KISI-KISI UJIAN SEKOLAH 2014 TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI

Kelas VII, Semester 1

Standar Kompetensi

Kompetensi Dasar

1. Memahami penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, dan prospeknya di masa mendatang

1.1 Mengidentifikasi berbagai peralatan teknologi informasi dan komunikasi

1.2 Mendeskripsikan sejarah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dari masa lalu sampai sekarang (Sejarah Komputer dan alat hitung)

1.3 Menjelaskan peranan teknologi informasi dan komunikasi di dalam kehidupan sehari-hari (E-learning, E-commerse, Ibanking, E-Goverment, Bidang Kedokteran, dll)

1.4 Mengidentifikasi berbagai keuntungan dari penggunaan teknologi informasi dan komunikasi

1.5 Mengidentifikasi berbagai dampak negatif dari penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dan cara menghindarinya
2. Mengenal operasi dasar peralatan komputer 1.1 Mengaktifkan komputer sesuai prosedur

1.2 Mematikan komputer sesuai prosedur

1.3 Melakukan operasi dasar pada operating system dengan sistematis (Membuat folder, Mengubah nama Folder, Menggandakan folder, Memindahkan folder, Menghapus Folder)
Kelas VII, Semester 2

Standar Kompetensi

Kompetensi Dasar

Mempraktikkan keterampilan dasar komputer

2.1 Mengidentifikasi berbagai komponen perangkat keras komputer

2.2 Mengidentifikasi berbagai perangkat lunak program aplikasi

2.3 Memahami kegunaan dari beberapa program aplikasi

2.4 Mempraktikkan satu program aplikasi
Kelas VIII, Semester 1

Standar Kompetensi

Kompetensi Dasar

Menggunakan perangkat lunak pengolah kata untuk menyajikan informasi

1.1 Mengidentifikasi menu dan ikon pada perangkat lunak pengolah kata

1.2 Menjelaskan fungsi menu dan ikon pada program pengolah kata

1.3 Menggunakan menu dan ikon pokok pada perangkat lunak pengolah kata

1.4 Membuat dokumen pengolah kata sederhana
Kelas VIII, Semester 2

Standar Kompetensi

Kompetensi Dasar

Menggunakan perangkat lunak pengolah angka untuk menyajikan informasi

2.1 Mengidentifikasi menu dan ikon pada perangkat lunak pengolah angka

2.2 Menjelaskan fungsi menu dan ikon pada program pengolah angka

2.3 Menggunakan menu dan ikon pokok pada perangkat lunak pengolah angka

2.4 Membuat dokumen pengolah angka sederhana

Kelas IX , Semester 1

Standar Kompetensi

Kompetensi Dasar

Memahami dasar-dasar penggunaan Internet/intranet

1.1 Menjelaskan pengertian dasar Internet/intranet

1.2 Memahami dasar-dasar sistem jaringan di Internet/intranet

1.3 Mengenal ukuran kecepatan akses Internet

1.4 Mengidentifikasi perangkat keras yang digunakan dalam akses Internet/intranet (Via telpon rumah, GSM, CDMA, Wifi, dll)

1.5 Melakukan berbagai cara untuk memperoleh sambungan Internet/intranet

Kelas IX , Semester 2

Standar Kompetensi

Kompetensi Dasar

Menggunakan Internet untuk memperoleh informasi

2.1 Mendemonstrasikan akses internet sesuai dengan prosedur

2.2 Mengidentifikasi beberapa layanan informasi yang ada di Internet ( Email, Milis, Blog, Download, Upload, Chatting, Jejaring Sosial, Goper atau Search Enggine)

2.3 Mengakses beberapa situs untuk memperoleh informasi yang bermanfaat

Hijab Pragawati


Masa putih abu-abuku disibukkan dengan rutinitas yang menuntutku menjadi orang lain. Dituntut untuk menebar senyum kepalsuan dengan wajah topeng bak kanvas yang bisa dilukis dengan tinta-tinta yang menggores di setiap bagian wajahku demi bidikan kamera yang menurut mereka “sempurna” tapi tidak dengan helaian kain minimalis yang hanya menutupi sebagian tubuhku. Dalam suatu waktu, aku juga harus melewati panjangnya kain merah. Langkah demi langkah palsu kujalani dengan menegapkan tubuhku dan pandangan lurus ke depan untuk menjadi manekin hidup bagi hasil rancangan orang lain.

Di sekolah – Aku menjadi perhatian khalayak umum karena wajah topengku dan keindahan parasku yang kutampakkan dengan jelas terlebih bagi kaum Adam. Mereka memandangku seolah-olah aku adalah pameran berjalan yang bisa mereka pandangi dan nikmati keindahannya. Wajar, karena kain yang menutupi tubuhku hanya beberapa senti dan tubuh yang begitu kurawat. Tapi tidak dengan orang yang satu itu.

Di langkah pertama aku menginjakkan kakiku di kelas baruku, ya, kelas XII. Deg! Otot-ototku tiba-tiba saja kaku, aliran darahku membeku, dan persendianku serasa terkunci dengan jantung yang berdegup dengan begitu kencangnya. Kelopak mataku seolah enggan berkedip untuk memastikan lagi apakah itu dia. Langkahku terhenti sejenak. Ternyata itu benar dia, orang itu lagi. Dia berada satu kelas denganku. Dia yang selalu memalingkan kepalanya untuk tidak memandangku. Dia yang berbeda dari orang lain di mataku.

Tiba pada pelajaran Bahasa Indonesia – Pak guru memberi kami tugas membuat laporan dengan dua orang di setiap anggota kelompoknya. Ketika tiba saatnya pak guru mengumumkan pembagian kelompok untukku, beliau menyebutkan nama itu. Ketika suara itu mencapai gendang telingaku, mataku secara refleks menerima rangsangan itu dengan melebarkan kelopak mataku secara maksimal dan pita suaraku bergetar dan menyuarakan kata-kata milik tunawicara. “Hah? Dia?” Ya, dia. Dido Angkasa Putra. Hmm… baiklah.

Aku mencoba menyapanya dan menanyakan tentang tugas Bahasa Indonesia. Tapi selalu saja begitu. Lagi-lagi dia memalingkan kepalanya untuk tidak memandangku dan kali ini dia mengucap “Astaghfirulloh”. Seketika muncullah beberapa pertanyaan di benakku “Apakah aku sehina itu sehingga dia tidak berani memandangku? Sehina apakah aku di matanya? Sehina itukah aku hingga dia mengucapkan kalimat itu ketika hanya sedetik pun dia melihatku?”. Lantas aku bertanya kepadanya, “Kamu kenapa?”. Dia hanya menjawab, “Akan aku coba untuk menyelesaikan tugas Bahasa Indonesia sendiri saja. Jadi, kamu tidak perlu repot-repot mengerjakannya,” lalu dia melangkahkan kakinya dan berjalan menjauhiku.

Hari berikutnya aku kembali menanyakan tugas kelompok lagi kepadanya. Lagi-lagi dia memalingkan kepalanya dan mengucap “Astaghfirullah”. Sejenak dia berhenti dan melanjutkan ucapannya, “Kamu tenang saja. Tugasnya udah selesai kok. Jadi kamu nggak perlu khawatir.” Pertanyaan-pertanyaan itu masih menggelinang di kepalaku, “Tunggu!” Aku mencoba menghentikan langkahnya untuk melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab dan mengambang di otakku. “Kenapa ketika kamu sedetik pun melihatku, kamu selalu saja seketika memalingkan kepalamu dan mengucap “Astaghfirullah” seolah aku begitu hina dan begitu tidak pantas untuk dilihat? Sehina apa aku di mata kamu?” Dia menjawabnya dengan suatu pertanyaan, “Aku mau nanya sama kamu. Di tempat mana mutiara paling mudah dicuri dan yang paling sulit dicuri, yang pertama di jalan, yang kedua di halaman rumah, yang ketiga di dalam rumah, dan yang keempat di dalam brankas yang ada di dalam rumah?” Seketika pertanyaan-pertanyaan itu membuatku menyuarakan bahasa gagu itu lagi, “hah?” Lalu dia melanjutkan ucapannya lagi, “Renungkan itu!” Kemudian dia mulai melangkahkan kakinya dan pergi menjauhiku.

Berlarut-larut aku renungkan perkataannya itu. Selalu saja perkataanya itu larut dalam pikiranku. Selalu saja kata-katanya terngiang di telingaku. Berkali-kali logikaku mencoba untuk menggapainya. Tapi tetap saja begitu sulit bagiku untuk menafsirkannya. Setelah sekian lama, di suatu bunga tidurku itu aku melihat sebuah cahaya terang. Kucoba untuk menghampiri cahaya itu. Kukejar cahaya itu hingga akhirnya aku berada di sebuah tempat. Di tempat itu aku melihat hal yang begitu membuatku kaku dan tak bisa ucapkan sepatah katapun. Jadi, itulah gambaran bagaimana balasan bagi perempuan yang tidak mau menjaga dan menutupi mutiaranya. Mereka berteriakan dan merintih tapi tak ada yang bisa menolong. Mereka terbakar panasnya api tapi tak ada yang bisa menyejukkan. Mereka merasakan dahaga tapi yang ada hanyalah air mendidih.

Tiba-tiba aku terbangun dari bunga tidurku. Ketika aku mulai membuka kelopak mataku, kulihat bayang-bayang seseorang di sampingku. Ternyata itu mama yang tidur dan duduk di sebelah ranjangku serta memegangi tanganku. Kulihat bekas aliran air mata di pipi indah mama yang masih basah. Kucoba kugerakkan tanganku. Kucoba meraih pipi mama dan menghapus air mata mama. Kulihat selang infuse menjuntai dan menempel di tanganku. Kurasakan pula hembusan segar oksigen di kedua lubang hidungku. Mama terbangun. Sebuah senyuman tercipta dari bibir indah mama.
“Kamu sudah bangun sayang?” kata mama.
“A-aku di mana ma?” tanyaku lirih.
“Kamu di rumah sakit, nak. Sudah dua bulan ini kamu koma.” Jawab mama.
Aku dalam kebingungan dan aku menggaruk-garuk kepalaku. Akan tetapi, “Ma, mama, ke mana rambutku? Ke mana ma?” tanyaku seraya menitihkan air mata. Mama pun mulai menitikan air matanya pula.
“Ma, ke mana ma, ke mana rambutku?” Tanyaku mendesak.
“Ka.. kamu… rambutmu… rontok akibat kemo terapi, nak.” Semakin deras air mataku mengalir ketika ucapan mama itu melewati gendang telingaku.
“Memangnya aku kenapa ma?”
“Ka… Kamu… Waktu itu kamu tiba-tiba saja jatuh pingsan dan mama langsung membawamu ke rumah sakit.”
“Emang aku sakit apa ma?”
“Ka… Kamu… Kamu mengidap kanker pencernaan.” Jawab mama dengan terisak-isak.
“Apa ma?” Semakin deras air mata ini mengalir keluar dari sudut mataku.
“Ma, tinggalin aku sendiri dulu. Aku ingin menenangkan diriku dulu ma.” Pintaku. Mama hanya menganggukkan kepalanya seraya pergi meninggalkan ruangan itu. kulihat di sana mama yang begitu berat memutar engsel pintu dan terus menoleh ke arahku.

Selalu hadir di pikiranku tentang bunga dari tidurku itu. Aku takut aku menjadi seperti mereka yang begitu tersiksa karena tak mau menutup dan menjaga mutiaranya. Oh… hey… tunggu! Aku jadi teringat dengan ucapan Dido waktu itu. Goresan kata-katanya belum sirna dan masih membekas benar dalam memoriku. Kini aku mengerti tentang kata-katanya itu sekarang. Makna yang dapat kutafsirkan adalah: tempat di mana menyimpan mutiara itu adalah gambaran tingkatan seberapa kita menutup aurat kita. Semakin kita tutupi, maka semakin terjaga keamanannya.

Setengah tahun sisa waktu belajarku di masa putih abu-abu. Setengah tahun pula dokter memvonis sisa waktu hidupku. Selalu hadir dalam memoriku ucapan Dido. Selalu melekat pula kejadian yang ada dalam bunga tidurku. Aku tidak ingin di sisa waktuku ini aku menyia-nyiakannya dengan melakukan hal-hal yang tidak berguna. Dan karena itu pula aku mulai menggelarkan kain kerudung ke atas kepalaku. Aku ingin di sisa waktuku ini aku melakukan sesuatu yang lebih baik dan menjadi orang yang lebih baik pula.

Teruntuk: Akhi Dido
Assalamu’alaikum,
Ya akhi yang disana. Semoga engkau selalu dalam lindungan Alloh SWT. Amin. Bagaimana kabarmu di sana? Semoga dalam keadaan sehat wal’afiat ya akhi. Dengan pena yang tergores pada secarik kertas ini, aku ingin mengucapkan terima kasih kepadamu ya akhi. Karena kamu mengubah diriku, mengubah hidupku, membuat hidupku lebih berarti. Karena kamu, akhirnya aku memutuskan untuk menutup auratku rapat-rapat. Karena kamu, akhirnya aku menggelarkan kain kerudung ini ke kepalaku. Ya, kini aku telah mengerti sekarang maksud dari perkataanmu.
“Di tempat mana mutiara paling mudah dicuri dan yang paling sulit dicuri, yang pertama di jalan, yang kedua di halaman rumah, yang ketiga di dalam rumah, dan yang keempat di dalam brankas yang ada di dalam rumah?”
Kata-katamu itu masih dan selalu menggores indah di dalam memoriku. Aku mengerti sekarang. Makna yang dapat kutafsirkan adalah: “Tempat di mana menyimpan mutiara itu adalah gambaran tingkatan seberapa kita menutup aurat kita. Semakin kita tutupi, maka semakin terjaga keamanannya.”
Entahlah, itu hanya tafsiranku yang hanya bersifat subjektif. Entah benar atau tidak aku dalam menafsirkan ucapanmu itu. Yang jelas, ucapanmu itu mampu mengubahku. Kamu memang adalah ikhwan terpilih yang Alloh kirimkan untuk mengubahku, memperbaiki akhlakku. Lewat kamu Alloh mungkin menitipkan hidayah-Nya agar aku bisa menutupi mutiara ini agar tetap aman dan terjaga dari pandangan orang lain apalagi ikhwan yang bukan muhrimnya. Terima kasih kamu sudah menjadi ikhwan yang selalu menggoreskan warna pencerah di setiap memoriku. Terima kasih telah menggoreskan tinta akan kata-kata kebajikan di dalam memori dan juga… terima kasih telah menggoreskan namamu di segumpal darah yang kupunya ini. Terima kasih karena kamu telah mengisi kehampaan relung batinku ini dengan ucapan-ucapanmu yang bak kilauan mutiara itu. Terima kasih atas semuanya ya akhi.
Ya akhi, di sisa akhir hidupku ini, aku ingin engkau tahu bahwa
Kamu adalah bintang yang selalu hadir dalam gelapnya malam
Kamu adalah bintang jatuh yang selalu aku tunggu di antara kerlipan-kerlipan bintang yang lain
Kamu adalah tinta yang selalu menggoreskan kuasnya dengan warna-warna indah dan menyejukkan batinku
Kamu adalah secarik kertas tempatku menggoreskan kata-kata yang muncul dalam memoriku
Dan kamu adalah bunga dari tidurku
Ya akhi, kuingin engkau tahu bahwa kau kan selalu ada dan menjadi bagian dari memoriku hingga akhir hayatku.
Wassalamu’alaikum wr.wb.

TTD
Akhwat yang selalu menjadikanmu bintang

Diary, bersamamu, aku sertakan secarik kertasku untuknya. Aku ingin dia mengerti, memahami, dan tahu bagaimana isi hatiku terhadapnya. Aku ingin dia tahu bagaimana teristimewanya dia di dalam relung batinku. Akan kuserahkan dirimu kepadanya lewat mama. Ini adalah goresan-goresan terakhirku dalam menuangkan tinta kehidupanku padamu. Mulai besok, kamu akan menjadi milik Dido. Selamat tinggal diary dan… selamat tinggal dunia

Cerpen Karangan: Anis Afiyati
Blog: pengagumkerlipanbintang1st.blogspot.com

Rembulan di Kolong Langit


Gadis muda itu menatap dinding penyangga rel kereta antara stasiun Juanda dan stasiun Mangga Besar. Dinding yang bergambarkan anak-anak yang sedang belajar. Sederet kalimat tertulis di atasnya. ‘Dengan membaca menjadi cerdas’. Di sisi lain dinding berhiaskan gambar dan tulisan yang berbeda. ‘Sekolah, gerbang kehidupan yang lebih baik’. Senyum terukir di bibirnya yang indah, matanya sedikit berkabut. Angannya memaksanya menapaki jejak-jejak kehidupan yang tak mudah terlupakan. Kehidupan di kolong rel kereta.

“Aira, bangun sayang,” ujar bapaknya lembut. “Cepet mandi ya, terus sholat.” Setiap pukul setengah lima pagi, dengan setia bapaknya akan membangunkannya. Ibu sudah terlebih dulu sibuk membuat kue-kue yang sebagian akan dititipkan pada warung dekat rumah dan sebagian dijajakanya sendiri saat Aira tengah berada di sekolah.

Aira menggeliat malas, lalu bangkit dan merapikan tempat tidurnya yang hanya berupa selembar tikar pandan dan kasur bekas yang sangat tipis sekedar punggungnya tak menempel langsung dengan lantai. Ia lalu keluar ruangan yang merupakan rumahnya. ‘Rumah’ baginya adalah sebuah ruang persegi berukuran 3x3m yang terbuat dari triplek, menempel pada dinding pagar lahan milik PT KAI dekat stasiun Juanda. Atapnya terbuat dari terpal yang sudah ditambal di beberapa bagian. Tak ada sekat di dalamnya. Hanya ada sebuah lemari alakadarnya tanpa pintu (jika itu masih pantas disebut lemari) untuk tempat menyimpan baju-baju. Lalu sebuah tikar dan kasur tipis kumal tempatnya tidur, sebuah tikar lagi tempat bapak ayah dan ibunya tidur. Di sudut ruangan itu terlihat beberapa buku-buku dan peralatan sekolah Aira. Bertiga mereka menempati ruangan itu.

Ibunya biasa memasak di samping rumah mereka. Kamar mandi mereka adalah kamar mandi darurat yang dipakai bersama-sama dengan beberapa penghuni rumah-rumah liar disana. Jangan harap ada bak mandi yang bersih dengan pancuran yang sejuk atau bahkan bisa disetel untuk air panas. Kamar mandi itu hanya terbuat dari kain rombeng dirangkap plastik bening yang ditata sedemikian rupa sehingga menutupi orang yang sedang mandi di dalamnya. Tak ada bak mandi, hanya sebuah kran dan gayung untuk meratakan air. Lantainya terbuat dari batu kerikil yang ditaburkan agar tak menimbulkan becek jika terkena guyuran air mandi. Airnya mengalir ke selokan yang memanjang sepanjang tiang penopang rel kereta. Peralatan mandi dibawa masing-masing oleh orang yang akan mandi disitu. Setiap hari, sekitar 15 orang yang memanfaatkan ‘kamar mandi’ itu.

Aira segera mengambil peralatan mandinya dan melupakan dinginnya pagi itu agar segera mendapat giliran mandi sebelum para penghuni lain mulai mengantri. Ia juga harus segera bersiap untuk pergi sekolah yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya. Bapaknya akan mengantarnya ke sekolah berjalan kaki sambil mencari barang-barang bekas yang masih bisa dimanfaatkan. Ya, bapaknya memang seorang pemulung.

Keluarga Aira mulai menghuni tempat itu sejak Aira berusia 1,5 tahun. Sebelumnya mereka tinggal di sebuah kampung di Jawa Timur. Bapak Aira termasuk salah satu orang kampung yang terpedaya magnet kota Jakarta. Berbekal tekad dan sedikit uang, bapak dan ibunya membawa Aira yang baru bisa berjalan, mengadu nasib di belantara Ibukota. Sayang nasib tak berpihak pada mereka, setelah lontang-lantung dan bekerja serabutan selama beberapa waktu, keluarga Aira akhirnya tak bisa lagi mengontrak sebuah rumah yang paling kecil sekalipun. Mereka hanya bisa membuat rumah alakadarnya dari triplek dan kayu bekas. Bapaknya menjadi pemulung dan ibunya menjajakan kue-kue buatan sendiri. Tapi keadaan mereka tak menyurutkan semangat bapak Aira untuk menyekolahkannya. Ibunya pernah mengeluhkan pada bapak tentang beratnya menyisihkan uang untuk membeli buku-buku Aira. Tapi bapaknya tak mau Aira sampai keluar dari sekolah. Aira yang beranjak menjadi gadis kecil yang cantik dan cerdas.

“Apa kau ingin, Aira menjadi seperti kita, bu, atau seperti si Luluk yang kelayapan di malam hari mencari om om senang?” kata bapaknya setiap ibunya mulai mengeluh. “Tidak. Aira adalah putri kecilku yang cantik dan cerdas. Aku tak mau ia menanggung derita akibat kesalahan orang tuanya. Seberat apapun aku akan menjadikannya keluar dari lingkaran kumuh ini. Dan aku yakin, sekolah adalah cara yang terbaik untuk itu.”

Sejak itu ibunya tak lagi mempertanyakan kenapa harus memaksakan Aira untuk sekolah. Ia hanya bisa bekerja lebih keras membuat kue-kue untuk dijajakan. Kawan-kawan bapaknya suka meledeknya, kenapa bersemangat sekali sekolah, sementara teman-teman sebayanya sibuk mengamen, mengemis atau bahkan menjajakan diri. Aira hanya tersenyum, atau sesekali menjawab singkat, “Aku ingin meraih rembulan.” Biasanya mereka kan menertawakannya, tapi ia tak peduli.
Pada malam-malam purnama, bapak selalu mengajaknya ke sebuah tempat yang keramat bagi mereka berdua. Berdiri di depan dinding tiang penyangga rel kereta yang bergambarkan anak sekolah dan bertuliskan ‘Sekolah, gerbang kehidupan yang lebih baik.’ Lalu memandang purnama yang terang di langit malam dan berkata, “Aira anakku, kamu memang hanya anak seorang pemulung. Tapi, rembulan itu tak pernah pilih kasih memberikan sinarnya, menunggu manusia-manusia untuk meraihnya. Jangan sekali-kali kau takut untuk meraihnya. Rembulan tak setinggi langit, Aira. Kau pasti bisa. Bapak dan ibu akan membantumu sekuat tenaga.”
“Bapak yakin aku akan bisa?”
“Dengan doa dan usaha yang keras, bapak sangat yakin kau bisa.”
Begitulah, setiap purnama, bapak memompakan semangat untuk terus maju.
“Kalau sekolah memang bisa membawa kita pada kemajuan, lalu mengapa mereka tak mau sekolah, pak?”
“Karena mereka tak bisa melihat rembulan.”
Aira tak mengerti maksud perkataan bapak, tapi ia sangat yakin apa yang dikatakan bapak benar. Ia sangat bangga memiliki bapak sepertinya. Karena itu Aira belajar lebih keras meski dengan sarana seadanya. SPP memang sudah tak perlu bayar lagi, tapi kebutuhan sekolah lainnya tetap pelu diperjuangkan. Buku-buku pelajaran tak semua bisa dibeli dengan dana BOS, buku tulis, seragam, sepatu, dan tas sekolah tetap memerlukan biaya yang tak sedikit bagi keluarga Aira. Beruntung Aira anak yang mau menerima keadaan. Seragam kumal, sepatu yang harus ditambal berulang kali, atau buku yang terpaksa harus pinjam temannya dan buku tulis yang harus ia hemat sedemikian rupa tak menyurutkan ia belajar dan bersaing dengan teman-teman lainnya.

Sesekali Aira sangat senang ketika di antara gurunya memberikan tas, seragam, atau peralatan sekolah sekedarnya. Aira memang menjadi kesayangan gurunya. Kondisinya yang kekuranyan tak membuat ia menjadi tertinggal. Kecerdasan otaknya mungkin bukan yang terbaik di sekolahnya, tapi Aira anak yang pintar bergaul dan tekun. Paling tidak ranking sepuluh besar selalu ia genggam. Ia pun ringan tangan membantu teman-temannya dalam segala hal.

Beberapa temannya ada pula yang tak suka dengannya karena iri. Tapi Aira tetap menghormati mereka meski sering kali diganggu mereka.

Suatu hari, sepulang sekolah, bapak mengajak Aira ke sebuah tempat. Universitas. Mereka berdiri di depan universitas tersebut cukup lama. Bapak memandangi bangunan dan mahasiswa yang lalu lalang keluar masuk. Aira tak mengerti mengapa bapak mengajaknya kesana.
“Pak, mengapa bapak mengajakku kesini?”
“Kau lihat bangunan itu Aira?” Aira mengangguk.
“Itu adalah gedung yang akan mencetak orang-orang pintar.”
“Bagaimana Bapak tahu?”
“Itu namanya universitas. Dan kau lihat mereka yang keluar masuk gedung itu? Mereka itu calon-calon orang pintar. Kau mau seperti mereka?”
“Pasti aku sangat ingin. Tapi biayanya pasti mahal, pak.”
Binar mata Bapak tak sedikit pun meredup oleh pertanyaan Aira.
“Kita pasti bisa. Kau pasti bisa.”
“Bagaimana caranya, Pak?”
“Aku tak tahu bagaimana, tapi bapak yakin impian bapak itu akan menjadi nyata. Bapak selalu berdoa untukmu.”

Tiba-tiba percakapan mereka terganggu oleh kedatangan seorang satpam unversitas itu. Mungkin ia curiga melihat seorang pemulung dan anak kecil berseragam sekolah dasar sejak tadi memandangi bangunan universitas.
“Sedang mencari apa pak?”
“Oh tidak ada, pak. Saya sedang membangun mimpi buat anak saya. Suatu saat anak saya akan bisa bersekolah di sini.”
Satpam itu terheran-heran dan tersenyum geli.
Ini orang, mimpinya nggak kira-kira ya.
“Ya, sudah jangan menghalangi mahasiswa yang mau lewat ya.”
“Terima kasih pak, kami sudah selesai. Mari!”
“Ya, mari.”

Mereka lalu beristirahat sejenak di bawah pohon di pinggir jalan sambil minum air bekal dari rumah.
“Aira, kau mau berjanji pada bapak?”
“Ya, Pak.”
“Berjanjilah kau akan bisa seperti mereka.”
“Tapi, Pak…”
“Yakinlah, ini bukan sekedar mimpi. Kau pasti bisa. Selama Bapak masih hidup bapak akan berjuang sekuatnya agar kau bisa meraihnya.”
“Ya, pak.”
“Pun bila Bapak tak lagi bisa mendampingimu, berjanjilah kau akan terus berjuang meraihnya.”
“Pak…”
“Berjanjilah..!”
“Aira janji, Pak.” Kedua anak beranak itu tersenyum. Langit bergetar mendengar harapan tulus mereka, berjanji menyampaikannya pada Penguasa Semesta.

Mereka lalu pulang bergandengan tangan. Bapak adalah tokoh idola Aira. Disaat bapak-bapak yang lain membiarkan anak-anaknya mengamen, mengemis, atau bahkan mencopet dan menjajakan diri, Bapaknya malah menyuruhnya sekolah. Sebentar lagi Aira lulus SD dan ia tak tahu apa bisa melanjutkan sekolah ke SMP.

Malam itu Aira membenamkan di kepalanya sebuah tujuan, sekolah setinggi mungkin untuk meraih rembulan. Apapun, bagaimanapun caranya.

Hari itu, Aira terlambat pulang sekolah. Gurunya memintanya membantu mempersiapkan acara yang akan diadakan oleh sekolahnya esok hari. Aira yang sudah kelas 3 SMA telah menjelma menjadi seorang gadis yang cantik, bersih, dengan mata beningnya yang kelihatan penuh optimisme. Hari sudah menjelang malam. Aira berjalan sendiri melewati sepanjang rel kereta. Bapak sudah tidak menjemputnya seperti ketika masih SD dan SMP. Adzan Magrib baru selesai berkumandang. Namun pemandangan sepanjang jalan ke rumahnya membuat berdiri bulu kuduknya. Selama ini Aira tidak pernah diizinkan bapak untuk keluar malam. Selama ini Aira sudah sering mendengar selentingan tentang aktifitas malam hari perempuan-perempuan tetangganya, tapi baru kali ini Aira melihat sendiri.

Aira makin mempercepat langkahnya ketika merasa ada orang yang mengikutinya dari belakang. Mulutnya tak berhenti komat-kamit meminta pertolongan pada Tuhan. Langkah-langkah yang mengikutinya kian mendekat.
“Jangan cepat-cepat, Neng! Mari kita bersenang-senang dulu bersama akang,” kata salah seorang yang mengikutinya. Aira hampir berlari ketika di sebuah belokan yang gelap, sebuah tangan yang kokoh menariknya. Aira nyaris menjerit ketika kemudian ia mengenali orang tersebut.
“Bapak!”
“Kau diam di sini. Biar bapak beri pelajaran dia.”
“Jangan, Pak. Aira takut.”
“Kalau terjadi apa-apa dengan bapak, jangan pedulikan bapak. Larilah dan berteriak sekencang-kencangnya mencari pertolongan. Satu lagi, berjanjilah kau akan terus sekolah apapun yang terjadi.”
“Pak…” Aira tercekat. Ia sangat khawatir dengan bapaknya.

Bapak lalu menghadapi dua orang pemuda yang sedang mabuk itu.
“Berani sekali kau mengganggu anakku.”
“Ha ha ha. Memangnya kau siapa? Anakmu itu gadis yang cantik. Akan berguna bagimu jika kau jual pada kami… hua ha ha ha…”
Aira bergidik mendengar tawa itu.
“Sudah, jangan banyak omong. Mana perempuan itu?” kata lelaki yang satunya mencoba mencari Aira yang bersembunyi dalam gelap. Bapak mencoba menghalangi, namun sebuah tendangan tiba-tiba menghantam kakinya. Baku hantam pun terjadi beberapa saat. Merasa terdesak, bapak berteriak menyuruh Aira lari minta pertolongan. Aira sangat ketakutan tapi ia juga tak tega meninggalkan bapak dikeroyok preman-preman itu. Sampai sebuah benda mengkilat berkelebat menusuk perut bapak. Darah langsung mengucur dengan deras. Aira yang sejak tadi mengintip dalam gelap, menjerit.
“Lari, Aira!” pelan suara Bapak berusaha memperingatkan Aira. Antara khawatir keselamatan bapak, Aira berlari sekencang-kencangnya sambil berteriak kesetanan.

Aira memeluk ibunya erat. Menatap pusara bapak yang mulai sepi ditinggalkan para pelayatnya. Segalanya tak lagi sama. Bapak tak tertolong setelah seminggu dirawat di rumah sakit. Aira dan ibunya terpaksa pindah rumah demi keselamatan mereka. Meskipun dua orang penyerang bapak telah ditangkap, mereka khawatir suatu saat akan balas dendam. Beruntung, ada seorang polisi yang baik hati, mau memberi mereka bantuan agar bisa mengontrak rumah sederhana. Aira dan ibu memulai hidup baru berdua. Ibunya tetap berjualan kue, sementara ia mencoba memberikan les kepada anak-anak di sekitarnya. Dengan segala kesederhanaan, ia bisa melanjutkan kuliah. Di benaknya hanya ada belajar dan belajar. Prestasinya sangat cemerlang dan berhasil menjadi asisten dosen. Sekarang ia benar-benar menjadi dosen di sebuah universitas ternama. Kehidupannya semakin membaik. Ibunya sudah berhenti berjualan.

Setelah segala yang diraihnya, Aira sangat merindukan bapak dan tiba-tiba ia ingin mengenang bapak dengan mengunjungi tempat tinggal mereka dulu. Semua telah berubah, rumah-rumah kardus dan kayu bekas telah sirna. Lukisan itu masih ada meski telah mulai samar. Beberapa bahkan telah diganti lukisan dan tulisan baru.

Aira menghentikan mobilnya dekat tempat dimana dulu ia biasa mandi. Sekarang tempat itu telah bersih. Semenjak kejadian pembunuhan bapak, tempat itu di bersihkan oleh aparat dari segala aktifitas pemukiman liar. Rumah-rumah kardus habis diobrak-abrik dan dibakar.

Kini Aira berdiri di tempat keramatnya bersama bapaknya dulu. Rembulan telah diraihnya, meski tanpa bapak. Tapi tanpa pengorbanan bapak, semuanya tak mungkin bisa.

Akhir Juni 2011

Cerpen Karangan: Nurlaela A. Awalimah
Blog: mutiaramutiaraku.wordpress.com

 

Gadis muda itu menatap dinding penyangga rel kereta antara stasiun Juanda dan stasiun Mangga Besar. Dinding yang bergambarkan anak-anak yang sedang belajar. Sederet kalimat tertulis di atasnya. ‘Dengan membaca menjadi cerdas’. Di sisi lain dinding berhiaskan gambar dan tulisan yang berbeda. ‘Sekolah, gerbang kehidupan yang lebih baik’. Senyum terukir di bibirnya yang indah, matanya sedikit berkabut. Angannya memaksanya menapaki jejak-jejak kehidupan yang tak mudah terlupakan. Kehidupan di kolong rel kereta.

“Aira, bangun sayang,” ujar bapaknya lembut. “Cepet mandi ya, terus sholat.” Setiap pukul setengah lima pagi, dengan setia bapaknya akan membangunkannya. Ibu sudah terlebih dulu sibuk membuat kue-kue yang sebagian akan dititipkan pada warung dekat rumah dan sebagian dijajakanya sendiri saat Aira tengah berada di sekolah.

Aira menggeliat malas, lalu bangkit dan merapikan tempat tidurnya yang hanya berupa selembar tikar pandan dan kasur bekas yang sangat tipis sekedar punggungnya tak menempel langsung dengan lantai. Ia lalu keluar ruangan yang merupakan rumahnya. ‘Rumah’ baginya adalah sebuah ruang persegi berukuran 3x3m yang terbuat dari triplek, menempel pada dinding pagar lahan milik PT KAI dekat stasiun Juanda. Atapnya terbuat dari terpal yang sudah ditambal di beberapa bagian. Tak ada sekat di dalamnya. Hanya ada sebuah lemari alakadarnya tanpa pintu (jika itu masih pantas disebut lemari) untuk tempat menyimpan baju-baju. Lalu sebuah tikar dan kasur tipis kumal tempatnya tidur, sebuah tikar lagi tempat bapak ayah dan ibunya tidur. Di sudut ruangan itu terlihat beberapa buku-buku dan peralatan sekolah Aira. Bertiga mereka menempati ruangan itu.

Ibunya biasa memasak di samping rumah mereka. Kamar mandi mereka adalah kamar mandi darurat yang dipakai bersama-sama dengan beberapa penghuni rumah-rumah liar disana. Jangan harap ada bak mandi yang bersih dengan pancuran yang sejuk atau bahkan bisa disetel untuk air panas. Kamar mandi itu hanya terbuat dari kain rombeng dirangkap plastik bening yang ditata sedemikian rupa sehingga menutupi orang yang sedang mandi di dalamnya. Tak ada bak mandi, hanya sebuah kran dan gayung untuk meratakan air. Lantainya terbuat dari batu kerikil yang ditaburkan agar tak menimbulkan becek jika terkena guyuran air mandi. Airnya mengalir ke selokan yang memanjang sepanjang tiang penopang rel kereta. Peralatan mandi dibawa masing-masing oleh orang yang akan mandi disitu. Setiap hari, sekitar 15 orang yang memanfaatkan ‘kamar mandi’ itu.

Aira segera mengambil peralatan mandinya dan melupakan dinginnya pagi itu agar segera mendapat giliran mandi sebelum para penghuni lain mulai mengantri. Ia juga harus segera bersiap untuk pergi sekolah yang berjarak sekitar satu kilometer dari rumahnya. Bapaknya akan mengantarnya ke sekolah berjalan kaki sambil mencari barang-barang bekas yang masih bisa dimanfaatkan. Ya, bapaknya memang seorang pemulung.

Keluarga Aira mulai menghuni tempat itu sejak Aira berusia 1,5 tahun. Sebelumnya mereka tinggal di sebuah kampung di Jawa Timur. Bapak Aira termasuk salah satu orang kampung yang terpedaya magnet kota Jakarta. Berbekal tekad dan sedikit uang, bapak dan ibunya membawa Aira yang baru bisa berjalan, mengadu nasib di belantara Ibukota. Sayang nasib tak berpihak pada mereka, setelah lontang-lantung dan bekerja serabutan selama beberapa waktu, keluarga Aira akhirnya tak bisa lagi mengontrak sebuah rumah yang paling kecil sekalipun. Mereka hanya bisa membuat rumah alakadarnya dari triplek dan kayu bekas. Bapaknya menjadi pemulung dan ibunya menjajakan kue-kue buatan sendiri. Tapi keadaan mereka tak menyurutkan semangat bapak Aira untuk menyekolahkannya. Ibunya pernah mengeluhkan pada bapak tentang beratnya menyisihkan uang untuk membeli buku-buku Aira. Tapi bapaknya tak mau Aira sampai keluar dari sekolah. Aira yang beranjak menjadi gadis kecil yang cantik dan cerdas.

“Apa kau ingin, Aira menjadi seperti kita, bu, atau seperti si Luluk yang kelayapan di malam hari mencari om om senang?” kata bapaknya setiap ibunya mulai mengeluh. “Tidak. Aira adalah putri kecilku yang cantik dan cerdas. Aku tak mau ia menanggung derita akibat kesalahan orang tuanya. Seberat apapun aku akan menjadikannya keluar dari lingkaran kumuh ini. Dan aku yakin, sekolah adalah cara yang terbaik untuk itu.”

Sejak itu ibunya tak lagi mempertanyakan kenapa harus memaksakan Aira untuk sekolah. Ia hanya bisa bekerja lebih keras membuat kue-kue untuk dijajakan. Kawan-kawan bapaknya suka meledeknya, kenapa bersemangat sekali sekolah, sementara teman-teman sebayanya sibuk mengamen, mengemis atau bahkan menjajakan diri. Aira hanya tersenyum, atau sesekali menjawab singkat, “Aku ingin meraih rembulan.” Biasanya mereka kan menertawakannya, tapi ia tak peduli.
Pada malam-malam purnama, bapak selalu mengajaknya ke sebuah tempat yang keramat bagi mereka berdua. Berdiri di depan dinding tiang penyangga rel kereta yang bergambarkan anak sekolah dan bertuliskan ‘Sekolah, gerbang kehidupan yang lebih baik.’ Lalu memandang purnama yang terang di langit malam dan berkata, “Aira anakku, kamu memang hanya anak seorang pemulung. Tapi, rembulan itu tak pernah pilih kasih memberikan sinarnya, menunggu manusia-manusia untuk meraihnya. Jangan sekali-kali kau takut untuk meraihnya. Rembulan tak setinggi langit, Aira. Kau pasti bisa. Bapak dan ibu akan membantumu sekuat tenaga.”
“Bapak yakin aku akan bisa?”
“Dengan doa dan usaha yang keras, bapak sangat yakin kau bisa.”
Begitulah, setiap purnama, bapak memompakan semangat untuk terus maju.
“Kalau sekolah memang bisa membawa kita pada kemajuan, lalu mengapa mereka tak mau sekolah, pak?”
“Karena mereka tak bisa melihat rembulan.”
Aira tak mengerti maksud perkataan bapak, tapi ia sangat yakin apa yang dikatakan bapak benar. Ia sangat bangga memiliki bapak sepertinya. Karena itu Aira belajar lebih keras meski dengan sarana seadanya. SPP memang sudah tak perlu bayar lagi, tapi kebutuhan sekolah lainnya tetap pelu diperjuangkan. Buku-buku pelajaran tak semua bisa dibeli dengan dana BOS, buku tulis, seragam, sepatu, dan tas sekolah tetap memerlukan biaya yang tak sedikit bagi keluarga Aira. Beruntung Aira anak yang mau menerima keadaan. Seragam kumal, sepatu yang harus ditambal berulang kali, atau buku yang terpaksa harus pinjam temannya dan buku tulis yang harus ia hemat sedemikian rupa tak menyurutkan ia belajar dan bersaing dengan teman-teman lainnya.

Sesekali Aira sangat senang ketika di antara gurunya memberikan tas, seragam, atau peralatan sekolah sekedarnya. Aira memang menjadi kesayangan gurunya. Kondisinya yang kekuranyan tak membuat ia menjadi tertinggal. Kecerdasan otaknya mungkin bukan yang terbaik di sekolahnya, tapi Aira anak yang pintar bergaul dan tekun. Paling tidak ranking sepuluh besar selalu ia genggam. Ia pun ringan tangan membantu teman-temannya dalam segala hal.

Beberapa temannya ada pula yang tak suka dengannya karena iri. Tapi Aira tetap menghormati mereka meski sering kali diganggu mereka.

Suatu hari, sepulang sekolah, bapak mengajak Aira ke sebuah tempat. Universitas. Mereka berdiri di depan universitas tersebut cukup lama. Bapak memandangi bangunan dan mahasiswa yang lalu lalang keluar masuk. Aira tak mengerti mengapa bapak mengajaknya kesana.
“Pak, mengapa bapak mengajakku kesini?”
“Kau lihat bangunan itu Aira?” Aira mengangguk.
“Itu adalah gedung yang akan mencetak orang-orang pintar.”
“Bagaimana Bapak tahu?”
“Itu namanya universitas. Dan kau lihat mereka yang keluar masuk gedung itu? Mereka itu calon-calon orang pintar. Kau mau seperti mereka?”
“Pasti aku sangat ingin. Tapi biayanya pasti mahal, pak.”
Binar mata Bapak tak sedikit pun meredup oleh pertanyaan Aira.
“Kita pasti bisa. Kau pasti bisa.”
“Bagaimana caranya, Pak?”
“Aku tak tahu bagaimana, tapi bapak yakin impian bapak itu akan menjadi nyata. Bapak selalu berdoa untukmu.”

Tiba-tiba percakapan mereka terganggu oleh kedatangan seorang satpam unversitas itu. Mungkin ia curiga melihat seorang pemulung dan anak kecil berseragam sekolah dasar sejak tadi memandangi bangunan universitas.
“Sedang mencari apa pak?”
“Oh tidak ada, pak. Saya sedang membangun mimpi buat anak saya. Suatu saat anak saya akan bisa bersekolah di sini.”
Satpam itu terheran-heran dan tersenyum geli.
Ini orang, mimpinya nggak kira-kira ya.
“Ya, sudah jangan menghalangi mahasiswa yang mau lewat ya.”
“Terima kasih pak, kami sudah selesai. Mari!”
“Ya, mari.”

Mereka lalu beristirahat sejenak di bawah pohon di pinggir jalan sambil minum air bekal dari rumah.
“Aira, kau mau berjanji pada bapak?”
“Ya, Pak.”
“Berjanjilah kau akan bisa seperti mereka.”
“Tapi, Pak…”
“Yakinlah, ini bukan sekedar mimpi. Kau pasti bisa. Selama Bapak masih hidup bapak akan berjuang sekuatnya agar kau bisa meraihnya.”
“Ya, pak.”
“Pun bila Bapak tak lagi bisa mendampingimu, berjanjilah kau akan terus berjuang meraihnya.”
“Pak…”
“Berjanjilah..!”
“Aira janji, Pak.” Kedua anak beranak itu tersenyum. Langit bergetar mendengar harapan tulus mereka, berjanji menyampaikannya pada Penguasa Semesta.

Mereka lalu pulang bergandengan tangan. Bapak adalah tokoh idola Aira. Disaat bapak-bapak yang lain membiarkan anak-anaknya mengamen, mengemis, atau bahkan mencopet dan menjajakan diri, Bapaknya malah menyuruhnya sekolah. Sebentar lagi Aira lulus SD dan ia tak tahu apa bisa melanjutkan sekolah ke SMP.

Malam itu Aira membenamkan di kepalanya sebuah tujuan, sekolah setinggi mungkin untuk meraih rembulan. Apapun, bagaimanapun caranya.

Hari itu, Aira terlambat pulang sekolah. Gurunya memintanya membantu mempersiapkan acara yang akan diadakan oleh sekolahnya esok hari. Aira yang sudah kelas 3 SMA telah menjelma menjadi seorang gadis yang cantik, bersih, dengan mata beningnya yang kelihatan penuh optimisme. Hari sudah menjelang malam. Aira berjalan sendiri melewati sepanjang rel kereta. Bapak sudah tidak menjemputnya seperti ketika masih SD dan SMP. Adzan Magrib baru selesai berkumandang. Namun pemandangan sepanjang jalan ke rumahnya membuat berdiri bulu kuduknya. Selama ini Aira tidak pernah diizinkan bapak untuk keluar malam. Selama ini Aira sudah sering mendengar selentingan tentang aktifitas malam hari perempuan-perempuan tetangganya, tapi baru kali ini Aira melihat sendiri.

Aira makin mempercepat langkahnya ketika merasa ada orang yang mengikutinya dari belakang. Mulutnya tak berhenti komat-kamit meminta pertolongan pada Tuhan. Langkah-langkah yang mengikutinya kian mendekat.
“Jangan cepat-cepat, Neng! Mari kita bersenang-senang dulu bersama akang,” kata salah seorang yang mengikutinya. Aira hampir berlari ketika di sebuah belokan yang gelap, sebuah tangan yang kokoh menariknya. Aira nyaris menjerit ketika kemudian ia mengenali orang tersebut.
“Bapak!”
“Kau diam di sini. Biar bapak beri pelajaran dia.”
“Jangan, Pak. Aira takut.”
“Kalau terjadi apa-apa dengan bapak, jangan pedulikan bapak. Larilah dan berteriak sekencang-kencangnya mencari pertolongan. Satu lagi, berjanjilah kau akan terus sekolah apapun yang terjadi.”
“Pak…” Aira tercekat. Ia sangat khawatir dengan bapaknya.

Bapak lalu menghadapi dua orang pemuda yang sedang mabuk itu.
“Berani sekali kau mengganggu anakku.”
“Ha ha ha. Memangnya kau siapa? Anakmu itu gadis yang cantik. Akan berguna bagimu jika kau jual pada kami… hua ha ha ha…”
Aira bergidik mendengar tawa itu.
“Sudah, jangan banyak omong. Mana perempuan itu?” kata lelaki yang satunya mencoba mencari Aira yang bersembunyi dalam gelap. Bapak mencoba menghalangi, namun sebuah tendangan tiba-tiba menghantam kakinya. Baku hantam pun terjadi beberapa saat. Merasa terdesak, bapak berteriak menyuruh Aira lari minta pertolongan. Aira sangat ketakutan tapi ia juga tak tega meninggalkan bapak dikeroyok preman-preman itu. Sampai sebuah benda mengkilat berkelebat menusuk perut bapak. Darah langsung mengucur dengan deras. Aira yang sejak tadi mengintip dalam gelap, menjerit.
“Lari, Aira!” pelan suara Bapak berusaha memperingatkan Aira. Antara khawatir keselamatan bapak, Aira berlari sekencang-kencangnya sambil berteriak kesetanan.

Aira memeluk ibunya erat. Menatap pusara bapak yang mulai sepi ditinggalkan para pelayatnya. Segalanya tak lagi sama. Bapak tak tertolong setelah seminggu dirawat di rumah sakit. Aira dan ibunya terpaksa pindah rumah demi keselamatan mereka. Meskipun dua orang penyerang bapak telah ditangkap, mereka khawatir suatu saat akan balas dendam. Beruntung, ada seorang polisi yang baik hati, mau memberi mereka bantuan agar bisa mengontrak rumah sederhana. Aira dan ibu memulai hidup baru berdua. Ibunya tetap berjualan kue, sementara ia mencoba memberikan les kepada anak-anak di sekitarnya. Dengan segala kesederhanaan, ia bisa melanjutkan kuliah. Di benaknya hanya ada belajar dan belajar. Prestasinya sangat cemerlang dan berhasil menjadi asisten dosen. Sekarang ia benar-benar menjadi dosen di sebuah universitas ternama. Kehidupannya semakin membaik. Ibunya sudah berhenti berjualan.

Setelah segala yang diraihnya, Aira sangat merindukan bapak dan tiba-tiba ia ingin mengenang bapak dengan mengunjungi tempat tinggal mereka dulu. Semua telah berubah, rumah-rumah kardus dan kayu bekas telah sirna. Lukisan itu masih ada meski telah mulai samar. Beberapa bahkan telah diganti lukisan dan tulisan baru.

Aira menghentikan mobilnya dekat tempat dimana dulu ia biasa mandi. Sekarang tempat itu telah bersih. Semenjak kejadian pembunuhan bapak, tempat itu di bersihkan oleh aparat dari segala aktifitas pemukiman liar. Rumah-rumah kardus habis diobrak-abrik dan dibakar.

Kini Aira berdiri di tempat keramatnya bersama bapaknya dulu. Rembulan telah diraihnya, meski tanpa bapak. Tapi tanpa pengorbanan bapak, semuanya tak mungkin bisa.

Akhir Juni 2011

Cerpen Karangan: Nurlaela A. Awalimah
Blog: mutiaramutiaraku.wordpress.com

Tahajud, Kang Abdur Rahman


Aku, Abdur Razzaq, nama ini diberikan oleh Ayah, aku tidak tau persis artinya, tapi kata Kang Rahman namaku itu artinya penyedia.

Lahir dari keluarga yang sederhana, dan juga agamis. Mereka, kakak-kakakku, konon katanya adalah orang-orang yang cerdas, kecuali aku. Mereka lulusan terbaik di bidangnya masing-masing, sedang aku, tidak menyandang predikat apa-apa.

Kami, empat bersaudara, dan aku adalah anak terakhir. Kedua kakak perempuanku meninggal dunia kurang lebih empat tahun yang lalu, mereka kembar, tabrakan beruntun telah merenggut nyawa mereka, begitu juga dengan Ayahku tercinta.

Abdur Rahman, satu-satunya Kakakku yang tersisa, aku sangat membencinya, tapi kalau dia tidak ada di sekitarku, aku sangat merindukannya. Pada Abdur Rahman, aku biasa memanggilnya Akang.

Bunda Alifah, dia perempuan terindah yang mampir di hati dan mataku, ibuku itu cantik sekali. Seperti namanya, pribadi Bunda sangat ramah tamah pada siapapun. Kecuali aku, dia memperlakukan ku lebih dari siapapun.

Kemarin, beberapa waktu yang lalu aku diajak menemani Akang ke rumah calon istrinya, Kak Afeefa namanya. Belum sampai di depan pintu rumah Afeefa, Akang menahanku, olehnya aku disuruh menunggu di luar saja, Akang takut aku akan menyukai Afeefa, calon istrinya. Dia khawatir dengan kebiasaan burukku yang selalu mengoleksi harta benda miliknya.

Di luar aku menguping percakapan mereka, yang terdengar disana hanya samar suara ibu-ibu tua saja, Akang memang begitu, pemalu orangnya, tidak pernah menuntun ini, menuntut itu, berbanding terbalik denganku. Akang sangat penyabar. Dia tidak pernah protes dan mengeluh. Di depan jendela, kutempelkan mata kiriku, mencuri-curi pandang ke arah dalam rumah, disana tidak ada terlihat seorang perempuan muda, hanya ada Akang dengan Ibu calon istri Akang. Beberapa menit kemudian, terbuka sebuah pintu kamar dari dalam rumah itu, dari dalam kamar muncul sosok seorang perempuan muda yang Subhanallah luar biasa cantiknya. Berlilitkan jilbab yang melindunginya, dan pakaiannya yang menutupi seluruh tubuhnya, tangan, serta kakinya juga ikut tertutupi, tidak ada sedikitpun celah untuk terbuka auratnya. Luar biasa dahsyatnya perempuan itu, hanya wajah sendunya yang dapat kulihat jelas, Subhanallah, di jaman sekarang masih ada perempuan seperti itu, gumamku dalam hati. Sebentar dia terlihat keluar dari kamar, kemudian menghampiri Akang, setelah itu dia kembali ke kamar, Akang hanya tersenyum, kemudian dia pulang. Sederhana sekali caranya mencintai perempuan itu.

Beberapa bulan kemudian
“Razzaq, Akang besok berangkat, titip Bunda, jangan lengah, temani Bunda, jangan sampai Bunda kesepian.”
“Akang mau kemana, ngomongnya udah kayak orang gak bakal pulang aja,” sahutku cemberut.
“Akang mau pergi. Akang titip Bunda ya bungsu bawel,” pinta Akang manja sembari tangannya mencubit pipiku.
“Iya, percayakan saja padaku Kang. Oh iya, Kak Feefa, dia cantik sekali ya Kang, solehah, sempurna. Bunda pasti senang punya mantu kayak gitu,” celoteh polosku padanya.
“kamu boleh gantikan Akang untuk menikahinya,” sahutnya tegas.
“Ih, ngambek, baru digituin ngambek…” manjaku padanya.
“Akang serius!”
“Aamiin,” ucapku menyudahi percakapan aneh itu.

Setelah beberapa saat kami ngobrol, aku meninggalkannya ke kamar, dia terlihat seperti menatap sesuatu dengan tatapan kosong, beberapa kali aku memperhatikan itu.

1/3 malam terakhir, Akang terbangun. Aku melihat dia mengambil wudhu di samping kamar mandi, jalannya melayang-layang, tangannya seperti mengelus-ngelus dada, aku mengikutinya sembunyi-sembunyi.

Bertahajud. Akang masuk di kamar Bunda. Lagi-lagi aku membuntutinya. Selesai bertahajud, Bunda terbangun, kaget melihat Akang disana. Mereka saling tatap, aku heran. kebetulan pintu kamar Bunda tidak Akang tutup, jadi dengan leluasa aku bisa melihat mereka. Airmata Bunda perlahan menetes, sedikitpun aku tidak mendengar pembicaraan mereka.

Tangan Bunda membelai dahi Akang, tak lama Bunda mencium kening Akang. Sontak dalam hitungan detik, hatiku bergetar hebat, aku begitu cemburu melihatnya. Kali pertama dalam hidupku dibuat Akang menangis. Aku meninggalkan mereka kembali ke kamar, sambil mengusap airmataku yang berlinang.

Tak lama, Akang tiba-tiba menghampiriku di kamar. Dia merangkulku erat. Dan dengan airmata, aku menyambut rangkulannya, hangat sekali.

“Adikku… Bungsu, Abdur Razzaq. Sampaikan pada Bunda, betapa sayangnya Akangmu ini padanya, berat rasanya mengucapkan itu pada Bunda langsung, tak sampai hati Akang melihatnya menangis. Razzaq, usap dahinya ketika dia berkeringat, genggam tangannya ketika dia menangis, temani dia jika terlihat murung, berdirilah selalu di sampingnya, di samping Bunda kita. Razzaq, Akang sangat lelah, Akang juga sangat merindukan Ayah, Akang rasa tugas Akang sudah selesai, kini tibalah saatnya kamu yang melakukan semuanya, gantikan Akang,” ucapnya sembari mengusap airmataku.

“Akang mau kemana, aku khawatir, Akang jangan kemana-mana disini saja, temani bunda, Akang gak boleh pergi,” pintaku cemas.

“Akang mau mengejar janji yang tidak bisa Akang ingkari, ini sebuah keharusan. Razzaq, kalau Akang sudah pergi, jangan pernah tinggalkan tahajud,” matanya menatapku tajam, “Dia bisa menerangi gelapnya hatimu, juga bisa menemani sepinya jiwamu. Bertahajudlah, berhajat untuk kedua orangtua kita agar mereka bahagia dunia akhirat. Berhajat untukmu juga, berkeluh kesahlah padaNya. Ya Bungsu…” lanjutnya.

“Sekarang, ayo Akang, aku mau bertahajud, temani aku, duduk dan tunggu aku disana,” sahutku menyambut antusias keinginannya, sembari menunjuk kursi di belakang tempatku shalat.

Setelah aku selesai dengan tahajudku, rupanya Akang telah menghembuskan nafas terakhirnya. Hatiku seperti meledak, tidak bisa berbuat apa-apa, lidahku kelu, airmata pun jatuh di pipiku. Akangku terlihat seperti tidur nyenyak, betapa tampannya dia, kupeluk tubuhnya, tak sanggup aku mengatakan ini pada Bunda.

Kini kebencian atau lebih tepatnya ke iri-an di hatiku, telah terbang bersama ruhnya yang keluar dari jasad. Hanya cinta yang kini menancap di hatiku. Tentangnya, selalu menari indah di benakku, kenangan masa kecil kami yang berbahagia.

Airmataku seperti hujan saja. Teringat, dia selalu inginkan aku, adiknya, menjadi yang terbaik. Sedang aku tidak pernah menghiraukannya.

Akhirnya kukatakan, kekagumanku kini telah berubah menjadi kecintaanku padanya, Akangku, Abdur Rahman.

Cerpen Karangan: Fahrial Jauvan Tajwardhani


Aku, Abdur Razzaq, nama ini diberikan oleh Ayah, aku tidak tau persis artinya, tapi kata Kang Rahman namaku itu artinya penyedia.

Lahir dari keluarga yang sederhana, dan juga agamis. Mereka, kakak-kakakku, konon katanya adalah orang-orang yang cerdas, kecuali aku. Mereka lulusan terbaik di bidangnya masing-masing, sedang aku, tidak menyandang predikat apa-apa.

Kami, empat bersaudara, dan aku adalah anak terakhir. Kedua kakak perempuanku meninggal dunia kurang lebih empat tahun yang lalu, mereka kembar, tabrakan beruntun telah merenggut nyawa mereka, begitu juga dengan Ayahku tercinta.

Abdur Rahman, satu-satunya Kakakku yang tersisa, aku sangat membencinya, tapi kalau dia tidak ada di sekitarku, aku sangat merindukannya. Pada Abdur Rahman, aku biasa memanggilnya Akang.

Bunda Alifah, dia perempuan terindah yang mampir di hati dan mataku, ibuku itu cantik sekali. Seperti namanya, pribadi Bunda sangat ramah tamah pada siapapun. Kecuali aku, dia memperlakukan ku lebih dari siapapun.

Kemarin, beberapa waktu yang lalu aku diajak menemani Akang ke rumah calon istrinya, Kak Afeefa namanya. Belum sampai di depan pintu rumah Afeefa, Akang menahanku, olehnya aku disuruh menunggu di luar saja, Akang takut aku akan menyukai Afeefa, calon istrinya. Dia khawatir dengan kebiasaan burukku yang selalu mengoleksi harta benda miliknya.

Di luar aku menguping percakapan mereka, yang terdengar disana hanya samar suara ibu-ibu tua saja, Akang memang begitu, pemalu orangnya, tidak pernah menuntun ini, menuntut itu, berbanding terbalik denganku. Akang sangat penyabar. Dia tidak pernah protes dan mengeluh. Di depan jendela, kutempelkan mata kiriku, mencuri-curi pandang ke arah dalam rumah, disana tidak ada terlihat seorang perempuan muda, hanya ada Akang dengan Ibu calon istri Akang. Beberapa menit kemudian, terbuka sebuah pintu kamar dari dalam rumah itu, dari dalam kamar muncul sosok seorang perempuan muda yang Subhanallah luar biasa cantiknya. Berlilitkan jilbab yang melindunginya, dan pakaiannya yang menutupi seluruh tubuhnya, tangan, serta kakinya juga ikut tertutupi, tidak ada sedikitpun celah untuk terbuka auratnya. Luar biasa dahsyatnya perempuan itu, hanya wajah sendunya yang dapat kulihat jelas, Subhanallah, di jaman sekarang masih ada perempuan seperti itu, gumamku dalam hati. Sebentar dia terlihat keluar dari kamar, kemudian menghampiri Akang, setelah itu dia kembali ke kamar, Akang hanya tersenyum, kemudian dia pulang. Sederhana sekali caranya mencintai perempuan itu.

Beberapa bulan kemudian
“Razzaq, Akang besok berangkat, titip Bunda, jangan lengah, temani Bunda, jangan sampai Bunda kesepian.”
“Akang mau kemana, ngomongnya udah kayak orang gak bakal pulang aja,” sahutku cemberut.
“Akang mau pergi. Akang titip Bunda ya bungsu bawel,” pinta Akang manja sembari tangannya mencubit pipiku.
“Iya, percayakan saja padaku Kang. Oh iya, Kak Feefa, dia cantik sekali ya Kang, solehah, sempurna. Bunda pasti senang punya mantu kayak gitu,” celoteh polosku padanya.
“kamu boleh gantikan Akang untuk menikahinya,” sahutnya tegas.
“Ih, ngambek, baru digituin ngambek…” manjaku padanya.
“Akang serius!”
“Aamiin,” ucapku menyudahi percakapan aneh itu.

Setelah beberapa saat kami ngobrol, aku meninggalkannya ke kamar, dia terlihat seperti menatap sesuatu dengan tatapan kosong, beberapa kali aku memperhatikan itu.

1/3 malam terakhir, Akang terbangun. Aku melihat dia mengambil wudhu di samping kamar mandi, jalannya melayang-layang, tangannya seperti mengelus-ngelus dada, aku mengikutinya sembunyi-sembunyi.

Bertahajud. Akang masuk di kamar Bunda. Lagi-lagi aku membuntutinya. Selesai bertahajud, Bunda terbangun, kaget melihat Akang disana. Mereka saling tatap, aku heran. kebetulan pintu kamar Bunda tidak Akang tutup, jadi dengan leluasa aku bisa melihat mereka. Airmata Bunda perlahan menetes, sedikitpun aku tidak mendengar pembicaraan mereka.

Tangan Bunda membelai dahi Akang, tak lama Bunda mencium kening Akang. Sontak dalam hitungan detik, hatiku bergetar hebat, aku begitu cemburu melihatnya. Kali pertama dalam hidupku dibuat Akang menangis. Aku meninggalkan mereka kembali ke kamar, sambil mengusap airmataku yang berlinang.

Tak lama, Akang tiba-tiba menghampiriku di kamar. Dia merangkulku erat. Dan dengan airmata, aku menyambut rangkulannya, hangat sekali.

“Adikku… Bungsu, Abdur Razzaq. Sampaikan pada Bunda, betapa sayangnya Akangmu ini padanya, berat rasanya mengucapkan itu pada Bunda langsung, tak sampai hati Akang melihatnya menangis. Razzaq, usap dahinya ketika dia berkeringat, genggam tangannya ketika dia menangis, temani dia jika terlihat murung, berdirilah selalu di sampingnya, di samping Bunda kita. Razzaq, Akang sangat lelah, Akang juga sangat merindukan Ayah, Akang rasa tugas Akang sudah selesai, kini tibalah saatnya kamu yang melakukan semuanya, gantikan Akang,” ucapnya sembari mengusap airmataku.

“Akang mau kemana, aku khawatir, Akang jangan kemana-mana disini saja, temani bunda, Akang gak boleh pergi,” pintaku cemas.

“Akang mau mengejar janji yang tidak bisa Akang ingkari, ini sebuah keharusan. Razzaq, kalau Akang sudah pergi, jangan pernah tinggalkan tahajud,” matanya menatapku tajam, “Dia bisa menerangi gelapnya hatimu, juga bisa menemani sepinya jiwamu. Bertahajudlah, berhajat untuk kedua orangtua kita agar mereka bahagia dunia akhirat. Berhajat untukmu juga, berkeluh kesahlah padaNya. Ya Bungsu…” lanjutnya.

“Sekarang, ayo Akang, aku mau bertahajud, temani aku, duduk dan tunggu aku disana,” sahutku menyambut antusias keinginannya, sembari menunjuk kursi di belakang tempatku shalat.

Setelah aku selesai dengan tahajudku, rupanya Akang telah menghembuskan nafas terakhirnya. Hatiku seperti meledak, tidak bisa berbuat apa-apa, lidahku kelu, airmata pun jatuh di pipiku. Akangku terlihat seperti tidur nyenyak, betapa tampannya dia, kupeluk tubuhnya, tak sanggup aku mengatakan ini pada Bunda.

Kini kebencian atau lebih tepatnya ke iri-an di hatiku, telah terbang bersama ruhnya yang keluar dari jasad. Hanya cinta yang kini menancap di hatiku. Tentangnya, selalu menari indah di benakku, kenangan masa kecil kami yang berbahagia.

Airmataku seperti hujan saja. Teringat, dia selalu inginkan aku, adiknya, menjadi yang terbaik. Sedang aku tidak pernah menghiraukannya.

Akhirnya kukatakan, kekagumanku kini telah berubah menjadi kecintaanku padanya, Akangku, Abdur Rahman.

Cerpen Karangan: Fahrial Jauvan Tajwardhani

Kesabaran Dan Perjuangan Putri


Pada sore itu Putri bermain dengan teman temannya di perkampungan yang ia tempati selama bertahun tahun itu. Banyak orang menyebutnya dengan Desa Pusi. Ia bersyukur bisa bertempat tinggal di Desa Pusi karena menurutnya kampungnya itu adalah perkampungan yang sangat bersih, warga warganya pun sangat bertanggung jawab atas kedisiplinan di kampung nya itu.

Setelah lama bermain-main, tiba tiba datanglah seorang wanita cantik berjilbab yang bernama Ibu Siti, itu adalah salah satu tetangga Putri, ia berlarian dan berteriak keras memanggil-manggil Putri.
“Putrii.. Putri..” suara keras Bu Siti terdengar di telinga Putri.
“ada apa Bu.. sepertinya ibu serius sekali memanggil nama saya.” Jawab Putri
“ibu kamu sakit di rumah nak, cepat kamu pulang..” gumam Bu Siti dengan raut wajah panik bercampur sedih.

Setelah mendengar berita tersebut Putri langsung menangis dan berlari secepat mungkin untuk kembali pulang ke rumahnya. Sesampai di rumah langsung saja tanpa basa basi ia membawa Ibunya ke Puskesmas terdekat. Ternyata saat di Puskesmas, Ibu Putri sudah tidak bisa diselamatkan lagi, ya jelas saja karena sudah lama Ibu Putri mempunyai penyakit kanker otak, karena faktor biaya Putri tidak bisa membiayai Ibunya untuk operasi sampai kanker otak stadium 4. Tetapi sekarang Ibunya sudah meninggal, saat itu Putri menangis tanpa henti karena orang yang sangat disayanginya kini telah meninggalkannya untuk selama lamanya.

Semenjak kematian ibunya Putri tinggal bersama ayahnya yang sedang lumpuh itu. Semenjak itu Putri dikeluarkan juga dari sekolahnya karena belum melunasi biaya SPP selama 4 bulan. Kini Putri tidak bisa meneruskan sekolahnya lagi, bahkan dulu saja sebelum ibunya meninggal, ibunya hanyalah penjual gorengan keliling, itu pun masih belum bisa melunasi biaya spp selama 4 bulan. Apalagi sekarang? Ibunya sudah tiada dan bahkan ayahnya pun lumpuh, Siapa yang akan membiayainya sekolahnya?. Ya Allah sungguh malangnya nasib gadis cantik berumur 14 tahun itu.
Terpaksa sekarang Putri harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya sehari hari, entah ia mau bekerja menjadi apa, mau tak mau ia sekarang bekerja menjadi pengamen. Walaupun penghasilannya tidak begitu banyak tetapi ia tak pernah menyerah akan nasibnya itu. Karena ia tahu itulah rencana Tuhan yang tebaik untuknya. Pagi sampai Siang, diteruskan lagi Siang sampai Sore ia bekerja dan tidak pernah memperdulikan betapa capek tubuhnya.

Matahari mulai terbenam, tetapi ia hanya mendapatkan uang Rp. 15.000,- Ia tetap mensyukuri akan hal itu.. Langsung saja ia bergegas membeli 2 buah nasi bungkus dan 2 buah aqua di warung dekat rumahnya itu untuk makan malam ayahnya dan dia sendiri. Sisa uang yang ia miliki, ia masukkan ke dalam celengan ayam kecil hadiah ulang tahun dari ibunya. Setiap melihat celengan itu ia selalu menangis karena teringat dengan sosok wanita yang sangat disayanginya.

Allaaaahu Akbar.. Allaaahu Akbar
Suara adzan maghrib sudah terdengar dari kamar Putri. Langsung saja ia bergegas mandi dan mengambil air wudhu, setelah itu ia berjama’ah bersama ayahnya. Walaupun ayahnya sedang lumpuh tapi tetap masih bisa menyempatkan sholat berjama’ah dengan anak satu satunya yang sangatlah Ia sayangi. Di setiap hembusan nafas Putri, ia selalu berdo’a kepada Allah S.W.T supaya diberikan kesembuhan kepada ayahnya, sekaligus ia ingin Ibunya yang sangat ia sayangi bisa bahagia surga bersama para Nabi dan ia juga memohon supaya ia bisa bersekolah seperti dulu lagi. Setelah selesai mengerjakan sholat ia membaca lagi buku-buku mata pelajarannya yang dulu saat ia masih sekolah.
“Rasanya ingin kembali ke sekolah lagi Ya allah?” dalam hatinya ia berbicara.
Tak lama kemudian ayahnya memanggilnya dan menyuruh Putri untuk segera makan malam.

Keesokan harinya Putri mulai bekerja lagi, ia bangun pagi-pagi karena dia ingin mencari uang sebanyak mungkin supaya ia bisa sekolah lagi, dan mendapatkan pendidikan yng layak. Sungguh besar pengorbanan gadis cantik itu, tetapi mengapa sekarang banyak sekali siswa yang lebih beruntung dibandingkan Putri, bahkan menyia nyiakan kesempatan itu?

Pada hari itu adalah tanggal 02 mei bertepatan dengan hari Pendidikan Nasional, Putri bermain ke sekolahannya yang dulu. Ia ingin bisa kembali bersekolah dan bertemu teman temannya lagi. Do’a Putri pun terwujudkan, pada saat jam istirahat Putri bertemu dengan beberapa teman temannya yang dulu, salah satu teman Putri yang bernama Lina sangat kasihan dengan nasib Putri saat ini sehingga ia mengusulkan supaya mengadakan kegiatan amal untuk membantu teman lamanya itu supaya bisa bersekolah kembali, selain itu Lina juga mengusulkan kepada Kepala Sekolah supaya Putri bisa bersekolah di sekolahnya itu dengan gratis.
“Anak Indonesia Wajib mendapatkan Pendidikan sampai Lulus SMA, tolong pak berikanlah kesempatan kepada Putri supaya bisa masuk ke sekolah ini lagi karena Putri juga mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak” gumam Lina berbicara dengan Bapak Kepala Sekolah

Alhamduulillah, Bapak Kepala Sekolah menyetujuinya, semenjak itu Putri bisa melanjutkan sekolahnya lagi. Putri sangatlah bersyukur mendengar hal itu karena bagi Putri Pendidikan adalah yang terpenting dan segalanya. Karena Pendidikan bisa membuat kita mencapai cita-cita yang kita inginkan kalau kita semua mau berusaha.

Amanat:
Jangan pernah menyia nyiakan kesempatan emas yang kamu miliki saat ini karena belum tentu orang orang di luar sana mendapatkan kesempatan emas sepertimu

Cerpen Karangan: Mega Ayuna Rizki
Facebook: Mega A. Rizki

Penulis dan Pengarang:
Mega Ayuna Rizki (VIIIA)
awalnya saya membuat cerpen ini untuk salah satu lomba di perpustakaan sekolahan saya, alhamdulillah saya menang juara 1 , akhirnya saya berminat membuat cerpen lagi dan lagi.

Ogah Masuk Surga Sendirian


Aku Nia, kuliah di jurusan keguruan mungkin salah satu kesalahanku kali ini. Lulus dari salah satu pesantren di daerah Pati membuatku bersemangat melanjutkan sekolah dan mengambil jurusan yang berbau Islami, Pendidikan Agama Islam yang kupilih. Saat itu aku belum tahu kalau seseorang yang bergelar SPd.I itu nantinya akan mengajar di Madrasah.

Oh iya, sebenarnya pikiranku cukup pendek. Aku selalu minder dalam hal apapun karena penampilanku tak begitu menarik, bobot tubuh 90 kg dan tinggi 163 untuk ukuran cewek itu bisa di kategorikan luar biasa. Ditambah lagi sifat religiusku yang terlampau lama tergodog selama enam tahun di pesantren membuat sifatku yang anti sosial semakin menjadi.

Semester awal kuputuskan untuk memilih salah satu UKM (unit kegiatan mahasiswa) yang pastinya berbau islami juga, UKM Bahasa Arab yang kupilih.

Aku mencari informasi bagaimana mendapatkan formulir agar aku segera bisa mendaftar di UKM Bahasa Arab, tak sengaja aku melihat sekumpulan mahasiswa kumel berbau rokok melintas di hadapanku, ia memberikan sebuah selebaran perekrutan anggota baru UKM Teater. Reflek langsung kubuang info tidak berguna itu.
“nya… mau kemana?” suara Desi mengagetkanku
“oh, ini mau ke UKM Bahasa Arab”
“ngapain? Mau daftar jadi angggota?”
“iya” ucapku seperlunya
Namanya Desi, satu kelas denganku di perkuliahan Profesi Keguruan. Mungkin hanya dia yang terlihat akrab denganku, padahal aku tidak suka kepribadiannya yang terlalu akrab dengan lawan jenis.
“bareng yuk” tawarnya
“kamu mau ikutan ikut UKM itu?”
“ah, nggak… Cuma kita searah aja.” Desi berjalan di sebelahku
“oh iya nya, kamu ngapain ikut UKM Bahasa Arab? Mau ngajar di sana? Cewek kayak kamu mah di buang ke Dubai mungkin bisa balik ke sini lagi karena tahu caranya tanya jalan pake bahasa Arab, hahaha”
Ya itu, salah satu nilai minus Desi yang paling aku tidak sukai, kalau bicara seenaknya
“ya, minat aja” jawabku sinis
“kamu itu aneh lo nya, kemarin aku ikut kuliah Psikologinya Pak Tegar. Katanya kalau orang yang berperawakan gendut itu orangnya low profile dan jenaka…”
“iya… aku bukan orang yang low profile dan jenaka” sahutku dengan nada marah
“aaah, gitu aja marah” ia menyenggol lenganku
Desi diam sejenak

“nya.. apa kamu pernah ngerasa bosen nggak kehidupanmu monoton kayak gitu terus?” ia mulai lagi dengan pertanyaan yang lumayan nusuk
“tahu apa kamu tentang kehidupanku” jawabku ketus
“kalau di pikir-pikir ya… kamu itu orangnya kolot banget”
Aku hanya diam menahan amarah
“agama kita mengajarkan untuk bersifat fleksibel, kamu pengen jadi guru kan?”
“aku Cuma mau nuntut ilmu setinggi mungkin” jawabku kembali ketus
“kalau aku sih pengen dapet ijasah doang” jawabnya enteng
“ilmu mu nanti nggak bermanfaat” aku menasehatinya
“nah itu!! Perbedaan antara aku sama kamu, kamu lupa bagian pada era apa kehidupan kita sekarang. Kenapa orang-orang sekarang semakin jauh dari agama? karena mereka terlalu bersifat rasional, terlalu banyak bertanya.” Aku masih tidak tahu jalan pikiran Desi mengucapkan itu kepadaku
“yang terpenting selamat dunia akhirat, aku Cuma menjalankan perintah Allah untuk menuntut ilmu dan menanti janjiinya yang akan meninggikan derajat orang-orang yang berilmu”
“kamu mau masuk surga sendirian?” ucap Desi sedikit tertawa, aku mulai merenungi apa yang aku ucapkan tadi.
“terus? Apa omonganku salah?”
“nggak, yang kamu ucapkan itu benar, tapi apa kamu betah hidup di dunia yang jauh dari agama seperti sekarang ini?”
“lalu” sambungku
“jika ilmuku nggak bermanfaat karena tujuanku cuma ijasah, tapi minimal ijasahku ada gunanya. Seperti yang kubilang tadi, masyarakat itu semakin rasional dan mereka tidak mudah percaya pada seseorang yang tidak berijasah meskipun IQnya lebih dari 140”
“maksudmu?”
“aku mau menjadi orang yang dipercaya masyarakat dengan embel-embel gelar sarjana, karena dengan cara itu mereka mau mendengarkan kita. Sekarang, seorang Kyai perlu mendirikan pondok pesantren supaya dibilang Kyai, terkadang kita harus sedikit mengikuti perkembangan zaman, dengan cara itu aku ingin merubah negeri ini”

Kali ini ucapan Desi membuka sisi lain kehidupanku, kenapa aku sibuk berkutit dengan kehidupanku sendiri? Menutup mata seolah-olah negeri ini baik-baik saja? Kewajiban kita sebagai umat muslim juga harus mengamalkan ilmu yang telah kita cari.

“hey? Kenapa bengong” Desi mengagetkanku, aku berbalik meninggalkannya dan berlari kembali ke tempat aku bertemu dengan Desi tadi
“hey, mau kemana Nyaaa!!” Desi berteriak
“AKU NGGAK MAU MASUK SURGA SENDIRIAN!!” teriakku, kulihat Desi tertawa lebar
Aku berlari menghampiri mahasiswa kumel tadi yang berpapasan denganku
“mas, minta formulirnya”

Ini langkah awalku, melihat sisi lain kehidupan melalui sandiwara Teater dan mempelajari sifat-sifat manusia darinya.

Cerpen Karangan: Bigza Aziza
Facebook: Bigza Lakon Ndonyo
Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Pendidikan Agama Islam di STAIN Kudus, aktif sebagai Relawan PMI Unit Korp Sukarela, anggota Teater Gerak 11 PMII Komisariat Sunan Kudus, anggota Sanggar Seni Eling Jepara, sekarang lagi giat-giatnya jadi komik di Stand Up Comedy Kudus.

Perjuangan Hidupku Dalam Menuntut Ilmu


Perkenalkan nama saya supardin, biasa disapa adin saya anak pertama dari lima bersaudara. Saya lahir dari keluarga yang sangat sederhana, walaupun demikian saya memiliki motivasi yang sangat besar dalam hal dunia pendidikan. perjuangan saya bisa dikatakan sangat ekstrim, dan penuh tantangan bukan berati perjuangan saya menjadi pupus, justru hal tersebut yang membuat saya kian semangat.

Kepahitan itu kian membuat kehidupan keluarga ku terpukul, setelah ayah ku pergi meninggalkan kami semua, tentu semua tanggung jawab dibebankan kepada ibu. Mengingat usia kami yang masih sangat kecil dan masih membutuhkan kasih sayang.

Seiring berjalanya waktu dan usiaku pun kian bertambah, kini aku berumur 7 tahun tentu di umur seperti itu sudah selayaknya aku harus mulai masuk dunia pendidikan sekolah dasar, melihat kehidupan keluarga yang kian memburuk membuat ku kian giat menuntut ilmu. Demi satu tujuan yaitu ingin membahagiakan ibu ku.

Waktu terus bergulir dan kini aku pun naik ke kelas dua sekolah dasar. Tentu biaya kian tahun makin bertambah, maklum pada saat itu belum ada program wajib belajar Sembilan tahun. ibu ku pun kian semakin kesulitan untuk membiayaiku. Bahkan sempat terdengar di telingaku perkataan ibu ku yang menginginkan agar aku berhenti sekolah, karena tak sanggup lagi dengan biaya yang semakin bertambah, hal terebut tentu membuatku kian terpukul.

Senada ibu pun mngatakan “Nak… maafkan ketidaksanggupan ibu dalam mengurus kamu, ibu rasa perjuangan mu untuk menimba ilmu cukup sampai disini, ibu tidak memiliki apa-apa sekarang. Jadi maafkan ibu”.
Mendengar hal tersebut membuat ku terhenyak sejenak, terlintas di pikiran ku akankah semua ini akan berakhir..?

Mendengar hal tersebut tentu membuat sanak keluarga ku merasa empati kepada keadaan ku, merasa tidak ingin aku putus sekolah aku pun dibawa keluar kota. tante NAFSIA lah yang membawa ku dan membiayai semua kebutuhan ku. Meski demikian bukan berati aku bisa bersantai, maklum sebaik-baiknya seorang tante tidak lah lebih baik dari seorang ibu.

Hari yang dinantikan pun tiba, tepatnya pada tanggal 22 november 1997 aku didaftarkan di SDN REO II. Sebuah sekolah dasar negeri yang berada di kecamatan REOK dan berkabupaten MANGGARAI, hari pun telah berganti waktu terus bergulir aku mulai masuk sekolah di hari pertama ku di sekolah baru. Rasa gembira pun terpancar di raut wajah ku, menggingat aku dapat melanjutkan sekolah ku.

Lonceng sekolah pun berbunyi menandakan waktu pelajaran usai, aku pun berkemas dan bergegas meninggalkan ruangan, untuk segera pulang bersama teman baru ku.

Sesampai di rumah akupun langsung di suguhkan dengan sebuah baskom kecil yang berisikan kue lemet.
“Din hari ini kamu mulai berjualan kue, ini kuenya dan skarang juga kamu mulai berjualan”
“tapi tante saya kan belum makan, bisa kah saya berjualan setelah makan..?”
“oh.. tentu silakan .. tapi jangan lama ya.. makannya..”
“ia tante..”

Setelah makan aku pun bergegas untuk berjualan, langkah demi langkah aku menatih kan kaki ku, bersuara kan merdu bertedu kan mata hari yang cukup panas, soalnya aku berjualan tepat pada pukul 14:00 tentu cuaca masih panas.. badan bercucuran keringat dan aku pun mulai bersuara lantang.
“Bu, Kue.. kue.. bu kue bu..”

Waktu pu kian semakin sore, kue pun semua habis, dengan hati yang amat senang aku pun bergegas untuk pulang. Dan memberikan semua uang hasil jualan ku hari ini kepada tante ku.. itulah kegiatan sehari-hari ku setelah sepulang sekolah..

Waktu bergulir sangat cepat dan sekarang aku sudah lulus dan ingin melanjutkan pendidikan ku ketingkat SLTP, aku pun mulai mendaftarkan diri hati ku pun kian bertambah senang dapat melanjutkan sekolah.. dengan semangat aku kian giat belajar, agar dapat naik kelas alhasil usaha ku rupanya tak sia-sia, aku dapat naik ke kelas berikutnya, sampai akhirnya lulus pada tahun 2005 dan mendapat kan nilai yang sangat memuaskan.

Setelah lulus SLTP, aku pun ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Tapi sayang harapan itu hampir sirna akibat tante ku tak dapat melanjutkan ku ke tingkat SMA, dikarenakan suaminya mengalami kecelakaan kerja dan harus membutuh kan biaya yang cukup banyak untuk keperluan pengobatan Dan lain lain.

Aku pun kembali di belit cobaan yang amat berat, dengan hati yang amat sedih aku pun menerima dengan hati yang lapang. Dalam hati kecil terucap akankah ini semua akan berahir sampai disini..?

Karena keadaan yang tidak memungkinkan lagi untuk melanjutkan sekolah aku pun kembali ke kampung halaman ku. Setelah di kampung akupun mulai memikirkan bagaimana caranya agar aku dapat melanjutkan pendidikanku. Sebab aku memiliki impian yang sangat besar dalam dunia pendidikan. Karena merasa iBu ku sudah tak sanggup lagi membiayai ku. Aku pun mulai meencari pekerjaan, apapun itu yang terpenting aku dapat bersekolah kembali..

Cerpen Karangan: Supardin

Jejak-Jejak Keajaiban Mimpi


Keajaiban itu, berawal saat mahasiswa baru yang bernama Tira menginjakkan kakinya di sebuah kampus tersohor. Yaitu institut teknologi bandung, dengan tekad yang kuat untuk menuntut ilmu di kampus tersebut. Ia mulai membuat jejak-jejak mimpinya. Setelah disambut dengan hangat di kampus tersebut, ia mulai menuliskan mimpi-mimpinya pada dua lembar kertas dan ia tempelkan pada dinding kamar kostnya. Pada suatu ketika ada teman-teman Tira yang berkunjung ke kostnya dan mereka melihat dua lembar kertas yang tertempel dinding kostnya tersebut mereka membaca isi dari dari dua lembar kertas tersebut yang berisikan impian-impian yang dituliskan oleh Tira. Setelah itu teman-teman Tira pun berkata padanya “hahaha, sudahlah Tir… itu kan cuman hayalan kamu aja”, ujar teman-teman Tira dengan ekspresi menyindirnya. Lalu Tira menjawabnya dengan santai “gak apa-apa kok sob siapa tau suatu hari nanti jadi kenyataan”, lalu teman-teman Tira tersadar akan semangat yang besar dari Tira mereka pun memberikan dukungan untuk Tira dan berkata “oke deh Tir semoga aja impianmu itu bukan jadi pajangan belaka”, “oke sob, terima kasih atas dukungan kalian” sahut Tira. Selain teman-teman yang mendukung Tira banyak juga teman-teman yang mencemooh bahkan mencaci makinya. Namun ia tak perduli akan hal itu. Ia tetap bersemangat menggapai impian-impiannya dan berkata dalam hatinya “mimpi itu tidak dapat digapai jika bukan kita sendiri yang membangunkannya”. Kata-kata itulah yang menjadi semangat hidup Tira untuk menggapai mimpi serta harapannya.

anpa ia sadari setelah beberapa tahun Tira menyimpan dua lembar kertas tersebut, hanyalah menjadi sebuah coretan. Mengapa menjadi hanya menjadi coretan? karena ia telah menggapai satu persatu harapan serta impian yang telah ia tuliskan pada dua lembar kertas tersebut yang kini menjadi usang serta banyak coretan yang telah ia goreskan pada kertas tersebut.

Ada satu impian yang tertulis pada dua lembar kertas tersebut yang dapat membuat Tira terkesan dan sangat membekas dalam benaknya, yaitu di saat ia berhasil menggapai impiannya untuk melanjutkan S3 ke Negeri Sakura (Jepang). Ia sekarang telah menjadi seorang doktor muda pertama kali di Jepang dan di Negaranya sendiri Indonesia.

Setelah berpulang ke Indonesia banyak orang mengira bahwa ia adalah anak orang kaya, nilai-nilai ujiannya selalu sempurna dan ia selalu mendapatkan IP 4, Lalu Ia dengan tegas menjawab “Tidak!”. Dia Berkata “saya adalah anak orang biasa bahkan hampir tidak apa-apa, ujian saya pun juga ada mendapatkan nilai C bahkan juga ada mendapat nilai D, IP saya pun juga pernah mendapat 2,7 saja”. Dan mungkin satu kalimat ini dapat menginspirasi kalian atau bahkan semua orang “Beranilah bermimpi karena, jika kita berani bermimpi matahari yang sangat panas itu dapat kita genggam”. Ujar Tira, orang-orang yang mendengarkan perkataannya tersebut menjadi kagum serta takjub atas prestasi serta tekadnya yang begitu kuat.

Tira berharap bahwa kelak dirinya mampu memotivasi bahkan menginspirasi banyak orang untuk mengikuti jejak-jejak mimpinya dalam melakukan hal-hal yang mungkin kita sendiri tidak akan dapat mengukurnya.

Cerpen Karangan: Abdus Salim
Facebook: https://www.facebook.com/arigatouu
“Bermimpi dan berusahalah, karena mimpi itu seperti penerang semangat bagi orang yang berusaha”.

Lara Prihatini Si Gadis Prihatin


Malam yang sunyi, itulah yang senantiasa menemani malam malam ku. Tak ada yang istimewa, bintang bertaburan seperti biasanya ditemani bulan separuh yang berwarna putih. Sesekali terdengar suara lolongan anjing yang sedikit membuat bulu roma merinding. No body special! padahal aku sangat menginginkan kehadiran tiga sosok inspiratif bagiku biarpun aku belum sempat mengenalnya, merabanya, merasakan hangat dekap tubuhnya, melihat indah senyum dan kelembutan tangannya. Ya itulah nasib sialku.

Akulah Lara Prihatini, gadis malang 19 tahun yang sejak kecil telah ditinggal mati kedua orangtuaku karena kecelakaan maut di daerah Jakarta Selatan 14 tahun silam. Sungguh menyedihkan memang. Waktu itu, aku dan adikku yang baru berumur 2 tahun hanya bisa menangis terisak isak menyaksikan kedua orangtuaku dibawa dengan ambulan lalu dimasukkan ke dalam keranda mayat dan dibawa dengan iringan lantunan shalawat menuju tempat peristirahatan terakhir mereka. Aku dan adikku yang masih kecil tak sanggup berbuat banyak apalagi adikku belum mengerti tentang kematian, mungkin ia mengira ayah dan ibu pergi rekreasi sebentar dan akan pulang dalam waktu dekat. Sejak kejadian itu, aku dan adikku dirawat oleh nenek dari ayah yang juga sudah renta. Beliau pun harus bekerja sebagai buruh cuci untuk membesarkan kami. Sungguh posisi yang sangat tertekan di tengah keterbatasan.

“Nek, biar Lara saja yang jualan kue nek, nenek dan zahra di rumah saja, nenek kan sekarang lagi sakit nek, biar di sekolah saja Lara jual nanti nek pasti banyak teman teman Lara yang membelinya,” pinta Lara kepada nenek saat ia bersiap ke sekolah.
Lara tak tega melihat sang nenek yang sudah sangat tua harus berjalan ratusan meter untuk menghidupi dirinya dan Zahra. Sungguh ia tak tega.
“Betul ndak papa nduk? apa kamu tak malu sama teman temanmu? nenek tak tega kalau kamu ditertawakan nanti. Kamu tu cantik, tak pantas jualan, tugasmu hanya belajar supaya nasibmu cerah dikemudian hari nduk!” jawab sang nenek dengan tatapan letih tapi penuh semangat dalam menasehati sang cucu.
Seraya Lara pun menjawab dengan penuh keyakinan. “Aduh nek, ngapain Lara harus malu? ini kan pekerjaan halal. Ya udah deh nek, Lara berangkat dulu, Assalamualaikum..”

Lara pun langsung berlari dengan tangan kanannya memegang bakul berisi gorengan hangat nan nikmat.
“Hati-hati cu… moga Allah memberi kemudahan padamu. Andai orangtuamu masih hidup nduk… pasti ia akan sangat bangga karena telah dikaruniai seorang gadis cantik berjiwa mulia seperti mu nduk” ungkap nenek dengan mata berkaca-kaca.

SMA Harapan Bangsa, disanalah Lara menuntut ilmu. Seragamnya memang sama dengan anak lainnya seolah tiada kasta di sekolah itu. Tapi sejatinya, dari segi style, pergaulan dan jajanan terlihat jelas pengkastaan di sekolah itu terutama di antara sesama murid. Hanya orang-orang berduit dan berotak yang mampu duduk di sekolah itu. Beruntung lah dengan dana yang tak mencukupi, tapi dengan bekal otak yang telah meraih berbagai penghargaan, ia pun mampu bersekolah disana setara dengan anak para pejabat pemerintahan.

Hari ini pun merupakan hari penentuan, apakah akan tetap menjadi murid senior nan tua atau langkah awal untuk menjadi mahasiswa. Para murid pun telah berkumpul di lapangan yang sangat luas dengan hamparan rumput hijau di sekeliling dan diselingi dengan pohon cemara yang kokoh sekaligus menjadi saksi kunci segala tindak tanduk siswa di lapangan tersebut.

“Baik para bintang Indonesia, siang ini bapak sangat bangga pada kalian. Karena, sekolah kita meraih nilai Ujian Nasional tertinggi se-Jakarta, artinya kalian semua lulus dengan nilai yang membanggakan. Selamat wahai para bintang Indonesia. Kami sangat bangga pada kalian” ungkap Bapak Ismet, selaku Kepala SMA Harapan Bangsa dalam pidatonya sore itu.
“Yeee… kita lulus… kita lulus… terima kasih Tuhan” teriak Robin, salah satu murid kelas unggul.
Bapak ismet kembali melanjutkan pidatonya.
“Ada satu kabar membanggakan lagi para bintang, salah satu teman kalian berhasil mendapat scholarship langsung dari salah satu universitas untuk menimba ilmu di universitas ternama, bahkan dia adalah satu satunya siswa yang mendapat kesempatan emas ini se daerah Jakarta Selatan. Lara Prihatini, adalah satu satunya siswa undangan ke Harvard University dengan biaya kuliah ditanggung universitas sampai kamu meraih gelar doktor. Selain Lara, ada banyak dari kalian yang juga menjadi mahasiswa undangan di beberapa perguruan tinggi dalam dan luar negeri. Sekali lagi, kami sangat bangga atas prestasi kalian” ujarnya berapi-api.

“Alhamdulillah, Lara senang banget bisa dapat kesempatan kayak gini, Lara gak pernah nyangka. Bahkan buat sekolah disini pun lara gak pernah mimpi dan Lara pun takut tuk bermimpi karena Lara bukan siapa siapa. Sungguh semua ini Lara persembahkan buat nenek yang lagi sakit di rumah. Beliau berjuang buat menghidupi Lara dan adek. Sehingga Lara masih bisa tetap merasakan indahnya dunia, gimana rasanya sekolah, bergaul sama teman teman yang solid. Pokoknya Lara bangga banget sama nenek. Mama dan Papa yang udah di surga, ini juga buat kalian. Lara gak bisa ngomong apa apa lagi selain bersyukur tiada tara pada Tuhan atas segala nikmat ini” tukas Lara dengan deraian air mata dihadapan seluruh murid kelas 12 yang sebagian dari mereka juga larut dalam suasana haru seperti itu.

Sepeda butut dengan rem blonk pun dikayuh oleh lara dengan sekuat tenaga supaya bisa cepat sampai di rumah tuk menceritakan kebahagiaan ini pada sang nenek dan Zahra, bahkan ia tak menghiraukan bakul gorengannya yang jatuh ke aspal, beruntung gorengannya sudah terjual habis semua.

Sesampai di rumah ia pun heran melihat warga telah memenuhi rumahnya yang kumuh dan sempit, ditambah dengan adiknya, Zahra yang menangis di pintu. Semua mata memandang iba kearah Zahra. Dengan langkah ragu, Lara pun memasuki rumahnya. Seketika ia terkejut melihat beberapa orang sedang mengangkat sang nenek dari tempat pemandian dan bersiap tuk mengafani, ya sang nenek telah tiada karena mengidap penyakit kronis yang tak pernah diobati. Sungguh malang tak dapat ditolak, sang nenek malah pergi tuk selama-lamanya disaat dia tengah merasakan kebahagiaan tiada tara yang sejatinya akan ia persembahkan tuk sang nenek. Tapi apa daya, yang namanya kematian tak dapat diundur sampai hari esok.

“Nenek, jangan tinggalin Lara, ayo bangun nek, lihat Lara bawa piagam penghargaan siswa terbaik se-Jakarta, Lara juga bawa surat undangan kuliah di Amerika, semuanya untuk nenek, ayo bangun nek… neneek… lara gak bisa hidup tanpa nenek” tangis Lara di hadapan sang nenek yang telah terbujur kaku tanpa napas.

“Kakak.. gimana nasib kita, kita udah tak punya siapa siapa lagi di dunia ini, mending Zahra ikut nenek saja, Zahra takut kak” isak Lara sambil memeluk sang kakak.
“Zahra sayang, kamu gak boleh ngomong gitu, kita pasti bisa sayang” jawab Lara mencoba tegar sambil memeluk adiknya.

Sang nenek pun dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya, tempat ia beristirahat dari himpitan nasib dan kerasnya hidup tuk sesuap nasi. Wajahnya yang sangat keriput sangat jelas menampakkan keletihannya bekerja selama ini
“Selamat jalan nek, semoga nenek mendapat tempat terbaik di sisiNya” do’a Lara dalam hati.

Hening, hampa, tak bersemangat, sedih, mewarnai langkah lara dan Zahra dalam perjalanan pulang ke rumah sederhana yang menyimpan segala kenangan mereka dengan sang nenek yang kini disebut In Memoriam.

Dengan perasaan sangat sedih, lara menitipkan Zahra ke panti asuhan karena esok pagi, Lara akan berangkat ke Amerika tuk menuntut ilmu.

“Sayang, 8 tahun lagi kakak akan kembali kesini dan menjemput kamu, supaya kita bisa sama sama lagi ya, maafkan kakak karena kakak harus meninggalkan kamu sendiri disini, karena ini demi masa depan kita ya dek” ungkap Lara saat akan berpisah dengan adik yang merupakan satu satunya keluarga yang tersisa di dunia ini.
“Iya kak, Zahra ngerti, kakak belajar yang rajin ya, supaya cepat pulang dan kita bisa kumpul lagi” jelas Zahra menahan kesedihannya.

Delapan tahun sudah Lara berdomisili di negri Paman Sam ini. Tadi ia baru saja meraih gelar doktor sebagai tanda perjuangannya. Ia pun akan ditempatkan di salah satu perusahaan asing di Indonesia. Ia sangat merindukan adiknya yang sekarang juga telah meraih gelar sarjana berkat scholarship dari salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia.

“Dek, tunggu kakak ya, kakak besok berangkat, jemput ke bandara ya” ujar Lara via telpon.
“Terima kasih Tuhan. Akhirnya perjuangan kami berbuah manis. Tapi sayang, sosok inspiratif kami telah kau ambil. Semoga mereka semua bangga di surga” pikir Lara sambil menatap indahnya langit yang ditaburi bintang.

Ya sekarang dua sosok yang menderita di masa kecil telah menjelma menjadi wanita sukses di tengah keterbatasan dengan segudang prestasi. Berbanggalah wahai ayah, ibu dan nenek Lara-Zahra.

Cerpen Karangan: Dona Ariani
Blog: dona ariani
Facebook: dona ariani
saya dona, mahasiswi matematika universitas andalas padang, sumatera barat.
saat ini saya tergabung dalam organisasi pers kampus, genta andalas.

3 Tahun, Untuk Selamanya


Tangerang, 20 Desember 1999. Ya, itu adalah hari paling bersejarah dalam hidup ku. Di hari itu, aku dapat membuka kedua mata bulat kecil ku. Melihat beribu wajah disitu. Dalam kehidupan baru ku. Di dalam pelukan kedua orangtua ku. Kecupan dari bibir itu mendarat di kening ku. Pada saat itu aku merasakan Surga Dunia. Hidup di tengah keluarga kecil. Hingga kini aku beranjak dewasa, dengan semua kecukupan yang ku dapatkan. Aku merasakan keluarga kecil lainnya di sekolah, dengan teman-teman. Sampai suatu saat aku akan pergi berpencar dari mereka, entah akan dapat dunia seperti apa lagi. Dalam keluarga seperti apa? Apa aku akan diperlakukan baik?. Pasrah! Aku menganggap semua ini bodoh! Perpisahan? Bukankah hal itu menyedihkan? Apa nanti aku sendiri?. Ku terus menjalani hari ku dengan berbagai cara. Melawan rasa sedih ku, melawan rasa takut ku.

Tangerang, 03 Maret 2011. “Ra, kamu mau masuk mana? Umi mau kamu masuk MTsN Negri II ya—” terbayang sudah, aku yang dari awal menganggap sekolah “madrasah” itu buruk. Bahkan sangat buruk. Aku yang akan disuapi pelajaran agama, agama, dan terus agama. Kapan aku bisa bebas dari semua itu? Tapi aku gak bisa berbuat apa-apa. “Ya sudah mi, tapi kalau itu berat buat aku, aku gak mau ya mi”. hingga aku bertemu di suatu pagi, melangkah memasuki pagar sekolah yang besar. Aku membatin apa ini yang akan jadi sekolahku? Wow. Besar sekali. “Gimana? Udah siap? Baca bismillah dulu ya” Umi memberikan semangat kepada ku, aku hanya bisa tersenyum.

Aku berada dalam suatu ruangan. Disitu, di tempat itu aku merasakan hal yang berbeda, dengan wajah baru, yang tak ku kenali satu pun. “Kamu hafal surat al-fatiha sampai surat apa?” aku bergetar, entah apa yang aku pikirkan saat itu. “Emm.. sampai At-Takastur” aku menjawab dengan pelan, dan aku harus mengulang pernyataan ku tadi. “Baik, coba kamu baca surat Al-Humazah” seorang lelaki menyuruh ku membacakan surat itu. Aku berhasil. Test selanjutnya aku harus menuliskan kaliamat Syahadat dan dua ayat surat An-Nas. Tak bisa ku percayai, seorang anak sebaya dengan ku, yang duduk di sebelah ku tak bisa menghafal surat An-Nas dengan baik, bahkan ia lupa. Apa ini yang dimaksud kebodohan? Aku masih bersyukur dapat menghafal walaupun baru sedikit. Selanjutnya aku membaca dua ayat Al-qur’an. Dan aku bersykur karena dapat menghadapi test itu dengan baik. Selanjutnya aku mengikuti test wawancara, dan sekali lagi aku berhasil. Aku keluar dengan senyum yang mengembang. “Oke mi, aku akan terus pertahanin sampai akhir test nanti” aku bicara dengan wanita cantik. Umi ku.

Tangerang, 07 April 2011. “Kamu, gak lolos test ini, gimana? Mau ikut test selanjutnya?” seorang wanita menghampiri ku. seketika wajah ku berubah kumal. Hening. Tak sepatah kata pun ku ucapkan. Aku sedih. Hingga akhirnya aku mengikuti test selanjutnya. Kembali berperang pada 100 soal 20 soal dari setiap mata pelajaran, yaitu Matematika, Bahasa Indonesia, Ipa, juga Bahasa Inggris. Dengan saingan yang lebih banyak lagi. Ini penentuan, bismillah. Aku mengerjakan ke100 soal itu dengan teliti.

Tangerang, 13 Mei 2011. Pengumuman, aku benar-benar takut. Tapi.. “Ra, lulus nih, urutan 154” tiba-tiba kakak sepupu ku memberikan berita yang sangat menggemberikan bagi ku. Aku langsung mengucap syukur kepada yang Maha Kuasa. Ternyata hasil belajar ku. hasil pejuagan ku, tidak sia-sia.

Tangerang, 11 Juli 2011. Hari itu aku mengawalinya dengan semangat. Sebelumnya aku enggan setelah aku tahu bahwa di sekolah itu hafalannya berat. Bukan hanya hafalan surat-surat pendek, tapi melainkan dengan hafalan hadist, doa-doa, dzikir atau pun tahlil. Terbayang sudah. Ditambah dengan pelajaran full agama. Bahasa Arab, Sejarah Kebudayaan Islam, Al-Qur’an Hadist, Aqidah Akhlak, dan Fiqih. Tapi setelah aku berpikir lagi, mau kemana nanti aku? Akhirnya aku memutuskan untuk masuk.

Pagi pertama hari itu, MOS dilakukan secara meriah, penampilan dari Marching Band, lalu kegiatan lainnya. Dimana kita dilatih dalam hal kekompakan dan lain-lain. Dari situ aku merasakan dunia baru yang lebih menarik dan mengasikkan. “Haiii, nama kamu siapa? Aku Sakura” aku mengulurkan tangan kepada seseorang yang berbaris di belakang ku “Aku Tari, nanti kita duduk berdua ya” ia tersenyum lembut. Aku membalasnya dengan sebuah anggukkan pelan. Hari pertama aku lewati dengan baik, begitu pula hari-hari lainnya. Kini aku benar-benar menyatu dengan teman-teman sekelas ku, keluarga kecil baru ku di sekolah.

“Nanti, kalau kita udah enggak sekelas gimana ya? Sepi kali ya? Hmmm…” satu kalimat yang diucapkan Nasya tadi membuat semua meneteskan air mata. Sekarang? Kalau nanti pisah. Akhirnya hari yang paling dibenci ‘Test Kejurusan Kelas VIII’ ada enak dan enggaknya ya. “Kita kalau bisa jangan dipisah deh ya..” aku memeluk Tari dan tersenyum. Tapi saat aku lihat di website MTsN II aku masuk dalam kelas Inggris 2. “Kirain masuk kelas Arab”. Tiba saatnya aku bersama dengan teman-teman ku di kelas Inggris 2. Kurang lebihnya aku sudah mengenal anak-anak itu.
“Eh nanti ada tambahan convertation sama Miss Nadya. Jangan pada pulang dulu!” Tirta mengingat kepada anak-anak terlebih sama yang laki-laki. “Capek ya, kita kan kemarin gak ada Miss Nadya, jadi sekarang tambahan kita 2 jam. Dan kita pulang jam 4 nih? Bisa sampai rumah jam setengah 5 ini mah” semua anak terlihat lesu, wajah yang sudah tak bersemangat lagi. “Eh, udah ah gua mau pulang”. Aku dan yang lainnya sholat ashar dulu di sekolah. “Ya udah gua juga pulang ah” ucap Erlanda dan segera meninggalkan sekolah. Selesai sholat kita kembali ke kelas dan merapikan buku-buku pelajaran. “Eh, jangan lupa besok tadarus, bawa al-qur’an. Jangan lupa juga puasa sunah besok” ya setiap hari kegiatannya berbeda. Seperti halnya, senin upacara, selasa sholat duha, rabu tadarus, kamis pembinaan, dan jum’at yasinan atau bersih-bersih.

Tangerang, 17 Mei 2013 “Untuk seluruh kelas 8 Madrasah Tsanawiyah Negri II, besok akan dilaksanakan ICBC tunas 4 di Cilodong, Depok” pengumuman dari meja piket membuat semua siswa kelas 8 bersorak kegirangan. Cilodong. Memang itu lah yang ditunggu. Dalam ICBC (Islamic Character Building Center) dimana kita dilatih dalam hal kekompakan di kelompok, dilatih bangun lebih pagi. Melaksanakan ibadah tepat waktu, disini juga kita merasakan kebersamaan walau pun hanya sehari. Kapan lagi coba? Dimana lagi? Bisa bareng-bareng, bangun pagi-pagi ibadah.
“Yeah kita on the way to Cilodong!!!” kita semua bersorak, dengan menggunakan tronton kita melaju di jalan tak lupa berdoa. semua flashback tentang Study Observasi Lapangan saat di Jogja, itu pengalaman paling seru. Aku di bus 3 dan bareng sama anak kelas Arab, Inggris 1. Pengalaman yang gak mungkin dilupakan. Dan mobil tronton pun memasuki halaman wisma atlet. “Eh kenapa tiba-tiba gue deg-degan gini ya?” aku lihat tangan Nasya bergetar hebat dan wajahnya mulai memucat. Duh lagi-lagi Nasya takut.

Rembulan bersinar malu dikala itu. Seketika semangat ku, patah begitu saja. “Kenapa? Ikut gak?” Shasa bertanya pada ku. Kenapa? Kok tiba-tiba aku berubah pikiran ya? Kenapa ini?. Tiba-tiba aku takut untuk mengikuti kegiatan JERIT MALAM. Entah, apa aku takut akan hantu. Atau.. ya aku tidak tahu. “..nanti kalian akan menemukan sebuah makam tua, maka kalian harus mencium kuburan itu—“ saat pak abri itu mengatakan kalimat “KUBURAN” terbayang sudah. Takut. Itu yang kurasakan. Tapi, rasa penasaran ku pun ikut menyelimuti. Akhirnya aku pun ikut kegiatan tersebut.

Saat itu kita semua dikumpulkan dalam suatu bangunan seperti aula. Disaat itu dingin yang kurasakan. Takut, ketakutan ku memuncak. Ingin rasanya menghindari. “Kamu kelompok dua ya”. Deg! Semua gemetar! Hebat! Takut. Lilin pertama kita baca. Hening. Sunyi. Saat memasuki hutan, gelap. Hanya penerangan dari rembulan yang menyinari, dan lilin yang terpasang setiap jalan. Dan disamping lilin pun ada tulisan serta makhluk yang membuat kami kaget terkejut. Hingga kami pun berjatuhan. Dan akhirnya kita dapan menyelesaikan perjalanan itu karena kekompakan kita.

Semua keluar dari baraknya masing-masing. Dengan berjalan menuju lapangan basket. Ditemani peralatan sholat, dan rasa kantuk. Mata 5 watt seperti orang-oarang China disana. “Huaaaa.. gue masih ngantuk tau bey, balik kamar yuk” Anggie, ya makhluk satu ini memang kadang aneh. Toh, kita mau sholat, dia maunya tidur lagi. “Udah ah, cemen ya lu.. ayuk sholat nanti ketinggalan—” aku teringat sesuatu “Vita kemana gie?” saat ku lihat, teman ku Vita tak ada dekat ku, iseng. “Oh iyaa” Anggie menepuk keningnya.

Mentari menampakan wajahnya dikala pagi indah. Dengan hangat memeluk tubuh ku. Lelah. Tapi, aku akan kembali ke sekolah tercinta ku. Dari sekian banyak kegitan yang ku ikuti, aku sangat termotivasi untuk melakukan ibadah dengan rutin dan tepat waktu. Terlebih aku suka untuk melakukan ibadah sunah. Bagi ku keasikan tersendiri, ya.. untuk membuat hati ku tenang. “Ohayou Gozaimasu kakak” aku tersenyum melihat teman-teman ku yang duduk depan kelas. “Hoii.. pr matematika udah? Ajarin dong” matematika perlajaran terakhir di kelas ku. ya tapi karena gurunya yang killer ya harus cepat-cepat ngerjainnya. “Aihhh, Sakura udah tau. Udah selesai terus dia ngegalau—” Tirta langsung menyambar pembicaraan ku dengan Najwa, “Husss Tirta ya ngomongnya, siapa sih yang galau? Hahaha” aku tertawa. “Dih ya Sakura lah yang galau. Galauin si—” belum selesai Tirta bicara, Najwa langsung menjawab perkataan Tirta “si Risky” Najwa pun lari ke kelas.
“Eh kalian, sholat duha yuk. Kan bu Rif’ahnya gak ada nih” aku mengajak teman-teman ku melaksanakan sholat duha. “Ayukkk” duh Tirta memang nomer satu deh kalau soal ke masjid. Hmm… niatnya sih dua, satu ibadah, satu lagi liatin anak kelas bina prestasi 2 deh. Aku, Tirta, Dewi, Najwa, dan Anggie pun bergegas ke masjid dengan membawa perlengkapan sholat. Mengambil air wudhu, dan langsung melaksanakan duha 4 rakaat. Rutinitas ku setiap tidak ada guru di kelas. Baik itu duha, ataupun tadarus. Ini, rutinitas baru ku saat bersekolah di madrasah tsanawiya. Ya, walau aku juga masih kurang suka dengan pelajaran muatan lokal, dengan surat yang panjang-panjang. Tapi lama-kelamaan aku terbiasa.

Tangerang, 11 Desember 2012. “Hajimemashite. Watashi no namae wa Sakura desu. Yoroshiku minna” teman-teman ku hanya melamun. Aneh. Mereka memang tidak mengerti arti dari kalimat yang ku ucapkan tadi. “Eh kok melamun, kenapa dah?” dengan wajah polos ku, yang seakan-akan aku menganggap mereka semua mengerti apa yang ku ucapkan tadi. “Eh Ra, ngomong apaan sih? Itu bahasa apa? Planet mars?” dengan wajah penasaran dan bingung Najwa bertanya pada ku. Aku tertawa. “Itu bahasa Jepang, artinya. Perkenalkan, nama ku Sakura. Senang berkenalan dengan kalian” aku menyengir memperlihatkan gigi ku yang kurang rapi pada bagian bawahnya. “Oalah, eh btw. Kenapa? Mau ke Jepang lu? Pake bahasa Jepang segala dah” pertanya itu aku jawab dengan singkat, namun pasti. “InsyaAllah. Kuliah di Jepang” semua terkejut. Bagi mereka itu mustahil! Mustahil! “watt? Sakura mau ke Jepang. No! ITU GAK MUNGKIN RA!!!” Tirta berteriak sampai seisi kelas berhamburan mendatangi ku. “Sakura mau ke Jepang?” suara bising itu memenuhi telingaku. Anak-anak manusia itu memenuhi meja ku. “Heiii. InsyaAllah kalau diizinin sama umi sama abi” aku mencoba keluar dari lingkaran anak-anak yang bagaikaan semut sedang mengerubuti gula. Hihi kan aku manis.

Kicauan burung bersahutan, tebaran bunga membuat sempurna pagi ini. Entah ini kah mimpi?. Tak pernah ku rasakan sebahagia ini diri ku. Tapi, dimana dia? Hilang apa? Apa ini? Bukan! Ini hanyalah perasaan ku saja! Dia? Dimana dia? Pergi?. Aku tak mengerti. Saat ini aku benar-benar tak mengerti. Dia orang yang berarti bagi ku. Hilang! Sedih! Aku merasa sendiri. Saat itu saat aku merasakan dia benar menghilang. Jerit tangis ku pecah. Ingin rasanya aku lari, menghindar dari kenyataan menyakitkan ini. Tapi? Aku tak mampu. Tak mampu berdiri tegak. Tegak dengan kedua kaki ku. Aku marah! Marah! Tapi? Semua seolah tak melihat ku! benci! Aku benci dengan semua kenyataan kala itu. Dimana? dimana semua orang yang ku kenal?. Mereka disitu. tapi aku seolah bukanlah siapa-siapa. Kulit ku perlahan seakan mengelupas. Malu. Seakan aku lemah. Mereka, bukanlah mereka yang ku kenal. “Haiii” aku mencoba tersenyum. Tapi… “Siapa ya?” dimana? dimana mereka?. Perlahan aku benar-benar merasakan kesendirian dalam diam. Ingin sekali rasanya memberontak. Siapa aku? Punya hak apa? Sudah lah.

Dear diary,
Ingin rasanya aku lari dari semua kenyataan ini. Lelah untuk menerima semua ini.
Aku yang selalu berada di dalam kepura-puraan ku.
Aku yang selalu berpura-pura ceria, dalam hati menangis.
Aku yang berpura-pura freedom sungguh dalam keseharian ku berbeda
Dengan semua beban yang ku jalani.
Ingin rasakan kebebasan di luar sana. Pergi.
Ingin merasakan angin sejuk alami bersih diluar sana.
Apa masih ada yang peduli? Who’s care to me?
Hmm.. nothing.

“Assalamu’alaikum” tak terasa hampir tiga tahun aku di madrasah ini. Sedih rasanya aku harus meninggalkan sekolah ini. Sedih! Terlebih aku harus meninggalkan seseorang. Apapun, itu semua harus kurelakan demi cita-cita ku. Tanpa sekolah ku ini. Tanpa guru-guru ku ini, apalah arti diri ku. Yang tak dapat menjadi diri ku sendiri. Aku kini, bukanlah diri ku yang dulu. Kini aku menjadi seseorang yang jauh berbeda. Aku kini menjadi orang yang benar-benar belajar dari setiap kegagalan ku. Dan kini diri ku tahu, seberapa pentingnya pendidikan itu. Apa lagi pendidikan agama. Seberapa bagus madrasah itu. Kini aku tahu, madrasah adalah tempat menuntut ilmu dengan pelajaran yang plus. Dan kini pula, aku merasakan kebersamaan dengan semua teman-teman ku. rasa takut akan kehilangan kini menyelimuti ku. Dunia seperti apa nanti yang akan ku terima? Akan kah ku dapat teman-teman sebaik mereka? Yang tulus sayang pada ku?. Atau semua akan menjadi berbalik. Kini aku mengerti, ya. Begitu pentingnya itu semua. Ilmu, ketaatan ku dalam beribadah, kebersamaan ku. Semuanya ku dapatkan disini. Di tempat ini. Sungguh aku tak rela jika harus meninggalkannya. Aku benar-benar tak punya air mata yang cukup untuk menyudahi kebersamaan ini.

Arigatou Gozaimasu Minna
So, kalian inspirasi dalam hidup ku
Kalian yang telah memberikan ku warna di setiap hari ku
Remember! Kebersamaan kita tak akan yang dapat menggantikan
Warna yang tak pernah pudar
Air mata yang mengiringi langkah kita
Kebersamaan yang membuat kita menyatu
Gomen. Aku bukanlah makhluk sempurna
Dan aku tak luput dari kesalahan
“Pada tujuan yang aku ingin langit biru menunggu diriku
Mana yang lebih dulu memutuskan pita bagaimanapun juga boleh. Musim upacara kelulusan di dalam dada pun angin bertiup. Bunga sakura hari ini tercerai berai di tempat memikirkanmu” Thank’s for everything.

Featuring WPMU Bloglist Widget by YD WordPress Developer