PEKIKAN DI MALAM HARI

Di luar hujan sangat lebat, bunyi angin meraung-raung Suara pekikan malam itu sungguh mengejutkan masyarakat komplek kampung baru, sungai geringging. Suara pekikan itu sangat keras sehingga membangunkan masyarakat kampung yang sedang tertidur lelap. Aku tersontak duduk karena bunyi pekikan yang amat deras tersebut. Suara pekikan itu berasal terdengar sangat dekat. Tapi pikirku itu hanyalah suara orang yang lagi ngigau. Kulirik jam menunjukkan pukul 03.45 WIB, dan kembali tidur karena mata ku masih mengantuk.

Paginya aku terbangun, kulihat ibu sedang membuat sarapan di dapur. kuceritakan pada ibu apa yang telah kudengar semalam.
“bu… ibu dengar gak bunyi suara pekikan tadi malam” tanya ku pada ibu sambil penasaran
“iya dengar..” jawab ibu dengan muka penasaran pula.

Aku hanya diam saja tanpa bertanya lagi tentang suara itu pada ibu, lalu ku duduk di kursi luar dengan bertanya-tanya dalam hati, apa yang sebenarnya terjadi? Dan dari mana suara pekikan itu? Aku termenung beberapa saat sampai suara ibu mengejutkan ku
“hey…” suara ibu sambil menapuk pundak ku.
“astagfirullah…” aku terkejut bukan kepalang bahkan hampir jatuh dari kursi yang aku duduki.
“Kamu itu kenapa sih..? pagi-pagi udah bengong! Tidak biasanya” tanya ibu
“anu bu… anu” jawab ku gugup karena habis terkejut
“anu.. anu, dah mandi sana, tu sarapan udah ibu buatin” sambil menunjuk ke meja makan.
karena mendengar itu, tanpa melanjutkan jawaban aku langsung melangkahkan kaki ke dalam untuk segera mandi dengan hati masih bertanya-tanya dari mana asal suara pekikan itu?

Selesai mandi ku lihat jam sudah menunjukkan hampir jam 08.00 WIB, tapi biarlah, karena sekarang hari minggu dan tidak ada pula jadwal kuliah. Ku kembali merenungkan suara itu dalam kamar dengan masih mengenakan lilitan handuk. Pintu kamar ku kunci supaya tidak ada yang masuk karena ku belum mengenakan baju. Aku pun heran kenapa itu kulamunkan terus. Terdengar olehku suara ibu memanggil dari ruang tamu.
“deni… udah selesai nak?” ibu bertanya
“Udah bu..” sahutku

Karena mendengarkan kata ibu, langsung ku bergegas mengenakan baju, ku layangkan kaki ke meja makan. Kusingkap tudung nasi rupaya sudah ada sepiring nasi goreng berhias telur dadar di atasnya.

Selesai sarapan, ku minta pamit pada ibu dengan maksud tujuan berjalan-jalan sambil melihat-lihat rumah di komplek kampung ku itu. ku lihat rumah penduduk semua pintunya sudah terbuka, kecuali hanya satu yaitu rumah pak Yamin.

Pak Yamin adalah seorang saudagar emas yang lumayan berada di kampung tersebut. Pak Yamin dikenal sangat ramah, baik, dan santun. Dia juga sering bercanda-canda dengan orang di sekelilingnya. Bahkan, aku pernah dikasih uang lima puluh ribuan oleh pak Yamin waktu lebaran kemarin. Pak yamin tinggal bersama istrinya dan seorang anak gadisnya yang berumur 18 tahun bernama vika. Vika merupakan siswi kelas 3 SMA di salah satu SMA yang ada di kecamatan itu.

“padahal hari sudah menunjukkan pukul sebelas, tapi kenapa pintunya masih tertutup?” pikirku dalam hati.

Ku dekati pintu rumahnya dan memanggil-manggil berulang-ulang kali, tapi tak ada sahutan sama sekali yang ada hanyalah bunyi suara burung pak Yamin yang bernyanyi-nyanyi di teras rumahnya. dari luar ku coba pula untuk memanggil Vika, tapi tak ada sahutan juga. Bahkan, ku coba pula untuk menghubungi ke nomor ponsel Vika tapi nomornya sedang tak aktif.

Kulirik ke dalam di sela-sela gorden pintunya yang agak terbuka, tapi suasana gelap, sebab tak ada penerangan di dalam. Sedang seriusnya melihat isi dalam rumah, lagi-lagi aku dikejutkan oleh suara Andi yang datang dari belakang dengan tiba-tiba.
“nagapain kau? Mau maling ya?” tanya nya dengan logat batak
“hussst… sembarangan lu!” sahutku

Andi adalah warga baru di kampung ku. Ia baru saja pindah bersama keluarganya dari medan dalam tiga bulan terakhir ini. Ayah andi bernama Sukimin, penduduk asli kampung ini. Tapi, ibunya asli medan keturunan batak. Walaupun Andi baru saja sekitar tiga bulan ini di kampung, tapi kedekatan saya dengannya sangat cepat, saya dan Andi sudah seperti saudara

“trus.. ngapain kau disini?” tanyanya curiga
“aku penasaran dengan rumah ini ndi, kenapa sudah jam segini rumah ini masih tertutup!” ku mencoba menjelaskan padanya.
“apa pula yang kau penasarkan? Palingan dia masih tidur” jawabnya
“gak mungkin ndi… aku kenal dengan pak Yamin, gak mungkin ia tidur tinggi hari kayak gini”
“ya udah kita lihat aja ke belakang, supaya kau jangan penasaran lagi!” ajakan Andi dengan logat bataknya lagi
“yuk!”

Kami berdua melihat ke belakang, Andi yang berjalan duluan kaget, ia melihat bangkai anjing pak Yamin yang mati menganaskan dengan leher yang hampir putus. Sepertinya bekas tebasan senjata tajam.

“den den den… sinilah kau cepat” soraknya

Aku yang sedang menepikan sepeda motor ikut kaget karena mendengar suara Andi seperti orang ketakutan. Dengan tergesa-gesa ku tepikan sepeda motor dan berlari pada si Andi

“ada apa ndi?” tanya ku
“lihat tu!” Sambil menunjuk kebangkai anjing yang mati tadi
“tu kan, apa yang kubilang, pasti ada sesuatu yang terjadi pada pak Yamin” sambung ku dengan serius.

Kecurigaan kami terhadap rumah Pak Yamin semakin bertambah dengan ditemukannya seonggok bangkai anjing yang bergelimang darah. Andi yang tadinya biasa-biasa saja menyikapi apa yang terjadi kini bibirnya ikut pucat pasi seperti orang kedinginan. Saya terus berjalan menuju pintu belakang, saya lihat pintu dapur sudah rusak sepertinya bekas congkelan linggis.

Kami berdua masuk dengan mudah ke dalam rumah untuk menyelidiki apa yang telah terjadi. Dapur dan ruang tamu pak Yamin tak ada pembatas, oleh sebab itu kami langsung tiba di dalam rumah. Kulihat di ruang tamu hanya biasa-biasa saja tak ada tanda-tanda mencurigakan. Di tengah-tengah kami melihat isi rumah, saya mencium bau darah.
“andi.. sepertinya ini bau darah?” tanyaku
“iya.. betul, ini memang bau darah” jawabnya dengan tampang ketakutan

Kami berdua menyusuri bau darah tersebut, penciuman kami menunjuk ke sebuah kamar, entah itu kamar pak Yamin entah kamarnya Vika. Ku coba mendekati pintu kamar tersebut, dengan perasaan ragu-ragu ku buka pelan-pelan. “astaghfirullah alazim” ternyata dugaan ku dari tadi benar. Saya melihat istri Pak Yamin di atas tempat tidur dengan bersimbah darah begitu juga yang dialami dengan pak Yamin yang tergolek di lantai. Seisi lemari bajunya berserakan keluar. Perasaan takut dan sedih bercampur jadi satu, secara singkat ku menyimpulkan bahwa ini adalah motif pembunuhan dan perampokan. Lalu, saya menyuruh andi yang berdiri di belakang dengan lututnya yang gemetaran untuk memberi tahukan kejadian ini pada warga kampung.

Aku pun mencoba membuka pintu kamar yang satu lagi, terlihat Vika juga sudah tidak bernyawa tergelatak di samping tempat tidur. Lalu kudekati Vika dengan perasaan agak sedikit takut, langsung ku tarik alas tempat tidurnya dan kututup sekujur tubuhnya, karena pada waktu itu ia tidak mengenakan busana lagi. Sementara kulihat orang yang datang sudah memenuhi rumah pak Yamin. Serta para polisi juga sudah berjejer dalam rumah itu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *