
Lagi, hujan di siang hari tepat di bulan Januari. Ramalan cuaca di TV hari ini menyatakan akan ada hujan tapi tidak lebat. Hujan sendu. De javu. Teringat kembali kejadian 4 tahun lalu. Hannah, dirimu hadir bersama hujan sendu untuk kesekian kalinya. Semua berjalan sesuai dengan yang kuinginkan tapi sepertinya aku tidak cukup siap dengan apa yang terjadi setelahnya. Aku kesepian Hannah.
Kini dari kejauhan aku melihatmu. Sedang berteduh di sebuah mushallah sambil memeluk ransel hitam. Apa itu benar-benar dirimu Hannah? Ataukah hanya fantasiku yang kini sedang kesepian setelah 4 tahun lamanya kamu pergi?. Aku mencoba mendekat. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah lalu terhenti. Seseorang dari arah yang berlawanan berteriak, memanggil satu nama yang sangat kukenal. Hannah. Tidak salah lagi, lelaki itu memanggil nama Hannah sambil jalan menghampiri seorang gadis di mushallah. Gadis itu betul-betul Hannah dan lelaki yang menjemputnya sambil menenteng sebuah payung adalah om Iqbal. Setelah sekian lama tak ada kabar, Hannah datang dengan sendirinya ke kota ini.
Beberapa hari berlalu sejak kejadian mengharukan Hannah datang kembali ke kota ini. Rol film di kepalaku kembali memutar rekaman yang sempat terekam oleh mataku saat Hannah berteduh dari rerintik hujan di mushallah. Tidak kulihat jelas sebenarnya. Tapi perangainya, selalu memeluk ransel seperti itu tidak dapat terpungkiri sebagai kebiasaannya sedari dulu. Senyumku mengembang. Padahal dari tadi hanya menatap langit-langit kamar yang sudah mulai berubah warna karena usang. Aku beranjak bangun dari tempat tidur. Berjalan mendekati meja belajar coklat yang berada di sudut kamar. Duduk di kursi lalu pelan-pelan membuka laci. Tangan kananku meraba-raba seisi laci, mencari sebuah foto yang sengaja kutumpuk dengan beberapa kertas di atasnya agar tidak terlihat orang lain. Foto ukuran 2R yang langka, hanya ada satu di dunia. Foto yang mati-matian kuminta dari Nindi, sahabat Hannah. Bahkan harus merelakan begadang mengerjakan tugas gambar Nindi sebagai barteran dengan foto yang kuminta. Butuh waktu sebulan perjuangan untuk mendapatkan foto itu. Fotoku berdua bersama Hannah. Saat mau take foto itu pun susahnya minta ampun. Aku harus membujuk Hannah hampir sejam. Akhirnya Hannah mau difoto bersamaku setelah kujanjikan sekotak besar es krim cokelat. Di foto itu, aku memakai jaket angkatan SMA, berlagak santai dan Hannah memakai jilbab biru favoritnya sambil menunjukkan dua jari membentuk huruf V.
Senyumku kembali mengembang. Foto ini harus kusimpan baik-baik, softcopynya sudah tidak ada karena diam-diam dihapus Hannah dari laptop Nindi, takut ada yang lihat katanya. Untung saja sudah berhasil dicetak sebelum dihapus. Soalnya waktu itu Nindi hanya kasih izin untuk mencetak fotonya tapi tidak menyimpan softcopynya. Ya untung saja.
Foto itu jatuh dari tanganku. Kaget. Ponselku bergetar. Alunan musik MyAnswer – SEAMO tanda ada panggilan masuk. Coba kuliat di layar, nomor baru, tidak tersave sebelumnya. Kuabaikan begitu saja. Paling orang yang lagi iseng. Kembali kuambil foto yang terjatuh tadi. Menatapnya lekat-lekat. Aku tersenyum lagi, semoga tidak ada Nita yang melihatku senyum-senyum sendiri. Kalau iya, sudah habis aku diledeki. Tak lama fotonya jatuh lagi. Lagi karena ponselku bergetar. Masih nomor yang sama. Kuangkat saja, mungkin ada hal yang penting. Di sudut sana terdengar suara perempuan.
Halo, assalamu’alaikum
Halo, wa’alaikumsalam warohmatulloh, maaf ini dengan siapa?
Ini dengan Kak Edi ya? Eh.. Kak Freddi maksudnya..
Iya, ini siapa ya?
Hehe… ayooo coba tebak ini siapa?
Gak tau…
Huuhh… kalo gak tau aku cubit nih kak…
Nnah? Ini Hannah ya?
Hehehe.. Kakak apa kabar?
Suara perempuan itu Hannah. Sudah kukira, suara perempuan itu suara yang kukenal. Tidak berubah. Setelah sekian lama, aku mencari-cari keberadaannya, mencari nomor ponselnya, semua hasilnya nihil, bahkan ketika kutanyakan pada om iqbal pun tidak ada jawaban. Om iqbal hanya bilang “kalau sudah waktunya, dia yang akan hubungi kamu sendiri, kata Hannah begitu” dan waktu itu pun kini tiba, Hannah sendiri yang langsung menghubungiku.
Kabar baik dek Hannah… kamu? sehat?
Sehat alhamdulillah, luar biasa, allahu akbar!! hehe
Hehe.. Kenapa baru nelpon sekarang? Gak ada kabar, jahat..
Hehe.. jangan marah kakak Edi jelek, yang penting kan sekarang nnah nelpon plus mau nagih janji..
Janji? Janji yang mana? Perasaan udah ditepatin semua deh..
Hmhm.. jangan pura-pura lupa deh kak, itu tuh sekotak besar es krim cokelat.. ya walaupun fotonya udah nnah hapus tapi janji kakak gak kehapus gitu aja..
Tapi kan dulu udah…
Yang dulu gak sesuai kesepakatan, kotaknya kan kecil, janjinya kotak yang besar, jadi nnah anggap belum…
Waduh… gitu ya…
Kemarin om iqbal cerita, katanya kakak sekarang udah sukses, udah punya usaha sendiri. Duitnya pasti banyak, jadi nnah baru mau nagih janji sekarang, gak ada lagi alasan bilang gak ada duit kaya dulu-dulu… hayooo..
Iya deh… gak bisa mengelak kak edi sekarang.. boleh.. boleh.. mau ditraktir kapan nih? Sekalian kak edi mau introgasi anak ilang 4 tahun..
Haha.. Besok sore?
Ok!!!
Lega. Senang. Gembira. Bahagia. Rasanya campur aduk. Seperti es krim mix coklat, vannila, almond, crackers, saus strawberry, buah leci segar, dan mau tambah apalagi?. Pokoknya rasanya senaaang sekali. Saat-saat menyenangkan itu akan terulang lagi. Makan es krim bersama. Hal yang sering kami lakukan dulu sambil menghitung orang-orang lalu lalang yang bercermin di kaca jendela luar toko es krim. Orang-orang yang lewat mana tahu kalau kami memperhatikan mereka dari dalam toko. Macam-macam gayanya. Ada yang mengatur poni, dilempar ke kiri atau ke kanan, ada yang memperbaiki kerah kemeja, ada yang melihat jilbabnya miring atau tidak, ada yang sekedar menoleh, ada juga yang senyam senyum, mungkin mellihat wajahnya cantik dan ganteng kali ya. Sudah sudah. Malam sudah menyapa. Waktunya untuk tidur. Tidur nyenyak Edi, jangan lupa berdoa semoga hari esokmu indah, kataku dalam hati.
Waktu terasa begitu lama berputar, tidak seperti biasanya. Sudah berjam-jam kupelototi jam dinding yang ada di ruang tengah tapi tetap saja belum menunjukkan pukul 16.00. Ibu sudah beberapa kali menegurku karena bolak-balik kamar – ruang tengah seperti setrikaan. Ternyata menunggu memang tidak enak. Lama kuputuskan menunggu dalam kamar saja. Pesanan desain rumah yang deadline 3 hari lagi mulai kucorat-coret di atas kertas gambar. Hanya mau membuat sketsa dulu, kalau sudah rapih baru kupindahkan ke software komputer. Ternyata tidak mudah mengerjakan kerjaan dalam kondisi mood yang tidak bersahabat. Sketsa yang kubuat semakin tidak jelas. Entah bentuk apa ini. Melemaskan tangan saja biar lebih rileks. Kulihat kembali jam dinding. Masih belum juga. Tapi sebaiknya aku segera pergi, tidak baik membuat Hannah menunggu nanti. Aku kan yang punya janji.
Berjalan menelusuri jalan setapak. Kuputuskan untuk berjalan kaki saja. Walaupun sebenarnya lebih cepat kalau naik motor tapi kalau dihitung-hitung jalan kaki tidak menyita waktu yang banyak untuk sampai ke tempat tujuan. Ada yang memanggilku dari persimpangan. Hannah. Aku tersenyum. Walau dari kejauhan, wajahnya masih terlihat manis. Penampilannya sekarang berbeda. Sekarang sudah pakai rok, jilbabnya juga lebih lebar. Namun ada yang membuatku sedikit heran. Ada anak kecil perempuan bersamanya. Siapa anak itu?
Hatiku berdebar hebat. Siapa anak perempuan itu?. Aku tidak kuasa berpikir jernih. Apakah itu anak Hannah? Bukan hal yang tidak mungkin, kami sudah tidak bertemu selama 4 tahun tanpa kabar. Aku tidak tahu sama sekali apa yang telah terjadi di kehidupan Hannah selama ini.
Ayo.. sayang, salim dulu sama om… namanya siapa?
Eyyi om..
Kenalin ini om edi..
Hannah memperjelas. Nama anak itu Deli, lengkapnya Delisha. Cuma karena masih kecil, Deli belum bisa mengucapkan namanya dengan sempurna, jadi kedengarannya seperti eyyi. Anak itu sangat lucu, kulitnya putih, rambutnya lurus sebahu, berponi, pipi chubby. Menggemaskan dan yang lebih penting Deli mirip sekali dengan Hannah. Oh.. Robbi.
Om edi? Hehe
Iya kan? Masa bilang kakak..
Jadi, kak Edi kira Deli anak Hannah?
Tawa Hannah mengambang ke udara. Pipinya sampai memerah karena tidak bisa menahan tawa. Penuturan selanjutnya tentang Deli dari Hannah. Ternyata Deli adalah adik Hannah. Jaraknya memang jauh, beda 17 tahun. Bunda Hannah yang pernah keguguran dua kali, membuat bunda Hannah sempat tidak percaya bisa hamil lagi. Bahkan setelah Hannah divonis akan menjadi anak satu-satunya. Tidak ada yang pernah mengira Deli akan lahir ke dunia setelah Hannah beranjak dewasa, setelah bertahun-tahun Hannah memutuskan tinggal bersama neneknya di kota ini.
Hannah bercerita panjang lebar selama kami jalan bertiga bersama Deli. Sementara Deli hanya senyam senyum sesekali celingukan tidak jelas. Tapi yang paling jelas Deli senang diajak makan es krim. Kesamaan Hannah dan Deli banyak. Salah satunya suka makan es krim.
Kak edi… ingat gak dulu waktu terakhir kita smsan?
Iya ingat… kenapa tiba-tiba kamu ilang begitu aja nnah?
Hannah mulai menghela nafas panjang. Mungkin merasa ini moment yang tepat untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata saat terakhir berbalas pesan singkat, sebenarnya Hannah ingin memberitahu kalau dia dipanggil orangtuanya ke Yogyakarta, untuk tinggal dan melanjutkan kuliah disana. Saat itu, Hannah ingin meminta pendapatku bagaimana sebaiknya. Tapi ternyata respon yang kuberikan kurang baik. Akhirnya dengan emosi yang masih labil, Hannah memutuskan untuk segera berangkat ke Yogyakarta, padahal sebenarnya Hannah masih punya waktu tinggal selama sebulan di kota ini. Di Yogyakarta, jurusan Psikologi salah satu perguruan tinggi negeri menerimanya sebagai salah satu mahasiswi. Hanya berselang setahun kemudian, Delisha lahir dan meramaikan keluarga kecilnya yang dulu hanya beranggotakan ayah, bunda dan Hannah. Banyak pengalaman hidup yang dilaluinya, sehingga kemudian dia seperti saat ini.
“Setelah lama kejadian itu berlalu dan nnah berada di lingkungan yang baru, Akhirnya nnah menyadari satu hal”
“apa?”
“ternyata mencintai di waktu yang tidak tepat itu salah.”
Hujan pun turun di tengah bisu. Hujan sendu.
Cerpen Karangan: Araina Lilia Bintang
Facebook: https://www.facebook.com/hannah.bintang