Napak Tilas Sang Pengabdi


“Koridor hujroh (kamar) pesantren berasitektur hijau yang mulai mengusam itu seolah abadi menyirat jelas kisah Ismail dan Abdul 5 tahun silam. Abdul yang selalu memboyong baju-baju pak Rohman dan keluarga untuk diseterika dan dirapikan di sana, mengingat ndalem (rumah guru) pak Rahman yang terlalu sumpek di waktu pagi hari, karena anak-anak beliau yang harus bersiap-siap berangkat ke sekolah. Sementara pemandangan berbeda terlihat di tepi lantai yang sedikit menjorok ke arah kolam kaki santri, yaitu Ismail yang tak pernah absen dari mengkomat-kamitkan bait perbait nadhom ilmu alat yang telah dipelajari di kelas, sebelumnya.”

Pertemuan tanpa sengaja di bandara Abdul dan Ismaillah yang menuntun ingatan Ismail untuk sejenak bernostalgia akan hal itu. Jawaban demi jawabaan singkat tentang kesuksesan Abdul dari beberapa interviewnya, agaknya menyelipkan keadaan menyesal tak beralasan di dalam memory yang dulu selalu diasahnya itu, yang akhirnya penjual mie ayam lah yang menjadi pilihan akhir sebagai profesinya. Pengalaman di universitas Qarawiyyin Maroko dan beberapa prestasi Abdul lainnya memang cukup menumbuhkan anti pati pada dirinya sendiri, dan yang pasti membuat tanda tanya besar di dalam kepalanya. Dia masih terobsesi, bahwa “final of success” itu pasti datang dari usaha belajar yang keras. Sedangkan aktivitas Ex-Rivalnya itu hanya sebagai juru laundry ndalem yang hampir semua waktu belajarnya tertelan untuk pengabdiannya di ndalem, bisa meraih segalanya.

“aku masih bertanya-tanya, bagaimana kau bisa mendapatkan semua ini kawan?”, “ridho seorang pembimbing”, jawab singkatnya. “pembimbing?”, “iyaa, ketika ahli ilmu meridhokan pengetahuannya menjalur ke beberapa otak kita, maka secepat kilat pulalah manfaat dan barokah ilmu akan menyanding kita, dan yang pasti intervensi Tuhan juga tetap berperan”, “ooow…” sepenggal kata Ismail akan persetujuannya yang seolah terpaksa, dengan menganggukkan kepala serta diselingi suara bising lending-take of pesawat di bandara. Menunggu picking-up beberapa keluarga Ismail, untuk penyambutan sepulangnya dari Maroko dalam pengembaraan ilmunya, serta Ismail yang juga masih menunggu pakliknya lending dari Malaysia, membuat mereka betah berlama-lama bernostalgia bareng di sana. “kamu masih ingat kan, dulu kita sering bersaing?”, “iyaa, dan hampir kamu yang selalu menjadi pemenangnya”.

Tak dapat ditepis lagi, beberapa tahun silam ketika mereka berdua masih dalam fase pengembaraan ilmu bersama di pesantren, mereka mempunyai kepribadian ambisius dalam meraup sejengkal pengetahuan. Namun yang membedakannya adalah arah haluan yang dipilih mereka untuk meraihnya. Abdul yang selalu menelateni dunia abdi ndalem yang tak berupeti, dan harus selalu pintar-pintar dalam membagi waktu antara belajar dan pengabdiannya itu, sementara Ismail yang selalu disibukkan duduk Istiqomah sambil menatap serius buku-buku studinya di koridor hujroh. “kamu tak takut kalau hasil belajarmu surut nantinya, sementara waktumu habis oleh kegiatan semacam ini?”, Tanya Ismail sembari melirik baju-baju hasil seterika-an Abdul yang terlihat tergantung rapi di jendela-jendela koridor hujroh. “tidak, selama kegiatan itu positif”.

Meskipun ujian akhir persantren sebentar lagi akan di hadapi oleh para santri As-Salaam, tak henti-hentinya Abdul tetap melaundry rapi baju-baju keluarga pak Rohman. Sampai di suatu ketika, Abdul merasa lebih berat pada beberapa helai baju untuk diseterika, daripada mengikuti National Arabic Olympyade. Yah, Abdul dan 3 kawannya yang terhitung lebih berkompeten di antara teman-temannya, telah dibooking guru mereka untuk manjadi delegasi pondok As-Salaam dalam olympyade tingkat nasional itu. Namun, pagi itu baju-baju yang harus di laundry Abdul tidak seperti biasanya, kira-kira hampir 50% lebih banyak.

“A’aaabbb…, ayoo cepaaat!!!” Nama panggilan yang biasa digunakan teman-temannya untuk memanggil akrab Abdul. “Iyaa, sebentar lagi…, tinggal nyisa 5 pasang”, “teman-teman sudah pada berangkat, tinggal kamu aab…” ujar kawan-kawannya yang seolah selalu menjadi supporter setia Abdul dalam setiap kompetisi yang diikutinya. Angkot merah yang mengangkutnya diharap bisa melaju selancar waterfall ketika menjatuhkan pasukan airnya. Namun budaya lelet angkot yang selalu berhenti di setiap lorong jalan tak bisa dihindari dengan doa menggebu-gebunya pagi itu.

Suasana hening terlihat di setiap sudut ruangan olympyade, pertanda babak pertama sudah dimulai. Abdul terdiam dalam keterkejutannya ketika melihat para peserta telah menatap serius selembar kertas soal di hadapan mereka. “Astaghfirullaah…!!!, aku tidak boleh menyalahkan baju-baju tadi” gumamnya sambil menghibur diri. “Ab, Kamu terlambat?” Tanya salah satu guru pendampingnya, “Iya paak…” “tadi pagi kamu masih menelateni pekerjaanmu itu?”, “Iya pak”, jawab Abdul dengan intonasi suara rendahnya, dan berusaha menundukkan kepala karena merasa tak kuasa menatap wajah kecewa guru pendampingnya. “Seharusnya kamu minta izin dulu pada pak Rahman…!!!, bilang kepada beliau kalau hari ini kamu ikut Olympyade”. Tak sepatah kata pun yang sanggup digerakkan lidahnya untuk berucap, hanya senyum kecil dan rasa bersalah yang ditampakkannya.

Suara sorak sorai terdengar dari para audience babak terakhir National Arabic Olympyade. Sampai pada penghujung acara, Ismail delegasi dari pesantren As-Salaam ditetapkan sebagai Runner-Up. Kemudian tropi dan beberapa souvenir penghargaan disematkan kepada para pemenang oleh bapak Menteri Agama. “kamu tau, siapa yang seharusnya menerima Tropi utama itu?”, ujar teman karib Abdul. ”Iya, kamuu… dan kamu telah melakukan serah senjata sebelum maju untuk berperang” sambungnya, sebelum Abdul melontarkan kalimatnya. “Tapi semuanya belum final!. kesuksesan bukan hari ini, tapi nanti ketika kita menyongsong hari tua”, “Semoga…!!!” Ucap kesal temannya sambil bergegas meninggalkannya, karena merasa sabda-sabda yang dianggap suci olehnya tidak digubris sama sekali.

Ujian akhir sekarang sudah 5 cm di pelupuk mata, para santri dengan antusias menyambutnya, segala macam model belajar pun dilakoni. Mulai dari membaca, menghafal sampai menulis studi yang pernah tidak diikutinya bersama teman-temannya. Tak jarang santri-santri pemalas pun menggunakan sistem SKS (Sistem Kebut Semalam) sebagai pilihan alternatif dalam menghadapi ujian akhir mereka. Terekspose sosok Abdul di pojok hujroh yang menggunakan lampu senter merahnya sebagai penerang untuk memuthola’ah buku-bukunya sampai tengah malam, karena memang seluruh lampu di setiap hujroh harus off pada jam itu, waktu tengah malam diplihnya karena memang pada waktu itu dianggap paling tepat untuk mentransfer beberapa ilmu dari buku-bukunya ke seluruh bagian sel-sel otaknya.

Hiruk pikuk keadaan sekolah As-Salaam pagi itu mungkin menyiratkan kata hening, tegang, nerveous dan diselingi suasana dingin menggigil. Dengan penuh rasa percaya dirinya, Abdul mulai menggoreskan tinta-tintanya di atas lembar kertas putih yang baru saja diberikan oleh guru pengawasnya. Dan dengan sigapnya 50 butir pertanyaan telah diselesaikan dalam waktu yang jauh dari batas waktu yang telah ditentukan. Setelah membolak-balikkan lembar jawaban untuk dikoreksi ulang, dia menyerahkan naskah beserta lembar jawabannya kepada guru pengawas, kemudian bergegas meninggalkan ruang ujian. Sambil mengoreksi lembar jawaban Abdul, guru pengawas di kelas 3A tampak reflek berucap “Sempurnaa…!!!”

Dalam kurun waktu 2 minggu lamanya, ujian akhir pun terampungkan. Pada kesempatan lain, guru wali dengan raut berbingar ria dan langkah tergesa-gesanya menuju ruang kelas 3A, siswa-siswa penghuni kelas pun ikut penasaran dibuatnya. Ternyata guru wali memberi tahu bahwa Abdul, Ismail dan 3 siswa lainnya sebagai peraih grade nilai tertinggi di sekolah, telah di daftar untuk mendapat kesempatan melanjutkan studi mereka di universitas Qarawiyyin Maroko oleh guru-guru mereka. Qarawiyyin memang menjadi Universitas impian semenjak awal langkah kaki mereka menginjakkan di pesantren. Meskipun masih harus melalui beberapa tes, tapi applause meriah meramaikan kelas mereka pada waktu itu. Ucapan-ucapan selamat serta pujian dari teman-temannya pun tak luput menjadi sebab keramaian di kelas. Senyum haru menyelimuti Abdul dan 4 teman lainnya, tak henti-hentinya kalimat syukur terucapkan dari mulut mereka. Abdul dan kawan-kawan segera mempercepat langkahnya untuk mengambil air wudhu sebagai syarat sujud syukur, untuk pembuktian rasa terima kasih mereka kapada Allah.

Moment-moment itu telah berlangsung, Abdul dan kawan-kawan memutuskan lebih gencar dalam menekuni belajarnya. Mulai dari sering mengadakan belajar bersama di hujroh-hujroh mereka secara bergilir, sholat malam bersama, sampai berbagai macam metode balajar untuk menjebol pintu kesempatan balajar di Qarawiyyin pun dilakukan mereka dangan penuh keseriusan, tapi semua itu tak menyurutkan semangat Abdul sebagai pengabdi ndalem, semua masih dilakukan seperti biasanya.

Beberapa uji tes di luar kota telah mereka hadapi dengan semangat dan antusias, tapi apalah daya, ternyata kehendak Tuhan tak sejalan dengan rencana dan keinginan mereka. Pengumuman yang dibaca mereka lewat media online mengatakan kalau hasilnya cukup mencengangkan, dari 5 murid peraih grade nilai tertinggi di pesantren As-Salaam yang terdaftar, hanya Abdul yang mendapat tiket kesempatan emas itu dengan sepenuhnya.

Terhenti sejenak dari nostalgia perjalanan mereka, tiba-tiba sekerumunan orang terhentak merapat di sekitar mereka. Yah, keluarga Abdul telah datang untuk menjemputnya sepulang dari Universitas impiannya itu.
Nostalgia lama Abdul dan Ismail pun seketika buyar terselesaikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *