ONE HEART


“Apa?” tanyaku pada Adit, cowok keren yang sekarang berdiri di depanku.
“Iya, Lisa, maafin aku ya,” kata Adit lesu.
“Jadi, kita harus bener-bener berakhir sampai di sini,” kataku lesu, tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.
“M.ma a…f,” Adit menundukkan pandangannya.
“Hem,” aku menghela nafas. 3 tahun kita jalani kisah ini bersama. Merajut cinta dan memanjat asa, menuju situasi indah berpadu harum melati. Tapi, bayangan itu sirna, entah karena apa. Adit, cowok yang menemani suka dan dukaku, cowok yang menyatakan cintanya padaku, kini. Kini… harus pergi. Hem… betapa sakitnya diputusin cowok.
“M. Okelah. Maafin aku ya, kalau selama ini, aku ada salah,” kataku mencoba tegar. Padahal, hati ingin menjerit. Hufff.
“Bukan di kamu kok Lis, masalahnya, masalahnya, a… aku,”
“Cukup Dit. Aku sudah tau kok semuanya,”
“Bukan itu, dengerin penjelasanku dulu,”
“Penjelasan apalagi, aku tahu,”
“Tahu apa,”
“Diam!”

Deg! Aku tak pernah sekasar ini dengan Adit. Aku tahu siapa Adit. Banyak cewek-cewek cantik yang ngejar-ngejar dia. Aku sendiri, juga sering jealous. Maklum, sebagai wanita, aku tak menarik sekali di hadapan pria. Buktinya selama hidupku, hanya Adit satu-satunya manusia yang menyatakan cintanya padaku. Aku bahagia sekali. Bukan berarti ‘akhirnya aku laku’ tapi juga karena aku bersyukur. Ada juga laki-laki yang mencintaiku. Apalagi, laki-laki seperti Adit. Dia ganteng, ramah, pintar, wajar kalau dia disukai banyak cewek. Aku pun heran, kenapa dia memilihku. Hanya karena satu alasan, aku penuh keibuan, katanya. Hem… aku memang suka anak kecil dari dulu.

Tapi, semenjak aku pacaran dengan Adit, aku sering menelan sukma. Karena rayuan dan godaan dari cewek-cewek lain. Tidak hanya itu, hinaan dan cacian pun juga sering aku terima. Tapi, entahlah, aku merasa sudah paham dan sabar menghadapi semua ini. Aku lalui saja sampai waktu 3 tahun ini. Terkadang, rasa lelah dan peluh di hati juga menyelimuti. Aku mampu melalui semuanya. Mungkin, karena cinta. Ya, mungkin itu.

“M… maaf,” kataku, dengan bibir bergetar. Aku tak mampu memendam kekecewaan ini.
“Ok, aku, a…ku juga minta maaf,”
“Aku… aku sadar kok, seharusnya, aku gak sama kamu dari awal,” kataku, tak bisa menahan air mata yang menetes di pipi.
“Lisa, bukan masalah itu,”
“Ya, tapi dengarkan aku dulu, aku ingim bicara,” desakku.
“M… ok,”
“Selama ini, banyak orang yang bilang kalau kamu disukai banyak cewek,”
“Tapi itu kata orang kan, aku gak pernah bilang begitu sama kamu,”
“Ya, aku tau, tapi, itu kenyataan kan,”
Kulihat Adit terdiam.
“Aku jelek Dit, kamu ganteng, gak pantas kan,”
“Kamu selalu membahas soal itu, aku gak suka,”
“Lagian, memang itu kenyataannya kok,”
“Tapi Lisa, aku cinta sama kamu, dan kamu juga cinta sama aku, apapun masalahnya, kita pasti bisa hadapi, kan, kecuali…”
Deg!
“Kecuali apa,” kataku lesu, seolah-olah, nafasku Cuma sampai di dada saja.
“Kecuali… masalah ini, kita harus benar-benar putus, aku tak punya pilihan lain, maafin aku,”

Aku tertunduk. Suasana ramai di taman ini, kontras dengan susana hatiku. Sepi, merana, kecewa. Dan tidak ada lagi hari-hari indah yang akan kulalui. Yang ada, hanya mendung kelabu yang dihiasi kabut menyesakkan hati. Ya Rabb… aku ingin menjerit.

“Lisa,”
Aku diam. Tak mau melihat mukanya lagi. Seharusnya, aku tak mencintainya. Seharusnya, aku tak menerimanya waktu dia bilang cinta padaku. Seharusnya, kuputuskan saja dia waktu ada cewek yang mengajaknya menikah. Seharusnya, kuakhiri saja hubungan ini waktu ada cewek yang bilang padaku kalau aku gak pantas jalan sama Adit. Untuk apa kukorbankan semua perasaanku demi hubunganku dengan Adit. Seharusnya, ya, seharusya begitu. Tapi… tapi, semua telah berlalu. Tak mungkin bisa aku memutar yang dulu. Kini hanya tinggal kekecewaan dan penyesalan saja.

“Lisa,”
“Sudahlah Dit, aku mau pulang,”
“Kita belum selesai bicara,’
“Apalagi,” kutatap mata elang itu.
Ya Rabb. Aku tak sanggup.
“Aku bener-bener harus minta maaf, kita bener-bener harus berakhir, maafin aku, tapi, sekali lagi, aku cinta sama kamu,”
“Ya,” aku beranjak pergi.
“Lisa,” Adit menarik tangankui erat. Tak pernah dia memegang tanganku seperti ini. Hangat.
“Aku belum selesai bicara,”
Aku tak sanggup. Aku tak bisa mendenngarkan kata-katamu lagi. Seharusnya kau sadar itu Dit.
“Baiklah, bicaralah,” aku kembali duduk. Air mata terus menetes di pipi. Benar-benar seperti anak kecil. Aku benar-benar tak sanggup menahannya.
“Aku cinta sama kamu,”
Diam. Kata-kata itu lagi. Tak ada gunanya.
“Lisa, maafin aku… kita… kita harus putus karena… aku dijodohin,”
Geg! Dadaku semakin sesak. Jadi… wanita cantik dan baik yang selama ini aku kenal, telah jodohin kamu, wanita yang berhasil mendidik anaknya, sehingga Adit menjadi anak yang sangat berbakti pada orang tuanya. Dan, seorang laki-laki yang keras tapi sangat menyayangi anak laki-lakinya ini, sehingga tak ada lagi pilihan lain bagi sang anak untuk… menuruti kemauan mereka.

Bapak dan ibu Adit, sudah lama aku kenal mereka. Mereka sangat harmonis, aku sudah cukup dekat dengan mereka. Tapi…
“Baiklah, mungkin saja, kita tidak berjodoh Dit,” aku mencoba tegar. Tapi… tapi kutahan saja air mata ini, nanti saja di kamar aku mengamuk dan menangis sepuas-puasnya. Aku ingin cepat pulang…
“Ya, aku juga minta maaf, karena, seharusnya, kita tidak pacaran Lisa, kita… kita tidak seharusnya melakukan itu,”
“Melakukan apa? Kita tidak melakukan apa-apa kan,”
“Ya, tapi, yang namanya pacaran itu kan, tidak boleh, hubungan yang sah antara laki-laki dan perempuan, hanyalah sebuah pernikahan,”
Deg! Iya, sih.
“Makannya, maafin aku ya,”
“Ok. Sudah selesai, bicaranya,”
Aku semakin ingin mengakhiri saja pembicaraan ini. Dan aku berharap, aku tak pernah melihatnya lagi.
“Belum,” jawab Adit datar.
“Lalu apa lagi?”
“Kamu belum tahu aku dijodohin sama siapa,”
“Maksud kamu,”
Adit tersenyum.
“Aku dijodohin sama kamu, Lis,”
Deg!
“Apa maksudnya,”
“Ya, aku mau dijodohin sama kamu, bapak dan ibu… mau ke rumah kamu nanti malam. Gimana?”
“Ha…”
Aku kaget. Jadi…
“Kok ha, sih,… o, ya, ngapain nangis,” kata Adit, sambil mengusap air mataku. Lembut.
“Ih… Adit..,”
Kucubit pinggulnya keras-keras. Dasar!
“Aduh, sakit tau…”

Kutatap wajah tampan itu. Aku tersenyum. Kupeluk tubuh kekar itu. Hangat.
“Hei… kita kan belum menikah, sabar dong,”
Spontan kulepas pelukan itu. Kuinjak kakinya keras-keras.
“Aduh…”
Aku tertawa. Alhamdulillah. Ya Rabb, terimakasih

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *