
26 April. Di tanggal itu, tinta merah menandai kalender pribadiku dengan gambar waru.
“Dmn” Tanya dia melalui sms.
“D rmh” Jawabku singkat meniru gaya smsnya.
“Ak mau ajak adik” Katanya to the point.
“Kmn?” Aku tak mengerti.
“Jgn bnyak tanya” Nadanya sedikit kasar.
“Aku tunggu dmn?” Tetap saja aku bertanya, karena memang tidak mengerti kemauannya.
“Tp ndk enak,ntar blg2” Intinya dia mengajukan syarat.
“Klo gk enak ya gk usah lah.” Saranku.
“Mau apa ndak” Dia memberi pilihan.
“Oke, rahasia. Sebenarnya q jg ingin tau masku ni orgnya seperti apa.” Tanda aku setuju.
“Aku cium keningmu” Balasnya cepat.
Apa-apaan dia. Aneh, penuh teka-teki dan misteri. Tapi tetap saja kata-katanya aku turuti. Aku segera mandi dan menunggu bis. Matahari mulai terik. Jam di hpku menunjukkkan pukul 10.00 am. Dia memintaku ke tempat tertentu di kota sebelah. Entah kekuatan apa yang merasukiku, aku menurut saja.
Sayup-sayup kudengar lagu Innocencenya Avril, suara itu nada dering ponselku. Kurogoh tasku dan mengangkat panggilan yang masuk. Setelah mengucap salam aku hanya ‘hallo-hallo’ saja, tidak kedengaran, ada pangrove jalanan yang sedang unjuk suara.
“Tidak terdengar. Sms saja.” Teriakku pada seseorang di telepon, lalu kupencet tombol merah.
“Dmn” Satu sms masuk.
“Kemungkinan lama sampainya.” Balasku.
“Jgn bnyak omong.cepat brgkt.ak uda d jln.” Sudah jadi kebiasaannya menulis tanpa memperhatikan tanda baca, kadang ejaannya pun salah dan tak beraturan.
“Iya say, ini dah dlm bis.” Kata manis menjadi balasan kata-katanya yang sedikit menggores hati. Dia memang seperti itu, tapi sepertinya aku sudah terbiasa.
‘Sayang’, kata yang beberapa kali dia ucapkan padaku. Kata yang membuatku melayang. Tapi baru waktu itu aku mengucapkan kata serupa. Walaupun hanya singkatan, rasanya berat untuk diungkapkan. Hah!!
Tiap beberapa menit hpku bergetar, tapi tak kugubris. Lha akunya berdiri, bisnya penuh, sesak, susah mau bergerak. Saat turun dari bis, kubuka hp, smsnya menumpuk di inbox. Di satu sms dia bilang kalau dia menunggu di tempat lain.
“Ah, q ni baru turun dr bis. Lagian gk enak klo bayarnya segitu tp mau turun lebih jau.” Protesku padanya.
“Naik lg,dekat dik” Perintah dia yang lagi-lagi aku turuti.
Aku naik kendaraan umum yang disebut kol. Entah apa yang menguatkanku, aku jadi berani di daerah yang tidak ku kenal, yang tidak kuketahui mana arah utara atau selatan. Kugunakan ilmu sosialku untuk berkomunikasi dengan orang yang kutemui. Tidaklah sulit. 10 menit kemudian, aku turun.
Daerahnya memang benar, tapi dia tidak sedang di situ. Dia menunggu di rumah makan yang dia smskan namanya. Dia menyuruhku mendatanginya di tempat itu. Aku capek sekali. Panas matahari sangat menyengat.
“Disini saja” Tolakku.
“Tolonglah dik, ak sudah nunggu lama.”
Ya, aku luluh, aku naik angkutan kecil yang disebut len. Semenjak berangkat dari rumah kata yang selalu dia smskan ‘dmn’, aku membalasnya dengan melaporkan di daerah mana aku berada. Sampai di daerah yang tidak kukenal pun, dia masih bertanya ‘dmn’ posisiku.
“Supirnya gk tau dmn itu.” Aku bingung harus turun dimana, sementara supirnya saja tidak tau alamat yang dia smskan padaku.
“Dmn” Sms dia lagi, membuatku semakin lelah.
“Di hatimu” Jawabku sekenanya.
“Aku jemput” Jawabannya membuatku senang. Tapi terlambat. Saat menoleh, kubaca plakat bertuliskan nama rumah makan sama dengan yang dia smskan.
“Turun sini, Pak” Kataku cepat pada pak supir.
“Kalau ini, ya tau saya, Neng.” Aku hanya tersenyum sadar kalau ada miss communication antara aku dan supir len.
“Aku di luar” Smsku padanya.
Benar. Kulihat dari jauh, lelaki bersarung dan berkopyah rajutan pres kepala keluar dari tempat makan di seberang jalan. Selang beberapa tarikan nafas, mobil mewah warna silver berhenti tepat di depanku. Kacanya secara otomatis dia buka, aku membuka pintu dan masuk ke dalam mobil. Kita hanya berdua.
Mobil berhenti di mini market bercat kombinasi merah, putih dan kuning. Setelah turun, aku kembali dengan membawa satu pack rokok plus beberapa lembar uang kembalian dan wafer tabung sebagai ganti uang kembalian receh. Semua yang kubawa kuberikan padanya, karena memang miliknya, dia minta tolong padaku untuk membelikan rokok favoritnya. Dia langsung menyalakan dan menghisap rokoknya. Tidak lama, dia membuang sisa putung rokok dan kembali melajukan mobil.
Aku melihat-lihat gedung yang ada di tepi jalan, tak berani kutatap wajahnya. Pertemuan itu pertama kali aku berada sangat dekat dengannya.
“Jujur, aku tidak pernah jalan berdua dengan perempuan seperti ini. Paling dengan kawan, rame-rame. Kalau kamu?” Dia mencairkan suasana.
“Sering. Ya, kadang-kadang lah.” Aku juga menjawabnya dengan jujur.
Aku memang beberapa kali jalan dengan kakak tingkatku, tapi 26 April adalah jalan berdua dengan menaiki mobil pertama kalinya buatku.
“Tadi ke Ibu, pamitnya kemana?” Tanyanya lagi.
“Ya berangkat aja. Emang udah biasa keluar rumah kan. Nanti sore ada kuliah” Jelasku.
“Anggap saja kita sedang pacaran.” Katanya kemudian.
Aku hanya diam mendengar kata-katanya. Aku duduk memangku tas ranselku dengan kedua tangan ketengkurapkan berdekatan di atasnya. Kejadiannya begitu cepat, tidak bisa kugambarkan secara detail. Sambil menyetir, tiba-tiba saja tangannya mendarat di punggung tanganku. Aku diamkan. Dia memasukkan jari-jari tangannya di sela jemariku. Dia genggam erat. Tidak hanya menggenggam, dia seperti meremasnya. Sentuhannya membuatku damai. Aku hanya diam merasakannya, dia yang terus bergerak.
Entah mengapa, aku tergerak. Kubalik tanganku, posisi berubah dimana telapak tanganku menyentuh telapak tangannya. Bersatu. Tanganku membalas genggamannya. Yah, kita sama-sama berdosa. Kita mengobrol tanpa melepas genggaman. Kurasa waktu itu malaikat Atit sedang sibuk mencatat kelakuanku yang tidak baik.
“Pernah ada mahasiswi konsultasi, bagaimana jika seseorang mengungkapkan cinta dengan ciuman…” Dia seperti akan bercerita, tapi aku mengerti maksudnya.
“Menyindirku? Aku tidak pernah ciuman.” Aku memotong perkataannya.
“Benar?”
“Aku bukan pembohong.” Kulepaskan genggamannya dan melempar tangannya sedikit menjauh dariku.
Aku memang pernah kencan, tapi tak pernah kubiarkan lelaki dengan leluasa menyentuhku. Ya, kecuali hari itu. Aku membiarkannya.
Tangannya kembali mendekati tanganku, kali ini dia menggenggam kedua tanganku secara bersamaan. Aku pasrah dengan yang dia lakukan, aku terima.
“Boleh aku menciummu? Hari ini saja. Setelah itu lupakan. Anggap hari ini tak pernah ada. Dan bila kita bertemu di lain hari, kembali bersikap seperti biasa. Kita begini cukup hari ini.”
“Tetaplah tidak boleh meskipun cuma hari ini.”
Dia menghela napas, melepas genggamannya dan diam.
“Tidak mau kalau jalan tidak ada tujuan begini, kita mau kemana?” Tanya dia kemudian.
“Yang mengajak yang memutuskan.” Jawabku.
“Aku lelah sekali, banyak pekerjaan. Biasanya kalau kesini aku istirahat di hotel langgananku. Aku pengen tidur. Mau kalau ke hotel?” Ajak dia.
“Malu ah, penampilanku seperti ini.” Alasanku saja untuk menolaknya. Alasan yang tepat karena waktu itu aku memakai rok, kaos pendek yang kututup dengan jaket dan tak lupa berjilbab.
“Lucu kamu ini.” Dia tertawa kecil.
Perasaanku sudah membiusku sampai berani melakukan hal sejauh ini. Bagaimana aku bisa menjamin kalau aku tidak akan melakukan dosa yang lebih besar jika aku di dalam hotel hanya berdua bersamanya? Mungkin ini hikmah melakukan shalat. Ketika berada dalam situasi tak dapat mengendalikan diri, shalat menjalankan perannya sebagai amar ma’ruf nahi mungkar, meskipun tidak merasakannya secara langsung. Tentulah shalatku masih belum sempurna, sehingga pengendalian diriku pun ala kadarnya.
Dia menerima telepon dari entah siapa. Dia bilang ada pekerjaaan penting jadi tidak bisa mengantarku pulang. Dia menggenggam tanganku lagi, sebagai perpisahan kalau tak akan ada hari dimana kita sengaja melakukan dosa lagi, hari yang mungkin akan kurindukan. Akhirnya, dia menurunkanku di tepi jalan dan pergi.
Hari itu aku merasakan rasa yang aneh. Mengikat kuat seperti jerat. Terasa indah penuh pesona. Merubah lelah jadi gairah. Luka, hanyalah titik bahagia tertunda. Rindu, selalu terasa menggebu. Murka, takkan pernah bisa berkuasa. Bahagia ketika bersama. Mencari saat satu pergi. Berbagi sangatlah berarti. Entah rasa apakah ini? Tak bisa kusimpulkan apakah ini gejolak perasaan atau bisikan setan.
Mobilnya menjauh dari tempatku berdiri. Jam 01.00 pm. Kencan kilat kami hanya berlaku 1 jam. Bahagia dan kecewa. Aku bahagia karena walaupun tak pernah mengimpikannya, aku melakukan hal itu bersamanya. Jalan berdua dengannya membuat hatiku sejahtera, yah, mengesampingkan bahwa itu adalah dosa. Tapi aku sangat kecewa. Kenapa dia berlaku seperti itu? Padahal di anganku dia adalah lelaki yang menjunjung tinggi norma agama, lelaki yang melakukan banyak hal untuk kebaikan umat. Dan kenyataan yang kulihat, dia seperti lelaki yang tak mampu menahan hasrat.
Tapi aku rasa tidak mungkin jika dia melakukan itu karena berhasrat. Lelaki seperti dia tentu bisa mendapatkan wanita yang lebih dariku, yang cantik, kaya, dari keluarga berada dan sholihah. Aku tak selevel dengannya. Strata kita berbeda. Dia menganggapku sebagai adik saja itu sudah bagus. Apa mungkin untuk menguji keimananku? Ah, aku percaya dia bukan orang tinggi hati yang merasa dirinya paling benar sehingga perlu menguji keimanan orang lain. Atau mungkin dia memang seperti itu? Suka jalan dengan gadis dan melakukan hal-hal yang tidak seharusnya. Dia bilang tak pernah seperti itu sebelumnya, tapi siapa yang tau kalau dia bohong. Sudahlah, cukup! Tak baik menjudge orang lain. Tapi jujur, hari itu aku sedikit tersinggung. Dia memperlakukanku seperti jajanan pinggir jalan yang sayang bila tidak dicicipi, dan ketika sudah bosan ditinggalkan.
Setelah hari itu otakku mengatakan kalau dia tidak baik. Menyebutkan sepuluh bahkan lebih ketidak baikan dari dirinya mungkin bisa. Tapi hatiku mengatakan dia tetaplah baik. Sangat baik. Namun aku tak mampu menyebutkan satu hal pun yang membuatnya menjadi baik di hatiku.
Hari itu aku belajar bahwa hati bisa jatuh kepada siapa saja tanpa pandang itu baik atau buruk, pantas atau senjang, dan halal atau haram. Perasaan yang sering diagungkan kadang juga bisa melemahkan, dan ketika itu terjadi, agamalah yang mampu meluruskan. Kuakui, hari itu aku melakukan kesalahan. Seperti permintaannya, biarlah hari itu menjadi rahasia. Rahasia dia, rahasiaku dan rahasia kita para pembaca. Benar tidaknya, Tuhanlah yang Maha Mengetahui segalanya…
WASSALAM