Semua artikel oleh 112228

puisi SEBERKAS KENANGAN MANIS

Hari demi hari terus berlalu melewati siang dan malam
Hingga tak terasa aroma nostalgia kembali bersemi dan
mewangi mengharumi bulan Agustus ini.
Ya… bulan yang telah banyak menyimpan angan dan kenangan
Bersamamu. Ingatkah kamu?

Wahai yang kurindu;
Ketika pertama kali kita bertemu, berjanji dan bersatu.
Seakan dunia ini hanya milik kita berdua,
Seakan alam pun berdendang ria, memandang kita ceria
Bahkan aku sempat berfikir bahwa aku terlahir ke dunia ini
Hanya untuk membuatmu bahagi, ya…membuatmu bahagia!
Sehingga apapun yang kamu inginkan,
Aku selalu berusaha keras agar dapat memberikannya,
meski terkadang harus ku korbankan segenap jiwa ragaku,
meski aku harus menderita, kecewa, dan luka!
Ya… sekalipun langit mendung, gelap malam untukku.

Wahai belahan jiwaku, masih ingatkah kamu?
Ketika kita bernyanyi bersama di sore itu,
Kau tersenyum mesra padaku. Mungkin itu,
Senyum pertama dan senyum termanis yang pernah kulihat
Seakan hasratku merekah dan hatiku tergugah untuk
Membelaimu dibawah naungan gemerlapnya bintang-gemintang,
Dan indahnya sinar bulan. Ingatkah kamu?
Ketika kita makan malam bersama di malam itu,
kau menatapku dengan sorot matamu yang berbinar.
Sepertinya bias bening bola matamu mampu
merubah gelap gulitanya malam menjadi fajar yang cerah.
Dan disitu pula, Kuberikan serangkaian bunga-bunga indah
sebagai tanda kasih sayangku padamu, ingatkah kamu?

Wahai Sariku, itu hanya seberkas kenangan manisku
Yang masih terkemas rapi dalam setiap ingatanku
Meski terkadang aku harus sedih, jerih dan letih
mengikuti liku hidupku, tapi seberkas kenangan manis kan terkenang slalu
Sariku, semua ini hanyalah puisi penghibur kalbu
yang mungkin dapat melebur keruhnya suasana di
batinku, yang kini tengah pilu meratapi kisah cintaku,
bersamamu.
Entah apa yang bakal terjadi lagi?
yang tersirat dalam garis tanganku
Akau hanya bisa berdo’a, semoga Tuhan
mendengar keluhan dan harapanku. Wahai Sariku,
semua ini hanyalah kata-kata, tapi ini lebih indah
dari bintang-bintang di angkasa.
Ya…ketika seberkas kenangan manisku teringat kembali olehku,
di bulan agustus ini, yang mungkin akan menjadi kelabu…

puisi GURUKU PAHLAWANKU

Andai kata matahari tiada
Dunia akan beku dan bisu
pelangi tiada akan pernah terpancar
kehidupan tiada akan pernah terlaksana
Disaat titik kegalauan menghampiri
Terlihat setitik cahaya yang kami cari
Yang nampak dari sudut-sudut bibirmu
Dan gerak-gerik tubuhmu
Engkau sinari jalan-jalan kami yang buntu
Yang hampir menjerumuskan masa sepan kami
Engkau terangi kami dengan lentera ilmu mu
Yang tiada akan pernah sirna di terpa angin usia

Guru……..
Engkau pahlawan yang tak pernah mengharapkan balasan
Disaat kami tak mendengarkan mu
Engkau tak pernah mengeluh dan menyerah
Untuk mendidik kami
Darimu kami mengenal banyak hal
Tentang mana warna yang indah
Tentang garis yang harus di lukis
Juga tentang kata yang harus dibaca
Engkau membuat hidup kami berarti

Guru……
Tiada kata yang pantas kami ucapkan
Selain terimakasih atas semua jasa-jasa mu
Maafkan kami bila telah membuatmu kecewa
Jasa-jasa mu akan kami semat abadi sepanjang hidup kami
Terimakasih guruku, engkau pahlawan ku

puisi Pahlawan Tanpa Tanda Jasa

Pahlawan tanpa tanda jasa
Ialah Guru
Yang mendidik ku
Yang membekali ku ilmu
Dengan tulus dan sabar
Senyummu memberikan semangat untuk kami
Menyongsong masa depan yang lebih baik
Setitik peluhmu
Menandakan sebuah perjuangan yang sangat besar
Untuk murid-muridnya
Terima kasih Guru
Perjuanganmu sangat berarti bagiku
Tanpamu ku tak akan tahu tentang dunia ini
Akan selalu ku panjatkan doa untukmu
Terimakasih Guruku

puisi Pahlawan Pendidikan

Jika dunia kami yang dulu kosong
tak pernah kau isi
Mungkin hanya ada warna hampa, gelap
tak bisa apa-apa, tak bisa kemana-mana
Tapi kini dunia kami penuh warna
Dengan goresan garis-garis, juga kata
Yang dulu hanya jadi mimpi
Kini mulai terlihat bukan lagi mimpi
Itu karena kau yang mengajarkan
Tentang mana warna yang indah
Tentang garis yang harus dilukis
Juga tentang kata yang harus dibaca
Terimakasih guruku dari hatiku
Untuk semua pejuang pendidikan
Dengan pendidikanlah kita bisa memperbaiki bangsa
Dengan pendidikanlah nasib kita bisa dirubah
Apa yang tak mungkin kau jadikan mungkin
Hanya ucapan terakhir dari mulutku
Di hari pendidikan nasional ini
Gempitakanlah selalu jiwamu
wahai pejuang pendidikan Indonesia

cerpen kekacauan hutan

Di sebuah hutan yang lebat, tinggallah sekelompok hewan yang hidup di hutan itu. Salah satu hewan itu, ada gajah yang bernama bona. Bona adalah seekor gajah yang lincah dari pasangan bu gajah dan pak gajah. Setiap hari ia bermain dengan teman-temannya di tengah hutan. Terkadang ia bermain air, main ayunan, dan masih banyak lagi. Ia mempunyai banyak teman, hampir semua anak hewan di hutan itu menjadi temannya. Bona memang gajah yang pandai bergaul. Akan tetapi, ia agak keras kepala. Setiap apa yang dia mau harus terlaksana walaupun itu adalah ide yang bodoh atau gila. Jika ia mau melaksanakan sesuatu yang bodoh, dan teman-temannya mengingatkan, jarang ia mau menuruti nasihat temannya itu. Akan tetapi, walaupun ia agak keras kepala, teman-temannya tetap menyukainya sebagai gajah yang pandai bergaul

Pada suatu hari, seperti biasa bona bermain bersama teman-temannya. Hari ini mereka hendak bermain petak umpet. Bona pun menjadi bagian yang bersembunyi bersama-sama temannya yang lainnya. Karena tidak ingin cepat ketahuan, ia pun bersembunyi agak jauh dari tempat bermainnya. Ia pun bersembunyi di balik semak-semak yang berbuah seperti buah berry dan berwarna ungu. Sementara itu, semua teman-teman bona sudah tertemukan semua dan mereka bingung mencari bona. Bona yang tak pernah tahu itu buah apa, mencobanya. “wuahh, enak sekali buah ini. Buah apa ya ini?” kata bona sambil terus melahap buah itu. Bona pun membawa beberapa buah itu dan hendak diberikannya kepada teman-temannya jika ia sudah dapat ditemukan. Tiba-tiba bona mendengar suara dari teman-temannya “bon… bona! Kemarilah, komala sudah menyerah nih! Ayo keluar!”. Yes! Batinnya, ia senang karena tak dapat ditemukan oleh teman-temannya. “yeee! Aku tidak dapat kalian temukan kan? Eh ini aku bawakan buah enak tapi aku tak tahu namanya. Nih makan! Hmmmm enak…” kata bona menawarkan buahnya sambil memakannya. “eeehhh! Bona, jangan dimakan! Itu buah beracun yang sarinya bisa buat gigimu sakit lho” kata temannya memperingatkan bona. Akan tetapi bona tidak mendengarkannya malahan ia tambah lahap memakannya. “waduuhhh gimana nih teman-teman? Kalau dia menangis gara-gara giginya sakit? Wahhh bisa gawat nih” bisik temannya. “yuk kita bilang ayah dan ibunya saja agar kita yang tidak disalahkan” usul temannya.

Tiba-tiba bona berhenti makan dan memegangi pipinya dan merintih kesakitan, teman-temannya pun kaget. “wadow! Sakit banget nih” rintih bona, “tuh kan kamu dibilangin juga apa?” sahut temannya panik. “ya udah yuk kita pulang” ajak teman bona. Bona terlihat seperti hendak menangis tapi di tahan olehnya. Bona dan teman-temannya pun pulang beriringan. Sesampainya di rumah bona, ayah dan ibunya kaget melihat bona memegang pipi kesakitan. “paman, bibi, bona tadi makan buah merry. Buah beracun yang bisa buat gigi sakit. Bona tadi makan sepertinya banyak sekali, kami juga sudah memperingatkan tapi dia tidak menggubris” jelas teman bona. “ya bu. Tadi bona makan buah yang gak bona tahu jenis buahnya. Mulanya bona bersembunyi di semak-semak yang ada buah kayak gini, terus bona makan dan rasanya enak, ya udah bona makan aja. Sekarang gigiku sakit sekali bu” jelas bona yang masih memegang pipinya. “ya sudah… ya sudah sekarang kamu masuk istirahat sana nanti biar dipanggilkan pak rusa oleh ayah untuk menyembuhkan gigimu. Oh ya makasih juga ya untuk komala, nuri, rommy dan pony kalian baik sekali” ujar ibu gajah. “iya bibi, sama-sama. Kalau begitu kami hendak pulang dulu karena hari beranjak malam, permisi” pamit teman-teman bona. Bu gajah mengangguk dan tersenyum menjawabnya. Sementara teman-teman bona pergi, bu gajah mengantar bona ke kamarnya dan memberinya segelas teh hangat dengan maksud mengurangi sedikit sakit di gigi bona. Tapi gigi bona malah bertambah sakit karena tehnya itu panas. Bona pun menangis dengan sangat kencang hingga membuat ibu bona menutup telinganya, bahkan tetangga bona, keluarga pak landak pun mendengarnya, begitu juga tetangga yang lain. Ibu bona segera mengambil air teh dengan sedikit dingin alias sejuk di tenggorokan untuk menghentikan tangis anaknya. Tetangga bona yang mendengar tangisan bona pun mendatanginya. Ibu bona pun terkejut, “ah ada apa ya?”. “ini kami tadi dengar suara tangisan seperti tangisannya bona jadi kami kemari. Mengapa bona menangis sekencang itu?” Tanya salah satu tetangganya seraya melihat bona yang masih sesenggukan dan mencoba menahan tangisnya. “oh kedengaran ya, kalau begitu saya minta maaf ya. Ini si bona habis makan buah merry banyak sekali jadi giginya sakit, sekali lagi maaf ya” jawab bu bona. Tetangganya pun mengangguk dan beranjak pulang setelah memberi beberapa ucapan doa kepada bona. Setelah tetangga pulang, ayah bona pun datang dengan pak rusa, mantri kesehatan di hutan itu. Pak rusa pun memeriksa bona, dan mengangguk tanda paham. “ooh dia habis makan buah merry ya?” Tanya pak rusa membuka percakapan. “iya pak, apa bisa disembuhkan ya pak?” jawab bu gajah. “bisa tapi karena kelihatannya dia makan sangat banyak jadi lama menyembuhkannya. Nah ini obatnya. Yang ini tempelkan di gigi, yang ini…” kata pak rusa menjelaskan. Bu gajah pun mengangguk dan mengantar pak rusa sampai di depan rumah. Seusai pak rusa pergi, bu gajah pun memberikan obat pada bona. Setelah memberi obat pada bona, bona pun tertidur.

Malam harinya, tiba-tiba bona menangis dengan kencangnya. “huwaaa! Gigiku sakit bu!” tangis bona dengan kencang yang membangunkan seisi rumah dan hampir seluruh penduduk hutan itu. Pak gajah dan bu gajah pun mendatangi kamar bona dan mendapatinya sedang memegangi pipinya sambil terus menangis. “ya sudah… sudah, jangan menangis nanti akan membangunkan tetangga” kata pak gajah menenangkan. Bona pun masih terus menangis, tiba-tiba tetangganya pun datang dan melihat apa yang terjadi. Dengan malu bu gajah meminta maaf, dan para tetangga pun maklum atas tangisan bona itu dan jika mereka mendengar tangisan bona lagi mereka tak akan mendatanginya lagi, jadi hanya cukup menjenguknya saja. Akan tetapi bona menangis berhari-hari dengan kencang sehingga membuat hutan kacau. Jika pagi hari, membuat pusing dan jika malam hari membuat tidak bisa tidur, hal ini membuat hutan terganggu dan kacau. Sampai-sampai tempat bekerja para semut dan hewan lainnya terganggu karena karyawannya tidak konsentrasi ataupun banyak yang tidak masuk.

Suatu pagi hari, bona kembali menangis karena giginya sakit. murai, burung itu sudah tak tahan lagi dengan tangisan bona. Ia pun berkata pada temannya “aduh, aku sudah tak tahan dengan tangisan bona ini, sangat mengganggu sekali”. “iya bahkan aku terbang saja sempoyongan” sahut temannya. “ya sudah ayo ke pak rusa kita tanyakan obatnya biar bona berhenti menangis” ajak murai. Temannya pun mengangguk setuju dan mereka pun terbang beriringan. Sesampainya di rumah pak rusa, mereka pun mengadu tentang hal yang mereka alami bahkan seluruh penduduk hutan alami. Saat murai menceritakan masalahnya, kebetulan singa si raja hutan itu lewat dan menghampirinya. “ada apa ini kok ramai sekali?” Tanya singa. Mereka pun menunduk tanda hormat, “ampun baginda, kami hanya menanyakan obat untuk bona karena kami sudah tak tahan mendengar tangisan bona lagi” adu murai. “aku pun begitu, jadi apa tak ada obatnya?” Tanya singa balik. “ada tapi sembuhnya memerlukan waktu yang lama” jawab pak rusa. “apa tak ada obat yang bisa menyembuhkan dengan cepat?” sahut murai. “hmmm…” gumam pak rusa berfikir. “sudah, biar aku kumpulkan seluruh penduduk hutan untuk merapatkan masalah ini” ujar singa mengambil keputusan.

Setelah berselang beberapa lama, penduduk hutan pun berkumpul di tempat pertemuan para penduduk yaitu di pohon tua tepat di tengah hutan yang terdapat batu tinggi sebagai tempat duduk raja. Mereka pun berdiskusi. “jadi bagaimana pak rusa, apa tidak ada obat yang bisa menyembuhkan dengan cepat?” Tanya raja singa membuka diskusi. “ampun baginda, akan saya lihat dulu di buku obat saya, semoga saja ada” jawab pak rusa sembari membuka buku mengingat-ingat bagaimana ia dulu bisa meyembuhkan hewan yang keracunan karena buah merry. Semua hewan di tempat itu menjadi dag dig dug. “nah, ini dia baginda sudah ditemukan. Saya baru ingat dulu pernah mengobati hewan terkana penyakit dari buah merry ini. Untuk membuat obatnya, dibutuhkan bahan yang banyak di tempat yang sangat jauh baginda jadi susah untuk membuatnya” jelas pak rusa dengan nada agak kecewa. Para hewan yang semula agak menampakkan rona bahagia jadi mengkeret lagi. Tiba-tiba salah satu hewan menyampaikan usul “ampun raja! Bagaimana kita bersama-sama mencarinya dan menggotongnya ramai-ramai sekalian kita ajak hewan yang besar termasuk bu gajah dan pak gajah. Dan yang menenangkan bona nanti kita pilih hewan yang paling lucu dan menyenangkan, bagaimana?” serunya sambil mengacungkan tangan. “hmmh, usul yang bagus baiklah akan saya atur semuanya, tapi apa pak rusa punya petanya?” tanyanya pada pak rusa. “oh tentu saja punya, biar saya ambilkan petanya” jawab pak rusa berlari. Dan selang beberapa detik pak rusa datang kembali dengan membawa peta yang sudah sobek lipatannya. Pak rusa pun memberikan peta itu kepada raja singa, “sepertinya tidak terlalu jauh dan sulit, disana tidak banyak hewan buas jadi untuk antisipasi kita bawa bala tentara kita beberapa saja ya. Saya akan pilih bu kangguru dan bu kelinci putih untuk menemani bona di rumah. Dan…” raja menghela nafas karena terlalu semangat bicara “sisanya di rumah ya” imbuh raja. Semua hewan pun stuju dan melaksanakan titah raja. Singa sendiri menghampiri bu gajah dan pak gajah untuk meminta persetujuannya dan mereka setuju, maka dilaksanakanlah rencana itu.

Rombongan hewan ke tempat tujuan terlihat semangat. Banyak rintangan di jalan tapi semuanya dihadapi dengan gagah berani. Sedangkan bona di rumah masih menangis di rumah walaupun telah dihibur bu kanguru, bu kelinci putih dan beberapa hewan yang disuruh tinggal untuk menyiapkan bahan-bahan yang terdapat di sekitar hutan dan mempersiapkan alatnya untuk memasak. Akhirnya di rumah bona sudah tertidur sehabis didongengkan oleh bu kanguru dan bu kelinci putih dan diberi obat pemberian pak rusa sebelumnya. Menjelang siang, gerombolan hewan dari mengambil obat pun kembali dengan banyak bawaan. Selepas itu mereka pun bergotong royong membuat obat dengan pemimpin pak rusa dan koordinator raja singa. Mereka bekerja sama hingga sore menjelang. Ketika sore sudah mau habis, pekerjaan itu selesai. Mereka pun langsung memberikannya pada bona. Setelah mengusapkan ke giginya dan meminumnya, bona sudah tidak menangis tapi hanya merintih. Dan ketika matahari mulai terbenam bona sudah sembuh total. Semua penduduk hewan pun bersorak membuat bona bingung, mengapa ia sembuh semua hewan menjadi sangat gembira tapi pertanyaannya itu hanya sesaat dan ia pun kembali hanyut dalam kegembiraan penduduk hutan itu.

Malam itu raja memutuskan diadakan pesta karena kekacauan hutan berakhir sudah dan semua bergembira dan bersuka ria. Sedangkan bona berjanji tak akan makan buah merry lagi.

cerpen Burung Pipit yang Sombong

Di hutan ada seekor burung, Pipit namanya. Ia tinggal sendirian di rumah. Ayah dan ibunya sudah meninggal. Pipit mempunyai sifat sombong. Ia tak pernah membantu orang lain, saat orang lain meminta pertolongannya. Ia juga suka pamer barang-barang baru yang dimilikinya. Dan dia juga jarang menyapa temannya yang lain, saat bertemu dengan temannya yang lain di jalan.

Karena sifatnya yang sombong dan tak peduli. Pipit dijauhi teman-temannya. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Pipit pun suka main sendiri. Dan saat pergi jalan-jalan dan bertemu teman-temannya, Pipit selalu dibicarakan teman-temannya, dengan sikap sombongnya itu.

Suatu hari Pipit bertemu dengan Luna, semut merah yang sangat baik hati. Semut merah yang suka menyapa orang, jika bertemu dengannya di jalan, langsung menyapa Pipit yang kala itu berpapasan dengannya.

“Siang pipit. Mau pergi kemana?” Tanya si Luna dengan lembut.

Burung Pipit yang sombong langsung memalingkan muka, begitu melihat Luna. Ia terus berjalan. Pipit tak peduli pada Luna yang menyapanya.

“Kalau saja kamu bisa sedikit baik hati pada orang lain, kamu pasti punya banyak teman. Tak perlu sendirian saat pergi bermain.” Kata Luna sedih.

Mendengar kata-kata Luna, Pipit tersinggung. Pipit marah. Pipit merasa diejek oleh Luna. Dengan cepat Pipit membalikkan badan. Pipit berjalan mendekati Luna.

“Apa katamu tadi?! Kau bilang aku sombong. Tidak punya teman?” Pipit mengarahkan tangannya pada wajah Luna. Pipit jelas terlihat sangat marah. “Asal kau tahu. Aku bukannya tidak punya teman. Tapi aku tak mau berteman dengan mereka. Mereka kotor dan bau. Mereka miskin. Mereka tak punya baju bagus seperti yang kupakai ini.” Pipit memeperlihatkan pakaiannya yang sangat bagus pada Luna. “Sebaiknya aku pergi saja. Tidak penting bicara dengan semut merah, yang kotor dan bau.”

Setelah kalimat terakhir, Pipit pergi meninggalkan Luna. Pipit pergi dengan sikap sombongnya.

Setelah pipit pergi, Luna menggelengkan kepalanya dan berucap, “Pipit, kau sangat sombong sekali. Kau pikIr, kau bahagia dengan sikap sombongmu. Meski kami tidak kaya sepertimu, tapi kami saling membantu sama lain.”

Luna pergi dengan perasaan sedih.

Setelah kejadian itu, Pipit selalu membuat orang lain sedih. Pipit selalu mengejek teman-temannya. Ia selalu mengejek pakaian yang dikenakan teman-temannya itu jelek. Pipit selalu mengejek dan mengusir pergi teman-temannya, yang datang ke rumahnya. Dengan sikap sombong Pipit yang berlebihan, teman-temannya tak ada yang mau bermain dengannya. Teman-temannya tak mau menolong Pipit, jika Pipit ada kesulitan. Suatu hari, Pipit yang baru saja mencari makanan bertemu dengan Haci, si lebah madu muda. Haci berniat menolong Pipit, dengan membawakan makanan Pipit. Tapi Pipit langsung marah saat mau ditolong Haci. Pipit mengira, Haci akan mengambil makanannya. Dengan sombong dan galak, Pipit menarik makanannya dan menyembunyikannya di balik bajunya. Pipit juga membentak Haci.

“Hey, Haci! Kalau mau makan cari sendiri! Jangan ambil makanan orang lain!” bentak Pipit dengan kasar dan keras.

Haci bingung mendengar kata-kata Pipit. Haci cuma mau berniat menolong Pipit membawakan makanannya, malah dituduh mau mengambil makanan milik Pipit. Haci pun menjelaskan pada Pipit, kalau dia cuma mau berniat menolong membawakan makannanya.

“Tidak Pipit. Aku tidak mau mengambil makananmu. Aku Cuma mau menolong membawakan makananmu. Karena aku lihat, kau kerepotan membawa makanan sebanyak itu.” Ucap Haci sabar. Dia tidak marah pada Pipit, yang menuduhnya mau mencuri.

Karena sikap sombongnya sudah terlalu besar, Pipit tak percaya pada Haci. Pipit pergi meninggalkan Haci. Setelah kejadian itu, Pipit mulai bercerita pada teman-teman yang lain, kalau Haci, si lebah madu muda itu, mau mengambil makanan yang ia cari dengan berkerja keras. Tapi, untunglah. Teman-teman Haci tak terhasut oleh ucapan Pipit. Teman-teman Haci tidak percaya kalau Haci mencuri. Teman-teman Haci malah tidak percaya pada ucapan Pipit.

Beberapa hari kemudian Pipit hendak mencari makanan. Kebetulan persediaan makanannya sudah habis. Pipit pun pergi jauh dari tempat tinggalnya untuk mencari makanan. Pipit terbang ke sana kemari. Tapi tak ada satupun makanan yang dia temukan. Sampai-sampai Pipit kelelahan. Pipit berniat istirahat sebentar. Pipit pun hinggap di sebuah pohon rindang dan teduh. Selang beberapa saat ia istirahat di pohon rindang itu, ia mendengar sebuah suara. Awalnya Pipit mengira kalau suara itu cuma angin. Tapi lama-lama perasaannya tidak enak. Ia yang memejamkan matanya, langsung membuka matanya dengan cepat, saat sebuah suara yang mirip dengan desisan ular itu terdengar di telinganya. Saat Pipit membuka matanya, ia terkejut melihat ular besar tengah memandangnya. Ular itu mendesis, menjulurkan lidahnya. Karena kaget dan takut, Pipit langsung jatuh ke bawah.

“Arrrggghhh…” Jerit Pipit kesakitan. Ternyata sayap kiri Pipit patah. Pipit semakin takut dan bingung. Karena ular besar itu turun dari pohon rindang, dan mendekati Pipit. Pipit duduk diam. Memandangi ular besar, yang berjalan semakin dekat dengannya. Pipit berpikir, mungkin dia akan mati dan dimakan oleh ular besar itu. Karena sayap kirinya patah, membuat pipit tak bisa terbang dan meloloskan diri dari ular besar itu. Pipit memejamkan matanya dan menunggu dirinya dimakan ular besar itu.

“Pipit lari!”

Pipit mendengar suara Haci. Ia seperti sedang bermimpi. Kalau Haci akan menolongnya dari ular besar itu.

“Pipit lari!”

Bahkan suara Luna masih ia dengar dalam benaknya.

Pipit tersentak saat bahunya ditarik. Secepat itu, Pipit membuka matanya. Sekarang dia sudah jauh dari ular besar itu. Pipit melihat Haci kelelahan karena menarik tubuhnya yang lebih besar dari tubuh Haci.

“Sekarang kau sudah aman. Teman-teman dan aku akan melawan ular besar itu. Kau tunggu disini.” Ucap Haci setelah menarik tubuh Pipit, menjauh dari ular besar itu.

Pipit melihat Haci bergabung dengan teman-temannya untuk melawan ular besar itu. Luna juga ikut melawan ular besar itu. Pipit melihat semua teman-temannya yang sering ia hina, sekarang sedang membantunya dari kejahatan ular besar, yang mau memakannya.

Setengah jam kemudian ular besar itu berhasil diusir. Dan ular besar itu pergi dari tempat itu. Haci, Luna dan teman-temannya yang lain mendekati Pipit. Pipit duduk pada sebatang kayu. Pipit memegangi sayap kirinya yang patah.

“Terima kasih.” Ucap pipit malu-malu pada Haci, Luna dan teman-temannya.

“Terima kasihlah pada Haci. Karena dia yang melihat kamu mau dimakan ular besar itu. Saat melihat itu, Haci langsung terbang dan menemui kami. Ia bilang kalau kamu akan dimakan ular besar. Cepat-cepat kami pergi kemari dan menolongmu. Dan kami berhasil mengusir ular besar itu.” Ucap Luna lembut.

“Terima kasih, Haci.” Ucap Pipit.

“Tidak perlu berterima kasih. Bukankah kita semua teman. Dan teman harus menolong temannya yang sedang kesusahan.” Jawab Haci yang disambut tepuk tangan teman-temannya.

“Haci, maafkan aku. Aku sudah menuduhmu mencuri makananku.” Pipit meminta maaf pada Haci. “Dan juga, aku sudah bersikap sombong pada Luna dan yang lainnya. Aku minta maaf. Dan aku akan berubah.”

“Tidak apa-apa. Aku tidak marah kok. Dan aku senang kalau kau mau berubah.” Ucap Haci.

“Menjadi Pipit yang baik hati.” Timpal Luna.

“Dan tidak sombong.” Tambah teman-temannya yang lain.

Haci, Pipit, Luna dan teman-temannya tertawa gembira. Sekarang Pipit sudah tidak bersikap sombong lagi. Pipit juga sudah mau berteman dengan yang lainnya. Dan Pipit juga tidak mengusir temannya yang datang ke rumah. Semuanya berakhir bahagia, dengan tawa yang disambut senja.

Selesai

cerpen semut kecil kesepihan

Semut kecil yang merasa kesepian, sendirian menerjang badai dan hujan, pahit kehidupan telah ia rasakan, kesabaran menjadi kunci untuk bertahan.

Tak mampu menentang kehendak tuhan, hanya menerima seikhlas hati, tertatih ia melangkah lalui hari demi hari, manatap langit dan bertanya “kapan semua ini akan berakhir?”

Semut kecil berjalan pincang, tetap melangkah maju ke depan, meski bebatuan tajam yang harus ia lalui, tak menyerah pada keadaan, pahit kehidupan hadapi dengan senyuman

Senyum berlapis tangis tawa menyembunyikan derita, jauh di lubuk hatinya menyimpan tanya “mengapa aku. Mengapa aku yang harus merasakan ini?” tetes air mata menyelimuti kesendiriannya

Semut kecil tak sama dengan yang lainya. Ia berbeda. Musibah yang menimpanya membuat ia tak berdaya. Hanya ketegaran hati yang mampu membuatnya tetap bertahan

Semut kesepian berdoa “tuhan ini memang salahku. Aku yang tak mampu menjaga tubuh ini, aku yang tak mampu memperbaiki kesalahan ini, aku memohon ampun padamu” andai aku boleh meminta berikanlah aku kesabaran berikan aku jalan, berikan aku teman, akan ku jaga semampuku apa yang telah engkau titipkan”

Semut kecil menghapus air matanya, dan ia tersenyum. Dan berkata di dalam hati. “aku pasti mampu dan aku tak akan pernah menyerah”

cerpen Kesetiaan Ku dan Doa Ku Untuk Mu

Matahari mulai menampakkan sinarnya yang merah merona dan perlahan menjadi warna emas. Seorang pemuda sedang menikmati suasana paginya dengan wajah lesu, dia menggenggam Al Quran sambil termenung, fikirannya selalu memikirkan Zahrah wanita yang ingin dia lamar. Tapi perbedaan derajat dari orangtua menghalanginya untuk memiliki Zahrah.

“apa yang engkau fikirkan Fadly?” tanya seorang Ustad yang mengisi pengajiannya pagi ini.
“ustad, ku berniat ingin melamar Zahrah tapi aku hanya lulusan SMA, dari segi derajat pun orangtua Zahrah adalah orang yang berada sedangkan aku? Aku tidak memiliki apapun.”
“apakah kau yakin ingin melamar Zahrah?”
“yakin ustad” jawab Fadly mantap
“kau memiliki hal yang jarang di miliki orang lain, kau memiliki iman. Dan ingat kau memiliki Allah, jika memang Zahrah adalah jodoh mu maka Allah akan memudahkan jalanmu. Pergilah ke rumah Zahrah hari ini dan beritahukan aku hasilnya besok, semoga Allah memudahkan urusanmu”

Fadly pun pergi ke rumah Zahrah dan menyatakan niatnya, namun hasilnya nihil, Fadly ditolak tanpa rasa hormat sedikitpun.
“kau itu orang miskin, tidak boleh menikahi orang kaya. Anakku kelak nanti makan apa? Kau juga baru lulus SMA sudah mau nikah? Menghasilkan uang sepersen pun kau tidak mampu”
Zahrah yang mendengar perkataan ayahnya hanya bisa menangis di balik pintu kamarnya dan berdoa agar Allah meembukakan pintu hatinya. Selama ini Ayahnya nyaris tidak pernah shalat selalu sibuk dengan urusan bisnisnya. Fadly hanya dapat beristighfar dan menahan air matanya untuk tidak jatuh di hadapan orangtua Zahrah.

Keesokan harinya Fadly menemui Ustad Fajar dan menceritakan kejadian kemarin, Ustad Fajar merasa iba terhadap Fadly.
“apakah kau tetap ingin melamar Zahrah setelah kejadian kemarin?”
“iya Ustad”
“jadi apa yang akan kau rencanakan?”
“merantau dan menjadi seseorang yang sukses”
“baiklah, tapi akankah Zahrah tetap menunggumu?” pertanyaan itu membuat Fadly termenung sejenak.
“insyaAllah”

10 tahun kemudian…
Suasana gaduh ketika tiba-tiba ayah Zahrah jatuh dari tangga, seisi rumah panik dan langsung melarikannya ke rumah sakit. Pasien tidak sadarkan diri hingga seminggu membuat tim medis dan keluarga bertanya-tanya, padahal dari hasil CT-scan tidak ada kerusakan bagian anggota tubuh.
“maaf bu, bukannya saya mau lancang. Mungkin saja ini akibat dari kesalahan masa lalu suami ibu” ucap seorang perawat. Ibu Zahrah pun mengingat ketika Fadly di hina oleh suaminya, dia ingin meminta maaf pada Fadly namun Fadly pergi entah kemana? Sekarang menyisakan penyesalan yang mendalam.
“suster, adakah dokter yang ahli dapat menolong suami saya?” tanyanya penuh harap.
“mungkin pemilik rumah sakit ini bisa membantu ibu. Saya hubungi dulu”
Dengan harap cemas menunggu jawaban dari sang perawat.
“ibu silahkan menunggu di ruangan, 5 menit lagi dokter akan datang”

Cklaaak.. Bunyi pintu ruangan menyadarkan ibu Zahrah dari lamunannya, nampak seseorang yang mengenakan jas putih bersih mendekati pasien. Matanya terbelak, seakan tidak percaya bahwa bapak ini adalah pasiesnnya.
“masyaAllah pak Mukhtar?”
Ibu Zahrah menatap wajah dokter dengan tatapan sayu, air matanya tak sanggup lagi ia bendung.
“nak Fadly?” Ibu Zahrah memeluk Fadly erat, dan memohon maaf atas kesalahan suaminya. Terlintas sejenak fikiran Fadly kepada Zahrah, namun bukan saat yang tepat untuk menanyakan hal ini.
Keesokan harinya pak Mukhtar telah sadar, ini sungguh keajaiban, dengan sangat menyesal pak Mukhtar bersujud di hadapan Fadly dengan tangis yang tiada hentinya.
Ketika kondisi telah membaik Fadly pun menanyakan keberadaan Zahrah, orangtua Zahrah nampak bingung untuk menjawab.
“nak Fadly, setelah shalat jum’at kami akan mengantarkan mu kepada Zahrah”
Fadly sangat bahagia, dan sebentar lagi keinginannya untuk meminang wanita dambaannya terwujud.

Sebuah mobil sedan berlaju dengan kecepatan sedang, Fadly nampak bahagia dan sebentar lagi akan meminang pujaan hatinya. Lantunan dzikir menggetarkan hatinya sepanjang perjalanan.
Sesampainya di rumah Zahrah, fadly disambut senyuman hangat dari orangtua Zahrah.
“silahkan duduk dulu nak Fadly, ibu siap-siap dulu?”
Fadly bertanya-tanya kemana Zahrah? Di rumah sakit pun dia tidak melihatnya.
“mari nak, kita berangkat naik mobil ayah saja”
“kemana?” tanya Fadly, namun tidak ada jawaban sama sekali. Mungkin ini kejutan, sangka Fadly.

Mobil itu berhenti di sebelah rumah tua yang nampak tidak terurus, ayah Zahrah menuntun Fadly melewati semak belukar, bau tanah basah masih dapat tercium tajam karena hujan kemarin. Langkah ayah Zahrah terhenti di bawah pohon kamboja dan memeluk Fadly erat.

“maafkan ayah, maaf, semua ini salah ayah memaksanya menikah dengan seorang pengusaha, saat suaminya tau Zahrah hamil dia pun menceraikannya karena dia tidak ingin memiliki anak. Zahrah jatuh di toilet dan terjadi perdarahan. Sesampainya di rumah sakit nyawanya tidak lagi tertolong. Maafkan saya nak.. Maafkan saya” ayah Zarah menagis terisak. Ku menatap pusara Zahrah, semangat ku hilang, jiwa ku serasa melayang.
“innalillahi wa innalillahi roji’un. Ya Allah, sungguh dia wanita sholehah dan Engkau maha mengetahui tentangnya. Haramkan baginya siksaMu, pertemukanlah kami di Jannah Mu kelak, ku ikhlas,ku ikhlas ya Allah.” bisiknya dalam hati, suaranya serak seakan tidak bisa mengucapkan apapun. Bibirnya bergetar mengucapkan dzikir, tak ada yang dapat ia lakukan untuk Zahrah, selain mendoakannya.

cerpen sahabat jadi musuh

“Nad, lo mau ke kantin gak?” Sahut Tia.
Tia dan Nadia adalah seorang sahabat yang telah berteman selama 5 tahun. Mereka bisa dikatakan teman yang sangat dekat sekali.

Pada pagi itu, telepon Nadia berbunyi kring… Kring… Nadia pun menjawab “Halo… Eh kamu beb, ada masalah apa? Tumben pagi-pagi nelpon aku…” Itulah Kevin. Ia adalah pacar Nadia. Tia yang mendengar pun langsung ingin tau siapa yang menelpon. Tia pun bertanya “Siapa yang pagi-pagi nelpon Nad?” Nadia menjawab “Biasa pacar gue” Ngomong-ngomong siapa sih pacar elo?” Tanya Tia. “Kevin namanya. Elo udah punya pacar?” Tia langsung menjawab “Punya lah” “Namanya siapa?” Tanya si nadia. “Vincent namanya”. “Oh lo mau gak malem ini lo ajak pacar lo gue ajak pacar gue. Kita ketemuan di Candi resto”.. “Boleh” jawab tia singkat.

Mereka pun sepakat untuk bertemu di Candi resto. Lalu ketika sampai di restoran…
“Mana pacar lo Tia?” Tanya nad. “Ohh lagi di jalan. Pacar lo juga mana?” Tanya Tia.
Lalu ketika pacar mereka sampai ke resto itu betapa terkejutnya mereka bahwa pacar mereka berdua sama. Terjadilah pertengkaran antara Nadia dan Tia. “Loh?! Nad, itu kan pacar gue?, Kenapa lo bilang pacar elo?!” Tanya Tia dalam nada agak marah. “Ehh, gak usah sembarang bicara lo! Itu pacar gue kali!”

Setelah mereka bertengkar, mereka memutuskan untuk tidak akan pernah menjalin pertemanan lagi.

cerpen Kisah Sedih di Hari Jumat

Hari Jumat. Hari di mana setiap muslim menjalankan ibadah shalat Jumat. Itu juga yang terjadi pada hari Jumat ini. Jumat di bulan Februari tahun 2013. Tak ada yang istimewa dari hari ini. Semua terjadi seperti biasa. Pagi saya kuliah, siang shalat jumat, selesai itu acara bebas.

Waktu menunjukan pukul dua belas kurang dua menit. Bergegas saya bersama teman saya, Wahyu, pergi untuk menunaikan shalat Jumat di masjid Ukhuwah Islamiyah, kampus UI. Hari ini terlihat lebih banyak orang yang berjalan menuju arah masjid. Mereka kebanyakan mengenakan batik rapi, bahkan jas. Aneh sekali… Shalat jumat kok pakai jas? Pikir saya ketika itu.

“Hari ini ada apa sih, yu? Kok rame banget?” tanya saya kepada wahyu yang tampak turut memperhatikan jalanan dipenuhi mobil yang parkir.

“Hari ini kan ada wisuda! Masa lo lupa?”

“Oh iya, ya? Pantes kayanya rame banget. Udah kaya pada mau kondangan,” sahut saya kembali sambil tersenyum simpul.

Obrolan terus bersambut membicarakan topik wisuda yang setahun lagi bakal kami alami.

Langkah bapak-bapak sepertinya semakin cepat. Kami tak mau ketinggalan hingga tibalah kami di masjid utama kampus UI ini.

Suasana tak biasa langsung kami dapati begitu memasuki gerbang masjid. Banyak bapak-bapak dan anak-anak mondar mandir di areal halaman masjid. Masjid terasa sesak, lebih mirip suasana pasar. Ada yang berlarian, ada yang mengerubungi tikar tambahan yang digelar di halaman, ada juga yang memadati tempat pengambilan air wudhu.

Kami segera mengambil wudhu karena khutbah Jumat sudah dimulai sejak tadi. Airnya kering sekali dan berbau besi. Tak mengenakan sekali. Sumpek pula!

Keluar tempat wudhu mata kami berusaha mencari titik lowong yang setidak-tidaknya bisa buat duduk. Tepat di luar tempat wudhu kami mendapat sedikit lapak untuk menunggu khotbah usai. Ah sial, tempat ini panas sekali. Tak ada atap menaungi kami duduk. Pohon rindang juga tak sampai menyentuh lokasi kami. Biarlah kami sedikit kepanasan. Sebentar lagi khutbah juga akan berakhir. Soal shalat, ya lihat saja nanti. Pasti juga kebagian! Biasanya juga gitu.

“Allahu Akbar… Allahu Akbar…” Suara Iqomah membangun kan kami dari mata yang setengah tidur mendengarkan khutbah. Ya untung baru setengah tidur!

Orang-orang kemudian bergegas mengambil posisi shalat jumat. Mereka saling dorong hingga tempat saya yang hanya memungkinkan satu baris langsung terisi penuh, sangat rapat. Alhasil kami terseleksi untuk masuk barisan itu. Kami menatap ke depan mencari peluang baris-baris kosong.

Gawat! Semua barisan terlihat penuh. Bapak-bapak, orang tua wisudawan benar-benar memadati setiap jengkal lahan yang biasanya kosong melompong. Di depan kami adalah pekarangan masjid yang ditanami rumput. Sebagian orang sudah merapat ke salah satu tikar tambahan yang digelar. Tak tampak lagi celah kecil yang bisa kami masuki di sana. Di ujung keramik sayap kiri dan kanan masjid juga sudah terisi penuh. Matilah kami!

“Aaaamiiiiiin…” Pertanda itu membuat kami berdua tambah panik. Tampak juga beberapa orang yang senasib dan sepenanggungan.

Sepertinya mereka lebih beruntung karena diam-diam mereka telah membawa koran bekas untuk alas. Sedangkan kami? Kami tak ada sajadah, tak ada koran bekas, kecuali tas. Ya ampun sial sekali nasib kami siang ini.

Saya buka tas dengan sigap, begitu juga Wahyu. Yang ada hanya buku, sampah isi tas, dan alat tulis. haduh.

Apa boleh buat kami shalat beralas rumput. Tak mungkin rasanya shalat dengan bersujud di atas tas. Dalam hati hanya perasaan kesal dan gondok yang menggebu-gebu membuat shalat saya terasa tidak kyusyuk. Alamak… pasti orang-orang dalam batinnya menertawakan kami.

Seminggu telah berlalu. Kejadian minggu lalu menyimpan pelajaran berarti bagi saya.

“Makanya… kalau sholat Jumat bawa koran bekas!” Kalimat itu terngiang-ngiang dalam benak saya.

Ini adalah jumat kedua. Kali ini saya sudah menyiapkan koran bekas yang baru saja saya beli dari tukang koran keliling di dalam kampus.

“Ini berapa mas?” tanya saya terbayang proses jual beli koran tadi.

“Tiga setengah, ka,” sahut anak kecil penjual koran.

Huuh… padahal di koran itu ada cap tertulis “Rp.2000 Khusus Stasiun Depok”

Ah tapi sudahlah itu tak jadi soal. Lagi pula harga koran sekelas Kompas kan memang tiga ribu lima ratus. Biarlah selebihnya untuk anak ini. Yaa.. hitung-hitung amal.

Begitulah kejadian tadi pagi saat saya berusaha mengambil hikmah dari tragedi Jumat kemarin. Koran itu saya sisipkan di jaring-jaring bagian luar tas.

Pukul setengah dua belas kurang sedikit kembali saya bergegas menuju masjid UI sendirian. Hari ini tampak jauh berbeda dari kemarin. Tak tampak lagi orangtua para wisudawan, tak ada lagi keramaian.

Santai sajalah. Pikir saya dengan enteng. Hari ini masjid pasti lowong. Pasti dapat tempat.

Benar saja. Masjid terlihat lowong begitu saya masuk areal masjid. Ya, seperti dugaan saya. Biasanya memang seperti ini. Kalau seperti ini sih bisa sambil tidur siang dan bersandar di lantai dua.

Yah…. tapi saya kan sudah beli koran. Masa mahal-mahal tidak dipakai? pikir saya.

Setelah mengambil air wudhu saya putuskan untuk memanfaatkan koran itu sekalipun masih banyak tempat yang lowong. Sekali-kali boleh lah saya berbangga punya koran. Saya mau pamer ah. Biar orang lain iri dengan saya. Terutama yang tidak kebagian tempat. Ada rasa dendam yang tiba-tiba saja berbisik membalas kejadian minggu lalu.

Tiga lembar tikar tipis itu saya tata sedemikian rupa hingga mirip sajadah. Saya duduk dengan tenang di atas lembaran koran itu mendengarkan khutbah sambil sayup-sayup terpejam.

“Allahu Akbar… Allahu Akbar…” Lagi lagi suara iqomah kembali membangunkan saya dari kenikmatan itu.

Santai sekali saya pada saat itu. Sholat dengan angkuh sambil seakan meledek yang tak kebagian tempat. Emangnya enak, week! Makanya modal dong, beli koran… Pikir saya saat itu.

“Samiallahulimanhamidah.” Instruksi itu keluar dari pengeras suara masjid pertanda saya siap-siap akan sujud dalam waktu sebentar lagi.

Tanpa diduga-duga, angin tiba-tiba saja bertiup sangat kencang. Angin itu seperti isyarat peringatan.

WUUSSHH

Koran yang sudah saya tata dengan apik itu tiba-tiba tertiup angin lalu melayang ke sebelah kanan. Angin yang bertiup kencang itu membawa kabur koran, alas saya untuk bersujud.

Hah? Koranku…

Lagi-lagi saya bersujud seperti minggu lalu. Beralas rumput gajah dan tanah. Miris sekali rasanya hari ini. Lagi-lagi Jumat yang membawa kesialan.

Pelajaran yang dapat dipetik :
Jika ingin aman shalat jumat, bawalah koran.
Jika ingin korannya tak melayang. pakailah ganjalan.

Hari jumat kembali menyapa saya dengan senyuman. Senyum yang lebih mirip tertawaan. Kali ini saya lebih sibuk dari biasanya. Hingga jam dua belas saya masih berkutat dengan laptop di fakultas saya. Saya kali ini bersama Wahyu lagi. Turut hadir, kekasih saya dan kekasihnya Wahyu di tempat kami main laptop. Saking asiknya tanpa kami sadari suara adzan telah berkumandang dari masjid. Suara itu hampir tak terdengar saking asiknya main laptop.

“Udah sana pada berangkat. Udah adzan tuh!” Pacar saya dan Wahyu berusaha mengingatkan.

Peringatan itu kami abaikan. Saya lihat di jam laptop baru menunjukan pukul dua belas lebih lima menit. Masih ada injury time. Sebentaar…

Laptop kami tutup. Dengan semangat empat lima kami bergegas ke masjid yang berbeda. Ganti suasana ah, pikir saya. Wahyu juga menyetujui tampaknya.

“Ya udah ke masjid stasiun UI aja. Udah lama kan gak ke sana,” ajak wahyu.

“Ayo, berangkat!”

Langkah kami terasa sendirian. Tak tampak orang yang menuju masjid. Alamak pertanda kesuraman. Kami juga tak mendengar suara khutbah yang seharusnya sudah terdengar jelas dari tempat kami melangkah ini. Kami sudah di kandang rusa, sekitar 100 meter lagi untuk mencapai masjid.

“Allahu Akbar… Allahu Akbar…” Suara itu terdengar dari balik stasiun.

Astaga!!! Itu kan suara iqomah!

Kami langsung lari tergopoh-gopoh mengarah ke masjid. Surat alfatihah telah berlalu cepat sekali.

“Aaaamiiiin…”

Tanpa memperdulikan deru nafas kami bersigap mengambil air wudhu secara kilat, lalu….

“Allahu akbar.”

Kami menuju halaman depan masjid. Ternyata terisi penuh. Ada satu bagian yang lowong tapi kami tidak mungkin menembus pagar setinggi 1,5 meter. Orang-orang menutupi jalan masuk pintu sehingga daerah lowong itu tidak bisa dijamah.

Kami panik. ada niatan untuk memanjat. Tetapi apa daya. Imam sudah rukuk dan hampir sujud. Sepertinya tak ada daya dan upaya yang bisa kami lakukan.

“Kita ke masjid dekat kontrakkanku saja,” ucap wahyu kilat.

“Wah ayo kalau gitu. Mungkin masih ada kesempatan.”

Dengan menggunakan angkutan umum, hanya tiga menit kami sampai di dekat kontrakan. Pemandangan pilu kami temui begitu kami tiba di sana. Orang-orang sudah pulang dari masjid.

Yaaaah….

Rasa kecewa bercampur kesal menjadi satu.

“Ya udah, kita shalat zuhur aja di kontrakanku,” ajak Wahyu lagi.

Saya hanya mengangguk-anggukan kepala. Apa boleh buat. dari pada tidak sama sekali. Yaa cari alternatif saja.

“Yang penting jangan bilang-bilang pacar kita, nanti kita dimarahin!” timpal Wahyu.

“Betul juga tuh, baiklah.”

Lagi-lagi hari Jumat saya berujung pilu. Sial, sial, sial. Jangan ditiru yaa….