Semua artikel oleh 112367

Masjid Paling Indah Di Dunia

Masjid Paling Indah Di Dunia

Posted in Berita Islami by on 11 January 2014    Tags: , ,

Masjid Crystal – Malaysia

Masjid Crystal – Malaysia

Masjidil Haram – Mekkah

Masjidil Haram – Mekkah

Masjid Umayyad – Damascuss

Masjid Umayyad – Damascuss

Masjid Ubudiyah – Kuala Kangsar

Masjid Ubudiyah – Kuala Kangsar

Masjid The Blue Mosque (Sultan Ahmet Camii)  – Istanbul

Masjid The Blue Mosque (Sultan Ahmet Camii) – Istanbul

Masjid terbesar di Amerika Utara

Masjid terbesar di Amerika Utara

Masjid Sheikh Zayed Bin Sultan Al Nahyan – Abu Dhabi

Masjid Sheikh Zayed Bin Sultan Al Nahyan – Abu Dhabi

Masjid Schwetzinger – Jerman

Masjid Schwetzinger – Jerman

Masjid Putra Jaya – Malaysia

Masjid Putra Jaya – Malaysia

Masjid Putra – Putrajaya Malaysia

Masjid Putra – Putrajaya Malaysia

Masjid Omayad – Syria

Masjid Omayad – Syria

Masjid Nabawi – Saudi Arabia

Masjid Nabawi – Saudi Arabia

Masjid Muhammad Ali – Kairo

Masjid Muhammad Ali – Kairo

Masjid Holy Golden – Singapore

Masjid Holy Golden – Singapore

Masjid Hasanil Bolkiah – Brunei Darussalam

Masjid Hasanil Bolkiah – Brunei Darussalam

Masjid Grand Jumeirah – Dubai

Masjid Grand Jumeirah – Dubai

Masjid Faisal – Pakistan

Masjid Faisal – Pakistan

Masjid di Brunei

Masjid di Brunei

GADIS DI KAKI BUKIT PROLO


Gadis manis berambut panjang itu bernama Maryati, gadis yang duduk beralaskan terpal di beranda rumahnya itu sedang memisahkan biji-biji jagung dari bongkotnya untuk diolah menjadi nasi jagung nantinya. Di bawah Bukit Prolo, bukit yang masih jajaran Pegunungan Kendheng yang membentang dari Kabupaten Jombang, Nganjuk, Bojonegoro dan Ngawi. Gadis manis berkulit sawo matang itu tinggal bersama orang tua dan sanak keluarganya. Bukit yang dihiasi oleh tanaman padi di sepanjang terasering milik warga setempat, pemandangan yang sangat indah jika dilihat dari kejauhan, ditambah lagi dengan keberadaan rumah-rumah warga yang berdiri kokoh di kaki Bukit Prolo dibangun dari kayu jati pilihan dengan tanah yang masih berupa tanah, bukan tegel atau keramik, hunian yang menurutku sangat sederhana.

Ketika mengunjungi rumah Maryati maka akan disambut dengan seekor sapi betina dan seekor pedhet. Bukan disambut dengan pintu beraksen ukiran mewah dengan perabot yang berplitur indah. Bukan. Ketika aku mengunjungi rumah gadis yang bernama Maryati aku serasa kembali ke beberapa puluh tahun yang lalu.

Rumah di kaki Bukit Prolo bukanlah kawasan real estate yang digunakan untuk mendirikan villa mewah karena letaknya berada di daerah pegunungan atau perbukitan. Pegunungan Kendheng bukanlah pengunungan yang terlalu tinggi, namun memiliki sense of nature seperti pegunungan-pegunungan lainnya, bentangan alamnya akan menarik hati siapapun yang memandangnya. Pegunungan Kendheng hampir menyamai pegunungan di kota besar seperti Malang, Pasuruan, atau Bogor. Jika peguungan di ketiga kota tersebut berudara dingin dengan pohon-pohon pinus, cemara, rambutan, durian dan bunga beraneka warna membentang di sisi kanan kiri, maka di Pegunungan Kendheng pesona alam yang terbentang di sepanjang jalan adalah hamparan padi, jagung, kelapa dan pohon jati.

Panas adalah cuaca yang cukup pantas untuk kugambarkan mengenai Pegunungan Kendheng yang terdapat Bukit Prolo, Bukit Gong dan Gunung Pandhan yang menjadi puncak tertinggi. Aku tak tau mengapa bukit tempat Maryati tinggal disebut Bukit Prolo. Ketika kutanya pada Maryati, dia menjawab tidak tahu. Namun ketika aku bertanya mengenai Bukit Gong dia menjawabnya. Konon ceritanya, di bukit Gong terdapat seperangkat gamelan yang meliputi gong, sarun, kenung, slenthem dan lain lain yang dulu kerap digunakan penduduk desa sekitar untuk karawitan atau alat untuk mengiringi tanggapan sindhen atau wayang dalam acara hajatan orang desa. Gong atau seperangkat gamelan itu menurut ceritanya keberadaannya memang ada di alam terbuka. Bukan manusia atau penduduk sekitar yang memilikinya, namun makhluk ciptaan Tuhan lainnya yang kasat mata. Seperangkat gong tersebut bisa dipinjam atau digunakan oleh penduduk desa dengan cara melakukan ritual tertentu sebagi izin terhadap pemilik gong. Begitulah ceritanya, cerita yang dulu masih dipercayai keberadaannya. Namun zaman semakin berkembang dan terus mengalami perubahan maka semakin pudarlah kepercayaan itu hingga gong itu dianggap oleh penduduk setempat sudah tidak ada lagi.

Maryati, gadis yang lahir dan tumbuh besar di kaki Bukit Prolo yang jauh dari keramaian harus berjuang keras untuk meraih mimpi. Sekolah dalam pemikiran remaja kota adalah tempat dimana kita bisa memamerkan kekayaan orang tua. Hal itu tak bisa dipungkiri, dalam kenyataannya, sekolah merupakan tempat dimana remaja bisa pamer motor dan gadget terbaru, tempat memamerkan tas, sepatu, fashion, hijab, atau seperangkat alat sekolah yang tengah mode on sekarang.

Kawan, sekolah bagi Maryati adalah sebuah pengorbanan. Dimana selama tiga tahun ia harus berjuang berangkat pagi naik turun bukit menyeberangi dua sungai untuk bisa sampai ke sekolah. Tak heran jika kulitnya semakin menjadi coklat sawo matang karena setiap pagi dan siang hari selalu diterpa sinar matahari saat melewati pematang sawah dan jalan berpaving yang naik turun. Belum lagi saat musim hujan turun, semakin berat medan yang harus ia lalui. Banjir yang mengenangi sungai karena hujan deras, jalanan dan pematang sawah yang penuh menjadi berlumpur.

Maryati, gadis yang tengah bersekolah di kelas dua sekolah menegah pertama bercita-cita untuk melanjutkan pendidikan menengah atas di pusat kota tempatku tinggal. Tentu saja aku mendukung niatnya, menyambut baik harapan dan mimpinya. Dalam benakku, sungguh indah jika sekolah-sekolah di kota ini dipenuhi oleh mereka yang memang berniat untuk sekolah, mencari ilmu untuk meraih mimpi, merelakan diri jauh dari orang tua yang bekerja sebagai petani jagung dan padi di kaki bukit. Tentu saja sekolah akan dihiasi dengan semangat-semangat yang membara dari para muridnya. Bukan dihiasi oleh remaja-remaja yang kuanggap seperti manekin karena mengejar trend dan mode terbaru. Pelajar yang menganggap sekolah hanya sebagai formalitas saja karena hanya mengejar angka delapan, sembilan atau bahkan angka seratus sempurna dan absensi dengan cara apapun itu.

Kawan, percayalah padaku. Jika kau hanya mengejar angka-angka dalam setiap test dan raportmu maka kau tak akan bisa merasakan bagimana rasanya bersekolah yang sesungguhnya. Sekolah adalah bagian dari proses hidup, di sekolah lah kita di tempa untuk menjadi apa yang kita inginkan. Di sekolah lah kita akan mendapatkan keluarga baru, mendapatkan ilmu-ilmu baru. Kurang apa nikmatnya bersekolah, para guru yang bersusah payah menempuh pendidikan tinggi, mengajari kita, mendendangkan pelajaran-pelajaran untuk kita pahami sampai lelah namun kita hanya menganggapnya angin lalu. Masuk telinga kiri keluar telinga kanan.

Maryati dengan tekad dan semangat menuntut ilmu yang kuat terus berusaha agar sampai di sekolah tidak telat, sebelum jago berkokok Maryati sudah bangun untuk menuaikan sholat subuh, membantu membersihkan rumah dan mempersiapkan diri berangkat ke sekolah. Di sekolah pun Maryati tekun menikmati pelajaran agar bisa menjadi murid pandai dan bisa meraih mimpi. Keterbatasan fasilitas seperti buku pelajaran, buku bacaan, teknologi pembelajaran dan keterbatasan apa yang dimiliki orang tuanya membuatnya lebih bersemangat untuk bisa membahagiakan orang tuanya.

Maryati sepertinya menjadi sosok yang pantas untuk kita tiru. Maaf, bukan maksudku untuk mengguruimu. Aku hanya ingin berbagi cerita padamu, mungkin kau bisa mengambil sisi positif atau hikmah dari apa yang aku ceritakan ini

Cerpen Karangan: Yeni Ayu Wulandari
Blog: www.blogmenulisyeni.blogspot.com

REMBULAN DI KOLOM LANGIT


Gadis muda itu menatap dinding penyangga rel kereta antara stasiun Juanda dan stasiun Mangga Besar. Dinding yang bergambarkan anak-anak yang sedang belajar. Sederet kalimat tertulis di atasnya. ‘Dengan membaca menjadi cerdas’. Di sisi lain dinding berhiaskan gambar dan tulisan yang berbeda. ‘Sekolah, gerbang kehidupan yang lebih baik’. Senyum terukir di bibirnya yang indah, matanya sedikit berkabut. Angannya memaksanya menapaki jejak-jejak kehidupan yang tak mudah terlupakan. Kehidupan di kolong rel kereta.

“Aira, bangun sayang,” ujar bapaknya lembut. “Cepet mandi ya, terus sholat.” Setiap pukul setengah lima pagi, dengan setia bapaknya akan membangunkannya. Ibu sudah terlebih dulu sibuk membuat kue-kue yang sebagian akan dititipkan pada warung dekat rumah dan sebagian dijajakanya sendiri saat Aira tengah berada di sekolah.

Aira menggeliat malas, lalu bangkit dan merapikan tempat tidurnya yang hanya berupa selembar tikar pandan dan kasur bekas yang sangat tipis sekedar punggungnya tak menempel langsung dengan lantai. Ia lalu keluar ruangan yang merupakan rumahnya. ‘Rumah’ baginya adalah sebuah ruang persegi berukuran 3x3m yang terbuat dari triplek, menempel pada dinding pagar lahan milik PT KAI dekat stasiun Juanda. Atapnya terbuat dari terpal yang sudah ditambal di beberapa bagian. Tak ada sekat di dalamnya. Hanya ada sebuah lemari alakadarnya tanpa pintu (jika itu masih pantas disebut lemari) untuk tempat menyimpan baju-baju. Lalu sebuah tikar dan kasur tipis kumal tempatnya tidur, sebuah tikar lagi tempat bapak ayah dan ibunya tidur. Di sudut ruangan itu terlihat beberapa buku-buku dan peralatan sekolah Aira. Bertiga mereka menempati ruangan itu.

Ibunya biasa memasak di samping rumah mereka. Kamar mandi mereka adalah kamar mandi darurat yang dipakai bersama-sama dengan beberapa penghuni rumah-rumah liar disana. Jangan harap ada bak mandi yang bersih dengan pancuran yang sejuk atau bahkan bisa disetel untuk air panas. Kamar mandi itu hanya terbuat dari kain rombeng dirangkap plastik bening yang ditata sedemikian rupa sehingga menutupi orang yang sedang mandi di dalamnya. Tak ada bak mandi, hanya sebuah kran dan gayung untuk meratakan air. Lantainya terbuat dari batu kerikil yang ditaburkan agar tak menimbulkan becek jika terkena guyuran air mandi. Airnya mengalir ke selokan yang memanjang sepanjang tiang penopang rel kereta. Peralatan mandi dibawa masing-masing oleh orang yang akan mandi disitu. Setiap hari, sekitar 15 orang yang memanfaatkan ‘kamar mandi’ itu.

Aira segera mengambil peralatan mandinya dan melupakan dinginnya pagi itu agar segera mendapat giliran mandi sebelum para penghuni lain mulai mengantri. Ia juga harus segera bersiap untuk pergi sekolah yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya. Bapaknya akan mengantarnya ke sekolah berjalan kaki sambil mencari barang-barang bekas yang masih bisa dimanfaatkan. Ya, bapaknya memang seorang pemulung.

Keluarga Aira mulai menghuni tempat itu sejak Aira berusia 1,5 tahun. Sebelumnya mereka tinggal di sebuah kampung di Jawa Timur. Bapak Aira termasuk salah satu orang kampung yang terpedaya magnet kota Jakarta. Berbekal tekad dan sedikit uang, bapak dan ibunya membawa Aira yang baru bisa berjalan, mengadu nasib di belantara Ibukota. Sayang nasib tak berpihak pada mereka, setelah lontang-lantung dan bekerja serabutan selama beberapa waktu, keluarga Aira akhirnya tak bisa lagi mengontrak sebuah rumah yang paling kecil sekalipun. Mereka hanya bisa membuat rumah alakadarnya dari triplek dan kayu bekas. Bapaknya menjadi pemulung dan ibunya menjajakan kue-kue buatan sendiri. Tapi keadaan mereka tak menyurutkan semangat bapak Aira untuk menyekolahkannya. Ibunya pernah mengeluhkan pada bapak tentang beratnya menyisihkan uang untuk membeli buku-buku Aira. Tapi bapaknya tak mau Aira sampai keluar dari sekolah. Aira yang beranjak menjadi gadis kecil yang cantik dan cerdas.

“Apa kau ingin, Aira menjadi seperti kita, bu, atau seperti si Luluk yang kelayapan di malam hari mencari om om senang?” kata bapaknya setiap ibunya mulai mengeluh. “Tidak. Aira adalah putri kecilku yang cantik dan cerdas. Aku tak mau ia menanggung derita akibat kesalahan orang tuanya. Seberat apapun aku akan menjadikannya keluar dari lingkaran kumuh ini. Dan aku yakin, sekolah adalah cara yang terbaik untuk itu.”

Sejak itu ibunya tak lagi mempertanyakan kenapa harus memaksakan Aira untuk sekolah. Ia hanya bisa bekerja lebih keras membuat kue-kue untuk dijajakan. Kawan-kawan bapaknya suka meledeknya, kenapa bersemangat sekali sekolah, sementara teman-teman sebayanya sibuk mengamen, mengemis atau bahkan menjajakan diri. Aira hanya tersenyum, atau sesekali menjawab singkat, “Aku ingin meraih rembulan.” Biasanya mereka kan menertawakannya, tapi ia tak peduli.
Pada malam-malam purnama, bapak selalu mengajaknya ke sebuah tempat yang keramat bagi mereka berdua. Berdiri di depan dinding tiang penyangga rel kereta yang bergambarkan anak sekolah dan bertuliskan ‘Sekolah, gerbang kehidupan yang lebih baik.’ Lalu memandang purnama yang terang di langit malam dan berkata, “Aira anakku, kamu memang hanya anak seorang pemulung. Tapi, rembulan itu tak pernah pilih kasih memberikan sinarnya, menunggu manusia-manusia untuk meraihnya. Jangan sekali-kali kau takut untuk meraihnya. Rembulan tak setinggi langit, Aira. Kau pasti bisa. Bapak dan ibu akan membantumu sekuat tenaga.”
“Bapak yakin aku akan bisa?”
“Dengan doa dan usaha yang keras, bapak sangat yakin kau bisa.”
Begitulah, setiap purnama, bapak memompakan semangat untuk terus maju.
“Kalau sekolah memang bisa membawa kita pada kemajuan, lalu mengapa mereka tak mau sekolah, pak?”
“Karena mereka tak bisa melihat rembulan.”
Aira tak mengerti maksud perkataan bapak, tapi ia sangat yakin apa yang dikatakan bapak benar. Ia sangat bangga memiliki bapak sepertinya. Karena itu Aira belajar lebih keras meski dengan sarana seadanya. SPP memang sudah tak perlu bayar lagi, tapi kebutuhan sekolah lainnya tetap pelu diperjuangkan. Buku-buku pelajaran tak semua bisa dibeli dengan dana BOS, buku tulis, seragam, sepatu, dan tas sekolah tetap memerlukan biaya yang tak sedikit bagi keluarga Aira. Beruntung Aira anak yang mau menerima keadaan. Seragam kumal, sepatu yang harus ditambal berulang kali, atau buku yang terpaksa harus pinjam temannya dan buku tulis yang harus ia hemat sedemikian rupa tak menyurutkan ia belajar dan bersaing dengan teman-teman lainnya.

Sesekali Aira sangat senang ketika di antara gurunya memberikan tas, seragam, atau peralatan sekolah sekedarnya. Aira memang menjadi kesayangan gurunya. Kondisinya yang kekuranyan tak membuat ia menjadi tertinggal. Kecerdasan otaknya mungkin bukan yang terbaik di sekolahnya, tapi Aira anak yang pintar bergaul dan tekun. Paling tidak ranking sepuluh besar selalu ia genggam. Ia pun ringan tangan membantu teman-temannya dalam segala hal.

Beberapa temannya ada pula yang tak suka dengannya karena iri. Tapi Aira tetap menghormati mereka meski sering kali diganggu mereka.

Suatu hari, sepulang sekolah, bapak mengajak Aira ke sebuah tempat. Universitas. Mereka berdiri di depan universitas tersebut cukup lama. Bapak memandangi bangunan dan mahasiswa yang lalu lalang keluar masuk. Aira tak mengerti mengapa bapak mengajaknya kesana.
“Pak, mengapa bapak mengajakku kesini?”
“Kau lihat bangunan itu Aira?” Aira mengangguk.
“Itu adalah gedung yang akan mencetak orang-orang pintar.”
“Bagaimana Bapak tahu?”
“Itu namanya universitas. Dan kau lihat mereka yang keluar masuk gedung itu? Mereka itu calon-calon orang pintar. Kau mau seperti mereka?”
“Pasti aku sangat ingin. Tapi biayanya pasti mahal, pak.”
Binar mata Bapak tak sedikit pun meredup oleh pertanyaan Aira.
“Kita pasti bisa. Kau pasti bisa.”
“Bagaimana caranya, Pak?”
“Aku tak tahu bagaimana, tapi bapak yakin impian bapak itu akan menjadi nyata. Bapak selalu berdoa untukmu.”

Tiba-tiba percakapan mereka terganggu oleh kedatangan seorang satpam unversitas itu. Mungkin ia curiga melihat seorang pemulung dan anak kecil berseragam sekolah dasar sejak tadi memandangi bangunan universitas.
“Sedang mencari apa pak?”
“Oh tidak ada, pak. Saya sedang membangun mimpi buat anak saya. Suatu saat anak saya akan bisa bersekolah di sini.”
Satpam itu terheran-heran dan tersenyum geli.
Ini orang, mimpinya nggak kira-kira ya.
“Ya, sudah jangan menghalangi mahasiswa yang mau lewat ya.”
“Terima kasih pak, kami sudah selesai. Mari!”
“Ya, mari.”

Mereka lalu beristirahat sejenak di bawah pohon di pinggir jalan sambil minum air bekal dari rumah.
“Aira, kau mau berjanji pada bapak?”
“Ya, Pak.”
“Berjanjilah kau akan bisa seperti mereka.”
“Tapi, Pak…”
“Yakinlah, ini bukan sekedar mimpi. Kau pasti bisa. Selama Bapak masih hidup bapak akan berjuang sekuatnya agar kau bisa meraihnya.”
“Ya, pak.”
“Pun bila Bapak tak lagi bisa mendampingimu, berjanjilah kau akan terus berjuang meraihnya.”
“Pak…”
“Berjanjilah..!”
“Aira janji, Pak.” Kedua anak beranak itu tersenyum. Langit bergetar mendengar harapan tulus mereka, berjanji menyampaikannya pada Penguasa Semesta.

Mereka lalu pulang bergandengan tangan. Bapak adalah tokoh idola Aira. Disaat bapak-bapak yang lain membiarkan anak-anaknya mengamen, mengemis, atau bahkan mencopet dan menjajakan diri, Bapaknya malah menyuruhnya sekolah. Sebentar lagi Aira lulus SD dan ia tak tahu apa bisa melanjutkan sekolah ke SMP.

Malam itu Aira membenamkan di kepalanya sebuah tujuan, sekolah setinggi mungkin untuk meraih rembulan. Apapun, bagaimanapun caranya.

Hari itu, Aira terlambat pulang sekolah. Gurunya memintanya membantu mempersiapkan acara yang akan diadakan oleh sekolahnya esok hari. Aira yang sudah kelas 3 SMA telah menjelma menjadi seorang gadis yang cantik, bersih, dengan mata beningnya yang kelihatan penuh optimisme. Hari sudah menjelang malam. Aira berjalan sendiri melewati sepanjang rel kereta. Bapak sudah tidak menjemputnya seperti ketika masih SD dan SMP. Adzan Magrib baru selesai berkumandang. Namun pemandangan sepanjang jalan ke rumahnya membuat berdiri bulu kuduknya. Selama ini Aira tidak pernah diizinkan bapak untuk keluar malam. Selama ini Aira sudah sering mendengar selentingan tentang aktifitas malam hari perempuan-perempuan tetangganya, tapi baru kali ini Aira melihat sendiri.

Aira makin mempercepat langkahnya ketika merasa ada orang yang mengikutinya dari belakang. Mulutnya tak berhenti komat-kamit meminta pertolongan pada Tuhan. Langkah-langkah yang mengikutinya kian mendekat.
“Jangan cepat-cepat, Neng! Mari kita bersenang-senang dulu bersama akang,” kata salah seorang yang mengikutinya. Aira hampir berlari ketika di sebuah belokan yang gelap, sebuah tangan yang kokoh menariknya. Aira nyaris menjerit ketika kemudian ia mengenali orang tersebut.
“Bapak!”
“Kau diam di sini. Biar bapak beri pelajaran dia.”
“Jangan, Pak. Aira takut.”
“Kalau terjadi apa-apa dengan bapak, jangan pedulikan bapak. Larilah dan berteriak sekencang-kencangnya mencari pertolongan. Satu lagi, berjanjilah kau akan terus sekolah apapun yang terjadi.”
“Pak…” Aira tercekat. Ia sangat khawatir dengan bapaknya.

Bapak lalu menghadapi dua orang pemuda yang sedang mabuk itu.
“Berani sekali kau mengganggu anakku.”
“Ha ha ha. Memangnya kau siapa? Anakmu itu gadis yang cantik. Akan berguna bagimu jika kau jual pada kami… hua ha ha ha…”
Aira bergidik mendengar tawa itu.
“Sudah, jangan banyak omong. Mana perempuan itu?” kata lelaki yang satunya mencoba mencari Aira yang bersembunyi dalam gelap. Bapak mencoba menghalangi, namun sebuah tendangan tiba-tiba menghantam kakinya. Baku hantam pun terjadi beberapa saat. Merasa terdesak, bapak berteriak menyuruh Aira lari minta pertolongan. Aira sangat ketakutan tapi ia juga tak tega meninggalkan bapak dikeroyok preman-preman itu. Sampai sebuah benda mengkilat berkelebat menusuk perut bapak. Darah langsung mengucur dengan deras. Aira yang sejak tadi mengintip dalam gelap, menjerit.
“Lari, Aira!” pelan suara Bapak berusaha memperingatkan Aira. Antara khawatir keselamatan bapak, Aira berlari sekencang-kencangnya sambil berteriak kesetanan.

Aira memeluk ibunya erat. Menatap pusara bapak yang mulai sepi ditinggalkan para pelayatnya. Segalanya tak lagi sama. Bapak tak tertolong setelah seminggu dirawat di rumah sakit. Aira dan ibunya terpaksa pindah rumah demi keselamatan mereka. Meskipun dua orang penyerang bapak telah ditangkap, mereka khawatir suatu saat akan balas dendam. Beruntung, ada seorang polisi yang baik hati, mau memberi mereka bantuan agar bisa mengontrak rumah sederhana. Aira dan ibu memulai hidup baru berdua. Ibunya tetap berjualan kue, sementara ia mencoba memberikan les kepada anak-anak di sekitarnya. Dengan segala kesederhanaan, ia bisa melanjutkan kuliah. Di benaknya hanya ada belajar dan belajar. Prestasinya sangat cemerlang dan berhasil menjadi asisten dosen. Sekarang ia benar-benar menjadi dosen di sebuah universitas ternama. Kehidupannya semakin membaik. Ibunya sudah berhenti berjualan.

Setelah segala yang diraihnya, Aira sangat merindukan bapak dan tiba-tiba ia ingin mengenang bapak dengan mengunjungi tempat tinggal mereka dulu. Semua telah berubah, rumah-rumah kardus dan kayu bekas telah sirna. Lukisan itu masih ada meski telah mulai samar. Beberapa bahkan telah diganti lukisan dan tulisan baru.

Aira menghentikan mobilnya dekat tempat dimana dulu ia biasa mandi. Sekarang tempat itu telah bersih. Semenjak kejadian pembunuhan bapak, tempat itu di bersihkan oleh aparat dari segala aktifitas pemukiman liar. Rumah-rumah kardus habis diobrak-abrik dan dibakar.

Kini Aira berdiri di tempat keramatnya bersama bapaknya dulu. Rembulan telah diraihnya, meski tanpa bapak. Tapi tanpa pengorbanan bapak, semuanya tak mungkin bisa.

Akhir Juni 2011

Cerpen Karangan: Nurlaela A. Awalimah
Blog: mutiaramutiaraku.wordpress.com

Kesabaran Dan Perjuangan Putri


Pada sore itu Putri bermain dengan teman temannya di perkampungan yang ia tempati selama bertahun tahun itu. Banyak orang menyebutnya dengan Desa Pusi. Ia bersyukur bisa bertempat tinggal di Desa Pusi karena menurutnya kampungnya itu adalah perkampungan yang sangat bersih, warga warganya pun sangat bertanggung jawab atas kedisiplinan di kampung nya itu.

Setelah lama bermain-main, tiba tiba datanglah seorang wanita cantik berjilbab yang bernama Ibu Siti, itu adalah salah satu tetangga Putri, ia berlarian dan berteriak keras memanggil-manggil Putri.
“Putrii.. Putri..” suara keras Bu Siti terdengar di telinga Putri.
“ada apa Bu.. sepertinya ibu serius sekali memanggil nama saya.” Jawab Putri
“ibu kamu sakit di rumah nak, cepat kamu pulang..” gumam Bu Siti dengan raut wajah panik bercampur sedih.

Setelah mendengar berita tersebut Putri langsung menangis dan berlari secepat mungkin untuk kembali pulang ke rumahnya. Sesampai di rumah langsung saja tanpa basa basi ia membawa Ibunya ke Puskesmas terdekat. Ternyata saat di Puskesmas, Ibu Putri sudah tidak bisa diselamatkan lagi, ya jelas saja karena sudah lama Ibu Putri mempunyai penyakit kanker otak, karena faktor biaya Putri tidak bisa membiayai Ibunya untuk operasi sampai kanker otak stadium 4. Tetapi sekarang Ibunya sudah meninggal, saat itu Putri menangis tanpa henti karena orang yang sangat disayanginya kini telah meninggalkannya untuk selama lamanya.

Semenjak kematian ibunya Putri tinggal bersama ayahnya yang sedang lumpuh itu. Semenjak itu Putri dikeluarkan juga dari sekolahnya karena belum melunasi biaya SPP selama 4 bulan. Kini Putri tidak bisa meneruskan sekolahnya lagi, bahkan dulu saja sebelum ibunya meninggal, ibunya hanyalah penjual gorengan keliling, itu pun masih belum bisa melunasi biaya spp selama 4 bulan. Apalagi sekarang? Ibunya sudah tiada dan bahkan ayahnya pun lumpuh, Siapa yang akan membiayainya sekolahnya?. Ya Allah sungguh malangnya nasib gadis cantik berumur 14 tahun itu.
Terpaksa sekarang Putri harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sehari hari, entah ia mau bekerja menjadi apa, mau tak mau ia sekarang bekerja menjadi pengamen. Walaupun penghasilannya tidak begitu banyak tetapi ia tak pernah menyerah akan nasibnya itu. Karena ia tahu itulah rencana Tuhan yang tebaik untuknya. Pagi sampai Siang, diteruskan lagi Siang sampai Sore ia bekerja dan tidak pernah memperdulikan betapa capek tubuhnya.

Matahari mulai terbenam, tetapi ia hanya mendapatkan uang Rp. 15.000,- Ia tetap mensyukuri akan hal itu.. Langsung saja ia bergegas membeli 2 buah nasi bungkus dan 2 buah aqua di warung dekat rumahnya itu untuk makan malam ayahnya dan dia sendiri. Sisa uang yang ia miliki, ia masukkan ke dalam celengan ayam kecil hadiah ulang tahun dari ibunya. Setiap melihat celengan itu ia selalu menangis karena teringat dengan sosok wanita yang sangat disayanginya.

Allaaaahu Akbar.. Allaaahu Akbar
Suara adzan maghrib sudah terdengar dari kamar Putri. Langsung saja ia bergegas mandi dan mengambil air wudhu, setelah itu ia berjama’ah bersama ayahnya. Walaupun ayahnya sedang lumpuh tapi tetap masih bisa menyempatkan sholat berjama’ah dengan anak satu satunya yang sangatlah Ia sayangi. Di setiap hembusan nafas Putri, ia selalu berdo’a kepada Allah S.W.T supaya diberikan kesembuhan kepada ayahnya, sekaligus ia ingin Ibunya yang sangat ia sayangi bisa bahagia surga bersama para Nabi dan ia juga memohon supaya ia bisa bersekolah seperti dulu lagi. Setelah selesai mengerjakan sholat ia membaca lagi buku-buku mata pelajarannya yang dulu saat ia masih sekolah.
“Rasanya ingin kembali ke sekolah lagi Ya allah?” dalam hatinya ia berbicara.
Tak lama kemudian ayahnya memanggilnya dan menyuruh Putri untuk segera makan malam.

Keesokan harinya Putri mulai bekerja lagi, ia bangun pagi-pagi karena dia ingin mencari uang sebanyak mungkin supaya ia bisa sekolah lagi, dan mendapatkan pendidikan yng layak. Sungguh besar pengorbanan gadis cantik itu, tetapi mengapa sekarang banyak sekali siswa yang lebih beruntung dibandingkan Putri, bahkan menyia nyiakan kesempatan itu?

Pada hari itu adalah tanggal 02 mei bertepatan dengan hari Pendidikan Nasional, Putri bermain ke sekolahannya yang dulu. Ia ingin bisa kembali bersekolah dan bertemu teman temannya lagi. Do’a Putri pun terwujudkan, pada saat jam istirahat Putri bertemu dengan beberapa teman temannya yang dulu, salah satu teman Putri yang bernama Lina sangat kasihan dengan nasib Putri saat ini sehingga ia mengusulkan supaya mengadakan kegiatan amal untuk membantu teman lamanya itu supaya bisa bersekolah kembali, selain itu Lina juga mengusulkan kepada Kepala Sekolah supaya Putri bisa bersekolah di sekolahnya itu dengan gratis.
“Anak Indonesia Wajib mendapatkan Pendidikan sampai Lulus SMA, tolong pak berikanlah kesempatan kepada Putri supaya bisa masuk ke sekolah ini lagi karena Putri juga mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak” gumam Lina berbicara dengan Bapak Kepala Sekolah

Alhamduulillah, Bapak Kepala Sekolah menyetujuinya, semenjak itu Putri bisa melanjutkan sekolahnya lagi. Putri sangatlah bersyukur mendengar hal itu karena bagi Putri Pendidikan adalah yang terpenting dan segalanya. Karena Pendidikan bisa membuat kita mencapai cita-cita yang kita inginkan kalau kita semua mau berusaha.

Amanat:
Jangan pernah menyia nyiakan kesempatan emas yang kamu miliki saat ini karena belum tentu orang orang di luar sana mendapatkan kesempatan emas sepertimu

Cerpen Karangan: Mega Ayuna Rizki
Facebook: Mega A. Rizki

Penulis dan Pengarang:
Mega Ayuna Rizki (VIIIA)
awalnya saya membuat cerpen ini untuk salah satu lomba di perpustakaan sekolahan saya, alhamdulillah saya menang juara 1 , akhirnya saya berminat membuat cerpen lagi dan lagi.

ARTI DARI PENTINGNYA PERSAHABATAN


Bel sekolah sudah berbunyi waktunya semua siswa masuk ke dalam kelasnya masing masing, dan tidak ada satu siswa yang masih berada di luar kelasnya. memang pada dasarnya sekolah SDN Bhakti ini adalah sekolah yang sangat tertib.

Pada saat pelajaran tidak ada satu pun siswa yang masih di luar kelas. semua siswa mengikuti pelajaran yang diajarkan oleh gurunya dengan baik. di SDN Bhakti ada beberapa siswa yang sangat cerdas di kelasnya yaitu kelas 5A. siswa itu selalu menjawab pertanyaan yang ditanyakan guru kepadanya dengan betul. Ia bernama Yani, Friska dan Ana. Mereka bertiga mempunyai hobi yang sangat berbeda kalau Yani hobinya membaca, Ana hobinya menulis sedangkan Friska hobinya menggambar. Sekarang di kelas 5A sedang ada pelajaran Bahasa Indonsia yang dibimbing oleh Bu Fitri. Bu Fitri adalah guru baru di sekolah ini jadi siswa kelas 5A kurang akrab dengan Bu Fitri.

Tak terasa 1 jam sudah bu fitri mengajar kelas 5A, akhirnya Bu Fitri memutuskan untuk memberikan tugas kelompok kepada anak anak.
“Anak Anak kalian semua akan Ibu bagi kelompok untuk membuat PUISI. dan besok pagi harus dikumpulkan.” kata Bu Fitri
Dan ternyata Yani, Friska dan Ana satu kelompok. Dulunya ketiga anak itu hanya teman biasa tetapi setelah lama berteman mereka bertiga menjadi bersahabat dan saling memahami 1 sama lain.

Pelajaran Bu Fitri pun selesai. semua murid semua siswa kelas 5A mencium tangan Bu Fitri sebelum bu fitri kembali ke ruang guru.

Waktu tepat pada jam 10.00 dan itu wakunya anak anak istirahat. tetapi yani bingung kenapa bel istirahat belumlah berbunyi.

Kring… kring
Bel istirahat yang ditunggu tunggu akhirnya berbunyi juga, semua siswa berlari menuju kantin sekolah untuk makan dan minum. Saat berada di kantin, Yani dan kedua sahabatnya itu berunding masalah tugas Bahasa Indonesia yang di berikan Bu Fitri kepadanya.
“Teman teman kita nanti jadi mengerjakan tugas kelompoknya di rumah siapa?” kata ana sampil melihat Friska dan Yani.
“Bagaimana kalau kita mengerjakan tugas itu di rumah kamu fris…” seru yani memberi saran
“Boleh juga” Ana membalas saran Yani.
“Jangan di rumahku” (kata Friska dengan mata melotot)
“Kenapa?” jawab Ana dan Yani dengan kompak dan bingung.
“Di rumah kakekku sedang sakit” seru Friska (dengan wajah sedih) “Kita ke rumah kamu aja yan?”
“Baiklah” yani menjawab.

Kring… kring
Bel mulai berbunyi lagi tandanya waktu istirahat telah berakhir. Yani dan kedua sahabatnya itu bergegas masuk ke kelasnya. setelah semua siswa masuk kelas, di kelas 5A ada pelajaran Akuntansi yang di bimbing oleh Bu Siti. Karena pelajaran Akuntansi adalah pelajaran yang sangat disukai oleh Ana, ana memperhatikan dan mendengarkan apa yang sedang di jelaskan oleh Bu Siti.

Pada saat pelajaran Akuntansi berlangsung kepala Yani tiba tiba pusing. Ana dan Friska mengetahui hal itu segralah mereka berdua meminta izin kepada Bu Siti untuk membawa Yani ke Uks.
“Bu saya meminta izin untuk membawa teman saya Yani ke Uks karena dia kepalanya pusing” seru Ana dan Friska.
“iyah baiklah silakan” jawab Bu Siti

Setelah sampai di Uks Yani mengatakan kepada Ana dan Friska kalau mereka berdua adalah sahabat Yani yang terbaik karena sudah mau mengantarkan Yani ke Uks. Ana dan Friska menjawab kalau Yani juga sahat terbaiknya. lalu Ana menyuruh Yani agar beristirahat dulu di Uks biar pusing kepalanya cepat hilang.

20 menit sudah yani beristirahat di Uks, tubuh Yani sudah terasa lebih baik dari sebelumnya. akhirnya Yani bersama kedua sahabatnya itu memutuskan untuk kembali ke kelasnya.

Sesampai di kelas, Yani dkk mulai berkonsentrasi kepada mata pelajaran Akuntansi yang sedang di bahas waktu itu. Tak lama kemudian pelajaran Akuntansi pun selesai.

“Nggak terasa ya pelajaran Akuntansi udah selesai” kata Ana.
“Iya” jawab Yani
Setelah lama Yani, Friska dan ana berbincag bincang tiba tiba bel sekolah berbunyi Kring… kring… kring itu menandakan saatnya pulang. tetapi sebelum pulang tak lupa kelas 5A membaca doa. Di setiap perjalanan pulang mereka bertiga selalu diiringi dengan canda tawa sampai tak terasa sudah hampir sampai di depan rumah Yani. Sesampai di depan rumah Yani, Yani berkata kepada kedua sahabatnya,
“Teman teman jangan lupa ya nanti setelah sholat maghrib ke rumahku”
“kenapa ke rumah kamu?” tanya Ana
“Ya mengerjakan tugas bahasa Inggris lah” jawab Friska.
“owh hehehe aku lupa” Ana menjawab pembicaraan friska.

Tak terasa maghrib pun tiba Yani segera mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat maghrib. setelah sholat maghrib Ana dan Friska bergegas menuju ke rumah Yani.
Tok… tok (suara pintu rumah Yani)
“Yani… yani… yani” Suara ani dan Friska memanggil nama Yani. yani segera membukakan pintu rumahnya.
Kraaakkkk..
Suara yani membukakan pintu rumahnya dan mempersilahkan kedua sahabatnya masuk.
Disaat Yani, Ana dan Friska mengerjakan tugas kelompok, ada sedikit kesulitan yang mereka hadapi.
“teman teman bagaimana nih cara membuat puisinya?” Tanya Yani dengan bingung.
“bagaimana kalau kita cari di internet aja” Ana memberi saran
“jangan dong” jawab Friska dengan mata melotot

Karena perbedaan pendapat antara Ana dan Friska akhirnya mereka berdua bertengkar. Yani mecoba memisahkannya tapi mereka berdua malah marah. Karena persahabatan mereka bertiga sangat erat akhirnya Ana dan Friska saling meminta maaf satu sama lain dan kembali mengerjakan tugasnya dengan baik.

Setelah lama berfikir mencari syair syair yang indah untuk membuat puisi, akhirnya mereka bertiga menemukan syair yang tepat untuk puisinya itu. dan karena kerja sama yang baik antara mereka bertiga, tugas kelompok Bahasa Indonesia mereka pun selesai.
“huu akhirnya tugas ini selesai juga ya teman teman” seru Friska dengan lega
“iyaaa” jawab Yani

Allahu akbar Allahhu akbar…
Adzan isya’ sudah terdengar dari rumah Yani. yani dan teman temannya bergegas mengambil air wudhu dan berangkat sholat berjama’ah di masjid.
Saat berada di masjid setelah sholat isya’ Ana berdo’a kalau ia bersyukur mempunyai sahabat seperti Yani dan Friska.

Setelah pulang dari masjid mereka bertiga meneruskan belajar mata pelajaran lainnya sebentar. mereka memutuskan belajar mata pelajaran Akuntansi.
Tak terasa sudah pukul 20.00 Ana dan Friska berpamitan kepada Yani untuk pulang ke rumahnya masing masing.
Setelah Ana sampai di rumahnya Ana menyiapkan mata pelajaran yang harus dibawa untuk besok dan bersiap untuk tidur…

Kukruyukkkk petok petok..
Suara ayam jago berbunyi ketiga anak itu bergegas mandi dan berangkat ke sekolah.
Setelah sampai di sekolah ternyata ada lomba mata pelajaran fisika yang harus diikuti 1 kelompok 3 anak. karena Yani, Friska dan Ana tertarik pada perlombaan itu mereka memutuskan mengikuti lomba tersebut.

Pada saat perlombaan itu dimulai sampai diumumkan juaranya ternyata kelompok Yani menang juara ke dua. mereka bertiga sangat senang. Karena kekompakan, kerja keras dan persahabatan yang erat di antara mereka bertiga, mereka bisa mendapatkan juara tersebut.

Sekarang Yani dan kedua sahabatnya itu yakin kalau mereka bertiga bisa mendapatkan juara yang lebih bagus lagi. dan bisa mempertahankan persahabatan di antara mereka.

Tamat

MENUNTUT ILMU


Dengan kuat aku terus goes sepedaku untuk menuntut ilmu ke sekolah. Aku ingin sekali mendapatkan ilmu yang berguna dan bermanfaat. Maka dari itu aku giat untuk menuntutnya. Walaupun ya, sedikit cape sih. Soalnya sekolah MD aku kan lumayan jauh. Tapi demi mendapatkan ilmu aku rela.

Tak lama kemudian akhirnya aku pun sampai di sekolah. Aku langsung menuju ruang kelas. Sampai di kelas, sahabat-sahabat ku menyapaku dengan penuh senyuman. Karena tadi aku berangkatnya agak telat jadi pas aku duduk, eh bel masuk berbunyi. Semua anak-anak masuk lalu membaca doa.

“Assalammu’alaikum..” salam pak guru.
“wa’alaikumsalam..” jawab anak-anak serempak
“Nah, anak-anak sekarang buka buku pelajar Tarikh Islam ya,” perintah pak guru kepada semua murid di kelas itu.
“Ia pak” jawab semua murid dengan serempak lagi.

Setelah beberapa jam kemudian. Tak terasa jam sudah menunjukan pukul 15.00 WIB. Bel istirahat pun berbunyi. Aku dan saabatku langsung menuju kantin. Setelah makan-makan di kantin kami menuju mushola sekolah unuk melakukan ibadah sholat ashar.

Sholat ashar sudah selesai dikerjakan, sekarang waktunya masuk kelas. Pelajaran pun dimulai kembali. Setelah selesai nulis guruku menerangkan yang tadi ditulis oleh anak-anak. Dan memberikan sedikit pertanyaan.

Waktu menunjukan pukul 16.30 WIB waktunya pulang ke rumah. Sesampai di rumah, mamaku bertanya kepadaku,
“Dede, tadi belajar apa di sekolah MD?” Tanya mamahku.
“Itu mah, tadi di sekolah aku belajar Tarikh Islam.” Jawabku, sambil mencium tangan mama.
“Ya sudah sekarang mandi lalu makan ya!” Perintah mamaku
“ok mah” jawabku.

Cerpen Karangan: Aida Anggreani
Facebook: kamsi tok

PELANGIKU TIADA GAMBAR


Fajar mulai menyingsing. Langit semakin terang. Embun yang semalam telah tiada, namun jejak keringat nenek belum juga lepas. Masih saja nenek membuat gorengan untuk dipasarkan setelah ini. Sedangkan kakek yang terlihat tertidur pulas sembari menunaikan Sholat Shubuh. Aku yang selesai menunaikan kewajibanku, langsung benganti seragam. Dan masih ku sempatkan memberikan sedikit keringatku untuk membantu nenek menyiapkan dagangannya. Yah, begini lah rutinitas keluarga kecil seorang Zara Aisyah. Setiap harinya, nenek berjualan gorengan di pasar. Sedangkan saat siang sampai menjelang sore, kakek bekerja menjadi buruh tani. Tanpa keringat yang bercucuran ini, aku tidak mungkin bisa duduk di bangku sekolah. Saat ini aku memasuki tahun terakhir Sekolah Menengah Atasku.

“Krriinnnggg” Bel masuk sekolah telah dibunyikan. Sudah sekitar 15 menit yang lalu aku duduk di bangku depan guru ini setelah mengantar nenek ke pasar yang satu arah dengan sekolahku. Tercantumnya namaku di sekolah ini bukanlah karena kemampuanku atau kecerdasanku. Aku hanyalah siswa biasa yang dibiayai belajar oleh pemerintah kota karena keterbatasan ekonomi. Sejak umurku 3 tahun, kedua orangtuaku telah kembali kepada sang Khaliq. Oleh karena itu, aku dirawat, dibesarkan dan dibiayai hidupku oleh nenek dan kakekku.

Aku tidak banyak menyukai pelajaran sekolah. Hanya beberapa saja yang lebih kusukai dari yang sekedar kusukai. Seperti Sastra Bahasa Indonesia, Menggambar, dan yang lain. Sejak menginjak kelas 2 SMP aku mulai menggemari kata kata para sastrawan. Saat itu aku sangat suka sekali menulis. Entah menulis puisi atau sekedar belajar memahami makna kata dalam setiap tulisan sastrawan dan penulis hebat. Sesekali pernah aku bermimpi menjadi seorang penulis hebat contoh lah, seperti: Habibburahman El-Shirazy, Andrea Hirata, Oki Setiana Dewi, dan masih banyak lagi.

Oh iya, hari ini aku tidak berlama lama di sekolah seperti jam belajar hari hari biasa. Semua siswa dipulangkan lebih awal dari jam pulang sekolah biasanya. Karena semua guru akan mengadakan rapat mengenai lomba Penulis muda Nasional. Lomba yang rencananya akan diadakan setiap tahun dan baru dimulai di tahun terakhirku ini. Sekitar pukul 11.00 aku keluar dari pagar sekolah. 15 menit berlalu.

“Assalamu’alaikum. Nenek, zara sudah pulang” aku pun masuk dengan senyum mengembang menyambut nenek yang segera mendekatiku.
“Loh nduk, kok sudah pulang toh, tumben?” Jawab nenek yang bingung melihat kepulanganku dari sekolah.
“Iya nek, ada rapat semua guru di sekolah untuk lomba minggu depan. Jadi semua murid dipulangkan lebih awal nek” Jawab aku sambil mengecup tangan nenek.
“Oalah begitu toh nduk, ya sudah cepat ganti baju. Biar nenek siapkan makan sebentar” Kata nenek dan berlalu menuju dapur.

Nenek memang sangat menyayangiku. Aku pun sangat menyayangi nenek dan kakekku ini. Karena merekalah aku mampu menjadi orang yang lebih baik dan berpendidikan. Entah bagaimana caraku berterimakasih atas segala kebaikan mereka. Seandainya pun aku memiliki gudang uang, tidak akan mampu menggantikan atas apa yang telah mereka berika kepadaku. Hari ini aku telah mencicil sebagian cerita pendekku. Sementara kubiarkan nenek istirahat. Namun berganti kakek yang keluar hendak mencari nafkah.

“Nduk, cah ayu. Kakek berangkat dulu ya, jaga nenek mu. Jangan bangunkan dia, biar dia istirahat” Kata kakek memotong tulisan karanganku sambil menoleh ke arah nenek.
“Kakek tenang saja, semua pasti beres, hehehe… Kakek hati hati” Jawabku sambil mencium tangan kakek.
“Hehe, ya sudah kalau begitu. Assalamu’alaikum” Kata kakek lalu meninggalkan rumah.
“Wa’alaikumsalam kek” Jawabku memandang perginya kakek.

Ku teruskan kembali tulisanku yang terpotong karena kakek tadi. Beberapa menit kemudian, adzan Dzuhur berkumandang. Nenek segera ku bangunkan dan ku ajak Sholat. Setelah sholat Dzuhur, kami pun makam bersama. Setelah itu, aku membantu nenek mengupas dan merajang bahan bahan untuk membuat gorengan pada esok hari. Aku pun membuka obrolan siang itu.
“Nek, do’a kan aku ya. Supaya cerita ku terpilih dan bisa mewakili sekolah” Kata ku sambil mengupas wortel.
“Oalah, iya nduk. Do’a nenek sama kakek selalu menyertaimu nak. Semoga cita cita muliamu itu bisa terwujud nak” Jawab nenek dengan mata berkaca kaca.
“Aaamiiin Ya Robbal’alamin, terimakasih nenek” Kataku sambil memeluk nenek.

Sore telah menjelang, kini aku siap membersikan rumah. Sementara nenek sedang sholat ashar. Aku memang sengaja tidak mengizinkan nenek untuk membantuku, aku tidak mau nenek nantinya terlalu capek. Menyapu, mengepel rumah, menyirami tanaman dan jalan kecil di depan rumah telah selesai. Lantas aku mandi lalu menunaikan kewajibanku. Sore itu masih menunjukan pukul 04.30. Masih ada waktu untuk menyelesaikan cerita pendekku. Seperti inilah rutinitas rutinitas pagi hingga sore ku. Sedangkan pada malam harinya, aku hanya belajar sebentar sholat dan langsung saja tidur.

Aku memiliki 2 orang sahabat yang sangat dekat denganku. Terpat tinggalnya pun tidak jauh dari rumah nenek. Namanya Alifa dan Tsania. Kehidupan mereka juga sangat sederhana. Mereka sangat baik dan menyayangiku. Di sekolah pun, kami seperti kembar 3. Antara cara berkerudung dan kebiasaan kami hampir sama untuk setiap harinya. Kami berteman sejak Sekolah Menengah Pertama. kedekatan kami layaknya saudara kandung. Dan yang lebih menariknya adalah, kami bertiga sangat menyukai Karya Sastra. Yah, bersama merekalah aku banyak belajar tentang ilmu ilmu yang tidak kuketahui mulanya.

Memang di setiap harinya, aku tidak bisa lepas dari sebuah puisi ataupun karangan. Aku sangat senang sekali mengarang. Yah, sebagai hiburan dan perbaikkan pribadi saja. Banyak pula di antara teman ku yang biasa menyuruhku untuk membuat suatu kata kata. Banyak dari mereka menyukai karangan serta tulisan ku. Entah bagaimana awalnya

Hari demi hari pun berlalu, sampai pada hari pengumpulan cerita pendek para siswa. Sejak melangkahkan kaki keluar rumah menuju sekolah, Sudah ku niatkan bahwa aku tidak mencari apapun dari cerita yang ku buat itu, hanya untuk membesarkan hati saja seandainya tidak terpilih. Hari ini nenek tidak berjualan, oleh karena itu aku berangkat bersama kedua sahabatku, Alifa dan Tsania.

Mulai hari pengumuman, pengumpulan cerita pendek, hingga penyeleksian lomba cerita pendek, sekolah tidak membebankan pelajaran kepada anak anak. Tak lama kemudian, pihak sekolah memberitahukan jika penyeleksian akan dilakukan 2 hari kedepan. Oleh karena itu dalam 2 hari tersebut, siswa bebas dari pelajaran. Banyak yang berharap terpilih dan mewakili sekolah tercinta, aku pun di antaranya. Tetapi setelah melihat karangan teman teman yang begitu indah, semangatku menjadi turun. Akhir akhir ini pulang sekolah ku lebih cepat.

Hari penentuan pemenang lomba cerita pendek Nasional pun tiba. Sudah siap lah Alifa dan Tsania di depan rumah menungguku. Segera kucium tangan kakek dan nenekku, meminta Do’a agar aku menjadi pemenang lomba Penulis Muda Nasional tersebut. Selepas ku dari pintu rumah, kupanjatkan segala keinginan dalam hati ku kepada Tuhan, berharap Ia mengabulkan segala permohonanku. Berangkatlah kami bertiga dengan penuh rasa harap. Tidak perlu lama untuk menuju sekolah. 15 menit saja Aku, Alifa, dan Tsania sudah duduk di tengah tepat di sebelah Ibu Sulestari, guru bahasa Indonesia kelasku.
“Ehm, wah calon penulis muda nasional nih, heheh” kata bu Tari sambil menggoda kami
“Ah ibu tari bisa saja, Aaamiiin deh hehehe” Kami serempak menjawab.

Hampir 20 menit sambutan dari beberapa orang telah usai. Kini saatnya Bu desy selaku Kepala Sekolah ku memberitahukan pemenang lomba Penulis muda Nasional.
“Nah, Baiklah anak anak. Ibu akan menyampaikan beberapa kegembiraan untuk calon penulis muda berbakat tahun ini. Ialah, dia akan dikirim untuk mewakili kabupaten. Serta mendapatkan beberapa hadiah. Dan yang lebih menggembirakan lagi, ia diberi kesempatan menerbitkan bukunya pada penerbit yang terkenal” Kata ibu desy di sambut tepuk tangan seluruh siswa, ibu/bapak guru dan beberapa Dinas yang datang waktu itu.
“Langsung saja saya bacakan isi amplop yang saya terima dari Dinas Pendidikan ini” Sambung bu desy sambil membuka segelan amplop.
“Dan yang diberikan kesempatan istimewa oleh bapak Pemerintah Kota Surabaya adalah. “Zara Aisyah dari Sekolah menengah akhir negeri 4 Surabaya”. Pemenang harap naik ke poidium. Untuk bapak dinas dan ananda Zara, waktu dan tempat kami berikan” Kata bu desy dengan penuh bahagia.
“Saya sangat bangga sekali dengan siswa ini, cerita yang ia muat sangat mengagumkan. Patutlah ia mendapatkan seluruh hadiah yang telah dijanjikan. Selamat kepada nak Zara, semoga sukses untuk kedepannya” Sambutan bapak Dinas Pendidikan.
“Assalamu’alaikum. Pertama tama, saya ingin mengucapkan banyak terimakasih kepada Allah SWT yang telah melimpahkan segala karunianya kepada saya. Juga rasa terima kasih saya yang sangat dalam kepada nenek dan kakek tercinta saya yang sudah susah payah membiayai saya hingga sampai saat ini. Tak lupa pula untuk para guru guru saya yang selalu mengajarkan dengan penuh keikhlasan dan kasih sayang serta untuk guru kedua saya, kalian semua teman temanku, izinkan saya membawakan sedikit puisi Tanda rasa terimakasih saya “Dalam hitam aku berguru pada duka yang tiada pernah terlihat luka. Dalam putih aku berguru pada kesabaran yang senantiasa memekarkan aroma kebahagiaan” demikian sambutan dari saya, Wassalamu’alaikum”

Setelah aku turun dari podium, aku disambut hangat dengan Alifa dan Tsania beserta ibu bapak guru. Aku tidak sabar untuk pulang, untuk membagikan kebahagiaanku ini kepada nenek dan kakek ku. Terlihat dari depan pintu rumah, kakek dan nenekkku tersenyam bahagia. Langsung saja aku berlari dan merangkul mereka. Bahagianya mereka melihat kemenanganku. Aku pun demikian.

Sejak kemenanganku menjadi Penulis muda Nasional berbakat, aku semakin gemar mengarang. Entah sebuah cerita pendek ataupun sekedar Puisi saja. Semakin lama tulisan-tulisanku semakin baik. Banyak penerbit-penerbit menawarkan kepadaku. Puisi-puisi ku pun banyak yang menyukainya. Semakin lama semakin mudah untukku mengais rezeki.

2 tahun kemudian
Bahagiaku tak tergambarkan seperti apa. Kini aku berhasil kuliah dengan hasil keringatku sendiri. Memiliki rumah sendiri, walaupun berukuran sedang dan mampu dihuni untuk 3 orang saja. Kini kakek dan nenekku tak perlu membanting tulang untuk kebutuhan, saatnya aku yang membalas baik budi mereka. Buku buku ku yang telah terbit banyak yang berkomentar baik tentang itu. Aku sangat bahagia. Di tambah dengan menjadi narasunber di berbagai acara bedah buku misalnya. Belum pula waktu bekerjaku yang aku lakukan sore hari. Aku menjadi wanita karir yang sangat sibuk. Sangat tidak kusangka keberhasilanku ini berbuah sangat manis. Sungguh nikmat Allah tiada duanya. Aku semakin khusyu’ beribadah pula. Satu harapanku adalah, semoga kedua orangtuaku disana ikut merasakan kebahagiaanku ini…

Ketika kehitaman terbujur kaku..
Maka putihlah yang lebih baik..
Karena Tuhan tidak menciptakan yang abadi di dunia ini..
Cukuplah yakin dan tetap bersyukur kepada-Nya adalah yang lebih baik dari yang terbaik…

Cerpen Karangan: Muthobiin Naimah Maslichan
Facebook: Iin
Smk Negeri 10 Surabaya

RAHASIA BINTANG KELAS


“Duh, dapat enam lagi!” seru Heru kesal ketika Pak Dodi membagikan hasil ulangan IPA-nya.
“Kamu pasti dapat sepuluh!” katanya pada teman sebangkunya, Fajar.
“Ah, cuma dapet sembilan, kok” kata Fajar merendah. “Sembilan? Kamu bilang dapet sembilan cuma?”
Uh, rasanya Heru ingin berteriak keras di telinga Fajar. “Dapat nilai sembilan seperti keajaiban buatku!”
Heru memang tidak heran kalau Fajar selalu dapat nilai bagus tiap ulangan. Fajar kan bintang kelas. Tentu saja dia pintar.

“Benar kan, sambil menutup mata pun kamu bisa mengerjakan semua soal dengan gampang!” Heru selalu berkata begitu pada Fajar. Sampai suatu hari, Heru benar-benar merasa cemas. Ulangan matematikanya mendapat nilai empa! Padahal ia sudah berusaha belajar semalaman.

“Fajar, bagaimana sih caranya bisa menjadi sepintar kamu?” akhirnya Heru bertanya dengan serius. “Ah, kamu juga bisa sepintar aku. Kuncinya hanyalah belajar dengan tekun” ujar Fajar.

“Tapi aku juga belajar terus, kok!” elak Heru. “Rahasiamu apa, sih?”
Fajar tersenyum. “Ini sebenarnya rahasia. Hanya anak-anak yang berminat saja yang bisa menyerap ilmu ini,” katanya dengan tampang serius. “Kamu serius mau belajar dari aku?” Heru mengangguk cepat karena ia teringat dengan nilai empat ulangan Matematikanya.

Sepulang sekolah, Fajar berbisik pada Heru, “Nanti malam setelah mengerjakan PR Bahasa Indonesia, baca lagi pelajaran yang kita pelajari hari ini. Setelah itu baca bab 4 buku IPA, dan bab 5 buku Matematika.” Heru mengiyakan. “Yang serius, ya!” seru Fajar sambil melesat pergi.

Sorenya Heru segera melaksanakan perintah Fajar. PR Bahasa Indonesia dikerjakannya denga teliti. Lalu ia mengeluarkan semua buku pelajaran yang dibawanya hari itu dari dalam tas. Satu demi satu pelajaran yang tadi diberikan oleh guru dibacanya lagi. Selama membaca, ia teringat ucapan Bapak dan Ibu guru di depan kelas selagi menerangkan.

Bahkan ia sempat tertawa mengingat lelucon Pak Guru tadi ketika menerangkan tentang Columbus, si penemu benua Amerika. Oh, lebih jelas sekarang setelah ia mengulang membaca pelajaran tadi. Setelah selesai, Heru mencari buku IPA dan Matematika di rak bukunya. Oh, besok ada pelajaran IPA dan Matematika ya, gumamnya ketika melihat jadwal pelajarannya sekilas.

Diambilnya buku IPA dan dibukanya Bab 4. Loh bab ini kan belum diterangkan Bu Guru? Ia membolak-balik halaman-halaman bukunya dengan kening berkerut. Jangan-jangan Fajar salah memberi perintah, pikirnya. Atau ia salah mendengar? Penasaran, diambilnya buku Matematikanya.

Bab 5 dibukanya. Hei, ini juga belum diajarkan, serunya dalam hati. Bagaimana bisa mengerti kalau belum diterangkan guru, keluhnya. Apa sih maksud Fajar? Akhirnya ia menelepon Fajar. “Iya, memang belum dijelaskan guru, tapi kamu baca saja semengertimu, ya. Kalau mau, buat catatan tentang apa yang nggak kamu mengerti,” ujar Fajar singkat.

Heru pun membuka buku IPA bab 4 dan mulai membaca perlahan. Tak lama, Heru sudah asyik sendiri mencorat-coret di buku catatannya. “Aku nggak mengerti yang ini… tapi bagian tentang fotosintesis itu kan lanjutan pelajaran sebelumnya… mmm, jadi ini maksudnya…” Heru mengoceh sendiri. Setelah selesai, ia segera membuka buku Matematikanya.

Bab 5, mengukur luas Jajar Genjang. “Mm, di bab 4 kan aku belajar tentang mengukur Segiempat dan Segitiga. Jajar Genjang itu ternyata ada Segiempat dan Segitiga juga!” Heru mulai bersemangat. Ia membolak-balik bab 4 buku Matematikanya juga.

“Bagaimana? sudah mengerjakan apa yang kuminta dengan sungguh-sungguh?” Fajar bertanya keesokan paginya. Heru tersenyum sambil mengacungkan jempolnya. Ia membuka buku catatan IPAnya. “Fajar, kamu tahu apa maksudnya ini? Aku penasaran, semalam membaca Bab 4 tapi yang ini aku nggak tahu maksudnya,” ujarnya. Fajar menggeleng, “Aku juga penasaran. Nanti tanya sama Bu Guru.” Heru terbelalak. “Masa sih kamu nggak tahu? Kamu kan pintar!”

“Kita kan baru belajar sampai Bab 3, ya aku sama dengan kamu dong, sama-sama nggak tahu!” Fajar tertawa. Heru tetap tak percaya. “Nah aku beritahu lagi rahasiaku,” lanjut Fajar. Dibisikinya Heru dengan penuh rahasia, “Nanti, simak penjelasan guru dengan baik. Kalau ada yang nggak kamu mengerti, langsung ditanyakan.”

Benar juga, sih. Hari itu Heru berusaha menyimak panjelasan guru dengan seksama. Pelajaran Matematika dan IPA hari itu terasa mudah baginya. Ketika sekolah usai, Heru mendekati Fajar. “Ada rahasia lagi yang harus kuketahui?” tanyanya. “Begini, kamu sudah bersungguh-sungguh. Itu bagus. Rahasia pertama: jangan menunda mengerjakan PR yang sudah kamu kuasai,” ujar Fajar dengan gaya mirip ketua silat yang tengah menasehati muridnya.

“Rahasia kedua: ulangi pelajaran yang telah diajarkan di sekolah segera. Kamu juga sudah menguasainya.” Fajar pura-pura terbatuk. “Maaf. Rahasia ketiga, baca dan pelajari dulu pelajaran yang akan diterangkan guru keesokan harinya. Kamu juga melakukannya dengan baik sekali.” Fajar nyaris tak bisa menahan tertawanya yang melihat Heru yang amat menunggu rahasia berikutnya. “Nah, ehm, masih ada dua rahasia lagi. Dengarkan baik-baik!” “Rahasia keempat adalah, lakukan rahasia satu sampai tiga dengan teratur dan tekun, tiap hari.” “Rahasia kelima?” tanya Heru tak sabar. “Rahasia kelima? Rahasia kelima: kamu harus mentarktir aku semangkok mie ayam!” tawa fajar sambil berlari. “Huuuu!” seru Heru.

Cerpen Karangan: Aldi Rahman Untoro
Facebook: Aldi Rahman Untoro

Hadiah Terindah Dari Seorang Ibu Untuk Meraih Suksesku


Sejak aku kecil, aku hanya dapat merasakan kasih sayang dari seorang nenek, dan ayah. Tentu kalian akan bertanya?. Ya, Ibuku ketika aku kecil, ibu hanya mencari uang buat kebutuhanku, ayah membantu dengan gajinya per bulan yatu gaji seorang polisi Pegawai Negeri, mengetahui harga kebutuhanku seperti susu bubuk, camilan roti anak dan uang jajan ku.

Ketika itu aku berada di bangku taman kanak-kanak dimana aku baru mengenal apa itu teman, dan apa itu satu ditambah dua. Ketika aku di rumah, aku tidak pernah merasakan berteman dengan anak sekitar rumahku. Karena nenek melarangku untuk keluar rumah, aku hanya bisa berjalan sambil menangis lalu memegangi besi di antara pagar di teras rumahku dan memandangi suasana di luar. Bisa disebut aku ini anak yang kuper. Ya, begitulah. Tapi aku bahagia dengan kehidupanku yang seperti itu karena dibalik itu semua aku dapat merasakan kasih sayang seorang nenek yang begitu besar dan begitu tulus kepadaku dan perhatian dari ayah yang dengan sabar merawatku.

Setiap harinya ibu berangkat pagi pulang jam delapan malam karena lembur, ayah sebelum berangkat kerja merawat aku terlebih dahulu. Sampai suatu ketika ayahku dimasukkan ke dalam penjara karena indisipliner pegawai. Ketika itu ayah menjemur bajuku yang sudah dicuci lalu membuatkan aku susu, ternyata ayahku tidak tahu kalau sudah lebih dari jam delapan pagi, ayahku telat dan akhirnya ayahku harus masuk penjara untuk sementara waktu.

Karena kakekku yang mengingat ia adalah pensiunan pegawai negeri di POLDA (Kepolisian Daerah) mendatangi kantor ayahku dan meminta tolong agar melepaskan ayahku karena keterlambatannya karena mengurusi anak lantaran istri sedang bekerja, akhirnya ayahku dilepaskan dari penjara dan tidak akan mengulangi perbuatannya. Sebesar itu ternyata ayah sayang kepadaku, aku ingin suatu saat ketika aku telah mencapai apa yang aku cita-citakan, aku ingin membahagiakan kedua orangtuaku yang dengan tulus mereka merawatku dari aku lahir di dunia yang sungguh megah ciptaan Nya ini sampai sekarang aku masih bisa merasakan ketulusan sayang mereka kepadaku.

Suatu malam aku sakit demam tinggi, ibuku yang tengah tertidur di sampingku terpaksa bangun karena mendengar suara rintihanku, “panas… panas…” dengan cekatan ibuku mengambil sebuah wadah baskom plastik dan diambilnya sebuah kaos putih untuk selanjutnya dimasukkannya kaos tersebut ke dalam baskom yang telah diisi air hangat lalu ibu memerasnya dan diletakkannya kaos yang basah itu di keningku.

Hingga pukul dua belas malam panasku tidak turun juga akhirnya ibu memutuskan untuk membawaku ke rumah sakit, dengan badan ibuku yang capek habis tadi pagi kerja, ibu menggendongku dan membawaku ke rumah nenek terlebih dahulu, mengingat ayahku ketika itu sedang mengurusi kecelakaan, jadi ibuku yang mengurusi aku sakit. Kakekku yang tahu ketika aku sakit malam-malam begitu langsug saja kakek menuju ke garasi dan menyalaakan mobilnya segera, lalu di angkatnya aku oleh ibu ke dalam mobil, didalam mobil itu aku hingga kini teringat tangisan ibuku yang terus mengalir karena badan ku yang panasnya tambah tinggi.

Sesampainya di rumah sakit ibu membawaku menuju ke ruangan dokter spesialis anak yang biasanya menangani aku ketika aku masih balita, sampai sekarang memori itu tidak akan hilang dari otakku. Dimana aku mulai pertama kalinya merasakan pengorbanan yang sangat berarti untuk hidupku, ibuku, nenekku dan kakekku. Pengorbanan itu takkan pernah aku lupakan walau nanti ku yakin waktu tidak akan abadi, dan waktu akan merampas mereka dari hidupku. Hanya satu pesan yang selalu ku ingat hingga saat ini yaitu pesan dari ibu “Ibu akan lebih bangga memliki anak yang berprestasi, kalau kamu berprestasi ibu berjanji akan mendukung apapun kegiatannmu sampai kamu benar-benar hidup mapan nantinya”.

Waktu terus berjalan dan terus berlalu, jenjangku semakin tinggi. Aku menginjak tingkatan sekolah dasar kelas satu di sebuah sekolah dasar dekat dengan pasar di daerahku. Ketika aku berada di sekolah dasar khususnya kelas satu, dua, dan tiga aku tidak pernah mendapat prestasi ataupun peringkat sama sekali, sebuah awal yang buruk. Namun aku tetap berusaha dan tidak menyerah menghadapinya aku terus berjuang untuk meraih perestasi itu. Dan perjuanganku tersebut mulai menemui titik terangnya yaitu ketika aku duduk di bangku kelas empat sekolah dasar, aku mendapat peringkat kedua dalam nilai rapor satu kelas ketika itu. Aku mulai percaya bahwa aku memiliki potensi yang akan menolong hidupku kelak.

Seiring waktu berjalan aku bersama mimpiku mulai menginjakkan kaki menuju suksesku dan ibuku yang tidak pernah lupa dengan janjinya untuk selalu mendampingi aku ketika aku ingin mengikuti apapun kegiatan yang sekiranya mampu menunjang prestasiku, ibuku selalu menurutinya asalkan aku tidak mengecewakan ibu. Dan aku pun membuktikannya saat aku duduk di bangku kelas lima sekolah dasar aku berhasil meraih peringkat pertama satu kelas nilai rapor terbaik, dan ibuku mengkadoku sesuatu yang sangat berharga yaitu Playstation dua yang dari dulu aku idam-idamkan. Aku sangat bahagia sekali karena apa yang aku inginkan kini telah diwujudkan oleh ibuku.

Sampai saatnya aku menginjak kelas enam sekolah dasar, dan mulai terfokus pada sebuah target yang diharapkan akan membawa aku lebih dekat dengan mimpi yang telah aku cita-citakan dan akhirnya aku mendapat sebuah nilai Ujian Nasional yang tidak mengecewakan hasilnya cukup bagus menurutku dan menurut ibuku sendiri dengan rata-rata nilai sembilan koma lima. Aku bahagia sekali dengan apa yang telah aku capai selama ini, dan saat itu aku mulai berniat akan menjadi yang terbaik di sekolahku nanti. Dengan percaya dirinya aku memberanikan diri untuk mengikuti sebuah tes untuk masuk dan menjadi siswa Sekolah Menengah Pertama Negeri Satu Surabaya yang dimana saat itu kedudukannya sebagai sekolah bertaraf SBI (Sekolah Berbasis Internasional) dan ternyata aku tidak lolos seleksi. Akhirnya aku mendaftarkan diriku ke Sekolah Menengah Pertama Negeri Lima Belas Surabaya (SMPN 15 Surabaya) yang lokasinya kebetulan dekat dengan tempat kerja ibuku, ya sebuah instansi pemerintahan yaitu kecamatan Kenjeran.

Pada suatu malam ibu memberiku motivasi baru, dimana motivasi itu diberikan ketika ibu mulai tahu bahwa di hatiku tidak hanya ada ibu saja namun ada orang lain yang tak dikenal yang masuk di dalam hatiku. Ibu berkata “Kamu boleh Pacaran tetapi, Ibu tidak mau tahu kamu harus tetap berprestasi. Karena setiap prestasi kamu nak. Akan menjadikanmu seseorang yang dihormati di kalangan manusia lainnya sehingga kamu mudah jodohnya” mendengar ibu berkata sedemikian, jiwaku terdorong oleh sesuatu yang membuatku tenang dan membuatku semakin semangat untuk terus maju dan terus berprestasi.

Dan pada akhirnya ketika pengambilan nilai rapor kelas tujuh semester genap. Sungguh aku tidak menduga kalau aku berhasil membanggakan hati ibuku dengan aku meraih peringkat juara umum secara paralel di sekolahku. Sungguh aku sangat bahagia semua terasa seperti aku barusan tidur dan bermimpi indah. Dan sesampainya di rumah ibuku terus menangis bangga dan berkata “Ibu bangga sama kamu, Nak!” memelukku dan mencium keningku. Sungguh tuhan telah menggariskan hari itu adalah hari dimana aku mendapat kebahagiaan. Yang dimana hari itu tidak akan pernah tergantikan oleh apapun dan siapapun. Sungguh kenangan yang indah untuk dikenang selamanya. Dimana perlu perjuangan yang keras untuk mencapainya. Dan ibu memberi aku sebuah hadiah yang terindah dalam hidupku yaitu sebuah amanat dan pesan yang selalu dapat membuatku lebih maju saat aku terpuruk, dan pesan itu dituturkan ibu ketika aku kecil yaitu “Ibu akan lebih bangga memliki anak yang berprestasi, kalau kamu berprestasi ibu berjanji akan mendukung apapun kegiatannmu sampai kamu benar-benar hidup mapan nantinya”. Terima kasih ibu engkau telah memberiku sebuah kunci yang akan membawaku menuju ke gerbang mimpiku itu dimana sebuah kebahagiaan baru akan kubuka, meskipun engkau merawatku tidak mulai dari kecil namun ternyata tak kusangka sayangmu luar biasa hebatnya kepadaku. Tidak akan ku lupakan sebuah kata sekaligus hadiah terindah dalam hidupku darimu ibu. Hingga aku kelas delapan aku masih memegang kunci itu dan aku berhasil lagi. Sungguh betapa aku sangat berterima kasih kepadamu ibu. Jasamu akan selalu kuingat dalam ikatan selamanya.

TAMAT

KU KAYUH RIBUAN MIMPI


Secuil kisah tentangku yang merupakan gadis kecil anak kampung yang tinggal di sisi pinggir kota besar. Aku Sriami Wulandari anak pertama dari keluarga kecilku. Keluarga kecil yang bisa dibilang berkecukupan meski tidak lebih seperti halnya teman-temanku. Ayahku bekerja hanya sebagai buruh sampah di sebuah pabrik. Sedangkan ibuku sebagai PRT. Bisa dibayangkan berapa penghasilan yang di dapat dari orangtuaku setiap bulannya.

Kadang terselip dalam hati kecilku rasa iri melihat teman-temanku semua. Dan tak jarang ku habiskan waktuku hanya untuk berandai-andai jika aku menjadi orang kaya. Pasti semua akan tercukupi atau bisa dibilang lebih dari cukup. Aku mau ini atau itu tak perlu pikir panjang lagi. Tak perlu menunggu sampai tabunganku tercukupi. Semua bisa dibeli sesuka hati jika menjadi orang kaya. Tapi sayang semua tak bisa ku nikmati di dunia nyataku. Di bumi tempatku berpijak dan juga tak ku dapatkan pada kondisi keluargaku.

Ahh, tak seharusnya aku mengeluh dan terus larut dalam angan-angan kosongku. Tak sepatutnya juga aku meminta lebih dari apa yang sudah ada sekarang. Sama halnya aku mencekik kedua orangtuaku sendiri jika aku terus seperti ini.
“Ayo dong ami sadar, sadar jangan terus-terusan berangan-angan ndak jelas gini. Lihat dong realita yang ada.” Desahku pada diri sendiri sembari menampar pipi dengan pelan.
“Maafkan aku ya Allah.” Cetusku pelan.

Di sebelah barat terlihat matahari tengah kembali keperaduannya pertanda akan datangnya malam. Menit demi menit telah berlalu terdengar adzan maghrib berkumandang. Aku pun bangun dari ranjang kesayanganku dan bergegas mengambil air wudhu. Aku jalankan perintah agamaku. Selesai shalat aku haturkan doa pada sang pencipta dan berharap akan penghapusan dosa, kemuliaan, sekolah serta rezeki untuk kedua orangtuaku.

Selesai shalat aku dan keluarga makan malam bersama-sama. Menikmati masakan super lezat buatan ibuku tercinta.
“Ayo-ayo makanan sudah siap.” Teriak ibu memanggil.
“Yee menu lezat dari masterchef kita udah di hidangkan dik.” Jawabku sambil berlari kecil bersama adikku.
“Woow enak nih masakannya. Ibu tau deh makanan favoritku sama adik apa. Ya ndak dik?” cetusku saat melihat masakan ibu.
“Iya mbak. Ibu baik ya.” Jawab adikku singkat sambil mengambil makanan ke piringnya.
“Udah-udah ayo makan jangan bicara aja.” Sahut ibuku.
“Iya bu. Sayang ya bapak belum pulang jadi tidak bisa makan bareng.” Kataku.
“Namanya juga masih kerja. Jadi ya belum pulang sayang. Udah sekarang kita makan dulu aja.” Jawab ibuku.

Seusai makan malam ibu menyuruh aku dan adik untuk belajar. Ya sudah aku langsung terbang menuju kamar mencari santapan-santapan untuk bekalku kelak. Yups, waktunya belajar menyiapkan pelajaran besok. Aku belajar bersama adik sekaligus mengajari adikku juga. Susah susah gampang mengajari adikku yang satu ini. Ya begitulah anak cowok main terus yang dipikirkan.

Tak terasa jam dinding mungil telah menunjuk angka 21.00. pertanda kami harus menyudahi belajar malam ini dan beranjak untuk menjelajah ke pulau mimpi. Tapi sebelumnya shalat isya’ terlebih dahulu karena tadi belum menjalankan perintah-Nya. Sesudah bermunajat pada sang khalik aku menyiapkan pelajaranku untuk besok pagi agar tidak ada yang ketinggalan.
“AKB sudah B.Indonesia sudah Matematika sudah SEBUD sudah. Oke semua sudah siap.” Kataku sambil memasukkan buku ke dalam ransel mungilku.
“Siipp waktunya pergi ke pulau mimpi. Akan mimpi apa ya aku malam ini?” Cetusku seorang diri sambil senyum-senyum sendiri.

Di sana terlihat ranjang kesayanganku memanggilku. Bantal dan guling seraya melambaikan tangannya yang berharap agar aku segera berlari kecil menghampirinya. Seakan-akan mereka siap mengantarkan tuan puteri ini menuju pulau mimpi yang di idam-idamkannya. Aku pun berlari kecil dan segera merebahkan tubuh mungil ini ke ranjang kesayangan sembari mendekap guling empuk seukuran lebih kecil dariku.

Samar-samar terdengar seruan adzan subuh membangunkanku dan membuyarkanku mimpi yang tak jelas itu. Perlahan-lahan ku mencoba mengumpulkan nyawaku yang belum kembali ke raga ini. Dan aku pun segera mandi membersihkan tubuh ini dan menjalankan shalat subuh. Seusai shalat subuh ku sempatkan sedikit waktu untuk membaca ayat suci Al-Qur’an meski hanya sedikit. Selesai mengaji aku segera ganti pakaian seragam.

Jam dinding menunjuk pukul 05.30 dan aku senyum-senyum sendiri.
“Ayo mi cepat sedikit nak sudah jam berapa ini? Buruan makan nanti terlambat kamu. Teriak ibu yang sudah aku tebak sebelumnya makannya aku senyum-senyum sendiri.
“Iya-iya bu. Aku sudah siap kok dari tadi.” Jawabku seraya menghampirinya.
“Hmm enak nih masakannya.” Saat melihat menu masakan ibuku.
“Udah ayo makan sana makananmu.” Jawab ibuku singkat.

Selesai makan aku pun berpamitan ke orangtuaku dan mencium tanngannya. Bergegas keluar rumah dan mengambil sepeda yang selalu setia menemaniku kemanapun. Sepedaku menjadi saksi bisu dalam bagaimana aku menggapai ilmu selama ini. Selama 12 tahun dia telah menjadi kekasihku dan selalu menemani mengarungi hidup. Aku saat ini duduk di bangku SMK kelas XII AKUNTANSI 5. Bersekolah di sekolah negeri di Surabaya yaitu SMKN 1 SURABAYA.
“Bismillahirrahmanirrahim. Ya Allah aku sekolah mencari ilmu. Berkahi dan berikan ridha-Mu supaya hari ini lancar serta ilmu yang aku terima dapat bermanfaat untukku dan orang lain.” Kata-kata yang selalu aku sematkan dalam hati sebelum ku kayuh sepeda untuk berangkat sekolah.
“Aku berangkat. Assalamu’alaikum.” Pamitku ke orangtua.
“waalaikumsalam. Hati-hati di jalan dan sungguh-sungguh dalam belajar.” Teriak ibuku.
“Iya bu.” Jawabku sebelum menghilang dari tikungan.

Aku berangkat seorang diri karena memang di kampungku tidak ada yang satu sekolah denganku. Tapi tak jarang aku bertemu anak dari AK lain jadi kita berangkat bersama-sama atau juga ada adik-adik sd yang biasanya mengajakku untuk balap sepeda sampai di seberang tikungan sebelum mereka menghilang. Tapi hari ini tak ketemui mereka semua. Tapi meski begitu tak mengurangi semangatku yang membara di pagi hari ini. Ku kayuh sepedaku lebih cepat dari sebelumnya agar aku segera sampai.

Sesampai di sekolah terlihat gerombolan teman-temanku sekelas. Ternyata pada banyak yang tidak sengaja bertemu disini.
“Pagi kawan-kawan.” Sapaku ke mereka.
“Pagi Amiii. Ayo-ayo bareng ke kelas.” Jawab mereka serempak.
“iya sebentar.” Kataku dengan membenarkan posisi sepedaku.
“Ndak capek ta mi ngontel tiap hari?” Tanya riza temanku.
“Ya lumayanlah dianggap olahraga aja jadi capeknya capek wajar gitu.” Jawabku sambil tersenyum.
“Emang rumahmu jauh?” Tanya try.
“Ya ndak juga seh. Ayo kapan-kapan kerumahku biar tahu rumahku.” Ajakku ke mereka.
“Iya-iya boleh boleh mi.” jawab anak-anak antusias.
“Ngontel mah nggarai kentol gede tok mi.” kata salah satu temanku dengan ketusnya.
“Ya gak pa-palah mungkin udah resikonya. Yang penting aku bisa sekolah itu udah lebih dari cukup.” Jawabku.
“Aku ngunu mah yo isin.” Jawabnya seraya berlari mendahului kita semua.
“Hmm sudah jangan kau tanggapi omongan anak itu. Kamu tahu sendiri bagaimana sifat dia kan? sabar aja hadepin dia mi.” nasehat dari sofi ketua kelasku.
“Hehehehe iya terserah apa kata dia aja. Yang penting bagiku cuman sekolah. Ngapain harus gengsi atau malu sama keadaan kita sendiri. Justru aku lebih malu lagi kalau aku sudah seperti ini tapi aku tidak mau usaha dan bersungguh-sungguh untuk menjadi lebih baik.” Jawabku seraya menahan airmata agar tak menetes.
“Iyo-iyo bener iku mi.” balasnya dengan senyum dan dua jempol di acungkannya.

Ya, seperti inilah kehidupan yang aku jalani. Ada sebagian teman-temanku yang menghargai dan menyemangatiku. Ada pula yang mencibirku dengan sesuka hatinya. Apapun yang mereka kicaukan tak pernah ku tanggapi. Karena mereka tidak pernah merasakan berada di bawah makannya dia tidak tahu bagaimana kerja kerasku dan keluarga memupuk dan membangun semangat dan rasa kuat dalam hati meski sebenarnya kita lemah dan ingin memungkiri semua ini. Celoteh dari mereka aku jadikan motivasi dan cabuk agar aku bisa lebih baik. Agar aku bisa tunjukkan kepada mereka aku bisa lebih melampaui dari dia meski derajat kita tak sama.

Tak terasa waktu sangat cepat berlalu. Jam dinding menunjuk pukul 14.50 sudah waktunya pulang saja. Bel pulang sekolah berbunyi alunan mars sekolah menjadi pertanda usainya pelajaran hari ini. Sorak sorai anak-anak terdengar di dalam kelas. Ya, kita sudah kelas XII tapi perangai kita masih ke kanak-kanakan. Seusai berdoa anak-anak berhamburan keluar meninggalkan kelas.

Begitu juga denganku ku langkahkan kakiku menghampiri sepedaku tersayang. Segera ku pulang karena masih ada tugas rumah yang harus ku kerjakan. Sesampai di rumah.
“Assalamu’alaikum bu.” Ku ucapkan salam.

Tapi rumah masih sepi tak terdengar balasan salamku dan tak tampak sosok ibu cantikku di rumah begitu juga adikku. Ya berarti ibuku belum pulang dari kerja. Mungkin adik lagi main juga. Aku lekas ganti pakaian dan membersihkan rumah membantu ibu. Setelah itu mandi dan shalat ashar.

Masih ada waktu luang sejenak ku gunakan untuk rehat dari aktivitas seharian ini. Aku pun melihat TV. Tapi tiba-tiba aku teringat akan perkataan dari temanku tadi. Terselip rasa sakit hati tapi juga greget untuk maju. Aku pun mengambil buku diary ku dan seperti biasa akan terselip goresan penaku disana. Selalu ini yang aku lakukan jika aku punya rasa tak tentu. Setidaknya dengan ini aku merasa sedikit lebih lega.

Dear diary,
hari ini aku semangat sekali mengawali hari. Tak ingin tersaingi sinar cerah layaknya mentari pagi. Tapi setelah aku bertemu dengan dia. Dan karena cibirannya aku merasa down. Ada rasa sakit hati juga, tapi ya sudahlah akan aku jadikan motivasi untuk jauh lebih baik lagi.
Penggugah semangatku untuk masa depanku. Goresan penaku:
RIBUAN MIMPI
Tatapan nanar menyapu seisi langit kamar
Pandangan kosong memikirkan tujuan hidup kedepan
Gelap gulita tanpa secercah cahaya
Hitam pekat tanpa goresan tinta warna
Tuhan
Haruskah aku seperti ini terus menerus
Tidak…
Tak mungkin aku terlahir tanpa tujuan hidup
Tak mungkin aku akan berdiam diri tanpa langkah
Tuhan
Apa rencanaMu untukku?
Aku yakin Engkau telah gariskan masa depanku
Dan juga langkah yang harus kutempuh
Tunggu siapa disana?
Sekilas bayangan ku tangkap dalam mataku
Sosok bayangan yang menjadi motivasiku
Sosok yang membuatku berani tuk bermimpi
Walau beribu-ribu banyaknya tanpa rasa takut
Sosok itu adalah keluargaku
Tanpanya tak berarti ku disini
Tanpanya tak ku miliki semangat juang
Keluargaku adalah motivasiku
Kini…
Kubuang gengsi
Kan ku songsong masa depanku
Kan ku kayuh ribuan mimpi
Ribuan mimpi perubah masa depanku
SW.A_Ami

Aku harus rajin belajar sungguh-sungguh dalam mencari ilmu. Aku tahu bagaimana keadaan keluargaku. Aku tahu bagaimana kerja keras yang dilakukan orangtuaku hanya untuk menyekolahkan aku dan adikku. Rasa lelah dan badan sakit semua tak pernah mereka rasakan. Tak pernah sedikit pun mereka tunjukkan pada kami. Selalu terlihat seulas senyum menghias wajah-wajah mereka tanpa mengeluh. Senyum tulus seolah tanpa adanya beban. Meski seringkali bapak lembur hanya untuk mencari tambahan uang.

Tugas yang menumpuk bagai sebuah gunung, ujian yang dulu menghantui dan semua kegiatan kelas XII telah ku lalui beberapa bulan terakhir ini. Dan tanpa kusadari lusa aku akan menghadapi UNAS.
“Ya Allah cepat sekali waktu berlalu. Serasa baru kemarin aku masuk menjadi siswi SMK dan kini hanya tinggal menghitung hari lagi aku akan melaksanakan kelulusan dan keluar dari sekolah ini.” Desahku dengan menggenggam kalender di tangan.
“Ada apa denganmu?” suara ibu membuyarkan lamunanku sesaat itu.
“Ndak pa-pa bu. Cuman sedikit takut dan khawatir untuk besok lusa.” Jawabku pelan dengan nada gemetar.
“Kenapa harus takut dan khawatir?” Tanya ibu padaku.
“Karena UNAS kan menentukan kelulusan bu. Aku takut kalau aku tidak lulus.” Jawabku lagi.
“Selama ini apa kamu malas-malasan belajar?” lagi ibu bertanya.
“Tidak juga. Aku berusaha keras belajar pagi, siang dan malam. Ibu juga tahu sendiri bagaimana usahaku.” Jelasku padanya.
“Lantas apa yang kamu takutkan? ingat kan Man Jadda Wa Jada. Barang siapa bersungguh-sungguh maka ia akan berhasil. Jadi, jika kamu kemarin belajar dengan serius semua akan memuaskan nantinya. Tetap berdoa, berusaha dan berserah diri padaNya.” Jelas ibuku dengan lembut.
“Iya bu. Terimakasih banyak. Doa kan ami ya bu untuk kelancaran dan hasilnya nanti.” Pintaku pada ibuku.
“pasti sayang doa ibu menyertaimu selalu.” Kata ibu seraya memelukku penuh hangat kasih sayang.

4 hari telah kulewati UNAS telah kulahap habis dengan susah payah. Kini aku hanya menunggu hasil pengumuman. Dag dig dug jantung terdengar begitu keras. Aku dan sahabat-sahabatku saling berpelukan satu sama lain. Satu per satu anak sudah mengetahui hasilnya. Menyebar dan semakin menyebar luas. Harap-harap cemas aku dan sahabatku semoga hasilnya sangat memuaskan.
“Selamat ya anak-anakku tercinta.” Kata wali kelasku.
“Bagaimana pak hasilnya?” Tanya anak seisi kelas serempak.
“Seperti yang bapak bilang tadi nak. Selamat kalian semua lulus dan sekolah kita lulus 100%.
“Yyyeee hhooorreee.” Sorak-sorai anak seisi bergema.
Saling memberi selamat satu sama lain, menangis bahagia dan terharu, saling berpelukan. Semuanya sujud syukur atas nikmat Allah SWT ini. Begitu juga dengan aku tiada kata syukur Alhamdulillah dan terimakasih untuk Allah SWT dan juga keluargaku terutama ibuku tercinta. Terlihat ada rasa bungah, lega dan bangga dari wajah kedua orangtuaku.

Terimakasih ya Allah untuk semuanya. Selama 3 tahun aku sekolah dengan bersepeda. Keringat bercucuran karena terik matahari. Rasa lelah capek karena selalu mengayuh sepeda setiap hari. Belajar pagi, siang dan malam hari selalu kujalani. Kini semua sudah terbayarkan. Rasa lega dan bangga akan hasil ujian kini dapat kurasakan. Rasa takut kemarin kini telah lenyap. Kerja keras dan jerih payah orangtuaku kini membuahkan hasil.

Satu mimpiku untuk lulus dengan hasil yang memuaskan dapat aku wujudkan. Tapi mimpiku tak hanya berhenti disini. Masih ada ribuan mimpi lainnya di luar sana, di depanku mataku kelak yang menunggu kehadiran putri ami.

Aku memang terlahir dari keluarga kecil yang sederhana. Keluarga yang susah buat mengingikankan sesuatu. Dan harus dengan pengorbanan penuh dalam mewujudkannya. Maka dari itu disini aku punya mimpi atau cita-cita bisa menjadi sebagai seorang Direktur Keuangan di suatu perusahaan ternama. Dimana nantinya aku dapat membahagaikan kedua orangtuaku dan keluarga lainnya. Meringankan beban kedua orangtuaku. Dan aku bisa merasakan menikmati rasanya menjadi orang yang sukses, orang yang kaya. Dan yang paling penting mengangkat derajat orangtuaku.

Satu telah ku dapatkan kini aku semakin bersemangat untuk meraih yang di depanku. Aku inginkan wujudkan semuanya. Semua mimpi dan menjadikan hobiku sebagai penunjang juga di masa depan. Meski kini aku sudah tidak mengendarai sepeda tapi akan tetap ku kayuh ribuan mimpi menuju masa depan yang gemilang. Kini aku akan menguasai ribuan mimpi-mimpi yang akan aku taklukan.

Cerpen Karangan: Sriami Wulandari
Blog: siamiwulan62.blogspot.com
Nama saya Sriami Wulandari
Saya senang menulis dan saya berharap tulisan saya ini bisa dibaca oleh semua orang disini. terima kasih 🙂