KATAMU HARAPANKU


“Aw!” teriak sesorang dari kejauhan. Tanpa berpikir panjang aku pun mencari asal suara itu. Aku pun melihat seorang pria yang meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya.
“Maaf ya, aku tidak sengaja,” ucapku penuh penyesalan.
“Ya, no problem. Tak terlalu sakit kok,” katanya sok tenang.
“Ya udah, aku duluan ya!” pamitku sambil pergi meninggalkannya.

Pagi yang cerah aku berangkat bekerja dengan hati yang riang. Aku berjalan sambil bermain-main melempar bluluk, yaitu sebuah kelapa yang masih kecil. Aku melempar-lemparkannya seperti kemarin. Karena merasa semakin lihai aku mulai melemparnya lebih tinggi dan semakin lebih tinggi. Tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku, aku pun menoleh dan tanpa sadar bluluk itu mengenai kepalaku. “Aw!” jeritku.
“Are you okey?” ucap seorang lelaki di sampingku.
“Yes, I okey,” jawabku. Aku pun mencoba untuk melihat wajahnya, “Kamu? Kamu yang kemarin kan,” kataku.
“Oh iya, kamu…”
“Aku yang kemarin tidak sengaja melemparimu kemarin dengan bluluk itu,” kataku menjelaskan.
“Oh begitu, oh iya perkenalkan namaku Angga, Angga Baskara,” katanya sambil mencoba menyalamiku.
“Oh, namaku Isna, Isna Anggraini,” jawabku sambil memberi tanda hormat padanya, kan bukan mukhrim.
“Oh,” dia menarik tangannya, “Mungkin besok kita bisa ditakdirkan untuk berjabat tangan!”
“Maksudmu?”
“Nothing!” ucapnya sambil meninggalkanku.
“Assalamu’alaikum!” kataku.
“Wa’alaikum salam,” jawabnya dan ia meneruskan perjalanannya.

Beberapa bulan kemudian aku dipindahtugaskan dari Bank Cabang Semarang ke Yogyakarta. Meskipun berat aku pun menerimanya dengan lapang dada. Toh juga aku adalah orang Jogja asli. Banknya pun tidak terlalu jauh dari rumahku, ya sekitar 10 km-an.
Kedatanganku untuk yang pertama kalinya di bank itu membuat merasa banyak mata-mata yang memperhatikanku, aku menjadi salah tingkah. Sampai ada seorang pria yang menemuiku, “Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam,” jawabku.
Ternyata orang itu ada di hadapanku saat ini. Dia, Angga Baskara. Aku amat terkejut. Ternyata dia juga bekerja di bank ini, ya walau hanya sebatas satpam. Kehadirannya membuatku lebih percaya diri untuk bekerja di sana.

Rumahku yang searah dengan Angga membuatku tak enak untuk menolak ajakannya berboncengan motor dengannya. Aku memberinya alasan bahwa kita belum boleh bersentuhan.
“Semoga besok kita bisa naik motor bersama ya,” katanya yang membuatku sangat bingung. Jawabannya seperti bermakna sama dengan ucapannya saat itu.
Hari pun kujalani seperti biasa. Tapi kali ini serasa lebih lengkap. Terkadang Angga memilih naik bus saat pulang bekerja, katanya agar bisa bersamaku. Hubungan kami pun berjalan dengan amat lancar dan menjadi semakin dekat, bahkan amat dekat. Kami saling melengkapi satu sama lain dan bisa menghargai segala perbedaan yang ada. Dia pernah menyatakan cinta padaku dan kuakui aku juga merasakan hal yang sama pada dirinya. Tapi karena dalam agama Islam tidak ada istilah pacaran, hubungan kami hanya sebatas teman, ya teman spesial.

Suatu malam saat sedang menonton tv, tiba-tiba ada tamu. Ibu yang menerimanya lalu masuk dan memintaku untuk keluar. Aku pun keluar setelah memperbaiki jilbabku. Ternyata Angga dan dua orangtua ynag datang. Dengan sopan ketiga orang itu menyatakan maksud kedatangannya malam itu. Aku amat terkejut, bahagia, dan merasa terharu mendengarnya. Ternyata Angga dan kedua orang tuanya hendak melamarku secaral kekeluargaan. Dan keluargaku pun menyerahkan semua keputusan padaku. Dengan malu-malu aku menerimanya.

Seminggu sebelum ijab qabul aku mendengar kabar yang amat membuatku jatuh terpuruk. Angga mengalami kecelakaan tunggal. Dan yang amat menakjubkan, dia menghembuskan nafasnya yang terakhir di masjid. Itu terjadi karena warga menolongnya dan karena bangunan yang paling dekat adalah masjid, mereka membawa Angga ke sana. Insya Allah, khusnul khatimah…

Angga…
Kini aku sadar ucapanmu itu akan segera terwujud.
Tapi Allah menghendaki bahwa doa dalam ucapanmu itu akan dikabulkan di dunia lain.

Insya Allah, kita bisa saling berjabat tangan dan berboncengan motor di surga nanti,
Amin…

Cerpen Karangan: Septi Rahayu
maaf ya kalau ngebingungin. Baru dalam masa belajar nih,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *