai aktivitas kehidupan bermasyarakat. Kehidupan dinamis ala barat, yang sangat mendewakan individu, tampak berperan penting sebagai penyebab memudarnya nilai-nilai kepahlawanan tersebut. Orang-orang, terutama di lingkungan perkotaan, sering menunjukkan sifat individualisme, kurang memperdulikan orang lain di sekitarnya dan hanya berpusat pada kepentingan diri sendiri. Berkaitan dengan judul tulisan, mungkin akan terbetik pertanyaan mengapa sampai dikatakan Indonesia kekurangan pahlawan. Bukankah taman makam pahlawan sudah berjubel dengan nisan-nisan yang indah? Bukankah kita bisa menikmati kemerdekaan dari penjajah karena banyaknya pahlawan yang rela mengorbankan dirinya dan hartanya untuk bangsa? Berbicara masalah pahlawan, tentu tak bisa dilepaskan dari pengertian tentang pahlawan itu sendiri. Selama ini, kita sering salah dalam menetapkan siapakah yang pantas disebut pahlawan di negeri ini. Kita hanya memandang bahwa pahlawan adalah orang-orang yang pernah berjuang membebaskan negeri ini dari cengkraman kaum penjajah. Malah ada yang lebih lucu lagi dimana banyak orang yang beranggapan bahwa seseorang baru disebut pahlawan apabila orang itu berjasa bagi negara dan orang tersebut sudah meninggal. Itulah sebabnya, banyak kasus ironis di negeri ini, di mana seseorang yang pernah mati-matian membela bangsa dan negara, selepas kemerdekaan, hidup dengan sangat melarat dan tak terperhatikan. Baru pada saat meninggal, orang-orang mengingat dan mengagung-agungkannya. Malah ada yang sampai mati pun tidak terperhatikan. Kadang juga ada yang pikirannya sedikit lebih luas, dengan menganggap bahwa pahlawan itu tidak cuma ada di zaman kemerdekaan saja. Sekarang pun, di masa pembangunan, banyak pahlawan-pahlawan di tanah air ini. Sebagai contoh, Susi Susanti (bidang olahraga). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (politik), Abdullah Gymnastiar (bidang agama). Pokoknya semua orang-orang ternama yang mengabdikan dirinya untuk bangsa. Tapi sebenarnya, pemahaman pahlawan seperti ini masih sempit. Yang benar, pahlawan adalah semua orang yang rela dan mau membantu atau berbuat baik kepada orang lain, bangsa ataupun negara tanpa adanya rasa pamrih. Tidak peduli baik orang terkenal maupun tersembunyi di hutan belantara, baik yang meninggal maupun yang masih hidup. Mereka merasa bahwa mereka ini hidup tidak sendiri. Mereka satu kesatuan dengan masyarakat dan bangsa. Mereka merasa bahwa orang lain adalah saudara yang wajib mereka bantu. Tidak akan tenang hati mereka kalau orang lain kesusahan. Itulah hakikat pahlawan yang sebenarnya. Dari batasan ini, sudah jelaslah, sangat tepat kalau dikatakan bahwa Indonesia dewasa ini kekurangan pahlawan. Sebagian besar orang hanya hidup untuk diri sendiri dan keluarganya. Sikut sana, sikut sini, biarkan saja orang lain seperti apa adanya, asal mereka sendiri dapat hidup dengan enak. Mereka tidak merasa bahwa kehidupan orang lain adalah bagian dari kehidupan mereka juga. Egois atau individualis adalah istilah yang tepat. Itulah salah satu hal yang memperpuruk kehidupan ekonomi dan sosial bangsa ini yang sudah carut-marut. Kurangnya jiwa kepahlawanan, menyebabkan semakin melebarnya gap antara si kaya dan si miskin. Yang kaya semakin makmur, yang miskin semakin melarat. Kurangnya jiwa kepahlawanan juga menjadi sebab, tidak dinikmatinya kekayaan alam Indonesia yang konon berlimpah secara merata oleh masyarakat. Pihak yang berkuasa, karena mementingkan diri sendiri, mengelola kekayaan tersebut dengan seenak perut, bahkan mereka rela menjual kekayaan tersebut ke pihak asing, sehingga otomatis hasilnya lari ke negara lain. Jadilah kita seperti tikus yang mati di lumbung padi. Sejenak, kita perlu menapak tilas asal muasal hari pahlawan itu sehingga kita akan semakin mengerti betapa pentingnya jiwa kepahlawan ditumbuhkan dalam diri kita. Secara ringkas,diceritakan sebagai berikut: Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Ini setelah sekutu berhasil menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki. Dengan menyerahnya Jepang, praktis selama beberapa saat Indonesia bebas dari pendudukan negara manapun. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh pemuka-pemuka bangsa untuk memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Dengan proklamasi ini, semakin bergeloralah tekad seluruh bangsa Indonesia untuk merdeka dan mempertahankan kemerdekaan tersebut. Karena itu tatkala, tentara Inggris datang pada tanggal 15 September 1945 di Jakarta dan 25 Oktober 1945 di Surabaya dengan maksud melucuti senjata tentara Jepang dan sekaligus mengembalikan Indonesia menjadi jajahan Belanda, maka Indonesia bereaksi keras. Peristiwa di hotel Yamamoto, Surabaya, benar-benar mempertegas maksud bahwa Indonesia akan segera dikembalikan ke tangan Belanda. Saat itu, dikibarkan bendera Belanda Merah-Putih-Biru di hotel Yamamoto. Rakyat Surabaya marah besar, dan terjadilah insiden tunjungan untuk menurunkan bendera tersebut. Insiden ini menyulut bentrokan-bentrokan antara tentara Inggris dengan badan-badan perjuangan yang dibentuk oleh rakyat. Bentrokan-bentrokan itu meluas dan memuncak tatkala pimpinan tentara Inggris di Surabaya, Brigadir Jendral Mallaby pada tanggal 30 Oktober terbunuh. Akibatnya, pengganti Brigadir Jendral Mallaby, Mayor Jendral Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia bersenjata harus melapor dan meletakkan sejata di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum yaitu jam 6 pagi tanggal 10 November 1945. Ini merupakan penghinaan yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Tentu saja ultimatum itu ditolak. Akibatnya, pada tanggal 10 November 1945, tentara Inggris melancarkan serangan besar-besaran dan dahsyat, dengan mengerahkan sekitar 30.000 serdadu, 50 pesawat terbang, dan sejumlah besar kapal perang. Surabaya dibombardir dengan bom, ditembaki secara membabibuta dengan meriam dari laut dan darat. Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan lebih banyak lagi yang luka-luka. Akan tetapi Tentara Keamanan Rakyat dan badan-badan perjuangan serta dibantu oleh rakyat terus mengadakan perlawanan. Mereka rela mengorbankan hidup mereka yang sangat tidak ternilai demi kemerdekaan. Dari peristiwa bersejarah tersebut, tampak jelas betapa besar pengorbanan yang mereka lakukan demi sesuatu yang sangat berharga yaitu kemerdekaan. Begitu besar jasa-jasa mereka terhadap kehidupan kita. Mereka benar-benar pahlawan sejati. Seharusnya diri kita pun bisa menerapkan rasa kepahlawanan seperti mereka dalam kehidupan kita. Kita tidak harus bertempur seperti mereka untuk jadi pahlawan. Situasinya sekarang lain. Kalau dulu mereka menjadi pahlawan untuk merebut kemerdekaan, sekarang kita menjadi pahlawan untuk mengisi kemerdekaan. Itu adalah sama mulianya dengan nilai kepahlawanan mereka. Memang, hati kita lebih sering terusik jika ada provokasi dari luar. Rasa kepahlawanan kita untuk membela milik kita secara otomatis muncul jika menghadapi sesuatu yang mengancam keberadaannya. Pada peristiwa bersejarah di atas, ada provokasi dari penjajah, sehingga muncul semangat untuk membela negara sampai titik darah penghabisan. Contoh lain, masih kita ingat, saat panas-panasnya kasus Ambalat di perbatasan antara Malaysia dan Indonesia. Serta merta, ratusan bahkan ribuan orang mendaftarkan diri secara sukarela untuk menghadapi Malaysia kalau sampai negeri jiran tersebut menginvasi wilayah Indonesia. Tapi kita tidak lantas hanya mempersempit lingkup kepahlawanan seperti itu saja. Nilai-nilai kepahlawanan yang kita terapkan di kala damai, dengan cara bersedia menolong dan berbuat kebaikan kepada orang lain, bangsa, dan negara tanpa pamrih, malah lebih bernilai dibandingkan nilai-nilai kepahlawanan saat perang. Kita berharap saja semoga semangat ramadan yang baru saja kita tinggalkan tidak pudar di tengah jalan dan bisa menginspirasi kita untuk terus mengobarkan semangat kepahlawanan dengan jalan berbuat kebaikan di dalam masyarakat, bangsa, dan negara tanpa mengharapkan pamrih.

Read On 0 komentar

22.03

cerita pahlawan ini bertujuan untuk memperkenalkan ke masyarakat umum umtuk mengetahui betapa pentingnya perjuangan para pahlawan yang mana dia telah memerdekakan negara kita ini..

Read On 0 komentar

Kumpulan Foto Pahlawan Nasional dan kisahnya

Kumpulan Foto Pahlawan Nasional

Pangeran Antasari Ahli Strategi Grilya

Pahlawan Nasional asal Kalsel, Pangeran Antasari.

Pangeran Antasari dikenal sebagai pejuang kemerdekaan yang sangat gigih melawan penjajah Belanda, kata Bupati Batiola H Hasanuddin Murad.

Selain itu, kata bupati pada peringatan ke 148 tahun wafatnya Pahlawan Nasional Antasari, dia  juga dikenal pribadi yang besar dan seorang ahli strategi perang grilya yang mampu memimpin dan menggerakan para pengikutnya dalam mencapai tujuan bersama.
Kunci keberhasilan perjuangan pada waktu itu tidak lain dari semangat heroisme dan patriotisme rela berkorban serta keikhlasan yang jauh dari pamrih yang dimiliki oleh para pejuang, tutur Hasanuddin Murad.
Suatu semangat yang saat ini sedang mengalami erosi dan terdegradasi oleh pola kepentingan individual yang semakin menonjol.
Tema yang ditetapkan pada peringatan wafatnya Pangeran Antasari tahun 2010 adalah “Melalui peringatan wafatnya Pangeran Antasari ke-148 tahun, tanamkan dan tumbuhkan semangat serta keikhlasan dalam meneruskan membangun Kalimantan Selatan.”
Tema  memiliki tiga kata kunci yang patut diperhatikan bersama yakni semangat dan keikhlasan serta meneruskan membangun Kalsel. Dengan mewarisi dan meneladani semangat dan keikhlasan Pangeran Antasari dalam memperjuangkan kemerdekaan akan menjadi motivasi dan inspirasi bagi semua sebagai generasi penerus dalam meneruskan dan membangun Kabupaten Batola sebagai bagian intergral dari Provinsi Kalsel dan bangsa Indonesia.Dengan motivisi dan inspirasi itulah seharusnya kita semua merasa terpanggil untuk mengaktualisasikan semangat dan nilai-nilai kejuangan yang pernah dikobarkan para pahlawan terutama dalam kaitan mewujudkan cita-cita kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegera, ajak bupati. Kewajiban untuk mengaktualisasikan semangat dan nilai-nilai kejuangan menjadi semakin penting, lanjut dia, di saat dihadapkan pada berabagai persoalan bangsa, dimana sebagai bagian integral dari NKRI persoalan bangsa juga berpengaruh terhadap kondisi politik, ekonomi, sosial, budaya, serta keamanan di daerah.

Cut Nyak Dien

Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang banyak melahirkan pahlawan perempuan yang gigih tidak kenal kompromi melawan kaum imperialis. Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja yang di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap.
Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1848, ini sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

TJOET NJAK DIEN lahir pada 1848 dari keluarga kalangan bangsawan yang sangat taat beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, uleebalang VI Mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV. Leluhur dari pihak ayahnya, yaitu Panglima Nanta, adalah keturunan Sultan Aceh yang pada permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu Tajjul Alam di Sumatra Barat. Ibunda Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang bangsawan Lampagar.

Sebagaimana lazimnya putri-putri bangsawan Aceh, sejak kecil Tjoet Njak Dien memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan ini selain diberikan orang tuanya, juga para guru agama. Pengetahuan mengenai rumah tangga, baik memasak maupun cara menghadapi atau melayani suami dan hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari, didapatkan dari ibunda dan kerabatnya. Karena pengaruh didikan agama yang amat kuat, didukung suasana lingkungannya, Tjoet Njak Dhien memiliki sifat tabah, teguh pendirian dan tawakal.

Tjoet Njak Dien dibesarkan dalam lingkungan suasana perjuangan yang amat dahsyat, suasana perang Aceh. Sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan. Parlawanan yang keras itu semata-mata dilandasi keyakinan agama serta perasaan benci yang mendalam dan meluap-luap kepada kaum kafir.

Tjoet Njak Dien dinikahkan oleh orang tuanya pada usia belia, yaitu tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang Lam Nga XIII. Perayaan pernikahan dimeriahkan oleh kehadiran penyair terkenal Abdul Karim yang membawakan syair-syair bernafaskan agama dan mengagungkan perbuatan-perbuatan heroik sehingga dapat menggugah semangat bagi yang mendengarkannya, khususnya dalam rangka melawan kafir (Snouck Hourgronje, 1985: 107). Setelah dianggap mampu mengurus rumah tangga sendiri, pasangan tersebut pindah dari rumah orang tuanya. Selanjutnya kehidupan rumah tangganya berjalan baik dan harmonis. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.

Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya yang seorang pejuang kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam suasana memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa patriotnya.

Ketika perang Aceh meletus tahun 1873, suami Tjoet Njak Dien turut aktif di garis depan sehingga merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim. Karena itu Teuku Ibrahim jarang berkumpul dengan istri dan anaknya. Tjoet Njak Dien mengikhlaskan keterlibatan suaminya dalam peperangan, bahkan menjadi pendorong dan pembakar semangat juang suaminya. Untuk mengobati kerinduan pada suaminya yang berada jauh di medan perang, sambil membuai sang buah hatinya ia menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan semangat perjuangan. Ketika sesekali suaminya pulang ke rumah, maka yang dibicarakan dan dilakukan Tjoet Njak Dien tak lain adalah hal-hal yang berkaitan dengan perlawanan terhadap kaum kafir Belanda.

Begitu menyakitkan perasaaan Cut Nyak Dien akan kematian suaminya yang semuanya bersumber dari kerakusan dan kekejaman kolonial Belanda. Hati ibu muda yang masih berusia 28 tahun itu bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya sekaligus bersumpah hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu usahanya menuntut balas tersebut. Hari-hari sepeninggal suaminya, dengan dibantu para pasukannya, dia terus melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda.

Dua tahun setelah kematian suami pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu menuntut balas kematian suami pertamanya benar-benar ditepati. Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang terkenal banyak mendatangkan kerugian bagi pihak Belanda.

Perlawanan terhadap Belanda kian hebat. Beberapa wilayah yang sudah dikuasai Belanda berhasil direbutnya. Dengan menikahi Tjoet Njak Dien mengakibatkan Teuku Umar kian mendapatkan dukungan. Meskipun telah mempunyai istri sebelumnya, Tjoet Njak Dien lah yang paling berpengaruh terhadap Teuku Umar. Perempuan inilah yang senantiasa membangkitkan semangat juangnya, mempengaruhi, mengekang tindakannya, sekaligus menghilangkan kebiasaan buruknya.
Sekilas mengenai Teuku Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak taktik. Pada tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur.

Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Tjoet Njak Dien mengordinasikan serangan besar-besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Segala barang berharga yang masih dimilikinya dikorbankan untuk mengisi kas peperangan. Cut Nyak Dien kembali sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut, dia terus melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh. Dia seorang pejuang yang pantang menyerah atau tunduk pada penjajah. Tidak mengenal kata kompromi bahkan walau dengan istilah berdamai sekalipun.

Dewi Sartika…Pahlawan Wanita Dari Tanah Sunda

Pada tanggal 19 Juli 2008 saya, permaisuri dan Firman mengunjungi rumah Dewi Sartika…Pahlawan Wanita Dari Tanah Sunda………… Rumah yang terletak di Jl.Dewi Sartika – Cicalengka – Kabupaten Bandung itu terlihat asri dan khas kediaman priyayi jaman dulu.

Kami tidak bisa masuk memang…..Namun dari luar suasananya mencerminkan kearifan beliau itu masih ada……Sayang kami tidak bisa lama di sana….Maklum tempat tersebut belum dibuka untuk umum…….

Berikut cuplikan sejarah beliau dari Wikipedia:

Dewi Sartika (Bandung, 4 Desember 1884 – Tasikmalaya, 11 September 1947), tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966.

Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula. Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda.

Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.

Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.

Ketika sudah mulai remaja, Dewi Sartika kembali ke ibunya di Bandung. Jiwanya yang semakin dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, pamannya sendiri, yang memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya serta merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir. Namu karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.

Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru.

Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis, dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu

Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.

Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih mememnuhi syarat kelengkapan sekolah formal.

Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.

Pangeran Diponegoro (1785-1855)

Dilahirkan dari keluarga Kesultanan Yogyakarta, memiliki jiwa kepemimpinan dan kepahlawanan. Hatinya yang bersih dan sebagai seorang pangeran akhirnya menuntunnya menjadi seorang yang harus tampil di depan guna membela kehormatan keluarga, kerajaan, rakyat dan bangsanya dari penjajahan Belanda.

Namun resiko dari kebersihan hatinya, ia ditangkap oleh Belanda dengan cara licik, rekayasa perundingan. Namun walaupun begitu, beliau tidak akan pernah menyesal karena beliau wafat dengan hati yang tenang, tidak berhutang pada bangsanya, rakyatnya, keluarganya, terutama pada dirinya sendiri.

Kejujuran, kesederhanaan, kerendahan hati, kebersihan hati, kepemimpinan, kepahlawanan, itulah barangkali sedikit sifat yang tertangkap bila menelusuri perjalanan perjuangan Pahlawan kita yang lahir di Yogyakarta tanggal 11 November 1785, ini.

Pangeran Diponegoro yang bernama asli Raden Mas Ontowiryo, ini menunjukkan kesederhanaan atau kerendahan hatinya itu ketika menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengku Buwono III untuk mengangkatnya menjadi raja. Beliau menolak mengingat bunda yang melahirkannya bukanlah permaisuri.

Bagi orang-orang yang tamak akan kedudukan, penolakan itu pasti sangat disayangkan. Sebab bagi orang tamak, jangankan diberi, bila perlu merampas pun dilakukan. Melihat penolakan ini, sangat jelas sifat tamak tidak ada sedikitpun pada Pangeran ini. Yang ada hanyalah hati yang bersih. Beliau tidak mau menerima apa yang menurut beliau bukan haknya. Itulah sifat yang dipertunjukkannya dalam penolakan terhadap tawaran ayahnya tersebut.

Namun sebaliknya, beliau juga akan memperjuangkan sampai mati apa yang menurut beliau menjadi haknya. Sifatnya ini jelas terlihat jika memperhatikan sikap beliau ketika melihat perlakuan Belanda di Yogyakarta sekitar tahun 1920. Hatinya semakin tidak bisa menerima ketika melihat campur tangan Belanda yang semakin besar dalam persoalan kerajaan Yogyakarta. Berbagai peraturan tata tertib yang dibuat oleh Pemerintah Belanda menurutnya sangat merendahkan martabat raja-raja Jawa. Sikap ini juga sangat jelas memperlihatkan sifat kepemimpinan dan kepahlawanan beliau.

Sebagaimana diketahui bahwa Belanda pada setiap kesempatan selalu menggunakan politik ‘memecah-belah’-nya. Di Yogyakarta sendiri pun, Pangeran Diponegoro melihat, bahwa para bangsawan di sana sering di adu domba Belanda. Ketika kedua bangsawan yang diadu-domba saling mencurigai, tanah-tanah kerajaan pun semakin banyak diambil oleh Belanda untuk perkebunan pengusaha-pengusaha dari negeri kincir angin itu.

Melihat keadaan demikian, Pangeran Diponegoro menunjukkan sikap tidak senang dan memutuskan meninggalkan keraton untuk seterusnya menetap di Tegalrejo. Melihat sikapnya yang demikian, Belanda malah menuduhnya menyiapkan pemberontakan. Sehingga pada tanggal 20 Juni 1825, Belanda melakukan penyerangan ke Tegalrejo. Dengan demikian Perang Diponegoro pun telah dimulai.

Dalam perang di Tegalrejo ini, Pangeran dan pasukannya terpaksa mundur, dan selajutnya mulai membangun pertahanan baru di Selarong. Perang dilakukan secara bergerilya dimana pasukan sering berpindah-pindah untuk menjaga agar pasukannya sulit dihancurkan pihak Belanda. Taktik perang gerilya ini pada tahun-tahun pertama membuat pasukannya unggul dan banyak menyulitkan pihak Belanda.

Namun setelah Belanda mengganti siasat dengan membangun benteng-benteng di daerah yang sudah dikuasai, akhirnya pergerakan pasukan Diponegoro pun tidak bisa lagi sebebas sebelumnya. Disamping itu, pihak Belanda pun selalu membujuk tokoh-tokoh yang mengadakan perlawanan agar menghentikan perang. Akhirnya, terhitung sejak tahun 1829 perlawanan dari rakyat pun semakin berkurang.

Belanda yang sesekali masih mendapatkan perlawanan dari pasukan Diponegoro, dengan berbagai cara terus berupaya untuk menangkap pangeran. Bahkan sayembara pun dipergunaan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Diponegoro sendiri tidak pernah mau menyerah sekalipun kekuatannya semakin melemah.

Karena berbagai cara yang dilakukan oleh Belanda tidak pernah berhasil, maka permainan licik dan kotor pun dilakukan. Diponegoro diundang ke Magelang untuk berunding, dengan jaminan kalau tidak ada pun kesepakatan, Diponegoro boleh kembali ke tempatnya dengan aman. Diponegoro yang jujur dan berhati bersih, percaya atas niat baik yang diusulkan Belanda tersebut. Apa lacur, undangan perundingan tersebut rupanya sudah menjadi rencana busuk untuk menangkap pangeran ini. Dalam perundingan di Magelang tanggal 28 Maret 1830, beliau ditangkap dan dibuang ke Menado yang dikemudian hari dipindahkan lagi ke Ujungpandang.

Setelah kurang lebih 25 tahun ditahan di Benteng Rotterdam, Ujungpandang, akhirnya pada tanggal 8 Januari 1855 beliau meninggal. Jenazahnya pun dimakamkan di sana. Beliau wafat sebagai pahlawan bangsa yang tidak pernah mau menyerah pada kejaliman manusia.

Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol (TIB) (1722-1864), yang diangkat sebagai pahlawan nasional berdasarkam SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, 6 November 1973, adalah pemimpin utama Perang Paderi di Sumatera Barat (1803-1837) yang gigih melawan Belanda.

Selama 62 tahun Indonesia merdeka, nama Tuanku Imam Bonjol hadir di ruang publik bangsa: sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan di lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001.

Namun, baru-baru ini muncul petisi, menggugat gelar kepahlawanannya. TIB dituduh melanggar HAM karena pasukan Paderi menginvasi Tanah Batak (1816-1833) yang menewaskan “jutaan” orang di daerah itu (http://www.petitiononline. com/bonjol/petition.html).

Kekejaman Paderi disorot dengan diterbitkannya buku MO Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinamabela Gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833 (2006) (Edisi pertama terbit 1964, yang telah dikritisi Hamka, 1974), kemudian menyusul karya Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao (2007).

Kedua penulisnya, kebetulan dari Tanah Batak, menceritakan penderitaan nenek moyangnya dan orang Batak umumnya selama serangan tentara Paderi 1816-1833 di daerah Mandailing, Bakkara, dan sekitarnya (Tempo, Oktober 2007).

Mitos kepahlawanan

Ujung pena kaum akademis harus tajam, tetapi teks-teks hasil torehannya seyogianya tidak mengandung “hawa panas”. Itu sebabnya dalam tradisi akademis, kata-kata bernuansa subyektif dalam teks ilmiah harus disingkirkan si penulis.

Setiap generasi berhak menafsirkan sejarah (bangsa)-nya sendiri. Namun, generasi baru bangsa ini—yang hidup dalam imaji globalisme—harus menyadari, negara-bangsa apa pun di dunia memerlukan mitos-mitos pengukuhan. Mitos pengukuhan itu tidak buruk. Ia adalah unsur penting yang di-ada-kan sebagai “perekat” bangsa. Sosok pahlawan nasional, seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Sisingamangaraja XII, juga TIB, dan lainnya adalah bagian dari mitos pengukuhan bangsa Indonesia.

Jeffrey Hadler dalam “An History of Violence and Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and Uses of History” (akan terbit dalam Journal of Asian Studies, 2008) menunjukkan, kepahlawanan TIB telah dibentuk sejak awal kemerdekaan hingga zaman Orde Baru, setidaknya terkait tiga kepentingan.

Pertama, menciptakan mitos tokoh hero yang gigih melawan Belanda sebagai bagian wacana historis pemersatu bangsa.

Kedua, mengeliminasi wacana radikalisme Islam dalam upaya menciptakan negara-bangsa yang toleran terhadap keragaman agama dan budaya.

Ketiga, “merangkul” kembali etnis Minang ke haribaan Indonesia yang telah mendapat stigma negatif dalam pandangan pusat akibat peristiwa PRRI.

Kita tak yakin, sudah adakah biji zarah keindonesiaan di zaman perjuangan TIB dan tokoh lokal lain yang hidup sezaman dengannya, yang kini dikenal sebagai pahlawan nasional.

Kita juga tahu pada zaman itu perbudakan adalah bagian sistem sosial dan beberapa kerajaan tradisional Nusantara melakukan ekspansi teritorial dengan menyerang beberapa kerajaan tetangga. Para pemimpin lokal berperang melawan Belanda karena didorong semangat kedaerahan, bahkan mungkin dilatarbelakangi keinginan untuk mempertahankan hegemoni sebagai penguasa yang mendapat saingan akibat kedatangan bangsa Barat. Namun, mereka akhirnya menjadi pahlawan nasional karena bangsa memerlukan mitos pemersatu.

Bukan manusia sempurna

Tak dapat dimungkiri, Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berbunuhan adalah sesama orang Minangkabau dan Mandailing atau Batak umumnya.

Pada 21 Februari 1821 mereka resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman Minangkabau) kepada Kompeni dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Ikut “mengundang” sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815 (bukan 1803 seperti disebut Parlindungan, 2007:136-41).

Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Agama melawan Belanda. Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB)— transliterasinya oleh Sjafnir Aboe Nain (Padang: PPIM, 2004), sebuah sumber pribumi yang penting tentang Perang Paderi yang cenderung diabaikan sejarawan selama ini—mencatat, bagaimana kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda.

Dalam MTIB, terefleksi rasa penyesalan TIB atas tindakan kaum Paderi atas sesama orang Minang dan Mandailing. TIB sadar, perjuangannya sudah melenceng dari ajaran agama. “Adapun hukum Kitabullah banyaklah yang terlampau dek oleh kita. Bagaimana pikiran kita?” (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?), tulis TIB dalam MTIB (hal 39).

Penyesalan dan perjuangan heroik TIB bersama pengikutnya melawan Belanda yang mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837)—seperti rinci dilaporkan De Salis dalam Het einde Padri Oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een bronnenpublicatie [Akhir Perang Paderi: Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837; Sebuah Publikasi Sumber] (2004): 59-183—mungkin dapat dijadikan pertimbangan untuk memberi maaf bagi kesalahan dan kekhilafan yang telah diperbuat TIB.

Raden Ajeng Kartini (1879-1904)

Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang, itulah judul buku dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal. Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.

Buku itu menjadi pedorong semangat para wanita Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya. Perjuangan Kartini tidaklah hanya tertulis di atas kertas tapi dibuktikan dengan mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis di Jepara dan Rembang.

Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.

Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasan kurang baik itu.

Pada saat itu, Raden Ajeng Kartini yang lahir di Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April 1879, ini sebenarnya sangat menginginkan bisa memperoleh pendidikan yang lebih tinggi, namun sebagaimana kebiasaan saat itu dia pun tidak diizinkan oleh orang tuanya.

Dia hanya sempat memperoleh pendidikan sampai E.L.S. (Europese Lagere School) atau tingkat sekolah dasar. Setamat E.L.S, Kartini pun dipingit sebagaimana kebiasaan atau adat-istiadat yang berlaku di tempat kelahirannya dimana setelah seorang wanita menamatkan sekolah di tingkat sekolah dasar, gadis tersebut harus menjalani masa pingitan sampai tiba saatnya untuk menikah.

Dia merasakan sendiri bagaimana ia hanya diperbolehkan sekolah sampai tingkat sekolah dasar saja padahal dirinya adalah anak seorang Bupati. Hatinya merasa sedih melihat kaumnya dari anak keluarga biasa yang tidak pernah disekolahkan sama sekali.

Sejak saat itu, dia pun berkeinginan dan bertekad untuk memajukan wanita bangsanya, Indonesia. Dan langkah untuk memajukan itu menurutnya bisa dicapai melalui pendidikan. Untuk merealisasikan cita-citanya itu, dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit, menyulam, memasak, dan sebagainya. Semuanya itu diberikannya tanpa memungut bayaran alias cuma-cuma.

Bahkan demi cita-cita mulianya itu, dia sendiri berencana mengikuti Sekolah Guru di Negeri Belanda dengan maksud agar dirinya bisa menjadi seorang pendidik yang lebih baik. Beasiswa dari Pemerintah Belanda pun telah berhasil diperolehnya, namun keinginan tersebut kembali tidak tercapai karena larangan orangtuanya. Guna mencegah kepergiannya tersebut, orangtuanya pun memaksanya menikah pada saat itu dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di Rembang.

Berbagai rintangan tidak menyurutkan semangatnya, bahkan pernikahan sekalipun. Setelah menikah, dia masih mendirikan sekolah di Rembang di samping sekolah di Jepara yang sudah didirikannya sebelum menikah. Apa yang dilakukannya dengan sekolah itu kemudian diikuti oleh wanita-wanita lainnya dengan mendirikan ‘Sekolah Kartini’ di tempat masing-masing seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon.

Setelah meninggalnya Kartini, surat-surat tersebut kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku yang dalam bahasa Belanda berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang). Apa yang terdapat dalam buku itu sangat berpengaruh besar dalam mendorong kemajuan wanita Indonesia karena isi tulisan tersebut telah menjadi sumber motivasi perjuangan bagi kaum wanita Indonesia di kemudian hari.

Apa yang sudah dilakukan RA Kartini sangatlah besar pengaruhnya kepada kebangkitan bangsa ini. Mungkin akan lebih besar dan lebih banyak lagi yang akan dilakukannya seandainya Allah memberikan usia yang panjang kepadanya. Namun Allah menghendaki lain, ia meninggal dunia di usia muda, usia 25 tahun, yakni pada tanggal 17 September 1904, ketika melahirkan putra pertamanya.

Mengingat besarnya jasa Kartini pada bangsa ini maka atas nama negara, pemerintahan Presiden Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Biografi

Nama: Raden Ajeng Kartini
Lahir: Jepara, Jawa Tengah, tanggal 21 April 1879
Meninggal: Tanggal 17 September 1904, (sewaktu melahirkan putra pertamanya)
Suami: Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang
Pendidikan:  E.L.S. (Europese Lagere School), setingkat sekolah dasar

Prestasi:
– Mendirikan sekolah untuk wanita di Jepara
– Mendirikan sekolah untuk wanita di Rembang

Kumpulan surat-surat:
– Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).

Penghormatan:
– Gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional
– Hari Kelahirannya tanggal 21 April ditetapkan sebagai hari besar

Ki Hajar Dewantara

Seorang tokoh seperti Ivan Illich pernah berseru agar masyarakat bebas dari sekolah. Niat deschooling tersebut berangkat dari anggapan Ivan Illich bahwa sekolah tak ubahnya pabrik yang mencetak anak didik dalam paket-paket yang sudah pasti. “…bagi banyak orang, hak belajar sudah digerus menjadi kewajiban menghadiri sekolah”, kata Illich. Demikian pula halnya dengan Rabindranath Tagore yang sempat menganggap sekolah seakan-akan sebuah penjara. Yang kemudian ia sebut sebagai “siksaan yang tertahankan”.

Tagore dan Ki Hajar sama-sama dekat dengan rakyat, cinta kemerdekaan dan bangga atas budaya bangsanya sendiri. Tagore pernah mengembalikan gelar kebangsawanan (Sir) pada raja Inggris sebagai protes atas keganasan tentara Inggris dalam kasus Amritsar Affair. Tindakan Tagore itu dilatarbelakangi kecintaannya kepada rakyat. Begitu juga halnya dengan ditanggalkannya gelar kebangsawanan (Raden Mas) oleh Ki Hajar. Tindakan ini dilatarbelakangi keinginan untuk lebih dekat dengan rakyat dari segala lapisan. Antara Ki Hajar dengan Tagore juga merupakan sosok yang sama-sama cinta kemerdekaan dan budaya bangsanya sendiri. Dipilihnya bidang pendidikan dan kebudayaan sebagai medan perjuangan tidak terlepas dari “strategi” untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah. Adapun logika berpikirnya relatif sederhana; apabila rakyat diberi pendidikan yang memadai maka wawasannya semakin luas, dengan demikian keinginan untuk merdeka jiwa dan raganya tentu akan semakin tinggi.

Di barat, Paulo Freire hadir dengan konsep pendidikan pembebasan. Di sini, Ki Hajar Dewantara menjadi pahlawan pendidikan nasional karena pendidikan sistem among yang ia kembangkan di taman siswa. Ungkapannya sangat terkenal; “tut wuri handayani”, “ing madya mangun karsa”, dan “ing ngarsa sung tulada”. Istilah inipun tak hanya populer di kalangan pendidikan, tetapi juga pada berbagai aspek kehidupan lain.

Siapakah sebenarnya tokoh pelopor pendidikan bangsa ini?

Siapa sih, yang tidak kenal dengan tokoh yang satu ini? Pejuang gigih, politisi handal, guru besar bangsa, pendiri Taman Siswa, memang sudah diakui oleh sejarah. Tapi sebagai pribadi yang keras tapi lembut, ayah yang demokratis, sosoknya yang sederhana, penggemar barang bekas, belum banyak orang tahu. Bahkan bagaimana tiba-tiba dia dipanggil dengan nama Ki Hajar Dewantara juga belum banyak yang tahu.

Tokoh peletak dasar pendidikan nasional ini terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, dilahirkan di Yogyakarta pada hari Kamis, tanggal 2 Mei 1889. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Pendidikan dasarnya diperoleh di Sekolah Dasar ELS (sekolah dasar Belanda) dan setelah lulus, ia meneruskan ke STOVIA (sekolah kedokteran Bumi putera) di Jakarta, tetapi tidak sampai selesai. Kemudian bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedya Tama, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Ia tergolong penulis tangguh pada masanya; tulisan-tulisannya sangat tegar dan patriotik serta mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.

Selain menjadi seorang wartawan muda R.M. Soewardi juga aktif dalam organisasi sosial dan politik, ini terbukti di tahun 1908 dia aktif di Boedi Oetama dan mendapat tugas yang cukup menantang di seksi propaganda. Dalam seksi propaganda ini dia aktif untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara.

Setelah itu pada tanggal 25 Desember 1912 dia mendirikan Indische Partij yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka, organisasi ini didirikan bersama dengan dr. Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo. Organisasi ini berusaha didaftarkan status badan hukumnya pada pemerintahan kolonial Belanda tetapi ditolak pada tanggal 11 Maret 1913, yang dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Idenburg sebagai wakil pemerintah Belanda di negara jajahan. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap oleh penjajah saat itu dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda !

Sisingamangaraja XII

Ketika Sisingamangaraja XII dinobatkan menjadi Raja Batak, waktu itu umurnya baru 19 tahun. Sampai pada tahun 1886, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda kecuali Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai di bawah pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang masih muda. Rakyat bertani dan beternak, berburu dan sedikit-sedikit berdagang. Kalau Raja Sisingamangaraja XII mengunjungi suatu negeri semua yang “terbeang” atau ditawan, harus dilepaskan. Sisingamangaraja XII memang terkenal anti perbudakan, anti penindasan dan sangat menghargai kemerdekaan. Belanda pada waktu itu masih mengakui Tanah Batak sebagai “De Onafhankelijke Bataklandan” (Daerah Batak yang tidak tergantung pada Belanda.

Tahun 1837, kolonialis Belanda memadamkan “Perang Paderi” dan melapangkan jalan bagi pemerintahan kolonial di Minangkabau dan Tapanuli Selatan. Minangkabau jatuh ke tangan Belanda, menyusul daerah Natal, Mandailing, Barumun, Padang Bolak, Angkola, Sipirok, Pantai Barus dan kawasan Sibolga.

Karena itu, sejak tahun 1837, Tanah Batak terpecah menjadi dua bagian, yaitu daerah-daerah yang telah direbut Belanda menjadi daerah Gubernemen yang disebut “Residentie Tapanuli dan Onderhoorigheden”, dengan seorang Residen berkedudukan di Sibolga yang secara administratif tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang. Sedangkan bagian Tanah Batak lainnya, yaitu daerah-daerah Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Humbang, Toba, Samosir, belum berhasil dikuasai oleh Belanda dan tetap diakui Belanda sebagai Tanah Batak yang merdeka, atau ‘De Onafhankelijke Bataklandan’.

Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan tentaranya mendarat di pantai-pantai Aceh. Saat itu Tanah Batak di mana Raja Sisingamangaraja XII berkuasa, masih belum dijajah Belanda.
Raja Sisingamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda. Kalau Belanda mulai mencaplok Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan lain-lain.
Raja Sisingamangaraja XII cepat bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langkah konsolidasi. Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat raksasa di Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu diambil tiga keputusan sebagai berikut :
1. Menyatakan perang terhadap Belanda
2. Zending Agama tidak diganggu
3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.

Tahun 1877, mulailah perang Batak yang terkenal itu, yang berlangsung 30 tahun lamanya.
Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga dasawarsa, 30 tahun.
Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang pasukan rakyat semesta yang dipimpin Raja Sisingamangaraja XII.

Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige telah dikuasai Belanda, sedangkan Laguboti masih tetap dipertahankan oleh panglima-panglima Sisingamangaraja XII antara lain Panglima Ompu Partahan Bosi Hutapea. Baru setahun kemudian Laguboti jatuh setelah Belanda mengerahkan pasukan satu batalion tentara bersama barisan penembak-penembak meriam.

Tahun 1883, seperti yang sudah dikuatirkan jauh sebelumnya oleh Sisingamangaraja XII, kini giliran Toba dianeksasi Belanda. Domino berikut yang dijadikan pasukan Belanda yang besar dari Batavia (Jakarta sekarang), mendarat di Pantai Sibolga. Juga dikerahkan pasukan dari Padang Sidempuan.
Raja Sisingamangaraja XII membalas menyerang Belanda di Balige dari arah Huta Pardede. Baik kekuatan laut dari Danau Toba, pasukan Sisingamangaraja XII dikerahkan. Empat puluh Solu Bolon atau kapal yang masing-masing panjangnya sampai 20 meter dan mengangkut pasukan sebanyak 20 x 40 orang jadi 800 orang melaju menuju Balige. Pertempuran besar terjadi.

Pada waktu itulah, Gunung Krakatau meletus. Awan hitam meliputi Tanah Batak. Suatu alamat buruk seakan-akan datang. Sebelum peristiwa ini, pada situasi yang kritis, Sisingamangaraja XII berusaha melakukan konsolidasi memperluas front perlawanan. Beliau berkunjung ke Asahan, Tanah Karo dan Simalungun, demi koordinasi perjuangan dan perlawanan terhadap Belanda.
Dalam gerak perjuangannya itu banyak sekali kisah tentang kesaktian Raja Sisingamangaraja XII.
Perlawanan pasukan Sisingamangaraja XII semakin melebar dan seru, tetapi Belanda juga berani mengambil resiko besar, dengan terus mendatangkan bala bantuan dari Batavia, Fort De Kok, Sibolga dan Aceh. Barisan Marsuse juga didatangkan bahkan para tawanan diboyong dari Jawa untuk menjadi umpan peluru dan tameng pasukan Belanda.

Tahun 1890, Belanda membentuk pasukan khusus Marsose untuk menyerang Sisingamangaraja XII. Pada awal abad ke 20, Belanda mulai berhasil di Aceh.

Tahun 1903, Panglima Polim menghentikan perlawanan. Tetapi di Gayo, dimana Raja Sisingamangaraja XII pernah berkunjung, perlawanan masih sengit. Masuklah pasukan Belanda dari Gayo Alas menyerang Sisingamangaraja XII.

Tahun 1907, di pinggir kali Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang, gugurlah Sisingamangaraja XII oleh peluru Marsuse Belanda pimpinan Kapten Christoffel. Sisingamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya Lopian. Konon Raja Sisingamangaraja XII yang kebal peluru tewas kena peluru setelah terpercik darah putrinya Lopian, yang gugur di pangkuannya.
Demikianlah, tanpa kenal menyerah, tanpa mau berunding dengan penjajah, tanpa pernah ditawan, gigih, ulet, militan, Raja Sisingamangaraja XII selama 30 tahun, selama tiga dekade, telah berjuang tanpa pamrih dengan semangat dan kecintaannya kepada tanah air dan kepada kemerdekaannya yang tidak bertara.

Kemudian oleh Yayasan Universitas Sisingamangaraja XII pada tahun 1984 telah didirikan Universitas Sisingamangaraja XII (US XII) di Medan, pada tahun 1986 Universitas Sisingamangaraja XII Tapanuli (UNITA) di Silangit Siborong-borong Tapanuli Utara dan pada tahun 1987 didirikan STMIK Sisingamangaraja XII di Medan.

Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani

Sejarah Pahlawan revolusi Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani PANDUAN MUSEUM JENDERAL A. YANI Sasmitaloka Pahlawan Revolusi A. Yani yang terletak di Jl. Lembang D 58, Menteng, Jakarta Pusat, adalah sebuah monumen. Bangunan monumen tersebut berbentuk sebuah memorial museum untuk mengenang dan mengabadikan perjuangan Jenderal TNI Anumerta A. Yani dan para Pahlawan Revolusi lainnya yang gugur akibat pemberontakan dan kebiadaban G 30 S/PKI. Pemakaian nama museum “Sasmitaloka Pahlawan Revolusi A. Yani”, mengandung maksud “tempat semangat juang, jasa, pengabdian dan pengorbanan Pahlawan Revolusi A. Yani dan para Pahlawan Revolusi lainnya diabadikan” Sesuai dengan arti harfiah kata Sasmita berarti isyarat, firasat dan wangsit, pengeling-ngeling; loka berarti tempat, sedang nama Pahlawan Revolusi adalah penghargaan yang diberikan oleh negara sebagai penghormatan kepada para Pahlawan Kusuma Bangsa yang gugur bersama-sama pada dini hari, tanggal 1 Oktober 1965, akibat ulah brutal dari segolongan manusia yang hendak menikam dan merobek-robek Pancasila. Adapun bangunan yang dipakai sebagai monumen/memorial museum itu semula merupakan rumah tempat tinggal pribadi keluarga Jenderal TNI Anumerta A. Yani yang pada saat terakhir menjabat Menteri/Panglima TNI AD. Beliau sekeluarga mendiami rumah ini semenjak masih berpangkat Letnan Kolonel, sedangkan selaku Men/Pangad beliau tinggal di rumah dinas, di jalan Diponegoro yang sekarang menjadi Wisma A. Yani, rumah pribadi ini diserahkan oleh Ibu Yani atas nama keluarga A. Yani kepada TNI AD dengan harapan agar rumah tersebut dapat menjadi sarana penyampaian maksud sebagai tempat mengenang dan mengambil tauladan perjuangan Jenderal TNI Anumerta A. Yani dan para Pahlawan Revolusi lainnya. Upacara penyerahan gedung Sasmitaloka dari Ibu Yani sekeluarga kepada Men/Pangad Letnan Jenderal TNI Soeharto (Presiden RI II) dilakukan pada hari jum’at Kliwon tanggal 30 September 1966 dalam suatu upacara yang sederhana. Gedung tersebut selanjutnya pada tanggal 1 Oktober 1966 diresmikan menjadi memorial museum Sasmitaloka Pahlawan Revolusi A. Yani yang pengelolaan serta pembinaannya oleh Pimpinan TNI AD dipercayakan kepada Dinas Pembinaan Mental TNI AD. Ruang I : Ruang Tunggu. Ruang ini diberi nama Ruang Tunggu. Para tamu yang datang biasanya menunggu di ruang ini sebelum resmi diterima almarhum Jenderal TNI A. Yani di ruang lain. Almarhum dahulu juga menggunakan ruangan ini untuk menerima tamu-tamu yang belum pernah bertamu ke rumah beliau. Dalam ruangan ini terdapat beberapa etalage yang berisi benda-benda koleksi berupa cindera mata dari berbagai daerah dan Negara, antara lain : Cindera mata yang diterima dari beberapa dinas, departemen atau dari teman-teman beliau yang berupa vandel, model-model senjata, lambang-lambang, medali, gading gajah dan lain-lain. Ruang II : Ruang Ajudan. Ruangan ini dahulunya dipakai sebagai kamar kerja ajudan. Di sini terdapat beberapa perlengkapan (equipment) kerja yang susunan (formation composition) dan letaknya tidak mengalami perubahan, jadi masih sama seperti semasa hidup almarhum Jenderal TNI Anumerta A. Yani. Dalam ruang ini terdapat beberapa etalage dan potret-potret yang menggambarkan pelbagai keadaan sewaktu almarhum menjabat Men/Pangad Ruang III : Ruang Santai. Sesuai dengan namanya di ruangan ini almarhum Jenderal TNI A. Yani duduk bersantai, setelah seharian bekerja di kantor, sambil membaca dan mengawasi putera-puterinya bermain ayunan. Tepat di depan ruangan ini terdapat taman untuk bermain anak-anak. Tidak jarang pula beliau tidur terlelap di kursi panjang. Di ruang ini juga disimpan Stick GoIf, salah satu olah raga kegemaran almarhum, aquarium, foto-foto dan lain-lain Ruang IV : Ruang Khusus/Kerja. Selama Jenderal TNI Anumerta A. Yani menjabat sebagai Men/Pangad disinilah beliau menjalankan tugasnya dan di ruangan ini pula beliau mengadakan briefing dengan asisten-asistennya. Di samping benda-benda yang terletak di dalam maupun di luar etalase, di ruangan ini terdapat sebuah plat kuning (plate yellow) dengan tulisan yang berbunyi sebagai berikut : Dengan ini kami : Yayu Rulia Sutodiwiryo Ahmad Yani beserta putera-puteri, menyerahkan rumah lengkap dengan isinya kepada TNI AD. Jakarta, 1 Oktober 1966 Di ruangan ini juga terdapat lukisan cat minyak ukuran besar persembahan Mayor Jenderal TNI Umar Wirahadi Kusumah yang pada saat itu menjabat Pangkostrad (mantan Wakil Presiden RI). Lukisan yang menggambarkan penculikan Jenderal TNI Anumerta A. Yani ini diberi nama “Subuh yang berdarah”. Ruang V : Ruang Makan. Ruangan ini dibagi menjadi 2 bagian dengan lampu pemisah, yaitu sebagai ruang makan dan bar. Ruang VI : Ruang Tidur Jenderal A. Yani. Ruang tidur Jenderal TNI Anumerta A. Yani tidak terlalu besar Bila kedua putera laki-laki almarhum ikut tidur di kamar ini Almarhum sering tidur di lantai beralaskan kasur karena tempat tidur beliau yang terbuat dari kayu tidak terlalu besar dan masih tetap utuh keadaannya. Di sudut atas ruang tidur terdapat tanda bekas sambaran halilintar yang merupakan firasat bagi Ibu A. Yani. Di dalam ruangan ini juga tersimpan senjata otomatis Thompson yang pernah dipergunakan oleh gerombolan G 30 S/PKI untuk memberondong Jenderal TNI Anumerta A. Yani lengkap dengan sisa pelurunya. Senjata LE Cal 7,62 buatan Cekoslovakia untuk memberondong Letnan Jenderal TNI Anumerta S. Parman. Kita jumpai pula senjata Owengun yang dipergunakan untuk menembak pimpinan G 30 S/PKI DN Aidit dan tokoh pemberontak lainnya di Jawa Tengah dalam Operasi Penumpasan PKI pada tahun 1965. Di sini tersimpan pula replika pakaian tidur baju lengan pendek kesayangan beliau yang digunakan oleh Ibu A. Yani untuk mengepel dan membersihkan lantai yang penuh dengan lumuran darah beliau. Baju itu merupakan hadiah ulang tahun yang tidak akan pernah dilupakan oleh Ibu A. Yani. Gaji terakhir beliau bulan Obtober 1965 sebesar Rp. 120.000.- (uang lama) yang belum sempat diberikan kepada Ibu A. Yani juga cincin, kaca mata, keris, tongkat komando, pakaian dan lain-lain disimpan dengan baik di ruang ini. Ruang VII dan VIII : Ruang Tidur Putra-Putri Jenderal A. Yani. Di ruang ini terdapat tempat tidur yang terbuat dari kayu, koleksi boneka oleh-oleh almarhum, pakaian upacara adat sewaktu almarhum mendapat gelar “Kapitan Besar Patimura”, koleksi perangko, buku-buku harian putera-puteri almarhum, pakaian almarhum, rokok Lucky Strike yang diberikan Jenderal TNI Anumerta A. Yani sehari sebelum meninggal kepada S. Nurdin (Wartawan Antara) di Tanjung Priok pada upacara militer. “…Din ini sama Jullie untuk kenang-kenangan”, kata beliau saat itu. Dan benda-benda koleksi lainnya disimpan dengan baik di dua ruangan ini Ruang IX : Ruang Dokumentasi Ruang ini dahulu adalah ruang tamu bagian belakang, sekarang digunakan sebagai ruang dokumentasi. Foto dokumentasi yang dipamerkan antara lain: lumuran darah tempat robohnya seorang putera bangsa yang setia kepada Pancasila Jenderal TNI Anumerta A. Yani, darah bekas seretan tubuh beliau, penggalian dan pengangkatan 7 jenazah para Pahlawan Revolusi di Lubang Buaya, pelepasan para Pahlawan Revolusi dari Mabesad (dahulu DEPAD), foto situasi upacara pemakaman di TMP Kalibata, foto rumah-rumah Jenderal dan perlengkapan lainnya yang dirusak di tempat masing-masing serta foto-foto dokumentasi kegiatan Jenderal TNI Anumerta A. Yani sewaktu masih aktif mengabdikan diri kepada Negara dan Bangsa Indonesia. Ruang X : Ruang Pahlawan Revolusi. Di ruangan ini khusus untuk menyimpan benda-benda koleksi para Pahlawan Revolusi yang lain. Benda-benda koleksi itu antara lain : 1. PDUB & PDUK Jenderal TNI Anumerta A. Yani. 2. PDUB Letnan Jenderal TNI Anumerta Soeprapto. 3. PDUB Letnan Jenderal TNI Anumerta S. Parman. 4. PDUB Mayor Jenderal TNI Anumerta Panjaitan. 5. PDUB Mayor Jenderal TNI Anumerta Sutoyo. 6. Benda koleksi milik pribadi Letnan Jenderal TNI Anumerta S. Parman. 7. Benda koleksi pribadi Mayor Jenderal TNI Anumerta Panjaitan. a.l. mesin tik yang kena tembakan. 8. Benda koleksi milik pribadi Jenderal TNI Anumerta A. Yani di kantornya

7 Riwayat Hidup Pahlawan Revolusi

7 Riwayat Hidup Pahlawan Revolusi

 
Nama                :  Letnan Jenderal Anumerta S.
Pangkat            :  Mayor Jenderal
Tanggal Lahir   :  4 Agustus 1918
Riwayat Hidup :  Letjen. Anumerta Siswondo Parman lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, 4 Agustus 1918. Dia merupakan salah satu dari tujuh pahlawan revolusi dan korban kebiadaban PKI. Pria kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah ini merupakan perwira intelijen, sehingga banyak tahu tentang kegiatan rahasia PKI karena itulah dirinya termasuk salah satu di antara para perwira yang menolak rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani. Penolakan yang membuatnya dimusuhi dan menjadi korban pembunuhan PKI. Pendidikan umum yang pernah diikutinya adalah sekolah tingkat dasar, sekolah menengah, dan Sekolah Tinggi Kedokteran. Namun sebelum menyelesaikan dokternya, tentara Jepang telah menduduki Republik sehingga gelar dokter pun tidak sampai berhasil diraihnya.


Setelah tidak bisa meneruskan sekolah kedokteran, ia sempat bekerja pada Jawatan Kenpeitai. Di sana ia dicurigai Jepang sehingga ditangkap, namun tidak lama kemudian dibebaskan kembali. Sesudah itu, ia malah dikirim ke Jepang untuk mengikuti pendidikan pada Kenpei Kasya Butai. Sekembalinya ke tanah air ia kembali lagi bekerja pada Jawatan Kempeitai.
Awal kariernya di militer dimulai dengan mengikuti Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yaitu Tentara RI yang dibentuk setelah proklamasi kemerdekaan. Pada akhir bulanDesember, tahun 1945, ia diangkat menjadi Kepala Staf Markas Besar Polisi Tentara (PT) di Yogyakarta.

Selama Agresi Militer II Belanda, ia turut berjuang dengan melakukan perang gerilya. Pada bulan Desember tahun 1949 ia ditugaskan sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta Raya. Salah satu keberhasilannya saat itu adalah membongkar rahasia gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang akan melakukan operasinya di Jakarta di bawah pimpinan Westerling. Selanjutnya, pada Maret tahun 1950, ia diangkat menjadi kepala Staf G. Dan setahun kemudian dikirim ke Amerika Serikat untuk mengikuti pendidikan pada Military Police School.

Sekembalinya dari Amerika Serikat, ia ditugaskan di Kementerian Pertahanan untuk beberapa lama kemudian diangkat menjadi Atase Militer RI di London pada tahun 1959. Lima tahun berikutnya yakni pada tahun 1964, ia diserahi tugas sebagai Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) dengan pangkat Mayor Jenderal. Ketika menjabat Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) ini, pengaruh PKI juga sedang marak di Indonesia. Partai Komunis ini merasa dekat dengan Presiden Soekarno dan sebagian rakyat pun sudah terpengaruh. Namun sebagai perwira intelijen, S. Parman sebelumnya sudah banyak mengetahui kegiatan rahasia PKI. Maka ketika PKI mengusulkan agar kaum buruh dan tani dipersenjatai atau yang disebut dengan Angkatan Kelima. Ia bersama sebagian besar Perwira Angkatan Darat lainnya menolak usul yang mengandung maksud tersembunyi itu. Dengan dasar itulah kemudian dirinya dimusuhi oleh PKI.

Maka pada pemberontakan yang dilancarkan oleh PKI tanggal 30 September 1965, dirinya menjadi salah satu target yang akan diculik dan dibunuh. Dan pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari, Letjen. TNI Anumerta S. Parman bersama enam perwira lainnya yakni Jend. TNI Anumerta Achmad Yani; Letjen. TNI Anumerta Suprapto; Letjen. TNI Anumerta M.T. Haryono; Mayjen. TNI Anumerta D.I. Panjaitan; Mayjen. TNI Anumerta Sutoyo S; dan Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean berhasil diculik kemudian dibunuh secara membabi buta dan jenazahnya dimasukkan ke sumur tua di daerah Lubang Buaya tanpa prikemanusiaan.
S. Parman gugur sebagai Pahlawan Revolusi untuk mempertahankan Pancasila. Bersama enam perwira lainnya ia dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Pangkatnya yang sebelumnya masih Mayor Jenderal kemudian dinaikkan satu tingkat menjadi Letnan Jenderal sebagai penghargaan atas jasa-jasanya. Untuk menghormati jasa para pahlawan tersebut, oleh pemerintah Orde Baru ditetapkanlah tanggal 1 Oktober setiap tahunnya sebagai hari Kesaktian Pancasila sekaligus sebagai hari libur nasional. Dan di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur, di depan sumur tua tempat jenazah ditemukan, dibangun tugu dengan latar belakang patung ketujuh Pahlawan Revolusi tersebut. Tugu tersebut dinamai Tugu Kesaktian Pancasila.

 

 

 

 

Nama                :  Kapten Peiere Andreas Tandean

 

Pangkat            :  Ajudan dari Jenderal Besar DR. A.H. Nasution.

 

Tanggal Lahir   :  21 Februari 1939

 

Riwayat Hidup :  Kapten Czi (Anm.) Pierre Andreas Tendean (lahir di Jakarta, 21 Februari1939 – meninggal di Jakarta, 1 Oktober1965 pada umur 26 tahun) adalah salah seorang korban pada peristiwa Gerakan 30 September dan merupakan pahlawan nasional Indonesia dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

Beliau adalah ajudan dari Jenderal Besar DR. Abdul Harris Nasution (Menko Hankam/Kepala Staf ABRI) pada era Soekarno. Abdul Harris Nasution lolos dari peristiwa penculikan tetapi anaknya, Ade Irma Suryani Nasution tewas tertembus peluru. Pierre Tendean sendiri ditangkap oleh segerombolan penculik dan dibunuh di Lubang Buaya. Ia diculik karena dikira adalah Jenderal Besar DR. A.H. Nasution.
Pierre adalah pria blasteran MinahasaPerancis yang fasih berbahasa Jawa. Lulusan ATEKAD tahun 1961 ini bergabung dengan corps Genie (sekarang corps Zeni) dan posisinya dua tahun junior di bawah mantan Wapres Try Sutrisno.
Setelah lulus dari pendidikan militer, ia langsung mengajukan diri untuk bergabung dengan garis depan dalam peristiwa Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Wajah indo-nya membuat Pierre dengan mudah bolak balik Indonesia – Singapura sebagai intelijen untuk mengumpulkan data. Kurang lebih Pierre berhasil melakukan infiltrasi sebanyak 6 kali, yang terakhir nyaris membuatnya terbunuh
Saat ini sedang direncanakan tentang pembuatan film mengenai Pierre Tendean dengan judul Pierre.

Nama                :  Letnan Jenderal Anumerta Suprapto
Pangkat            :  Panglima Besar Sudirman
Tanggal Lahir   :  20 Juni 1965
Riwayat Hidup :  Letnan Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto lahir di Purwokerto, 20 Juni 1920, ini boleh dibilang hampir seusia dengan Panglima Besar Sudirman. Usianya hanya terpaut empat tahun lebih muda dari sang Panglima Besar. Pendidikan formalnya setelah tamat MULO (setingkat SLTP) adalah AMS (setingkat SMU) Bagian B di Yogyakarta yang diselesaikannya pada tahun 1941. Sekitar tahun itu pemerintah Hindia Belanda mengumumkan milisi sehubungan dengan pecahnya Perang Dunia Kedua. Ketika itulah ia memasuki pendidikan militer pada Koninklijke Militaire Akademie di Bandung. Pendidikan ini tidak bisa diselesaikannya sampai tamat karena pasukan Jepang sudah keburu mendarat di Indonesia.

Oleh Jepang, ia ditawan dan dipenjarakan, tapi kemudian ia berhasil melarikan diri. Selepas pelariannya dari penjara, ia mengisi waktunya dengan mengikuti kursus Pusat Latihan Pemuda, latihan keibodan, seinendan, dan syuisyintai. Dan setelah itu, ia bekerja di Kantor Pendidikan Masyarakat. Di awal kemerdekaan, ia merupakan salah seorang yang turut serta berjuang dan berhasil merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap. Selepas itu, ia kemudian masuk menjadi anggota Tentara Keamanan Rakyat di Purwokerto. Itulah awal dirinya secara resmi masuk sebagai tentara, sebab sebelumnya walaupun ia ikut dalam perjuangan melawan tentara Jepang seperti di Cilacap, namun perjuangan itu hanyalah sebagai perjuangan rakyat yang dilakukan oleh rakyat Indonesia pada umumnya.

Selama di Tentara Keamanan Rakyat (TKR), ia mencatatkan sejarah dengan ikut menjadi salah satu yang turut dalam pertempuran di Ambarawa melawan tentara Inggris. Ketika itu, pasukannya dipimpin langsung oleh Panglima Besar Sudirman. Ia juga salah satu yang pernah menjadi ajudan dari Panglima Besar tersebut. Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia sering berpindah tugas. Pertama-tama ia ditugaskan sebagai Kepala Staf Tentara dan Teritorial (T&T) IV/ Diponegoro di Semarang. Dari Semarang ia kemudian ditarik ke Jakarta menjadi Staf Angkatan Darat, kemudian ke Kementerian Pertahanan. Dan setelah pemberontakan PRRI/Permesta padam, ia diangkat menjadi Deputy Kepala Staf Angkatan Darat untuk wilayah

Sumatera yang bermarkas di Medan. Selama di Medan tugasnya sangat berat sebab harus menjaga agar pemberontakan seperti sebelumnya tidak terulang lagi.

Pada pemberontakan yang dilancarkan oleh PKI tanggal 30 September 1965, dirinya menjadi salah satu target yang akan diculik dan dibunuh. Dan pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari, Letjen. TNI Anumerta R. Suprapto bersama enam perwira lainnya yakni Jend. TNI Anumerta Achmad Yani; Letjen. TNI Anumerta S. Parman; Letjen. TNI Anumerta M.T. Haryono; Mayjen. TNI Anumerta D.I. Panjaitan; Mayjen. TNI Anumerta Sutoyo S; dan Kapten CZI TNI Anumerta Pierre Tendean berhasil diculik kemudian dibunuh secara membabi buta dan jenazahnya dimasukkan ke sumur tua di daerah Lubang Buaya tanpa prikemanusiaan.

R. Suprapto gugur sebagai Pahlawan Revolusi untuk mempertahankan Pancasila. Bersama enam perwira lainnya ia dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Pangkatnya yang sebelumnya masih Mayor Jenderal kemudian dinaikkan satu tingkat menjadi Letnan Jenderal sebagai penghargaan atas jasa-jasanya. Untuk menghormati jasa para pahlawan tersebut, oleh pemerintah Orde Baru ditetapkanlah tanggal 1 Oktober setiap tahunnya sebagai hari Kesaktian Pancasila sekaligus sebagai hari libur nasional. Dan di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur, di depan sumur tua tempat jenazah ditemukan, dibangun tugu dengan latar belakang patung ketujuh Pahlawan Revolusi tersebut. Tugu tersebut dinamai Tugu Kesaktian Pancasila.

 

 

 

 

Nama                 :  Jenderal TNI Anumerta Yani 

 

Pangkat             :

 

Tanggal Lahir    :  19 Juni 1922 

 

Riwayat Hidup  :  Jenderal TNI Anumerta AChmad Yani (Purworejo, 19 Juni 1922]]-Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Pendidikan formal diawalinya di HIS (setingkat Sekolah Dasar) Bogor, yang diselesaikannya pada tahun 1935. Kemudian ia melanjutkan sekolahnya ke MULO (setingkat Sekolah Menegah Pertama) kelas B Afd. Bogor. Dari sana ia tamat pada tahun 1938, selanjutnya ia masuk ke AMS (setingkat Sekolah Menengah Umum) bagian B Afd. Jakarta. Sekolah ini dijalaninya hanya sampai kelas dua, sehubungan dengan adanya milisi yang diumumkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Achmad Yani kemudian mengikuti pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer di Malang dan secara lebih intensif di Bogor. Dari sana ia mengawali karir militernya dengan pangkat Sersan. Kemudian setelah tahun 1942 yakni setelah pendudukan Jepang di Indonesia, ia juga mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan selanjutnya masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor.

Berbagai prestasi pernah diraihnya pada masa perang kemerdekaan. Achmad Yani berhasil menyita senjata Jepang di Magelang. Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia diangkat menjadi Komandan TKR Purwokerto. ketika Agresi Militer Pertama Belanda terjadi, pasukan Achmad Yani yang beroperasi di daerah Pingit berhasil menahan serangan Belanda di daerah tersebut. Maka saat Agresi Militer Kedua Belanda terjadi, ia dipercayakan memegang jabatan sebagai Komandan Wehrkreise II yang meliputi daerah pertahanan Kedu. Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia diserahi tugas untuk melawan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang membuat kekacauan di daerah Jawa Tengah. Ketika itu dibentuk pasukan Banteng Raiders yang diberi latihan khusus hingga pasukan DI/TII pun berhasil dikalahkan. Seusai penumpasan DI/TII tersebut, ia kembali ke Staf Angkatan Darat.

Pada tahun 1955, Achmad Yani disekolahkan pada Command and General Staff College di Fort Leaven Worth, Kansas, USA selama sembilan bulan. Pada tahun 1956, ia juga mengikuti pendidikan

selama dua bulan pada Spesial Warfare Course di Inggris. Tahun 1958 saat pemberontakan PRRI terjadi di Sumatera Barat, Achmad Yani yang masih berpangkat Kolonel diangkat menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus untuk memimpin penumpasan pemberontakan PRRI dan berhasil menumpasnya. Hingga pada tahun 1962, ia diangkat menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat.

Achmad Yani selalu berbeda paham dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Ia menolak keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani yang dipersenjatai. Oleh karena itu, ia menjadi salah satu target PKI yang diculik dan dibunuh di antara tujuh petinggi TNI Angkatan Darat melalui Pemberontakan G30S/PKI (Gerakan Tiga Puluh September/PKI). Achmad Yani ditembak di depan kamar tidurnya pada tanggal 1 Oktober 1965 (dinihari). Jenazahnya kemudian ditemukan di Lubang Buaya, Jakarta Timur dan dimakamkan secara layak di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Achmad Yani gugur sebagai Pahlawan Revolusi. Pangkat sebelumnya sebagai Letnan Jenderal dinaikkan satu tingkat (sebagai penghargaan) menjadi Jenderal.

 


 

Nama : Letnan Jenderal Anumerta M.T.Haryono

 

Pangkat :  Letnan Jenderal

 

Tanggal Lahir :  20 Januari 1924

 

Riwayat Hidup :  Dikesempatan kali ini, saya kembali ingin memberikan sebuah kisah seorang pahlawan nasional indonesia yang ikut berjuang melawan penjajahan dalam memerdekakan negara kesatuan republik indonesia (NKRI) Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirtodarmo Haryono (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 20 Januari 1924 – meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 41 tahun) adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia yang terbunuh pada persitiwa G30S PKI. Ia dimakamkan di TMP Kalibata – Jakarta.

Letjen Anumerta M.T. Haryono kelahiran Surabaya, 20 Januari 1924, ini sebelumnya memperoleh pendidikan di ELS (setingkat Sekolah Dasar) kemudian diteruskan ke HBS (setingkat Sekolah Menengah Umum). Setamat dari HBS, ia sempat masuk Ika Dai Gakko (Sekolah Kedokteran masa pendudukan Jepang) di Jakarta, namun tidak sampai tamat.
Ketika kemerdekaan RI diproklamirkan, ia yang sedang berada di Jakarta segera bergabung dengan pemuda lain untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan itu sekaligus dilanjutkannya dengan masuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Awal pengangkatannya, ia memperoleh pangkat Mayor.
Selama terjadinya perang mempertahankan kemerdekaan yakni antara tahun 1945 sampai tahun 1950, ia sering dipindahtugaskan. Pertama-tama ia ditempatkan di Kantor Penghubung, kemudian sebagai Sekretaris Delegasi RI dalam perundingan dengan Inggris dan Belanda. Suatu kali ia juga pernah ditempatkan sebagai Sekretaris Dewan Pertahanan Negara dan di lain waktu sebagai Wakil Tetap pada Kementerian Pertahanan Urusan Gencatan Senjata. Dan ketika diselenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB), ia merupakan Sekretaris Delegasi Militer Indonesia.
 

 

Nama : Mayor Jenderal Anumerta Donald Isac Panjaitan

 

Pangkat :  Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PPPDRI)

 

Tanggal Lahir : 9 Juni 1925

Riwayat Hidup :  Mayor Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan adalah salah satu pahlawan revolusi terkenal di Indonesia. Meskipun ia meninggal dalam usia yang masih muda yakni 40 tahun, perjuangan beliau dalam mempertahankan tanah air sangat patut untuk diacungi jempol. Panjaitan adalah sosok pahlawan yang pernah mengenyam bangku SD hingga kuliah di Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat. Selama masih di Indonesia, ia sempat menjadi anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau dan membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian berubah menjadi TNI. Ia menduduki jabaran sebagai komandan batalyon di TKR yang kemudian menjadi KOmandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948. Setelah itu, ia menjadi Kepala Staff Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatra.
Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pun berhasil diraihnya ketika Agresi Militer Belanda ke II terjadi. Setelah Agresi Militer Belanda II berakhir, ia diangkat kembali menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan yang selanjutnya di pindahkan ke palembang menjadi Kepala Staf T&T II/Sriwijaya.
Setelah pulang menuntut ilmu di Amerika Serikat, Panjaitan membongkar rahasia PKI akan pengiriman senjata dari Republik Rakyat China yang dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan . Senjata-senjata tersebut diperkirakan akan digunakan oleh PKI untuk melancarkan aksi pemberontakan.
Aksi Panjaitan atas pembongkaran rahasia PKI menyulut api kemarahan dari pihak PKI. Pada tanggal 1 Oktober 1965, sekelompok anggota Gerakan 30 September datang ke rumah Panjaitan. Ketika Panjaitan berusaha untuk melarikan diri, ia tertembak oleh anggota PKI dan meninggal. Mayatnya dibawa dan dibuang di Lubang BUaya. Pada tanggal 4 Oktober, mayat Panjaitan diambil dan dimakamkan secara layak di TMP Kalibata, Jakarta. Berkat keberaniannya membela negara, Panjaitan mendapatkan gelar Pahlawan Revolusi oleh pemerintah Indonesia.

 
Nama                :  Mayjen TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo
Pangkat            :  Kapten

Tanggal Lahir   :  23 Agustus 1922

Riwayat Hidup :  Sutoyo Siswomiharjo dilahirkan di kebumen, pada tanggal 23 Agustus 1922 dan wafat di Lubang buaya Jakarta pada tanggal 1 Oktober 1965 sebagai pahlawan revolusi.

       Beliau menamatkan sekolah HIS di Semarang. Lalu melanjutkan pendidikan ke AMS juga di Semarang pada tahun 1942. setelah itu beliau mengikuti pendidikan di Balai Pendidikan Pegawai Tinggi di Jakarta. 

 

      Sebelum menjadi tentara, Sutoyo bertugas sebagai Pegawai Menengah/III di Kabupaten Purworejo.

 

Tugas sebagai seorang Militer dimulai saat perjuangan kemerdekaan 1945. Sutoyo menjabat Kepala Organisasi Resimen II PT (Polisi Tentara) Purworejo dengan pangkat Kapten (1946). 

 

Pada bulan Juni tahun 1946, beliau pernah menjadi ajudan colonel Gatot Soebroto. Kemudian menjadi Kepala Staf CPMD Yogyakarta (1948-1949). Pada tahun 1950 Mayor Sutoyo menjabat sebagai Komandan Batalyon I CPM dan tahun 1951 Danyon V CPM. Tahun 1954 beliau menjabat Kepala Staf Markas Besar Polisi Militer.

 


 

Mulai tahun 1955 sebagai Pamen diperbantukan SUAD I dengan pangkat Letkol hingga tahun 1956. Lalu pada tahun yang sama, beliau diangkat menjadi Asisten ATMIL di London. 

 

Setelah kembali di tanah air dan selesai mengikuti pendidikan Kursus “C” Seskoad tahun 1960. Pada tahun 1961 naik pangkat menjadi Kolonel dan menjabat sebagai IRKEHAD. Pada tahun 1964 dinaikan pangkatnya menjadi Brigjen.

 


 

Sama seperti Achmad Yani, beliau juga menolak pembentukan angkatan kelima yang terdiri dari buruh dan tani yang dilengkapi dengan senjata. 

 

Tanggal 1 Oktober jam 04.00 dini hari, Brigjen TNI Sutoyo diculik dan dibunuh oleh gerombolan G 30 S/PKI.. Dengan todongan bayonet, mereka menanyakan kepada pembantu rumah untuk menyerahkan kunci pintu yang menuju kamar tengah. Setelah pintu dibuka oleh Brigjen TNI Sutoyo, maka pratu Suyadi dan Praka Sumardi masuk ke dalam rumah, mereka mengatakan bahwa Brigjen TNI Sutoyo dipanggil oleh Presiden. Kedua orang itu membawa Brigjen TNI Sutoyo ke luar rumah sampai pintu pekarangan diserahkan pada Serda Sudibyo. Dengan diapit oleh Serda Sudibyo dan Pratu Sumardi, Brigjen TNI Sutoyo berjalan keluar pekarangan meninggalkan tempat untuk selanjutnya dibawa menuju Lubang Buaya, dan disana beliau gugur karena dianiaya di luar batas-batas kemanusiaan oleh gerombolan G 30 S/PKI.

 

Jenazahnya dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. 

 

Pidato Soeharto saat menemukan jenazah pahlawan revolusi

 

Merdeka.com – Hari ini tepat 47 tahun lalu jenazah tujuh pahlawan revolusi diangkat dari Lubang Buaya. Mengangkat jenazah tujuh pahlawan revolusi di Lubang Buaya bukan perkara gampang. Kondisi sumur yang dalam dan mayat yang mulai membusuk, membuat evakuasi sulit dilakukan. Tapi para prajurit Kompi Intai Amfibi Korps Komanda Angkatan Laut (KIPAM KKO-AL), tak mau menyerah.

Sebenarnya jenazah sudah ditemukan sejak tanggal 3 Oktober 1965, atas bantuan polisi Sukitman dan masyarakat sekitar. Peleton I RPKAD yang dipimpin Letnan Sintong Panjaitan segera melakukan penggalian. Tapi mereka tak mampu mengangkat jenazah karena bau yang menyengat. Jenderal Soeharto pun memerintahkan penggalian dihentikan pada malam hari. Penggalian akan kembali dilanjutkan keesokan harinya.

Dalam buku Sintong Panjaitan, perjalanan seorang prajurit para komando yang ditulis wartawan senior Hendro Subroto, dilukiskan peristiwa seputar pengangkatan jenazah. Kala itu Sintong berdiskusi dengan Kopral Anang, anggota RPKAD yang dilatih oleh Pasukan Katak TNI AL. Anang mengatakan peralatan selam milik RPKAD ada di Cilacap, hanya KKO yang punya peralatan selam di Jakarta.

Singkat cerita, KKO meminjamkan peralatan selam tersebut. Tanggal 4 Oktober, 47 tahun lalu, Tim KKO dipimpin oleh Komandan KIPAM KKO-AL Kapten Winanto melakukan evakuasi jenazah pahlawan revolusi. Satu persatu pasukan KKO turun ke dalam lubang yang sempit itu.

Pada pukul 12.05 WIB, anggota RPKAD Kopral Anang turun lebih dulu ke Lubang Buaya. Dia mengenakan masker dan tabung oksigen. Anang mengikatkan tali pada salah satu jenazah. Setelah ditarik, yang pertama adalah jenazah Lettu Pierre Tendean, ajudan Jenderal Nasution. Pukul 12.15 WIB Serma KKO Suparimin turun, dia memasang tali pada salah satu jenazah, tapi rupanya jenazah itu tertindih jenazah lain sehingga tak bisa ditarik.

Lalu giliran Prako KKO Subekti yang turun pukul 12.30 WIB. Dua jenazah berhasil ditarik, Mayjen S Parman dan Mayjen Suprapto. Pukul 12.55 WIB, Kopral KKO Hartono memasang tali untuk mengangkat jenazah Mayjen MT Haryono dan Brigjen Sutoyo.

Pukul 13.30 Serma KKO Suparimin turun untuk kedua kalinya. Dia berhasil mengangkat jenazah Letjen Ahmad Yani. Dengan demikian, sudah enam jenazah pahlawan revolusi yang ditemukan.

Sebagai langkah terakhir, harus ada seorang lagi yang turun ke sumur untuk mengecek apakah sumur sudah benar-benar kosong. Tapi semua penyelam KKO dan RPKAD sudah tak ada lagi yang mampu masuk lagi. Mereka semua kelelahan. Bahkan ada yang keracunan bau busuk hingga terus muntah-muntah.

Maka Kapten Winanto sebagai komandan terpanggil melakukan pekerjaan terakhir itu. Dia turun dengan membawa alat penerangan. Ternyata benar, di dalam sumur masih ada satu jenazah lagi. Jenazah Brigjen DI Panjaitan. Dengan demikian lengkaplah sudah jenazah enam jenderal dan satu perwira pertama TNI AD yang hilang diculik Gerakan 30 September.

Kapten KKO Winanto sendiri terus melanjutkan karirnya di TNI AL. Lulusan Akademi Angkatan laut tahun 1959 ini pernah menjabat Komandan Resimen Latihan Korps Marinir, Komandan Brigade Infanteri 2/Marinir sebelum pensiun sebagai Gubernur AAL.

Marsekal Madya Purnawirawan Winanto meninggal Minggu, 2 September 2012 pukul 22.15 WIB dalam usia 77 tahun di kediamannya Jl Pramuka no 7, Kompleks TNI AL, Jakarta Pusat. Jenazahnya dimakamkan dengan upacara militer di San Diego Hills, Karawang, Jawa Barat.

[ian]

pahlawan revolusi

Sep 30, 2012 id.wikipedia.org Apakah Anda masih ingat dengan peristiwa G30S PKI? Ya, tragedi kemanusiaan yang terjadi 47 tahun lalu tersebut masih menyisakan duka yang mendalam akibat kontra-revolusi tindakan militer yang dipimpin oleh Soeharto. Bagaimana tidak memprihatinkan? Bayangkan saja 7 perwira tinggi militer Indonesia bersama beberapa anggota lainnya dibunuh satu persatu dalam suatu percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan kepada anggota PKI atau Partai Komunis Indonesia. Mereka semua disiksa, dibunuh, dan dimasukkan ke dalam Lubang Buaya di mana Lubang Buaya tersebut merupakan sebuah sumur yang berada di Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Berikut ini adalah sedikit kisah dari tujuh pahlawan revolusi tersebut. 1. Letnan Jenderal TNI Anumerta Siswondo Parman Letnan Jenderal TNI Anumerta Siswondo Parman, lahir di Wonosobo, Jawa Tengah pada tanggal 4 Agustus 1918 atau yang lebih dikenal dengan nama S. Parman. Beliau merupakan salah satu pahlawan revolusi Indonesia dalam peristiwa G30S PKI. Beliau adalah perwira yang banyak mengetahui tentang kegiatan rahasia yang dilakukan oleh PKI. Selain itu, beliau juga termasuk salah satu perwira yang menolak rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani, sehingga peristiwa penolakan tersebut membuat dirinya dimusuhi dan akhirnya menjadi korban pembunuhan PKI. Beliau diculik pada saat berada di rumahnya oleh anggota PKI, kemudian dibunuh dan disembunyikan di Lubang Buaya pada tanggal 1 Oktober 1965. Akhirnya S. Parman dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. 2. Kapten Pierre Andreas Tendean Kapten Pierre Andreas Tendean, lahir pada tanggal 21 Februari di Jakarta. Pierre merupakan pria keturunan Minahasa-Prancis, namun ia juga fasih dalam berbahasa Jawa. Beliau juga merupakan ajudan dari Jenderal Besar DR. Abdul Harris Nasution, seorang Menteri Koordinator dan Kepala Staf ABRI di era Soekarno. Pierre Tendean tewas karena diculik dan dibunuh oleh anggota PKI karena disangka Jenderal Besar DR. A.H. Nasution. Beliau dibunuh di lubang buaya pada tanggal 1 Oktober 1965. Pierre Tendean adalah pahlawan revolusi termuda yang gugur dalam peristiwa G30S PKI. 3. Letnan Jenderal TNI R. Suprapto Letnan Jenderal TNI R. Suprapto, lahir pada tanggal 20 Juni 1920 di Purwokerto, Jawa Tengah. Pada awal kemerdekaan, beliau merupakan salah satu orang yang terlibat dalam perjuangan merebut senjata pasukan Jepang di Cilacap dan pernah menjadi anggota pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Purwokerto, serta ikut dalam medan pertempuran di Ambarawa untuk melawan tentara Inggris. Pada akhirnya ia juga ikut dibunuh karena menentang PKI dan dibuang di Lubang Buaya pada tanggal 1 Oktober 1965 serta dimakamkan di Taman Makam Kalibata, Jakarta. 4. Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani lahir pada tanggal 19 Juni 1922 di Purworejo, Jawa Tengah. Beliau merupakan orang yang selalu menentang kehendak PKI dan karena itulah beliau merupakan target utama dalam penculikan oleh PKI di antara 7 petinggi TNI AD yang lain. Beliau tewas ditembak di ruang makan rumahnya di Jalan Lembang D58, Menteng pukul 04.35 tanggal 1 Oktober 1965, dan dibuang ke Lubang Buaya. Ahmad Yani juga dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Jakarta. 5. Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirto Haryono Letnan Jenderal TNI Anumerta Mas Tirto Haryono lahir pada tanggal 20 Januari 1924 di Surabaya, Jawa Timur. Kemampuannya dalam menguasai tiga bahasa internasional yaitu bahasa Inggris, Jerman, dan Belanda membuatnya menjadi tokoh yang berperan penting dalam berbagai perundingan antara pemerintah RI dengan pemerintah Inggris maupun Belanda, Bahkan beliau pernah menjabat sebagai Sekretaris Delegasi Militer Indonesia pada saat diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar atau KMB. Pada akhirnya ia juga menjadi korban penculikan yang dilakukan oleh PKI dan tewas pada tanggal 1 Oktober 1965 di Lubang Buaya. 6. Mayor Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan Mayor Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan, lahir pada tanggal 19 Juni 1925 di Balige, Sumatera Utara. Pada saat Indonesia mencapai kemerdekaannya, beliaulah yang pertama kali membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan para pemuda dan menjabat sebagai komandan batalyon di TKR. Jabatan terakhirnya pada saat peristiwa G30S PKI adalah sebagai asisten IV Menteri/ Panglima Angkatan Darat. Pada saat itulah beliau juga memiliki prestasi sendiri karena berhasil membongkar rahasia pengiriman senjata dari Republik Rakyat Cina untuk PKI yang digunakan untuk menlancarkan pemberontakan PKI. Pada tanggal 1 Oktober 1965, Panjaitan menyerahkan diri pada anggota Gerakan 30 September di rumahnya dan ditembak mati, mayatnya dibuang ke Lubang Buaya dan baru ditemukan pada tanggal 4 Oktober 1965. 7. Mayor Jenderal TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo Mayor Jenderal TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo lahir pada tanggal 23 Agustus 1922 di Kebumen, jabatan terakhirnya adalah sebagai Brigadir Jenderal. Menjelang pemberontakan G30S PKI, beliau telah merasakan firasat buruk, udara di ruangannya terasa sangat panas dan ternyata firasatnya tidak salah lagi. Beliau diculik oleh Serma Surono dan Men Cakrabirawa, anggota dari Gerakan 30 September dengan alasan ada panggilan dari presiden. Yang lebih memprihatinkan, sebelum ditembak mati beliau disiksa dan dianiaya di luar batas-batas kemanusiaan dan akhirnya wafat dan dibawa ke Lubang Buaya pada tanggal 1 Oktober 1965. Selain beberapa tokoh di atas, ada juga beberapa orang yang juga ikut menjadi korban dalam peristiwa pemberontakan tersebut, yaitu : Bripka Karel Satsuit Tubun, seorang pengawal kediaman resmi wakil perdana menteri II dari dr. J. Leimena Letnan Kolonel Sugiyono Mangunwiyoto, seorang kepala staf Korem 072/ Pamungkas, Yogyakarta Kolonel Katamso Darmokusumo, seorang Komandan Korem 072/ Pamungkas, Yogyakarta Mereka telah gugur untuk membela bangsa Indonesia agar tidak dikuasai oleh para pemberontak, dengan sepenuh jiwa mereka melawan segala hal yang dapat mengacaukan segala keutuhan bangsa ini. Kita sebagai generasi penerus bangsa harus tetap mewariskan semangat tersebut, jika bukan kita yang menjaga bangsa ini, siapa lagi? id.wikipedia.org | ridwanaz.com | kolom-biografi.blogspot.com | mabesad.mil.id

Kata-kata bijak islami

Kata-kata bijak islami

Jika sore tiba, janganlah tunggu waktu pagi, jika pagi tiba, janganlah tunggu waktu sore. Manfaatkan masa sehatmu sebelum tiba masa sakitmu dan manfaatkan masa hidupmu sebelum tiba ajalmu.” — Ibnu Umar, Putra Umar bin Khattab

“ Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla.” — (HR. Ahmad), Hadist

“ Apabila hamba itu meninggalkan berdoa kepada kedua orang tuanya, niscaya terputuslah rezeki daripadanya.” — (HR. Al-Hakim dan ad-Dailami), Hadist

“ Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” — (QS.2:277), Al Quran

“ Orang terkaya ialah orang yang mau menerima pembagian takdir dari allah dengan senang hati. ”– ali bin hussain

“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.” — (QS.2:45), Al Quran

“ Barangsiapa mengutamakan kecintaan Allah atas kecintaan manusia maka Allah akan melindunginya dari beban gangguan manusia.” — (HR. Ad-Dailami), Hadist

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” — (QS.2:245), Al Quran

“ Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” — (QS.2:216), Al Quran

“Setiap manusia memiliki orang yang dicintai dan dibenci, Tapi untukmu, jika ada berkumpulah dengan orang-orang yang bertakwa” (Imam Syafii)

“ Orang yang sehari-harinya hanya sibuk untuk mencari uang demi kesejahteraan keluarganya, maka mustahil ia mendapatkan ilmu pengetahuan” (Imam Syafii)

Dengan kata kata bijak islami yang ada diatas tentunya akan memberikan anda semua makna dari selalu berserah diri kepada Allah SWT. Dengan kita berserah diri kepadanya pasti akan selalu mendapat ridho dan inayahnya. Dengan adanya kata-kata bijak islami ini akan menjauhkan anda dari hal-hal yang dibenci Allah SWT dan selalu membimbing anda untuk dekat selalu dengan Allah SWT. Semoga dengan adanya kata-kata bijak islami ini bisa selalu berguna dan bermanfaat bagi kehidupan anda.

Sumber: katabijakbagus.blogspot.com/

Featuring WPMU Bloglist Widget by YD WordPress Developer