Hikmah Dari Sehelai Krudung


Ada seorang wanita cantik, ia memiliki rambut yang sangat panjang dan lurus, namun sayang wanita cantik itu selalu bersikap sombong dan selalu membanggakan rambut dan kecantikannya itu. Sehingga kaum laki laki merasa tergoda dengan kecantikannya.

Hingga pada suatu malam si wanita cantik itu bermimpi rambutnya yang indah dan wajahnya yang cantik ada yang ingin membakar rambutnya dan ada yang ingin mengkuliti wajah cantiknya itu. Dan ternyata mereka adalah orang orang yang selama ini dia sakiti dia hina karena mereka jelek dan tidak mempunyai rambut indah, mereka menyimpan dendam dan ingin membakar si cantik itu.

Dua hari setelah kejadian mimpi itu si cantik merasakan hal yang aneh pada rambut dan wajahnya, kepalanya merasa pusing, wajahnya ditumbuhi jerawat yang banyak sekali padahal dia selalu rajin ke salon dan creambath.

Si cantik itu merasa tersiksa dengan setiap hari harus menggaruk garuk kepala dan mengoleskan krim pelembab pada wajahnya namun jerawat semakin banyak.

Si cantik itu kini merasa gelisah dia tidak berani lagi keluar rumah karena memiliki wajah yang jelek.

Suatu hari ada seorang berjubah putih datang menemuinyam dia adalah makluk yang diutus Allah SWT untuk memberi nasehat untuk berkerudung dan usaplah wajah kamu dengan air wudhu dan jangalah kamu membangakan kecantikanmu dan keindahan rambutmu karena niscaya semua itu akan membuat engkau selalu menjadi orang yang sombong.

Dan akhirnya si cantik itu menggenakan krudung dan selalu melakukan sholat 5 waktu, keajaiban terjadi rambut yang dulunya banyak kutu dan wajah penuh jerawat kini menjadi seperti semula.

Si cantik itu pun kini tidak sombong lagi.

Indah Seindah Namanya


Aisyah Nur Fitri. Nama milik seorang gadis berparas cantik yang tinggal dengan kedua orangtuanya dan memiliki kehidupan yang serba ada. Aisyah memiliki paras yang cantik dan kemampuannya dalam belajar yang lebih dari anak seumurannya, membuat ia banyak disegani oleh teman sekelasnya.

Dari segala kelebihan yang ia miliki. Ia mempunyai sifat yang sangat buruk! Ia sangat sombong, kikir dan selalu membantah perkataan kedua orangtuanya. Padahal, kedua orangtuanya bermaksud memberinya nama Aisyah, agar sifatnya baik seperti Istri Baginda Rasulullah SAW. Namun, harapan kedua orangtuanya sirna setelah melihat sikap Aisyah yang sangat bertolak belakang dengan Aisyah Istri Baginda Rasulullah SAW.

“Aisyah… ayo bangun, shalat Subuh dulu Nak…” ujar Dania, Ibu dari Aisyah.
“Ahhh… Ibu ganggu! Aku masih ngantuk Bu! Males!” seru Aisyah yang menarik selimutnya sehingga menutupi seluruh badannya.
“Nak… shalat dulu. Kamu harus belajar shalat lima waktu! Umurmu sudah dua belas tahun! Itu sudah menjadi kewajiban untukmu!” seru Dania. Setiap pagi, tak bosan-bosannya ia memperingati anaknya yang tak kunjung sadar.
“Ibu! Aku masih ngantuk Bu! Sudah Bu! Itu urusanku!” teriak Aisyah. Dania sangat teramat sedih. Ia tak tahu harus berbuat apalagi. Buah hatinya tak kunjung merubah sikap buruknya. Padahal, ia sudah sangat berusaha mendidik Aisyah sebaik mungkin bersama dengan Suaminya.

Dania pun keluar dari kamar anaknya. Ia sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi, kini, ia hanya bisa berdoa untuk anaknya.
Setiap hari, minggu, bulan, bahkan tahun. Dania dan Suaminya berusaha keras untuk merubah sikap Aisyah. Selama itu pula, mereka terus mendoakan anaknya tercinta. Sampai suatu hari, hidayah sang Illahi datang kepada Aisyah.

“Aaaa! Ibu! Ayah! Bangun! Bu… Yah… jangan tinggalkan Aisyah Bu!!!” tangis Aisyah. Ia melihat dengan jelas menggunakan mata kepalanya sendiri, kedua orangtuanya tengah terbaring bersama. Mata mereka tertutup rapat. Wajah mereka terlihat hampa. Mereka terlihat tertidur sangaaat lelap. Aisyah tak menyangka, ia akan secepat itu ditinggalkan oleh kedua orangtuanya. Ia ditinggalkan, untuk selama-lamanya.

Pikiran Aisyah melayang seiring dengan tetesan air matanya yang terus mengalir. Ia teringat akan sikap durhakanya kepada kedua orangtuanya. Ia sangat sering membangkang bahkan tak pernah membalas budi kepada kedua orangtuanya atas kasih sayang mereka. Ia tak pernah sekali pun mendoakan mereka. Ia tak pernah sekalipun meminta maaf kepada mereka. Dan ia sama sekali tidak pernah menganggap keberadaan mereka.

Ingin rasanya ia mengungkapkan segala penyesalannya terhadap kedua orangtuanya. Ia ingin, berteriak sekencang-kencangnya memohon maaf kepada mereka. Ia ingin, menggerakkan kedua tanganya untuk membantu mereka. Ia ingin, bersujud, mencium kaki mereka. Namun, sia-sia sudah semua penyesalannya. Semuanya telah terlambat. Orangtuanya, telah pergi meninggalkan ia sendiri. Meninggalkannya dengan setumpuk rasa penyesalan yang menutupi hatinya.

“Ibu… Ayah… maafkan Aku…” lirih Aisyah masih dengan tangisannya.
“Aisyah… Nak… bangun…” seru seseorang. Suaranya lembut. Sangat lembut sampai-sampai dapat menenangkan hati Aisyah.
“Ibu?!” pekik Aisyah setelah sadar bahwa itu adalah suara Ibunya. Ia terbangun dari mimpinya. Ia melihat, kedua orangtuanya berada tepat di hadapannya. Menatapnya dengan penuh kasih sayang. Ternyata, yang dialaminya itu hanyalah mimpi.

“Ibu! Ayah!” ujar Aisyah seraya memeluk Ibu dan Ayahnya erat. Sangat erat. Seakan-akan, ia tak ingin ditinggalkan oleh mereka.
“Ibu… Ayah… maafkan Aku… maafkan anakmu yang sebenarnya tak pantas mendapatkan orangtua sekuat kalian! Maafkan Aku… Ibu, Ayah! Aku menyesal!” lirih Aisyah dengan air mata yang terus mengalir deras. Ia memeluk erat kedua orangtuanya. Ia meminta maaf, ia menyesali perbuatannya dan berjanji akan merubah sikapnya.

Di pagi yang cerah itu. Tepat saat tahun Islam berganti, seorang Aisyah, telah berhasil merubah sikapnya menjadi seperti Aisyah, istri baginda Rasulullah SAW. Ia telah mendapat hikmah yang sangat indah dari Illahi. Tak sedetik pun ia menyia-nyiakan waktu untuk bersyukur pada-Nya. Tak henti-hentinya ia memuji sang Illahi yang telah memberikan hidayah tanda kasih sayang padanya.

Napak Tilas Sang Pengabdi


“Koridor hujroh (kamar) pesantren berasitektur hijau yang mulai mengusam itu seolah abadi menyirat jelas kisah Ismail dan Abdul 5 tahun silam. Abdul yang selalu memboyong baju-baju pak Rohman dan keluarga untuk diseterika dan dirapikan di sana, mengingat ndalem (rumah guru) pak Rahman yang terlalu sumpek di waktu pagi hari, karena anak-anak beliau yang harus bersiap-siap berangkat ke sekolah. Sementara pemandangan berbeda terlihat di tepi lantai yang sedikit menjorok ke arah kolam kaki santri, yaitu Ismail yang tak pernah absen dari mengkomat-kamitkan bait perbait nadhom ilmu alat yang telah dipelajari di kelas, sebelumnya.”

Pertemuan tanpa sengaja di bandara Abdul dan Ismaillah yang menuntun ingatan Ismail untuk sejenak bernostalgia akan hal itu. Jawaban demi jawabaan singkat tentang kesuksesan Abdul dari beberapa interviewnya, agaknya menyelipkan keadaan menyesal tak beralasan di dalam memory yang dulu selalu diasahnya itu, yang akhirnya penjual mie ayam lah yang menjadi pilihan akhir sebagai profesinya. Pengalaman di universitas Qarawiyyin Maroko dan beberapa prestasi Abdul lainnya memang cukup menumbuhkan anti pati pada dirinya sendiri, dan yang pasti membuat tanda tanya besar di dalam kepalanya. Dia masih terobsesi, bahwa “final of success” itu pasti datang dari usaha belajar yang keras. Sedangkan aktivitas Ex-Rivalnya itu hanya sebagai juru laundry ndalem yang hampir semua waktu belajarnya tertelan untuk pengabdiannya di ndalem, bisa meraih segalanya.

“aku masih bertanya-tanya, bagaimana kau bisa mendapatkan semua ini kawan?”, “ridho seorang pembimbing”, jawab singkatnya. “pembimbing?”, “iyaa, ketika ahli ilmu meridhokan pengetahuannya menjalur ke beberapa otak kita, maka secepat kilat pulalah manfaat dan barokah ilmu akan menyanding kita, dan yang pasti intervensi Tuhan juga tetap berperan”, “ooow…” sepenggal kata Ismail akan persetujuannya yang seolah terpaksa, dengan menganggukkan kepala serta diselingi suara bising lending-take of pesawat di bandara. Menunggu picking-up beberapa keluarga Ismail, untuk penyambutan sepulangnya dari Maroko dalam pengembaraan ilmunya, serta Ismail yang juga masih menunggu pakliknya lending dari Malaysia, membuat mereka betah berlama-lama bernostalgia bareng di sana. “kamu masih ingat kan, dulu kita sering bersaing?”, “iyaa, dan hampir kamu yang selalu menjadi pemenangnya”.

Tak dapat ditepis lagi, beberapa tahun silam ketika mereka berdua masih dalam fase pengembaraan ilmu bersama di pesantren, mereka mempunyai kepribadian ambisius dalam meraup sejengkal pengetahuan. Namun yang membedakannya adalah arah haluan yang dipilih mereka untuk meraihnya. Abdul yang selalu menelateni dunia abdi ndalem yang tak berupeti, dan harus selalu pintar-pintar dalam membagi waktu antara belajar dan pengabdiannya itu, sementara Ismail yang selalu disibukkan duduk Istiqomah sambil menatap serius buku-buku studinya di koridor hujroh. “kamu tak takut kalau hasil belajarmu surut nantinya, sementara waktumu habis oleh kegiatan semacam ini?”, Tanya Ismail sembari melirik baju-baju hasil seterika-an Abdul yang terlihat tergantung rapi di jendela-jendela koridor hujroh. “tidak, selama kegiatan itu positif”.

Meskipun ujian akhir persantren sebentar lagi akan di hadapi oleh para santri As-Salaam, tak henti-hentinya Abdul tetap melaundry rapi baju-baju keluarga pak Rohman. Sampai di suatu ketika, Abdul merasa lebih berat pada beberapa helai baju untuk diseterika, daripada mengikuti National Arabic Olympyade. Yah, Abdul dan 3 kawannya yang terhitung lebih berkompeten di antara teman-temannya, telah dibooking guru mereka untuk manjadi delegasi pondok As-Salaam dalam olympyade tingkat nasional itu. Namun, pagi itu baju-baju yang harus di laundry Abdul tidak seperti biasanya, kira-kira hampir 50% lebih banyak.

“A’aaabbb…, ayoo cepaaat!!!” Nama panggilan yang biasa digunakan teman-temannya untuk memanggil akrab Abdul. “Iyaa, sebentar lagi…, tinggal nyisa 5 pasang”, “teman-teman sudah pada berangkat, tinggal kamu aab…” ujar kawan-kawannya yang seolah selalu menjadi supporter setia Abdul dalam setiap kompetisi yang diikutinya. Angkot merah yang mengangkutnya diharap bisa melaju selancar waterfall ketika menjatuhkan pasukan airnya. Namun budaya lelet angkot yang selalu berhenti di setiap lorong jalan tak bisa dihindari dengan doa menggebu-gebunya pagi itu.

Suasana hening terlihat di setiap sudut ruangan olympyade, pertanda babak pertama sudah dimulai. Abdul terdiam dalam keterkejutannya ketika melihat para peserta telah menatap serius selembar kertas soal di hadapan mereka. “Astaghfirullaah…!!!, aku tidak boleh menyalahkan baju-baju tadi” gumamnya sambil menghibur diri. “Ab, Kamu terlambat?” Tanya salah satu guru pendampingnya, “Iya paak…” “tadi pagi kamu masih menelateni pekerjaanmu itu?”, “Iya pak”, jawab Abdul dengan intonasi suara rendahnya, dan berusaha menundukkan kepala karena merasa tak kuasa menatap wajah kecewa guru pendampingnya. “Seharusnya kamu minta izin dulu pada pak Rahman…!!!, bilang kepada beliau kalau hari ini kamu ikut Olympyade”. Tak sepatah kata pun yang sanggup digerakkan lidahnya untuk berucap, hanya senyum kecil dan rasa bersalah yang ditampakkannya.

Suara sorak sorai terdengar dari para audience babak terakhir National Arabic Olympyade. Sampai pada penghujung acara, Ismail delegasi dari pesantren As-Salaam ditetapkan sebagai Runner-Up. Kemudian tropi dan beberapa souvenir penghargaan disematkan kepada para pemenang oleh bapak Menteri Agama. “kamu tau, siapa yang seharusnya menerima Tropi utama itu?”, ujar teman karib Abdul. ”Iya, kamuu… dan kamu telah melakukan serah senjata sebelum maju untuk berperang” sambungnya, sebelum Abdul melontarkan kalimatnya. “Tapi semuanya belum final!. kesuksesan bukan hari ini, tapi nanti ketika kita menyongsong hari tua”, “Semoga…!!!” Ucap kesal temannya sambil bergegas meninggalkannya, karena merasa sabda-sabda yang dianggap suci olehnya tidak digubris sama sekali.

Ujian akhir sekarang sudah 5 cm di pelupuk mata, para santri dengan antusias menyambutnya, segala macam model belajar pun dilakoni. Mulai dari membaca, menghafal sampai menulis studi yang pernah tidak diikutinya bersama teman-temannya. Tak jarang santri-santri pemalas pun menggunakan sistem SKS (Sistem Kebut Semalam) sebagai pilihan alternatif dalam menghadapi ujian akhir mereka. Terekspose sosok Abdul di pojok hujroh yang menggunakan lampu senter merahnya sebagai penerang untuk memuthola’ah buku-bukunya sampai tengah malam, karena memang seluruh lampu di setiap hujroh harus off pada jam itu, waktu tengah malam diplihnya karena memang pada waktu itu dianggap paling tepat untuk mentransfer beberapa ilmu dari buku-bukunya ke seluruh bagian sel-sel otaknya.

Hiruk pikuk keadaan sekolah As-Salaam pagi itu mungkin menyiratkan kata hening, tegang, nerveous dan diselingi suasana dingin menggigil. Dengan penuh rasa percaya dirinya, Abdul mulai menggoreskan tinta-tintanya di atas lembar kertas putih yang baru saja diberikan oleh guru pengawasnya. Dan dengan sigapnya 50 butir pertanyaan telah diselesaikan dalam waktu yang jauh dari batas waktu yang telah ditentukan. Setelah membolak-balikkan lembar jawaban untuk dikoreksi ulang, dia menyerahkan naskah beserta lembar jawabannya kepada guru pengawas, kemudian bergegas meninggalkan ruang ujian. Sambil mengoreksi lembar jawaban Abdul, guru pengawas di kelas 3A tampak reflek berucap “Sempurnaa…!!!”

Dalam kurun waktu 2 minggu lamanya, ujian akhir pun terampungkan. Pada kesempatan lain, guru wali dengan raut berbingar ria dan langkah tergesa-gesanya menuju ruang kelas 3A, siswa-siswa penghuni kelas pun ikut penasaran dibuatnya. Ternyata guru wali memberi tahu bahwa Abdul, Ismail dan 3 siswa lainnya sebagai peraih grade nilai tertinggi di sekolah, telah di daftar untuk mendapat kesempatan melanjutkan studi mereka di universitas Qarawiyyin Maroko oleh guru-guru mereka. Qarawiyyin memang menjadi Universitas impian semenjak awal langkah kaki mereka menginjakkan di pesantren. Meskipun masih harus melalui beberapa tes, tapi applause meriah meramaikan kelas mereka pada waktu itu. Ucapan-ucapan selamat serta pujian dari teman-temannya pun tak luput menjadi sebab keramaian di kelas. Senyum haru menyelimuti Abdul dan 4 teman lainnya, tak henti-hentinya kalimat syukur terucapkan dari mulut mereka. Abdul dan kawan-kawan segera mempercepat langkahnya untuk mengambil air wudhu sebagai syarat sujud syukur, untuk pembuktian rasa terima kasih mereka kapada Allah.

Moment-moment itu telah berlangsung, Abdul dan kawan-kawan memutuskan lebih gencar dalam menekuni belajarnya. Mulai dari sering mengadakan belajar bersama di hujroh-hujroh mereka secara bergilir, sholat malam bersama, sampai berbagai macam metode balajar untuk menjebol pintu kesempatan balajar di Qarawiyyin pun dilakukan mereka dangan penuh keseriusan, tapi semua itu tak menyurutkan semangat Abdul sebagai pengabdi ndalem, semua masih dilakukan seperti biasanya.

Beberapa uji tes di luar kota telah mereka hadapi dengan semangat dan antusias, tapi apalah daya, ternyata kehendak Tuhan tak sejalan dengan rencana dan keinginan mereka. Pengumuman yang dibaca mereka lewat media online mengatakan kalau hasilnya cukup mencengangkan, dari 5 murid peraih grade nilai tertinggi di pesantren As-Salaam yang terdaftar, hanya Abdul yang mendapat tiket kesempatan emas itu dengan sepenuhnya.

Terhenti sejenak dari nostalgia perjalanan mereka, tiba-tiba sekerumunan orang terhentak merapat di sekitar mereka. Yah, keluarga Abdul telah datang untuk menjemputnya sepulang dari Universitas impiannya itu.
Nostalgia lama Abdul dan Ismail pun seketika buyar terselesaikan.

Kerudung Hijau Umi


Allah akbar…
Allah akbar…
Suara adzan subuh menggema di pelosok desa. Sang muadzin tengah melantunkan kalimat-kalimat suci penuh makna. Mataku terbuka dengan perlahan. kepalaku sedikit pusing. Telingaku menangkap suara indah dari kamar umi. Umi tengah membaca kalam illahi. Suara merdunya begitu aktif menebar ketenangan.

Semburat pagi menampakkan dirinya dengan malu-malu. Indahnya bintang telah diganti oleh indahnya pantulan sinar matahari yang mengkilau. Aku tengah mengemasi barang-barang pribadiku. Hari ini adalah hari keberangkatanku ke Cilegon. Aku akan merantau ke kota Baja. Sebelumnya umi tidak mengizinkan aku pergi, namun aku bersikeras ingin pergi. Akhirnya dengan berat hati umi mengizinkan aku pergi merantau.

“Aini… umi harap di perantauan nanti engkau selalu berada dalam lindungan Allah swt. jaga dirimu baik-baik nak.. jangan tergoda dengan kenikmatan dunia yang semu, umi harap kamu mau menerima ini, ini bekal untuk menjaga kesucianmu.” ucap umi sambil menyerahkan kerudung hijau kesayangan umi
“aduh umi… di Cilegon itu panas, kalau aini pake kerudung, wah… bisa-bisa aini mati kepanasan” ucapku sambil menyerahkan kembali kerudung hijau umi
“Aini sayang… walaupun kamu tidak mau memakainya sekarang, umi yakin suatu saat nanti kamu akan membutuhkannya, kamu akan memakainya, maka terimalah sayang, umi mohon..”
Dengan terpaksa kuterima kembali kerudung hijau umi yang tadi sempat aku tolak. Dengan deraian air mata umi melepas kepergianku.

Di kota baja ini, kehidupanku sudah jauh dari Agama. Shalat lima waktu sudah jarang aku dirikan. Zakat sudah tidak pernah kutunaikan. Puasa sudah lama ku tinggalkan dan Al quran hanya menjadi penghias mejaku. dan yang lebih ironis, aku tidak pernah memakai kerudung hijau umi. kubiarkan rambut indahku dinikamti oleh semua orang tanpa rasa malu. Pergaulanku sudah keluar dari koridor syariat Islam.

Sudah hampir dua tahun aku tinggal di kota baja ini. Aku tidak pernah memberi kabar kepada umi. Bahkan, aku tidak memberi tahu dimana alamat kontrakanku sekarang. Ketika hari lebaran tiba, hatiku tergerak untuk pulang. Perasaanku selalu mengajak aku pulang ke kampung halaman. Akhirnya aku berencana pulang setelah dua tahun aku tidak pulang. Pagi-pagi sekali setelah tiga hari dari hari kemenangan, aku pergi mudik untuk pertama kalinya.

Desaku masih indah seperti dulu. Hamparan padi yang hijau membuat sejuk setiap mata yang memandang. Aku telah sampai di depan rumah mungilku. Kulihat pintu rumahku dililit oleh rantai yang berujung pada gembok berukuran sekepal tangan seorang bayi. Kuketuk pintu sambil memanggil umi. Namun tidak ada sahutan sama sekali. Ketika aku tengah dilanda kepanikan karena tidak kutemuai umi, tiba-tiba datang seorang wanita setengah baya berlari menghampiriku, tubuhnya pendek dan berisi. aku mengenal wanita itu. beliau adalah adik perempuan Abi. ya… beliau adalah bibi maemunah.
“untuk apa kamu pulang Aini? tidak ada gunanya kamu pulang, dasar anak durhaka!!, kau tinggalkan ibumu sendiri, kau lupakan beliau dengan tidak memberi kabar, anak macam apa kau ini..? melupakan begitu saja seorang wanita mulia yang melahirkan dan mendidikmu, dasar anak durhaka, pergi kamu dari sini..!!!” ucap bibi maemunah dengan penuh amarah
“bi… aku berkerja untuk membahagiakan umi. aku bukan anak durhaka bi…” ucapku dengan linangan air mata
“Bah… bukan anak durhaka katamu. enteng sekali kau bicara”
“sekarang umi dimana bi..?”
“umimu telah pergi, beliau telah dipanggil oleh gusti Allah”
“maksud bibi…Umi?!”
“ya… umimu telah meninggal dunia. beliau meninggal pada tanggal 17 Ramadhan. Beliau meninggal di bulan yang penuh barokah. Meninggal dalam keadaan khusnul khotimah. Sebelum beliau menutup matanya untuk terakhir kalinya, beliau sempat berkata pada bibi, “mun.. alangkah senangnya hatiku jika sebelum meninggal aku sempat melihat putri semata wayangku pulang. Melihat kembali wajah cantiknya, bahkan aku membayangkan anakku memakai kerudung hijauku, kerudung hijau pemberian suamiku pasti dia akan terlihat anggun dengan kerudung hijau itu.”

Badanku sudah tidak kuat menyangga tubuhku lagi. Tubuhku ambruk di teras rumah. Aku teringat kerudung hijau pemberian umi. Aku merasa telah menjadi anak durhaka. Bibi maemunah memelukku erat. Beliau mengajakku ke makam umi yang masih basah oleh air hujan tadi malam. Aku sedih melihat gundukan tanah itu. Gundukan tanah yang di dalamnya terdapat jasad umi.
“umi maafkan aini.. Aini sayang umi… aini janji, aini akan menutup kepala aini dengan kerudung hijau umi, semoga umi bahagia di sisi Allah”

Hari-hari yang ku lalui setelah kepergian umi, kurasakan semakin bermakna. Aku berhenti berkerja. Di kampung halamanku ini ku wakafkan diriku. ku pelajari ilmu Agama di pondok Pesantren yang ada di samping rumahku. kurasakan kasih sayang allah begitu besar. Hatiku tentram ketika aku mampu menutup auratku dengan baik. Kutegakkan kembali shalat lima waktu yang menjadi kewajibanku. Kukerjakan puasa baik yang diwajibkan oleh Allah maupun yang disunahkan oleh Rasulullah SAW. Apabila hidup berdampingan dengan Al Quran maka hidup akan terasa tentram dan damai. itulah kehidupan yang aku rasakan sekarang. hidup sesuai Al Quran dan As sunah

TAMAT

Ustadz


Empat tahun sudah aku tinggal di Masjid Nurul Huda, tapi belum pernah satu kali pun diri ini dihinggapi rasa bosan. Bahkan ketika Rudi and the gank menerorku karena salah paham, ia mengira aku punya perasaan tertentu pada Anis, pacarnya. Atau saat Pak Darman mencaci-makiku di depan banyak orang karena enggan mengikuti ritual seribu hari kematian istrinya. Tidak satu pun dari semua itu yang membuat emosiku meledak berlebihan hingga meninggalkan masjid yang lumayan megah ini.

Masjid Nurul Huda menampungku sejak berstatus mahasiswa semester pertama. Sebagai timbal balik atas kamar gratisnya, aku mengisi waktu ba’da Maghrib dengan mengajar anak-anak warga sekitar masjid membaca Alquran hingga menjelang Isya. Di waktu-waktu lain biasanya aku membersihkan masjid, bahkan kadang mencuci mukena di lemari perempuan, karena ibu-ibu pengajian jarang melakukannya.

“Bang Habib nggak pergi dari sini, kan?” pertanyaan lugu dari Satrio yang menyiratkan kepedulian tulus. Satrio hanya satu dari sekitar dua puluh anak yang terus menyakinkanku untuk tetap tinggal di masjid ini setelah wisuda.
Dan memang, hingga beberapa bulan setelah menjadi sarjana, aku masih menganggur. Tapi bukan hanya karena alasan itu aku tetap di sini, aku betah –mungkin– karena ikatan kasih sayang antara aku dan adik-adik didikku.

“Belum ada kabar satu pun, Bib?” agak tak enak Bang Sar bertanya. Ia adalah anak almarhum Haji Mukhlis yang mewakafkan tanahnya untuk mendirikan masjid ini dua puluh tahun silam.
Bang Sar bekerja sebagai supervisor di sebuah perusahaan penyalur barang-barang kelontong. Meski telah berumahtangga, ia masih betah berlama-lama di masjid.
“Belum,” jawabku tabah.

Di meja, masih ada dua map lagi berisi surat lamaran kerja lengkap dengan curriculum vitae. Rencanaya berkas itu akan kuantarkan ke salah satu SD Islam dan sebuah Bank Syariah. Bang Sar membuka salah satu map lalu melihat-lihat lembaran di dalamnya.
“Kemarin Abang diskusi dengan bapak-bapak yang shalat di sini, Abang menanyakan kesediaan mereka berinfak semampunya untuk ustadz yang telah mengajar anak-anak mereka membaca Alquran. Alhamdulillah, mereka semua bersedia.”
“Maksud Abang honor untuk saya?”
“Iya, Abang sadar betul orang-orang seperti kamulah yang banyak berjasa bagi anak-anak, walaupun memang baru disadari setelah mereka dewasa nanti. Bisa dibilang, membaca Alquran adalah modal awal untuk mendapatkan ilmu agama.”
“Tapi saya malu, Bang.”
“Seharusnya mereka yang malu, untuk ilmu komputer dan Bahasa Inggris yang bersifat dunia, mereka rela menghabiskan uang ratusan ribu, bahkan jutaan. Tapi untuk Alquran yang dunia akhirat malah gratisan.”
Walau setuju dengan pendapatnya, aku tetap tak mengiyakan ucapan Bang Sar, seperti ada keraguan yang mengganjal. Entahlah, mungkin saja firasat.

Awal bulan. Kuintip Bang Sar yang sedang menyusun lembar-lembar kusam di belakang mimbar. Dari sebuah kotak kardus kecil dengan segaris lubang ia mengeluarkan rupiah demi rupiah, lalu merapikannya. Bang Sar tak menyadari kehadiranku maka kubiarkan saja ia sibuk dengan kotak yang tadi digilirkan kepada bapak-bapak dan ibu-ibu jamaah shalat Maghrib.
Kuteruskan mengimla adik-adikku, malam ini giliran materi mad. Begitulah, dalam sepekan membaca Alquran dilakukan empat malam, satu malam untuk belajar tajwid dengan sedikit kegiatan mencatat—seperti di sekolah, dan satu malam untuk ceramah agama yang kadang diisi kawan-kawan organisasi atau kenalanku. Sisanya, malam Jumat, libur.

Masjid megah ini sempat memiliki Remaja Masjid, tapi struktur organisasinya berkali-kali diubah, program kerjanya tak pernah jalan, dan para pemudanya pun entah hilang ke mana. Kelak, murid-muridku inilah yang akan menggantikan mereka.
Saat aku sedang menjelaskan tentang jaiz munfashil, salah satu adik didikku menarik paksa pulpen teman di belakangnya.
“Ardi,” tegurku dengan hanya menyebut namanya.
“Pulpen Maya juga diambilnya, Bang,” adu anak yang lain.
“Kembalikan Dik, perempuan harus dijaga bukan diganggu.”
Ardi melotot pada Maya, lalu melemparkan sebuah pulpen gel pada temannya itu.
“Jangan diambil!”
Maya yang kepalanya terkena pulpen lemparan Ardi urung mengambil miliknya.
“Kamu ambil kembali pulpennya, lalu kasih baik-baik!” aku mulai bertindak tegas.
Hal-hal semacam ini memang sering terjadi, dan menurutku itu biasa. Yang tidak biasa, Ardi bukannya melaksanakan perintahku, ia malah beranjak dari duduknya lalu keluar meninggalkan masjid. Sepeninggal Ardi, pelajaran kulanjutkan kembali.
Usai shalat Isya dan anak-anak sudah pulang ke rumah mereka masing-masing, Bang Sar menghampiriku, sebuah amplop ia angsurkan.
“Terimakasih, Bang.”
“Gunakan seperlunya, tapi setelah mendapat kerja nanti, jangan dilupakan yang sedikit ini.”
Aku tersenyum mengangguk.

Pintu kamarku diketuk berulang-ulang nyaris tanpa jeda. Kuletakkan amplop yang baru saja kubuka tapi belum sempat menghitung berapa rupiah jumlah isinya.
“Ada apa, Pak?” di depan pintu kamarku yang terletak di samping masjid, Pak Barus, ayah Ardi, berdiri berkacak pinggang.
“Ada apa ada apa, kamu sudah berani mengusir anak saya!”
“Maaf Pak, tapi saya tidak pernah mengusir Ardi, teman-temannya bisa jadi saksi,” aku membela diri.
“Anak kecil mana bisa bohong. Saya sudah pesan ke dia kalau kamu macam-macam, Ardi harus lapor. Karena sekarang kamu dibayar, jadi tidak bisa semaunya!”
“Astaghfirullahal’azhim.” Kutoleh amplop di meja sebelah tempat tidur. “Maafkan saya, Pak. Insyaallah besok infaknya saya kembalikan.”

Kutinggalkan Pak Barus yang masih berkacak di depan pintu. Kubiarkan pintu itu tetap terbuka, karena aku terlalu sibuk mengusir ribuan setan yang meniup-niup bisikan ke dadaku.
Angin malam berhenti memasuki kamarku, sepertinya Pak Barus menutup pintu kamarku dari luar, sebelum kemudian meninggalkan masjid.

“Apa-apaan ini?” Bang Sar menolak amplop yang kuangsurkan.
“Kembalikan saja lagi Bang ke pemiliknya semula, tenyata lebih enak tanpa imbalan.” Kudesak Bang Sar mengambil amplop yang tadi malam ia berikan padaku.
“Abang nggak akan ninggalin kita, kan?” Maya berdiri di belakang Bang Sar, sepertinya ia tahu apa yang terjadi.
Aku menjawabnya dengan senyuman.
“Kalau Abang marah sama Maya, Maya nggak pernah bilang sama Ayah kok,” lanjut Maya lagi.
“Kenapa kamu nggak bilang?” tanyaku iseng.
“Karena Abang marahnya cuma sebentar, dan nggak pernah mukul.”
Kuperhatikan wajah polos di depanku itu. Ingin kusampaikan, segala cinta bermekaran di dadaku untuk ia dan kawan-kawannya.
Tak lama, Ardi datang menenteng Iqro’. Sedikit takut-takut ia memasuki masjid, kuberikan senyumku padanya, senyum yang sama dengan yang kuberikan pada Maya.
“Abang masih di sini, kan?” Maya bertanya lagi.
Aku mengangguk
“Nanti biar Maya bilang ke Ayah supaya memberi infaknya lebih banyak.”
“Sst, jangan itu! Bilang saja ke Ayah, ngajinya gratis, tapi yang mau pulang lebih dulu silakan, asal jangan balik lagi,” kali ini agak kencang suaraku.
Maya tertawa, ia mengerti maksudku. Sementara, Bang Sar sibuk menuliskan pengumuman di whiteboard; “Infak untuk ustadz dikembalikan ke kotak amal. Belajar Alquran kembali digratiskan, dan mohon bantuan orangtua untuk mengajarkan anak agar menghargai ilmu dan menghormati guru!”
Bang Sar mengetuk ujung spidolnya dengan keras ke whiteboard, tanda ia kesal. Ardi sedikit gugup, tapi ia tetap anak-anak. Tak mengerti.

JATUH CINTA MENDEKATKANKU PADA ALLAH

JATUH CINTA MENDEKATKANKU PADA ALLAH
Karya Kiki Ramadhan

“Gubrak”Aku menabrak sesuatu dihadapanku membuat semua buku-buku di gengamanku terjatuh. Siapakah sosok yang ku tabrak ini, mencoba menoleh kearahnya. Nampaknya seorang pria tinggi, berkulit putih dan berkaca mata.
“hati-hati” ucapnya melepas senyum dari dua belah bibirnya.

Aku menatap wajahnya dalam-dalam. Bibirku berat untuk berucap seperti ada sebuah sengatan listrik yang menyambarku, nafasku begitu berat, jantungku seakan sejenak terhenti.
“kamu gag kenapa-kenapa kan ?” tanyanya meyadarkan lamunanku.
“gag kok”balasku seraya membungkuk memunguti buku-bukuku yang terjatuh.

Ku lanjutkan langkahku. Teringat sosok pria yang ku tabrak tadi, siapakah gerangan dirinya, terbayang selalu ingatan senyum manisnya yang begitu menawan. hemmm.. Mungkinkah aku jatuh cinta ???.
***

Jatuh Cinta Mendekatkanku Pada Allah

Pagi jakarta,
Aku membuka jendela kamarku. Malam telah berganti pagi, menyisakan embun pagi yang akan segera hilang tertelan hangatnya mentari. Kicauan burung terdengar mengalun, memberikan keindahan pagi ini. Sebentar menghampiri laptop, membuka account facebook kemudian bergegas mandi untuk segera pergi sekolah.

Tiga jarum Jam tanganku sudah menunjuk pukul 06.30 pagi. Setelah menyantap beberapa potong roti, segera aku melangkah menuju sekolah.

Aku menyusuri lorong sekolah menuju kelas namun sebelumya aku harus melewati perpustakaan, laboratorium dan ruang guru. Ketika aku melewati ruang guru, aku melihat sosok pria yang kutabrak kemarin. Nampaknya ia baru saja keluar dari ruang guru.
“Hey..” Panggilku menghampirinya.
“Assalamualaikum” ucapnya berbalik menyapaku.
“Walaikumsalam” balaskku.
“ada apa yah ?”
“ga kok, kenalkan aku Kheisya Azahra” ucapku mengulurkan tangan.
“saya, Mohammad Ikhwan” jawabnya. Merapatan kedua telapak tangannya di dada.
“salam kenal” menarik lagi uluran tanganku. Aku mengerti mengapa ia tidak membalas uluran tanganku karena mungkin aku bukan muhrim baginya.
“sudah dulu yah sya, bel masuk sebentar lagi berbunyi” putusnya berlalu meninggalkanku.

Hatiku berbunga-bunga, rasanya bahagia bukan kepalang. Aku seperti mendapat sebuah hadiah terindah karena aku bisa berkenalan dengannya. Hemm.. ini membuatku semakin ingin tahu siapakah sebenarnya sosok Ikhwan itu.

Duduk bersandar di bangku taman sembari menimati snack yang baru saja kubeli dikantin bersama sahabatku Mirna. Kebiasaan inilah yang kulakukan menghabiskan jam istirahat. Sejurus kemudian aku melihat Ikhwan keluar dari kelasnya. Untuk kedua kalinya aku mencoba menghampirinya.
“Mirna, gue kesana dulu sebentar” ucapku meninggalkan Mirna.
“oke” balasnya.

Aku mengikuti langkah Ikhwan . Nampaknya ia menuju mushola yang berada di ujung sekolah tepat di sebelah ruang osis.
“Kheisya, ” sapa Ratna menghampiriku. “mau shalat Dzuhur?”
“gag, aku gag bawa mukena”jawabku. “Ratna kenal sama Ikhwan ?”
“oh ka Ikhwan, dia ketua rohis disini. Memangnya ada apa kamu tanya ka Ikhwan ?”
“gag kenapa-kenapa kok. Aku boleh masuk rohis gag ?”
“boleh saja kok, rohis terbuka untuk siapa saja. Kamu datang saja kesini setiap hari minggu jam sembilan pagi mengenakan pakaian muslim”ujarnya.
“oh begitu yah,. Okeh deh, makasih yah”
“iyah sama-sama, kamu jadi Shalat gag ? ini pakai mukenaku”
“gag, lain kali ajah”putusku meninggalkan Ratna.
***

Minggu pagi tepat jam sembilan aku datang kesekolah. Semenjak aku mengetahui bahwasanya ka Ikhwan adalah ketua rohis, kini aku tertarik dengan kegiatan itu.
“kheisya sini..”panggil Ratna dari dalam mushola ketika melihat kedatanganku. Segera aku menghamprinya.
“sya, pakai kerudungmu” pinta Ratna padaku.
“aku gag bawa”
“yasudah ini aku pinjamkan” ucapnya mengeluaran kerudung dari dalam tasnya kemudian memberikannya padaku.

Aku mengenakan kerudung pemberian Ratna. Baru kali ini aku merasakan menggunakan kerudung lagi setelah lama tidak pernah menggunakan. Terakhir ku ingat saat duduk dibangku sekolah dasar dulu, itupun hanya setiap hari jum’at saja.

Tidak lama aku duduk, ka Ikhwan datang bersama dua orang laki-laki yang tidak aku kenal. Kemudian mereka duduk bersila diantara kami. Mengetahui kedatangan ka Ikhwan segera Ratna menghampirinya.
“Assalamualaikum Ka Ikhwan” sapa Ratna.
“Walaikumsalam, ada apa Ratna ?” balasnya.
“Ada sahabat kita yang baru bergabung, namanya Kheisya Azahra” Ratna meperkenalkanku. Jari jempolnya menunjuk kearahku. Ka Ikhwan hanya menolehkan wajahnya kearahku kemudian memberikan senyum. Akupun hanya tersenyum seraya mengangguk membalas senyumnya.
Waktu begitu cepat berlalu, Dzuhur telah datang dan Azan telah di kumandangkan. Kami shalat berjamaah kemudian membaca beberapa ayat Al-Qur’an, ditutup dengan Dzikir bersama dan kamipun di pulangkan.
***

Sebulan telah berlalu. Kini aku semakin dekat dengan sosok ka Ikhwan dan bukan hanya itu semenjak aku bergabung dengan kegiatan rohis kini aku mulai rajin pergi ke mushola, rajin melakukan ibadah,dan telah memakai pakaian muslim setiap pergi sekolah. Tentunya semua ini aku lakukan atas dasar rasa sukaku dengan ka Ikhwan. Dialah yang mebuat aku benar-benar berubah. Semakin hari kini rasa sukaku itu makin memuncak, ingin segera rasanya aku ungkapkan. Namun apakah ka Ikhwan akan menerima cintaku.

Jam istirahat aku mengahmpiri ka Ikhwan yang sedang asyik duduk di kantin. Kini saatnya aku ungkapkan semua yang aku rasakan padanya.
“Assalamualaikum ka Ikhwan, Kheisya mau ngomong sesuatu sama kakak” ucapku membuka obrolan.
“Walaikumsallam, iyah ada apa sya ?”
“ka Ikhwan sebenarnya kheisya suka sama kakak, semenjak saat pertama aku nabrak kakak dulu. Dan semua yang kini kheisya lakukkan merupakan cara agar kheisya bisa dekat sama kakak. Entahlah mungkin Allah tidak akan pernah menerima ibadah Kheisya karena selama ini maksud dan tujuannya hanya untuk bisa kenal sama kakak dan kakak bisa suka sama Kheisya. Sekarang aku mau ungkapkan persaan ini sama kakak dan apakah kakak mau menerima cinta Kheisya” jelasku.
“kakak gag percaya dengan apa yang kakak dengar, kenapa kamu harus melakukan semua ini sya” balasnya seperti tidak percaya. “mohon maaf sya, kakak tidak bisa menerima cintamu karena kakak sudah memutuskan untuk tidak pacaran dan memfokuskan diri pada ujian nasional nanti”
“iyah ka, Kheisya mengerti dan Kheisya juga tahu kalau selama ini Kheisya salah”
“gag ada yang salah kok sya. Seharusnya kamu bersyukur sama Allah, mungkin inilah caraNya untuk mendekatkan kamu padaNya. Sekarang, kamu harus terus melanjutkan ibadahmu dan dasarkan ibadahmu karena Allah”
“iyah ka, makasih atas semua bimbingannya selama ini. Kakak tidak akan berhentikan membimbing Kheisya dekat sama Allah ?”
“Insya Allah tidak selama kamu masih mau belajar. Yuk, sama-sama kita belajar untuk mendekatkan diri pada Allah”
“iyah ka”putusku mengilangkan rasa kekecewaan.
Rasa itu kini makin lama menghilang. Sekarang aku harus belajar untuk melupakan impian perasaan itu, belajar untuk jadi jiwa yang tegar, belajar untuk bisa menjadi lebih baik, dan tentu belajar untuk lebih dekat mencintai Allah.

-Selesai-

CAHAYA KECIL DI SEPERTIGA MALAM

CAHAYA KECIL DI SEPERTIGA MALAM
Cerpen Karya Wiwit Jayanti
Penyair itu kode sedang bulan adalah refleksi dari suatu kode, refleksi yang menoreh berkas dengan tautan pensil yang bergoyang. Gerak jemari mengalur mengikuti imajinasi kelana. Menyusuri tiap sudut kehidupan, menerjang semu kearifan sipemilik tahta dunia. Yang memalingkan kesucian demi cinta Pada benda yang meraja. Tertawa berlari dari kewajiban. Bisanya hanya terjerat dalam lelap yang berjalan dalam angan.
Ketika refleksi semakin menjadi primadona alam, Adhwa tenggelam dalam muhasabah senja yang berlalu. Cinta-Nya membuatnya berlayar pada telaga kedamaian. Menyiram segumpal merah antara rusuk penuh sesak dan amarah. Balut gundah dalam rangkai tasbih. Kokohkan jiwa dengan seribu kalimat tauhid. Keyakinan bergema takbir dihati insan berkalang cerca. Tak ada yang tahu rasa apa yang dirasa, serinci apapun menjelaskan, karibpun tidakkan bisa merasa. Sujud panjang menyatu cinta, mengucil diri dalam pekatnya. Bahasa jiwa hanya insan dan pemilik-Nya yang paham.
Semua berputar pada poros dan lintasan yg akhirnya akan kembali melalui garis-Nya. Pembelaan terhadap takdir tak berujung pelangi. Takdir-Nya indah namun keterbalikan akan logika.
Cahaya Kecil Di Sepertiga Malam – Cerpen Islami
Ibnu hazm berkomentar “ cinta awalnya permainan dan akhirnya kesungguhan. Dia tidak dapat dilukiskan, tetapi harus dialami agar diketahui. Agama tidak menolaknya, syariatpun tidak melarangnya.” Karena itu, kata sebagian pakar “keterangan tentang cinta, bukanlah cinta”.
Cinta, kepedihan, kebahagiaan, ambisi, ataupun prestasi hanyalah realisasi dari sebuah naluri yang akhwat-akhwat bilang “permainan gharizah”. Seorang Adhwa tidak terlalu paham akan itu, Adhwa hanyalah seseorang perempuan yang berusaha menjadi baik namun jauh dari baik. Keistiqomahan bergoyang ketika diterpa angin kehidupan. Adhwa adalah perempuan belia cinta ilmunya.
***

Ketika lulus SMA ada niatan untuk kuliah meski kendala itu menyapa, disitulah manisnya cobaan. Pak suryo selalu berwejang “ nak kalau mau kuliah mantapkan hati, yang serius, dan fokuskan satu tujuan! ”.Hati punya kemantapan dan keyakinan akan itu. Dari dulu hanya satu niat yang mungkin semua anak-anak ingin lakukan untuk orangtuanya, mewujudkan impian menjalankan rukun islam yang ke-5. Kehidupanya yang tidak memungkinkan saat itu, Membuat rentan uji. Pemegang tahta dunia berkoar mengumandangkan kesejahteraan rakyat. Tapi menjadi benalu kehidupan buat segelintir mereka.Pangkal penghidupan diganggu antek-anteknya, berasas “penghijauan”. Ladang petani diganggu pada musim panen. Adwha menahan sesal, pak suryo abinya menguatkan. “Tidak usah dipikirkan nanti abi akan usahakan, urusi saja semua kepentingan buat kuliahmu”. Adwha hanya memegang ayat-Nya jika allah mempermudah urusan untuk para pencari ilmu. Adhwa bukan wanita bertajuk senja yang rela menanti sore dirumah orangtuanya. Proses tidak lagi terlalui tapi terlampaui secara halus meski bukan tujuan. Seseorang mengatakan “petani yang sukses bukan dilihat dari dimana ia berkebun, tapi siapa petaninya”. Semua bermula dari niatan yang berbanding terbalik akan cinta semu.
***

Semua bermula dari sebuah ketidak sengajaan. Ketika hati mulai berpaling dari degup cinta tak berarti, seorang laki-laki hadir pada momen yang membuat semua menjadi buram. Syariat tergadai, dan keistiqomahan ternodai. Permainan iblis terlampau manis seolah-olah itu sebuah pertemuan yang sudah direncanakan oleh Allah. Ia menelusup kejiwa insan yang lemah iman. Diantara sepertiga malam tertuang bait doa pada-Nya. Didoa terakhir handphonenya berbunyi. Sebuah pesan singkat tertata rapi di handphone kesayangannya.
”duhai jiwa-jiwa yang berselimut, bangunlah dan kerjakanlah sholat sebagai ibadah tambahan bagimu”. Adhwa yang baru selesai berrnunajat pada -Nya membalas dengan sederet kalimat singkat “ ya terimakasih, Alhamdulillah saya sudah, maaf anda siapa?”balasnya. Dan ternyata pesan singkat itu berakar. Sipemilik nomor itu membalasnya”anda akan tahu sendiri suatu saat nanti”. Adhwa menghela seraya mengetik balasannya“ ya sudah, siapapun kamu saya ucapkan terimakasih”.

Percakapan melalui sms semalam, tidak hanya sebatas malam itu saja. Ternyata keingintahuannya yang sangat besar membuat Adhwa penasaran dengan sosok religius. Adhwa tahu dari sahabatnya. Perkenalan dengan sosok religius berlanjut pada telpon seluller. Hingga suatu hari dia berani menelponku, hingga hari-hari berikutnya. Tapi , dari sahabatnya adhwa tahu kalau ia sudah punya pacar. Hubungan mereka telah terjalin selama 2 tahunan. Fakta itu membuatnya geram dan itu ia katakan pada sahabatnya yang juga tidak mengerti hal itu. Adhwapun tidak terlalu menanggapi sms dari sosok itu lagi. Hingga sahabatnya mengatakan jika ia dikabarkan sudah putus dengan pacarnya. Adhwa tak habis pikir kenapa ia melakukan hal itu? Yang ternyata selama ia berhubungan dengannya, sudah ada konflik diantara mereka. Keakraban itu kembali terjalin setelah fakta itu ia terima, egois memang tapi itulah yang terjadi. Adhwa hanya mengenalnya di telpon seluller.

Hari ini adalah terakhir adhwa melaksanakan ujian akhir nasional, yang semuanya fiktif. Letih dan terik panas matahari tersingkirkan oleh nafas kelegaan. Sesampai dirumah adhwa merebahkan tubuhnya dibilik. Ponselnya berbunyi, ternyata ada satu nama disitu” cahaya kecil disepertiga malamku”. Itu nama khusus untuknya. Adhwa tidak menduga jika ternyata dihari itulah ia mengatakan untuk mengajak serius menjalin hubungan lebih dengannya. Dia tidak ingin hanya sebagai teman. Virus merah jambu memburamkan pernyataannya saat diskusi kelas. Jika pacaran haram!. Itulah awal statusnya, dan awal kerapuhan menjalankan akidah. Saat itu adhwa belum bertemu ataupun mengenalnya secara pasti. Tapi keyakinannya agar menerimanya begitu kuat. Hingga perkenalan secara nyata terjadi setelah ia menjadi kekasih tak halalnya. Lembut dan halus setan merasuk dalam setiap jiwa manusia.
Adhwa menganggap jika hubungan itu wajar selagi kita tidak melakukan sesuatu yang melampaui batas, saling memberi motivasi dan mendukung. Selama berhubungan dengannya ilmu-ilmu baru selalu adhwa dapatkan. Setiap bertemu selalu ada topik yang dibahas terutama syareat islam karena ia sekolah di madrasah yang berbeda dengannya. Yang memilih disekolah umum. Ia mengenalkan banyak hal tentang dinnya. Itu anggapan adhwa saat itu yang mengindahkan semua keyakinan sebelumnya dan menghalalkan hubungan itu. Meskipun Bersentuhan ataupun duduk berdekatanpun adhwa merasa canggung. Setiap ketemuan adhwa menyuruhnya mengajak teman.
Mereka saling mengingatkan untuk ibadah. Setiap waktu sholat selalu ada inbox yang masuk. Pacaran islami yang terlintas dibenaknya. Dan ia tahu faktanya jika tidak ada pacaran yang islami setelah ia kenal bangku kuliah. Mudharat dan mashlahat tidak bisa digabungkan. Hati terkontaminasi, dan tidak terjaga. Jika seperti itu Lantas ibadah ini karena siapa? Karena dia atau karena Allah.
Setelah adhwa kuliah, hubungan mereka merenggang. Long distance istilahnya. Hingga suatu hari keresahan dihati ini mengetuk pintu hati yang berbelok. Hati meronta, karena pada hakikatnya hati itu suci. Tapi hanya saja terkadang perkataan hati tak dihiraukan, seorang penjahatpun tidak ingin melakukan kehinaan dimatanya. Tapi karena terpaksa, ia melakukan hal yang dilarang sekalipun. Adhwa mulai menguatkan hati, walau terasa sesak didada. Tiga layar penuh kalimat tersusun apik yang ia pikirkan sebelumnya. Dengan basmalah ia kirimkan pesan panjang itu kenomor “cahaya kecil disepertiga malamku”. Adhwa menangis, penyesalan ada tapi kekuatan untuk kembali pada-Nyapun lebih kuat. Adhwa menunggu jawaban darinya, tidak kunjung ditanggapi olehnya. Hingga tengah malam ia mendapati balasan yang sangat singkat yaitu kata “ ya “. Tanpa ekspresi sangat padat dan jelas. Sejak saat itu tak ada lagi inbox darinya.
***

Setelah sebulan berlalu ia kembali menghubunginya. Mereka kembali berhubungan melalui telpon seluller. Yang berbeda, mereka tidak punya hubungan serius lagi. Hingga hari itu ia mengatakan jika jangan smsan lagi karena perempuan dan laki-laki tidak baik smsan. Perubahan yang sangat drastis dari cahaya sepertiaga malamnya. Ada rasa senang, karena pada akhirnya ia mengerti konsep hidupnya. Hingga sekarang smsnyapun hanya sekedar sms tausyiah yang dikirimkan juga untuk semua. Setahun berlalu dia tidak ada khabar, sms tausyiah ataupun facebooknya tak ada status baru. Hati jika sudah dinodai sulit untuk dibersihkan, rasa itu terlampau kuat menggenggam ingatan tentangnya. Dan didapati khabar ternyata dia mondok satu tahun di jawa. Adhwa tak mungkin sms mendahuluinya dan nomornyapun sudah tidak aktif.

Hari itu selepas kuliah adhwa membuka akun facebook dan ia dapati inbox disana. Sebuah nama yang senantiasa terukir, dia cahaya kecil disepertiga malamku. Menanyakan khabar. Karena aku berselancar dengan ponsell, tidak cukup memori telpon selullerku untuk membalasnya. Hingga aku beranikan diri untuk menulis di wall nya. Percakapan kami berlanjut pada wallnya, tapi kata penutup darinya yang membuat adhwa bertanya-tanya. Dia mengatakan agar adhwa menjaga ibadah dan semoga menemukan kebahagiaan. Meskipun sudah dua tahun berlalu tapi nama itu masih terselip rapi dihati dan doa seorang adhwa . Disujud panjang qiyamul lail kerealisasikan rindunya dalam doa. Berharap tuhan memberikan jalan terbaik buat ia dan cahaya sepertiga malamnya.
****

Sekitar pukul 11.00 malam ia sms tiba-tiba. yang mengatakan jika ia menginginkan pacar yang seperti ibu satu untuk selamanya. Adhwa tersentak akan maksud dari pesan singkat itu. Ia mencoba mengerti makna dari pernyataan itu. Mugkinkah ia menginginkanku menjadi bagian dari hidupnya. Tapi, adhwa belum punya kesiapan akan itu. Adhwa terlalu sayang pada orangtuanya, ia harus mewujudkan impian mereka. Hingga ia temui sebuah status facebook yang adhwa pikir mengacu padanya “ apakah aku siap menunggu?”. Selang beberapa minggu dari itu adhwa harus menerima kenyataan status facebook yang menyatakan jika cahaya sepertiga malamnya sedang punya hajat untuk mengkhitbah seorang gadis. Ia hanya bisa beristighfar menenangkan hati.ia hanya bisa mendoakan kebahagiaan untuknya. Belum ada pernyataan pasti, meskipun hanya sebuah status facebook tapi sudah membuatnya merasakan perih yang teramat. Ini konsekuensi dari sebuah syariat yang harus digenggamnya.

Cinta biarlah terpatri, karena semakin berlari semakin ia merengkuh erat qolbu. Semua panyair menggambar cinta itu sebuah keindahan. Tapi adhwa merasakan kebalikannya. Kata-kata seorang akhwat menenangkannya”…pernikahan yang didasari rasa cinta itu tidak logis. Karena istikharahpun percuma, jiwa senantiasa membenarkan jika ia jodoh terbaik…”. Biarkan ia mengikuti alur kemana ia akan berlabuh. Allah tahu yang terbaik buat hamba-Nya. Adhwa menguatkan hati
“….Cahaya kecil disepertiga malamku, mungkin ini jawaban atas caraku yang salah Mencintaimu dalam sunyi. Sesal tinggal menggurui hati, rencana-Nya lebih indah untuk menjaga hati hamba-Nya. Akhir hidup itu sebuah keindahan, jika belum maka itu perjalann hidup yang masih panjang. Aku hanya bisa mengucap syukur atas semua kejadian hidup. Berterimakasih untukmu yang telah mengenalkan pada Dinku. ISLAM.”
***

Adwha kini telah menyelesaikan sarjana dengan segenap perjuangan orangtua yang menyayanginya. Ia mengajar privat dan ngaji untuk menyambung hidup dirantau selama kuliah. Perjuangan itu membuahkan hasil gelar sarjana pendidikan disandangnya dengan segenap bangga dihati. Setelah menyelesaikan strata satunya ia mondok selama satu tahun untuk menambah ilmu akhiratnya. Dan kini ia telah berekor ada buah hati dan suami yang menguatkannya. Tulang rusuk itu tak pernah tertukar meski sejauh bumi bergerak, mas fajar mengkhitbahnya melalui kedua orangtuanya yang sebelumnya tak pernah dikenalnya. Cinta SMA berlalu, seumpama sandal jika tidak jodoh meski dipaksa tidak akan pernah cocok. ALLAH telah memilihkan fajar untuknya dan itulah yang terbaik. Cinta suci menyambut dalam peraduan. Lagu almaedany diputar” menanti di belahan jiwa”

 

SEBUAH JILBAB, SERIBU KEBAIKAN

SEBUAH JILBAB, SERIBU KEBAIKAN
Karya Tyaz Hastishita

Zaman sekarang, dikota besar, dikota kecil, desa, kampung dan pedalaman yang sangat jauh, islam sudah dikenal sejak datangnya Nabi Muhammad saw yang membawa cahaya untuk para manusia yang jahiliah. Nabi Muhammad saw mewarisi kita akhlak mulianya,yang dibawa dari waktu kewaktu sampai sekarang. Beliau pun mengajar kita menutup aurat dan menjaga kehormatan masing-masing, menahan nafsu dan sebagainya. Ya, kata-kata itu aku dapat dari guru Pendidikan Agama Islam. Dia masih muda, umurnya masih sekitar dua puluhan. Dia mengajar sebagai guru pengganti sementara, karena guru yang biasa mengajar Pendidikan Agama Islam sedang melaksanan pekerjaannya diluar kota, jadi beliaulah yang menggantikan sementara.

Tapi walau hanya sebentar, walau hanya beberapa bulan. Beliau berhasil menjadikan beberapa anak berubah. Yang tadi sifat dan sikap mereka begitu nakal dan susah dikendalikan, tiba-tiba menjadi anak yang sholeh, patuh dan berubah seratus delapan puluh derajat dari sifat aslinya. Termasuk aku. Beliau merubah pemikiranku tentang islam, membuatku mencintai islam, dan melaksanakan kewajibanku sebagai muslim.
Sebuah Jilbab, Seribu Kebaikan
Ceritanya dimulai dari sejak beliau datang kesekolahku…
“ Assalamualaikum. Selamat pagi anak-anak.” Ucapnya dengan senyuman manis.
Tepat saat panas yang terik, pelajaran terakhir membuat penat semua siswa didalam sekelasku. Apalagi waktu itu pelajaran Pendidikan Agama Islam adalah pelajaran terakhir. Pelajaran ini membuat aku dan teman sekelasku mengantuk dan ingin cepat pulang, karena guru yang mengajar dikelasku hanya berbicara-bicara yang membuat kami mengantuk. Tapi disiang itu, guru yang biasa mengajar kami digantikan dengan seorang perempuan berpakaian tertutup dengan jilbab yang hampir menutup tubuh bagian atasnya. Wajahnya sangat bersih dan putih, jerawat, noda hitam atau keriput didaerah tertentu tidak nampak sama sekali, dia guru tercantik yang pernah kulihat.

Tak lama setelah memberi salam, beliau menaruh buku mengajarnya dan langsung berdiri memperkenalkan dirinya…
“ Assalamualaikum, anak-anak.” Ucapnya.
“ Walaikumsalam.” Sahut kami dengan serentak.
“ Perkenalkan nama ibu, Khadijah Muslimah. Ibu berasal dari universitas Kairo. Ibu mengajar disini menggantikan Pak Sholih sementara sampai beliau kembali mengajar. Jadi ada yang mau ditanyakan?” jelasnya dan langsung menyuruh kami bertanya.
Kami hanya diam, sepertinya kami agak canggung. Dia melihat kami yang diam seperti batu, dia pun tersenyum…
“ Ya sudah kalau tidak ada yang ditanyakan. Hari ini adalah hari pertama ibu mengajar, jadi pertemuan pertama kita games saja. Bagaimana?” tanya dengan ceria.
Wajahku dan teman-temanku berubah cerah, kami kegirangaan karena hari ini tidak ada materi. Tak lama beliau membagi kelompok sebanyak empat kelompok dan ketuanya adalah yang duduk paling depan. Karena aku duduk paling depan aku menjadi ketua kelompokku. Lalu guru baru dari Kairo ini menyuruh kami berdiri dan menyuruh kami keluar kelas. Setelah keluar kelas Bu Khadijah menjelaskan peraturan permainan kami siang ini. Kami bersorak “Setuju” dan langsung berpencar berdasarkan kelompok kami masing-masing…

Ditaman sekolah…
“ Saya bantu, Pak.” Ucapku sambil mengangkat pot buang yang lumayan berat.
Aku dan kelompokku berpencar mencari banyak senyum, aku bertemu dengan seorang Cleaning Service yang biasanya kulihat menyiram buang-buang ditaman sekolah. Aku pun menolong CS itu menaruh pot buang yang bakal disiramnya nanti…
Setelah itu…
“ Terima kasih, Nak.” Ucap Pak CS itu sambil tersenyum.

Aku berhasil mendapatkan satu senyum. Aku pun langsung pamit diri dan menemui kelompokku. Ternyata setelah aku kesana, kelompokku sedang duduk bersantai dengan Bu Khadijah. Aku pun menghampiri mereka…
“ Kalian kenapa disini?” tanyaku dengan heran.
“ Sudah, istirahat dulu pasti capek mengangkat pot besar untuk mendapat satu senyum.” Ucap Bu Khadijah.
“ Tapi permainan belum selesai.” Sahutku.
Tiba-tiba salah satu anggotaku memotong pembicaraan…
“ Kata Bu Khadijah, setelah permainan ini nggak ada pemenangnya.” Ucap temanku itu.
“ Ha, yang betul. Cuma pemainan bikin capek aja. Percuma saja mendapat banyak senyum dari orang-orang kalau nantinya nggak ada pemenangnya. Bagaimana kalau yang curang? Mereka pasti bilang mereka yang terbanyaklah, inilah, itulah.” Ucapku dengan kesal.

Ibu Khadijah tersenyum menahan tawa…
“ Kamu lucu sekali, ibu masih ingat dulu pertama kali bermain permainan ini. Ibu juga sempat geram dan kesal dengan guru ibu. Dulu ibu dan anggota ibu sudah dapat banyak senyum, sudah menolong banyak orang, tapi ternyata tidak ada pemenangnya. Ibu kira permainan ini hanya membuang waktu dan sia-sia, tapi ibu salah…” jelasnya.
“ Apa ada maksud tertentu dari permainan ini?” tanya seorang temanku.
“ Didalam kitab suci Al-quran Allah berbicara melalui ayat-ayatnya…
Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Dimana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah, 2:148)
Allah menyuruh kita dalam berbuat baik, malah harus berlomba-lomba melakukan kebaikan. Jadi permainan kita itu bertujuan untuk melatih diri kita untuk lomba-lomba dalam melakukan kebaikan.” Jelasnya dengan panjang lebar.
Kata-kata Bu Khadijah membuat hatiku bergetar, baru kali ini ada yang berceramah membuat hatiku bergetar seperti ini…
Tak terasa kami berbincang-bincang dengan Bu Khadijah, bel pulang sekolah berbunyi. Bu Khadijah bergegas pamit diri, dia pun pergi dengan cepat…
Sepulang sekolah…

Aku berjalan menuju rumahku melawati masjid yang berada didekat rumahku. Aku melihat masjid itu dipenuhi dengan ibu-ibu pengajian, tapi disana ada Bu Khajidah. Aku kaget, begitu cepat meninggalkan kelas hanya untuk pengajian. Bu Khadijah memang perempuan yang hebat. Aku tersenyum dan mendengar ceramah bertema menutup aurat…
“ Allah berkata disurah-Nya Al-Ahzab ayat lima puluh Sembilan
Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “ Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampuan, Maha Penyayang. (QS. Al-Hazab 33:59).” Jelasnya didepan ibu-ibu pengajian itu.
Aku mendengar lagi ceramah Bu Khadijah yang sekali lagi membuat hatiku bergetar…

Sebulan Bu Khadijah mengajar…
“ Katanya Bu Khadijah sakit ya?” tanyaku kepada teman sebangkuku.
“ Iya katanya dia masuk rumah sakit tadi malam.” Ucapnya.
“ Kok, kamu tahu?” tanyaku.
“ Ayahku yang memeriksanya tadi malam.” Ucapnya lagi.
Terpikirlah aku menjenguk Bu Khadijah di rumah sakit…

Sorenya…
“ Selamat sore, Bu.” Ucapku dengan ceria.
Aku pun pergi kerumah sakit menjenguk Bu Khadijah…
“Ibu sakit apa?” tanyaku.
“ Tidak parah. Insya Allah besok lusa ibu sudah bisa mengajar lagi.” Ucap Bu Khadijah.
“ Syukurlah.” Ucapku dengan sambil tersenyum.

Aku dan Bu Khadijah berbincang-bincang lamanya sampai akhirnya azan sholat Maghrib.
“ Ayo sholat.” Ajak Bu Khadijah.
“ Bagaimana ibu sholat berdiri saja tidak bisa.” Ucapku.
“ Ibu bisa sholat sambil berbaring.” Ucapnya.
Aku dan Bu Khadijah sholat berjamaah. Dan aku berdoa untuk kesembuhan Bu Khadijah.

Keesokkan sorenya…
“ Lho, Bu Khadijah mana?” tanyaku didalam kamar yang sudah tidak ada pasiennya.
Lalu seorang suster menghampiriku dan membawa sebuah bingkisan.
“ Adik, yang kemarin ya. Bu Khadijah memberikan ini buat adik.” Ucapnya dengan ramah.

Suster itu langsung keluar kamar itu, dan aku pun membuka bingkisan itu. Ternyata ada sebuah jilbab berwarna putih dan ada juga surat…
“ Jaga dirimu dan tutupi auratmu. Berbahagialah dengan menutup aurat serta berbuatlah kebaikan dimanapun dan kapanpun. Allah selalu ada disisi kamu.”
Membaca surat itu aku menitikkan air mata, entah kenapa aku begini sepertinya hatiku telah dibuka untuk bertaubat dan menutup auratku…
***

Seminggu kemudian…
Hari-hari baru menyapaku, dulu aku dikenal dengan preman sekolah sekarang aku tampak cantik dan feminim memakai jilbab. Semua anak-anak dikelasku kaget ketika keesokkan harinya setelah Bu Khadijah memberikan sebuah jilbab, aku memakainya kesekolah. Dengan memakai jilbab ini aku ingin bertaubat dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Berbuat kebaikan dimana saja.
Dan setelah hari itu aku tidak pernah bertemu dengan Bu Khajidah, dia pun tidak mengajar atau berada dipengajian, tapi aku tahu Bu Khadijah pasti ada disuatu tempat. Aku sangat berterima kasih kepadanya. Dialah malaikat yang diturun Allah untuk merubah akhlakku menjadi lebih baik lagi.

TAMAT

Berbulan Madu Dengan Bidadari

Berbulan Madu Dengan Bidadari

Posted in Cerita Islami by on 09 December 2013    Tags: , , , ,

Berbulan Madu dengan Bidadari

Di kota Suffah tinggallah seorang pemuda bernama Zahid.  Ia hidup pada zaman Rasulullah SAW.  Setiap hari ia tinggal di Masjid Madinah.  Zahid memang bukan pemuda tampan.  Di usianya yang ke-35, ia belum juga menikah.

Suatu hari, ketika Zahid sedang mengasah pedangnya, tiba-tiba Rasulullah datang dan mengucapkan salam kepadanya.  Zahid terkejut dan menjawabnya dengan gugup.  “Wahai saudaraku Zahid, selama ini engkau tampak sendiri saja”, sapa Rasulullah SAW.
“Allah bersamaku, wahai Rasulullah”, jawab Zahid.
“Maksudku, mengapa selama ini engkau masih lajang..? apakah tak ada dalam benakmu keinginan untuk menikah..?”, tanya beliau lagi.Zahid menjawab, “Wahai Rasulullah, aku ini lelaki yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, apalagi wajahku sangat tak memenuhi syarat, siapa wanita yang mau denganku..?”.

“Mudah saja kalau kau mau..!” kata Rasulullah menimpali.
Zahid hanya termangu.  Tak lama kemudian Rasulullah memerintahkan pembantunya untuk membuat surat lamaran untuk melamar wanita bernama Zulfah binti Said.  Ia anak bangsawan Madinah yang terkenal kaya raya dan cantik jelita.  Surat itupun diberikan kepada Zahid untuk kemudian diserahkan kepada Said.  Setiba di sana ternyata Said tengah menerima tamu.  Maka usai mengucapkan salam, Zahid menyerahkan surat tersebut tanpa masuk ke dalam rumah.
“Said saudaraku, aku membawa surat untukmu dari Rasulullah yang mulia”, kata Zahid.
Said menjawab, “Ini adalah kehormatan buatku”.
Surat itu dibuka dan dibacanya.  Alangkah terkejutnya Said usai membaca surat tersebut.  Tak heran karena dalam tradisi bangsa Arab selama ini, perkawinan yang biasanya terjadi adalah seorang bangsawan harus kawin dengan keturunan bangsawan pula.  Orang yang kaya harus kawin dengan si kaya juga.  Itulah yang dinamakan “sekufu” (sederajad).
Akhirnya Said bertanya kepada Zahid, “Saudaraku, betulkah surat ini dari Rasulullah..?”
Zahid menjawab, “Apakah engkau pernah melihatku berbohong..?”
Dalam suasana demikian, Zulfah datang dan bertanya, “Ayah.. mengapa engkau tampak tegang menghadapi tamu ini..? Apa tak lebih baik bila ia disuruh masuk..?”
“Anakku, Ia adalah seorang pemuda yang sedang melamarmu.  Dia akan menjadikan engkau istrinya”, kata Said kepada anaknya.
Di saat itulah Zulfah melihat ayahnya, ia pun menangis sejadi-jadinya.  “Ayah banyak pemuda yang lebih tampan dan kaya raya, semuanya menginginkan aku.  Aku tak mau, Ayah..!” jawab Zulfah merasa terhina.
Said pun berkata kepada Zahid, “Saudaraku, engkau tahu sendiri anakku merasa keberatan.  Bukannya aku hendak menghalanginya.  Maka sampaikanlah kepada Rasulullah SAW bila lamaranmu di tolak”.
Mendengar nama Rasulullah SAW disebut sang ayah, Zulfah berhenti menangis dan bertanya, “Mengapa ayah membawa-bawa nama Rasulullah SAW..?”
Said menjawab, “Lelaki yang datang melamarmu ini adalah karena perintah Rasulullah.”
Serta merta Zulfah mengucap istigfar berulang kali dan menyesali kelancangan perbuatannya itu.  Lirih, wanita muda itu berkata kepada sang ayah, “Mengapa ayah tidak mengatakannya sejak tadi bila yang melamarkan lelaki itu adalah Rasulullah SAW.  Kalau begitu keadaanya, nikahkan saja aku dengannya.  Karena aku teringat firman Allah : ‘Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil Allah dan Rasul-Nya, agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, ‘Kami mendengar dan kami patuh.’  Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.’ (An-Nur : 51).”
Hati Zahid bagai melambung entah ke mana.  Ada semburat suka cita yang tergambar dalam rona wajahnya.  Bahagia, itu yang pasti ia rasakan saat itu.  Setiba di masjid ia bersujud syukur.  Rasul yang mulia tersenyum melihat gerak-gerik Zahid yang berbeda dari biasanya.
“Bagaimana Zahid..?” tanya Rasulullah.
“Alhamdulillah diterima, wahai Rasulullah,” jawab Zahid.
“Sudah ada persiapan..?” tanya Rasulullah lagi.
Zahid menundukkan kepala sambil berkata, “Rasulullah.. aku tidak memiliki apa-apa.”
Rasulullah pun menyuruhnya pergi ke rumah Abu Bakar, Utsman dan Abdurrahman bin Auf.  Setelah mendapatkan sejumlah uang yang cukup, Zahid pergi ke pasar untuk belanja persiapan pernikahan.  Bersamaan dengan itu Rasulullah menyeru umat Islam untuk berperang menghadapi kaum kafir yang akan menghancurkan Islam.
Ketika Zahid sampai di masjid, ia melihat kaum muslimin telah bersiap dengan persenjataanya.  Zahid bertanya, “Ada apa ini..?”
Shahabat menjawab, “Zahid.., hari ini orang kafir akan menghancurkan kita.  Apakah engkau tidak mengetahuinya..?”
Zahid pun beristigfar beberapa kali sambil berkata, “Wah, kalau begitu aku lebih baik menjual perlengkapan perkawinan ini dan aku akan membeli kuda terbaik.”
“Tetapi Zahid, malam nanti adalah bulan madumu.  Apakah engkau akan pergi juga..?” kata para shahabat menasehati.
“Tidak mungkin aku berdiam diri..!” jawab Zahid tegas.
Lalu Zahid menyitir ayat, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya (dari) berjihad di jalan-Nya.  Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.  Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (At-Taubah : 24).
Akhirnya Zahid melangkah ke medan pertempuran sampai ia gugur.  Rasulullah berkata, “Hari ini Zahid sedang berbulan madu dengan bidadari yang lebih cantik daripada Zulfah.”  Lalu Rasulullah membacakan surat Ali Imran ayat 169 – 170.
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, sebenarnya mereka itu hidup di sisi Rabbnya dengan mendapat rezeki.  Mereka bergembira dengan karunia yang diberikan Allah kepada mereka, dan bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka dan mereka tidak bersedih hati.”

“Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) telah mati.  Sebenarnya mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.”
Para Shahabat pun meneteskan air mata.  Bagaimana dengan Zulfah..?
Mendengar kabar kematian Zahid, ia tulus berucap, “Ya.. Allah.. alangkah bahagianya calon suamiku itu.  Andai aku tak dapat mendampinginya di dunia, izinkanlah aku mendampinginya di akhirat kelak.”  Demikian pintanya, sebuah ekspresi cinta sejati dari dunia hingga akhirat.  Cinta yang bersemi oleh ketaatan kepada titah Rasulullah SAW, meski semula hati berontak.

Kepercayaan Umat

Kepercayaan Umat

Posted in Cerita Islami by on 13 December 2013    Tags: , , , ,

Kepercayaan Umat

Sahabat Abu Ubaidah bin Jarrah termasuk golongan yang awal awal masuk Islam. Ayahnya seorang tokoh Quraisy yang selalu melakukan pertentangan terhadap dakwah Nabi SAW. Meski begitu Abu Ubaidah bin Jarrah r.a tetap istiqomah dalam keimanannya. Untuk menyelamatkan keimanannya dia rela hijrah ke Habsyah pada gelombang kedua. Abu Ubaidah bin Jarrah r.a seorang mujahid yang gagah berani. Meski tubuhnya kurus tinggi tapi semangat juangnya tidak pernah mau kalah dengan Sahabat yang lain. Pada saat perang Badar di termasuk dalam barisan utama. Dengan segala perbekalan yang minim dan jumlah pasukan yang lebih sedikit tidak gentar melawan pasukan kafir Quraisy.

Demikian juga pada waktu perang Uhud, dia juga ikut bersama rombongan Nabi SAW berjuang di medan Uhud. Ketika pertempuran berlangsung dengan sengit dan posisi pasukan Islam terdesak Abu Ubaidah bin Jarrah r.a melihat Nabi SAW dalam kondisi terjepit. Saat itu banyak pasukan yang kocar kacir dan berhamburan tidak dalam formasi pasukan yang sigap, Abu Ubaidah bin Jarrah r.a maju dan mendekati Nabi SAW. Didapatinya pipi Nabi SAW terluka, yaitu terhujamnya dua rantai besi penutup kepala beliau SAW, segera ia berupaya mencabut rantai tersebut dari pipi Nabi SAW .

Abu Ubaidah mulai mencabut rantai tersebut dengan gigitan giginya. Rantai itupun akhirnya terlepas dari pipi Rasulullah SAW . Namun bersamaan dengan itu pula gigi seri Abu Ubaidah ikut terlepas dari tempatnya. Abu Ubaidah tidak jera. Diulanginya sekali lagi untuk mengigit rantai besi satunya yang masih menancap dipipi Rasulullah SAW hingga terlepas. Dan kali inipun harus juga diikuti dengan lepasnya gigi Abu Ubaidah sehingga dua gigi seri sahabat ini ompong karenanya. Sungguh, satu keberanian dan pengorbanan yang luar biasa.

Di medan Uhud ia berhasil mendapati ayahnya yang kafir sedang membunuh pasukan Islam. Segera ia mendekati ayahnya. Dibuangnya rasa kasihan terhadapnya. Pada hari itu keimanannya diuji untuk memilih Allah dan syariatnya atau memilih ayah yang selalu menentang Allah dan syariatnya. Abu Ubaidah memilih Allah dan syariatnya dan majulah terus ia merangsek ayahnya hingga terkulai.

Abu Ubaidah r.a seorang yang zuhud. Beliau cukup makan tepung yang kasar dan air minum secukupnya. Pada waktu Khalifah Umar bin Al Khattab r.a ia mendapat tugas sebagai Gubernur di Syiria. Sebagai Gubernur ia berhak mendapat uang gaji baitul mal dan fasilitas guna menunjang tugas tugasnya. Tapi keadaanya sangat berbeda. Di kediamannya hanya terdapat pedang, perisai dan pelana tunggangannya. Tak ada simbol simbol kemewahan sebagi seorang Gubernur. Dia hidup nikmat dengan kemiskinannya dan dia merasa lebih tenang dengan hidup seperti itu. Umarpun lantas berkata,”Wahai sahabatku, mengapa engkau tidak mengambil sesuatu sebagaimana orang lain mengambilnya ?” Beliau menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, ini saja sudah cukup menyenangkan.”

Lelaki mulia ini wafat ketika terjadi wabah penyakit tho’un di Syria.

Keutamaan seorang Abu Ubaidan bin Jarrah r.a akan makin kita temui dari sebuah hadits Nabi SAW yang berbunyi “Sesungguhnya setiap ummat mempunyai orang kepercayaan, dan kepercayaan ummat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.”

Featuring WPMU Bloglist Widget by YD WordPress Developer