Hijab Pragawati


Masa putih abu-abuku disibukkan dengan rutinitas yang menuntutku menjadi orang lain. Dituntut untuk menebar senyum kepalsuan dengan wajah topeng bak kanvas yang bisa dilukis dengan tinta-tinta yang menggores di setiap bagian wajahku demi bidikan kamera yang menurut mereka “sempurna” tapi tidak dengan helaian kain minimalis yang hanya menutupi sebagian tubuhku. Dalam suatu waktu, aku juga harus melewati panjangnya kain merah. Langkah demi langkah palsu kujalani dengan menegapkan tubuhku dan pandangan lurus ke depan untuk menjadi manekin hidup bagi hasil rancangan orang lain.

Di sekolah – Aku menjadi perhatian khalayak umum karena wajah topengku dan keindahan parasku yang kutampakkan dengan jelas terlebih bagi kaum Adam. Mereka memandangku seolah-olah aku adalah pameran berjalan yang bisa mereka pandangi dan nikmati keindahannya. Wajar, karena kain yang menutupi tubuhku hanya beberapa senti dan tubuh yang begitu kurawat. Tapi tidak dengan orang yang satu itu.

Di langkah pertama aku menginjakkan kakiku di kelas baruku, ya, kelas XII. Deg! Otot-ototku tiba-tiba saja kaku, aliran darahku membeku, dan persendianku serasa terkunci dengan jantung yang berdegup dengan begitu kencangnya. Kelopak mataku seolah enggan berkedip untuk memastikan lagi apakah itu dia. Langkahku terhenti sejenak. Ternyata itu benar dia, orang itu lagi. Dia berada satu kelas denganku. Dia yang selalu memalingkan kepalanya untuk tidak memandangku. Dia yang berbeda dari orang lain di mataku.

Tiba pada pelajaran Bahasa Indonesia – Pak guru memberi kami tugas membuat laporan dengan dua orang di setiap anggota kelompoknya. Ketika tiba saatnya pak guru mengumumkan pembagian kelompok untukku, beliau menyebutkan nama itu. Ketika suara itu mencapai gendang telingaku, mataku secara refleks menerima rangsangan itu dengan melebarkan kelopak mataku secara maksimal dan pita suaraku bergetar dan menyuarakan kata-kata milik tunawicara. “Hah? Dia?” Ya, dia. Dido Angkasa Putra. Hmm… baiklah.

Aku mencoba menyapanya dan menanyakan tentang tugas Bahasa Indonesia. Tapi selalu saja begitu. Lagi-lagi dia memalingkan kepalanya untuk tidak memandangku dan kali ini dia mengucap “Astaghfirulloh”. Seketika muncullah beberapa pertanyaan di benakku “Apakah aku sehina itu sehingga dia tidak berani memandangku? Sehina apakah aku di matanya? Sehina itukah aku hingga dia mengucapkan kalimat itu ketika hanya sedetik pun dia melihatku?”. Lantas aku bertanya kepadanya, “Kamu kenapa?”. Dia hanya menjawab, “Akan aku coba untuk menyelesaikan tugas Bahasa Indonesia sendiri saja. Jadi, kamu tidak perlu repot-repot mengerjakannya,” lalu dia melangkahkan kakinya dan berjalan menjauhiku.

Hari berikutnya aku kembali menanyakan tugas kelompok lagi kepadanya. Lagi-lagi dia memalingkan kepalanya dan mengucap “Astaghfirullah”. Sejenak dia berhenti dan melanjutkan ucapannya, “Kamu tenang saja. Tugasnya udah selesai kok. Jadi kamu nggak perlu khawatir.” Pertanyaan-pertanyaan itu masih menggelinang di kepalaku, “Tunggu!” Aku mencoba menghentikan langkahnya untuk melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab dan mengambang di otakku. “Kenapa ketika kamu sedetik pun melihatku, kamu selalu saja seketika memalingkan kepalamu dan mengucap “Astaghfirullah” seolah aku begitu hina dan begitu tidak pantas untuk dilihat? Sehina apa aku di mata kamu?” Dia menjawabnya dengan suatu pertanyaan, “Aku mau nanya sama kamu. Di tempat mana mutiara paling mudah dicuri dan yang paling sulit dicuri, yang pertama di jalan, yang kedua di halaman rumah, yang ketiga di dalam rumah, dan yang keempat di dalam brankas yang ada di dalam rumah?” Seketika pertanyaan-pertanyaan itu membuatku menyuarakan bahasa gagu itu lagi, “hah?” Lalu dia melanjutkan ucapannya lagi, “Renungkan itu!” Kemudian dia mulai melangkahkan kakinya dan pergi menjauhiku.

Berlarut-larut aku renungkan perkataannya itu. Selalu saja perkataanya itu larut dalam pikiranku. Selalu saja kata-katanya terngiang di telingaku. Berkali-kali logikaku mencoba untuk menggapainya. Tapi tetap saja begitu sulit bagiku untuk menafsirkannya. Setelah sekian lama, di suatu bunga tidurku itu aku melihat sebuah cahaya terang. Kucoba untuk menghampiri cahaya itu. Kukejar cahaya itu hingga akhirnya aku berada di sebuah tempat. Di tempat itu aku melihat hal yang begitu membuatku kaku dan tak bisa ucapkan sepatah katapun. Jadi, itulah gambaran bagaimana balasan bagi perempuan yang tidak mau menjaga dan menutupi mutiaranya. Mereka berteriakan dan merintih tapi tak ada yang bisa menolong. Mereka terbakar panasnya api tapi tak ada yang bisa menyejukkan. Mereka merasakan dahaga tapi yang ada hanyalah air mendidih.

Tiba-tiba aku terbangun dari bunga tidurku. Ketika aku mulai membuka kelopak mataku, kulihat bayang-bayang seseorang di sampingku. Ternyata itu mama yang tidur dan duduk di sebelah ranjangku serta memegangi tanganku. Kulihat bekas aliran air mata di pipi indah mama yang masih basah. Kucoba kugerakkan tanganku. Kucoba meraih pipi mama dan menghapus air mata mama. Kulihat selang infuse menjuntai dan menempel di tanganku. Kurasakan pula hembusan segar oksigen di kedua lubang hidungku. Mama terbangun. Sebuah senyuman tercipta dari bibir indah mama.
“Kamu sudah bangun sayang?” kata mama.
“A-aku di mana ma?” tanyaku lirih.
“Kamu di rumah sakit, nak. Sudah dua bulan ini kamu koma.” Jawab mama.
Aku dalam kebingungan dan aku menggaruk-garuk kepalaku. Akan tetapi, “Ma, mama, ke mana rambutku? Ke mana ma?” tanyaku seraya menitihkan air mata. Mama pun mulai menitikan air matanya pula.
“Ma, ke mana ma, ke mana rambutku?” Tanyaku mendesak.
“Ka.. kamu… rambutmu… rontok akibat kemo terapi, nak.” Semakin deras air mataku mengalir ketika ucapan mama itu melewati gendang telingaku.
“Memangnya aku kenapa ma?”
“Ka… Kamu… Waktu itu kamu tiba-tiba saja jatuh pingsan dan mama langsung membawamu ke rumah sakit.”
“Emang aku sakit apa ma?”
“Ka… Kamu… Kamu mengidap kanker pencernaan.” Jawab mama dengan terisak-isak.
“Apa ma?” Semakin deras air mata ini mengalir keluar dari sudut mataku.
“Ma, tinggalin aku sendiri dulu. Aku ingin menenangkan diriku dulu ma.” Pintaku. Mama hanya menganggukkan kepalanya seraya pergi meninggalkan ruangan itu. kulihat di sana mama yang begitu berat memutar engsel pintu dan terus menoleh ke arahku.

Selalu hadir di pikiranku tentang bunga dari tidurku itu. Aku takut aku menjadi seperti mereka yang begitu tersiksa karena tak mau menutup dan menjaga mutiaranya. Oh… hey… tunggu! Aku jadi teringat dengan ucapan Dido waktu itu. Goresan kata-katanya belum sirna dan masih membekas benar dalam memoriku. Kini aku mengerti tentang kata-katanya itu sekarang. Makna yang dapat kutafsirkan adalah: tempat di mana menyimpan mutiara itu adalah gambaran tingkatan seberapa kita menutup aurat kita. Semakin kita tutupi, maka semakin terjaga keamanannya.

Setengah tahun sisa waktu belajarku di masa putih abu-abu. Setengah tahun pula dokter memvonis sisa waktu hidupku. Selalu hadir dalam memoriku ucapan Dido. Selalu melekat pula kejadian yang ada dalam bunga tidurku. Aku tidak ingin di sisa waktuku ini aku menyia-nyiakannya dengan melakukan hal-hal yang tidak berguna. Dan karena itu pula aku mulai menggelarkan kain kerudung ke atas kepalaku. Aku ingin di sisa waktuku ini aku melakukan sesuatu yang lebih baik dan menjadi orang yang lebih baik pula.

Teruntuk: Akhi Dido
Assalamu’alaikum,
Ya akhi yang disana. Semoga engkau selalu dalam lindungan Alloh SWT. Amin. Bagaimana kabarmu di sana? Semoga dalam keadaan sehat wal’afiat ya akhi. Dengan pena yang tergores pada secarik kertas ini, aku ingin mengucapkan terima kasih kepadamu ya akhi. Karena kamu mengubah diriku, mengubah hidupku, membuat hidupku lebih berarti. Karena kamu, akhirnya aku memutuskan untuk menutup auratku rapat-rapat. Karena kamu, akhirnya aku menggelarkan kain kerudung ini ke kepalaku. Ya, kini aku telah mengerti sekarang maksud dari perkataanmu.
“Di tempat mana mutiara paling mudah dicuri dan yang paling sulit dicuri, yang pertama di jalan, yang kedua di halaman rumah, yang ketiga di dalam rumah, dan yang keempat di dalam brankas yang ada di dalam rumah?”
Kata-katamu itu masih dan selalu menggores indah di dalam memoriku. Aku mengerti sekarang. Makna yang dapat kutafsirkan adalah: “Tempat di mana menyimpan mutiara itu adalah gambaran tingkatan seberapa kita menutup aurat kita. Semakin kita tutupi, maka semakin terjaga keamanannya.”
Entahlah, itu hanya tafsiranku yang hanya bersifat subjektif. Entah benar atau tidak aku dalam menafsirkan ucapanmu itu. Yang jelas, ucapanmu itu mampu mengubahku. Kamu memang adalah ikhwan terpilih yang Alloh kirimkan untuk mengubahku, memperbaiki akhlakku. Lewat kamu Alloh mungkin menitipkan hidayah-Nya agar aku bisa menutupi mutiara ini agar tetap aman dan terjaga dari pandangan orang lain apalagi ikhwan yang bukan muhrimnya. Terima kasih kamu sudah menjadi ikhwan yang selalu menggoreskan warna pencerah di setiap memoriku. Terima kasih telah menggoreskan tinta akan kata-kata kebajikan di dalam memori dan juga… terima kasih telah menggoreskan namamu di segumpal darah yang kupunya ini. Terima kasih karena kamu telah mengisi kehampaan relung batinku ini dengan ucapan-ucapanmu yang bak kilauan mutiara itu. Terima kasih atas semuanya ya akhi.
Ya akhi, di sisa akhir hidupku ini, aku ingin engkau tahu bahwa
Kamu adalah bintang yang selalu hadir dalam gelapnya malam
Kamu adalah bintang jatuh yang selalu aku tunggu di antara kerlipan-kerlipan bintang yang lain
Kamu adalah tinta yang selalu menggoreskan kuasnya dengan warna-warna indah dan menyejukkan batinku
Kamu adalah secarik kertas tempatku menggoreskan kata-kata yang muncul dalam memoriku
Dan kamu adalah bunga dari tidurku
Ya akhi, kuingin engkau tahu bahwa kau kan selalu ada dan menjadi bagian dari memoriku hingga akhir hayatku.
Wassalamu’alaikum wr.wb.

TTD
Akhwat yang selalu menjadikanmu bintang

Diary, bersamamu, aku sertakan secarik kertasku untuknya. Aku ingin dia mengerti, memahami, dan tahu bagaimana isi hatiku terhadapnya. Aku ingin dia tahu bagaimana teristimewanya dia di dalam relung batinku. Akan kuserahkan dirimu kepadanya lewat mama. Ini adalah goresan-goresan terakhirku dalam menuangkan tinta kehidupanku padamu. Mulai besok, kamu akan menjadi milik Dido. Selamat tinggal diary dan… selamat tinggal dunia

Cerpen Karangan: Anis Afiyati
Blog: pengagumkerlipanbintang1st.blogspot.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *