KU KAYUH RIBUAN MIMPI


Secuil kisah tentangku yang merupakan gadis kecil anak kampung yang tinggal di sisi pinggir kota besar. Aku Sriami Wulandari anak pertama dari keluarga kecilku. Keluarga kecil yang bisa dibilang berkecukupan meski tidak lebih seperti halnya teman-temanku. Ayahku bekerja hanya sebagai buruh sampah di sebuah pabrik. Sedangkan ibuku sebagai PRT. Bisa dibayangkan berapa penghasilan yang di dapat dari orangtuaku setiap bulannya.

Kadang terselip dalam hati kecilku rasa iri melihat teman-temanku semua. Dan tak jarang ku habiskan waktuku hanya untuk berandai-andai jika aku menjadi orang kaya. Pasti semua akan tercukupi atau bisa dibilang lebih dari cukup. Aku mau ini atau itu tak perlu pikir panjang lagi. Tak perlu menunggu sampai tabunganku tercukupi. Semua bisa dibeli sesuka hati jika menjadi orang kaya. Tapi sayang semua tak bisa ku nikmati di dunia nyataku. Di bumi tempatku berpijak dan juga tak ku dapatkan pada kondisi keluargaku.

Ahh, tak seharusnya aku mengeluh dan terus larut dalam angan-angan kosongku. Tak sepatutnya juga aku meminta lebih dari apa yang sudah ada sekarang. Sama halnya aku mencekik kedua orangtuaku sendiri jika aku terus seperti ini.
“Ayo dong ami sadar, sadar jangan terus-terusan berangan-angan ndak jelas gini. Lihat dong realita yang ada.” Desahku pada diri sendiri sembari menampar pipi dengan pelan.
“Maafkan aku ya Allah.” Cetusku pelan.

Di sebelah barat terlihat matahari tengah kembali keperaduannya pertanda akan datangnya malam. Menit demi menit telah berlalu terdengar adzan maghrib berkumandang. Aku pun bangun dari ranjang kesayanganku dan bergegas mengambil air wudhu. Aku jalankan perintah agamaku. Selesai shalat aku haturkan doa pada sang pencipta dan berharap akan penghapusan dosa, kemuliaan, sekolah serta rezeki untuk kedua orangtuaku.

Selesai shalat aku dan keluarga makan malam bersama-sama. Menikmati masakan super lezat buatan ibuku tercinta.
“Ayo-ayo makanan sudah siap.” Teriak ibu memanggil.
“Yee menu lezat dari masterchef kita udah di hidangkan dik.” Jawabku sambil berlari kecil bersama adikku.
“Woow enak nih masakannya. Ibu tau deh makanan favoritku sama adik apa. Ya ndak dik?” cetusku saat melihat masakan ibu.
“Iya mbak. Ibu baik ya.” Jawab adikku singkat sambil mengambil makanan ke piringnya.
“Udah-udah ayo makan jangan bicara aja.” Sahut ibuku.
“Iya bu. Sayang ya bapak belum pulang jadi tidak bisa makan bareng.” Kataku.
“Namanya juga masih kerja. Jadi ya belum pulang sayang. Udah sekarang kita makan dulu aja.” Jawab ibuku.

Seusai makan malam ibu menyuruh aku dan adik untuk belajar. Ya sudah aku langsung terbang menuju kamar mencari santapan-santapan untuk bekalku kelak. Yups, waktunya belajar menyiapkan pelajaran besok. Aku belajar bersama adik sekaligus mengajari adikku juga. Susah susah gampang mengajari adikku yang satu ini. Ya begitulah anak cowok main terus yang dipikirkan.

Tak terasa jam dinding mungil telah menunjuk angka 21.00. pertanda kami harus menyudahi belajar malam ini dan beranjak untuk menjelajah ke pulau mimpi. Tapi sebelumnya shalat isya’ terlebih dahulu karena tadi belum menjalankan perintah-Nya. Sesudah bermunajat pada sang khalik aku menyiapkan pelajaranku untuk besok pagi agar tidak ada yang ketinggalan.
“AKB sudah B.Indonesia sudah Matematika sudah SEBUD sudah. Oke semua sudah siap.” Kataku sambil memasukkan buku ke dalam ransel mungilku.
“Siipp waktunya pergi ke pulau mimpi. Akan mimpi apa ya aku malam ini?” Cetusku seorang diri sambil senyum-senyum sendiri.

Di sana terlihat ranjang kesayanganku memanggilku. Bantal dan guling seraya melambaikan tangannya yang berharap agar aku segera berlari kecil menghampirinya. Seakan-akan mereka siap mengantarkan tuan puteri ini menuju pulau mimpi yang di idam-idamkannya. Aku pun berlari kecil dan segera merebahkan tubuh mungil ini ke ranjang kesayangan sembari mendekap guling empuk seukuran lebih kecil dariku.

Samar-samar terdengar seruan adzan subuh membangunkanku dan membuyarkanku mimpi yang tak jelas itu. Perlahan-lahan ku mencoba mengumpulkan nyawaku yang belum kembali ke raga ini. Dan aku pun segera mandi membersihkan tubuh ini dan menjalankan shalat subuh. Seusai shalat subuh ku sempatkan sedikit waktu untuk membaca ayat suci Al-Qur’an meski hanya sedikit. Selesai mengaji aku segera ganti pakaian seragam.

Jam dinding menunjuk pukul 05.30 dan aku senyum-senyum sendiri.
“Ayo mi cepat sedikit nak sudah jam berapa ini? Buruan makan nanti terlambat kamu. Teriak ibu yang sudah aku tebak sebelumnya makannya aku senyum-senyum sendiri.
“Iya-iya bu. Aku sudah siap kok dari tadi.” Jawabku seraya menghampirinya.
“Hmm enak nih masakannya.” Saat melihat menu masakan ibuku.
“Udah ayo makan sana makananmu.” Jawab ibuku singkat.

Selesai makan aku pun berpamitan ke orangtuaku dan mencium tanngannya. Bergegas keluar rumah dan mengambil sepeda yang selalu setia menemaniku kemanapun. Sepedaku menjadi saksi bisu dalam bagaimana aku menggapai ilmu selama ini. Selama 12 tahun dia telah menjadi kekasihku dan selalu menemani mengarungi hidup. Aku saat ini duduk di bangku SMK kelas XII AKUNTANSI 5. Bersekolah di sekolah negeri di Surabaya yaitu SMKN 1 SURABAYA.
“Bismillahirrahmanirrahim. Ya Allah aku sekolah mencari ilmu. Berkahi dan berikan ridha-Mu supaya hari ini lancar serta ilmu yang aku terima dapat bermanfaat untukku dan orang lain.” Kata-kata yang selalu aku sematkan dalam hati sebelum ku kayuh sepeda untuk berangkat sekolah.
“Aku berangkat. Assalamu’alaikum.” Pamitku ke orangtua.
“waalaikumsalam. Hati-hati di jalan dan sungguh-sungguh dalam belajar.” Teriak ibuku.
“Iya bu.” Jawabku sebelum menghilang dari tikungan.

Aku berangkat seorang diri karena memang di kampungku tidak ada yang satu sekolah denganku. Tapi tak jarang aku bertemu anak dari AK lain jadi kita berangkat bersama-sama atau juga ada adik-adik sd yang biasanya mengajakku untuk balap sepeda sampai di seberang tikungan sebelum mereka menghilang. Tapi hari ini tak ketemui mereka semua. Tapi meski begitu tak mengurangi semangatku yang membara di pagi hari ini. Ku kayuh sepedaku lebih cepat dari sebelumnya agar aku segera sampai.

Sesampai di sekolah terlihat gerombolan teman-temanku sekelas. Ternyata pada banyak yang tidak sengaja bertemu disini.
“Pagi kawan-kawan.” Sapaku ke mereka.
“Pagi Amiii. Ayo-ayo bareng ke kelas.” Jawab mereka serempak.
“iya sebentar.” Kataku dengan membenarkan posisi sepedaku.
“Ndak capek ta mi ngontel tiap hari?” Tanya riza temanku.
“Ya lumayanlah dianggap olahraga aja jadi capeknya capek wajar gitu.” Jawabku sambil tersenyum.
“Emang rumahmu jauh?” Tanya try.
“Ya ndak juga seh. Ayo kapan-kapan kerumahku biar tahu rumahku.” Ajakku ke mereka.
“Iya-iya boleh boleh mi.” jawab anak-anak antusias.
“Ngontel mah nggarai kentol gede tok mi.” kata salah satu temanku dengan ketusnya.
“Ya gak pa-palah mungkin udah resikonya. Yang penting aku bisa sekolah itu udah lebih dari cukup.” Jawabku.
“Aku ngunu mah yo isin.” Jawabnya seraya berlari mendahului kita semua.
“Hmm sudah jangan kau tanggapi omongan anak itu. Kamu tahu sendiri bagaimana sifat dia kan? sabar aja hadepin dia mi.” nasehat dari sofi ketua kelasku.
“Hehehehe iya terserah apa kata dia aja. Yang penting bagiku cuman sekolah. Ngapain harus gengsi atau malu sama keadaan kita sendiri. Justru aku lebih malu lagi kalau aku sudah seperti ini tapi aku tidak mau usaha dan bersungguh-sungguh untuk menjadi lebih baik.” Jawabku seraya menahan airmata agar tak menetes.
“Iyo-iyo bener iku mi.” balasnya dengan senyum dan dua jempol di acungkannya.

Ya, seperti inilah kehidupan yang aku jalani. Ada sebagian teman-temanku yang menghargai dan menyemangatiku. Ada pula yang mencibirku dengan sesuka hatinya. Apapun yang mereka kicaukan tak pernah ku tanggapi. Karena mereka tidak pernah merasakan berada di bawah makannya dia tidak tahu bagaimana kerja kerasku dan keluarga memupuk dan membangun semangat dan rasa kuat dalam hati meski sebenarnya kita lemah dan ingin memungkiri semua ini. Celoteh dari mereka aku jadikan motivasi dan cabuk agar aku bisa lebih baik. Agar aku bisa tunjukkan kepada mereka aku bisa lebih melampaui dari dia meski derajat kita tak sama.

Tak terasa waktu sangat cepat berlalu. Jam dinding menunjuk pukul 14.50 sudah waktunya pulang saja. Bel pulang sekolah berbunyi alunan mars sekolah menjadi pertanda usainya pelajaran hari ini. Sorak sorai anak-anak terdengar di dalam kelas. Ya, kita sudah kelas XII tapi perangai kita masih ke kanak-kanakan. Seusai berdoa anak-anak berhamburan keluar meninggalkan kelas.

Begitu juga denganku ku langkahkan kakiku menghampiri sepedaku tersayang. Segera ku pulang karena masih ada tugas rumah yang harus ku kerjakan. Sesampai di rumah.
“Assalamu’alaikum bu.” Ku ucapkan salam.

Tapi rumah masih sepi tak terdengar balasan salamku dan tak tampak sosok ibu cantikku di rumah begitu juga adikku. Ya berarti ibuku belum pulang dari kerja. Mungkin adik lagi main juga. Aku lekas ganti pakaian dan membersihkan rumah membantu ibu. Setelah itu mandi dan shalat ashar.

Masih ada waktu luang sejenak ku gunakan untuk rehat dari aktivitas seharian ini. Aku pun melihat TV. Tapi tiba-tiba aku teringat akan perkataan dari temanku tadi. Terselip rasa sakit hati tapi juga greget untuk maju. Aku pun mengambil buku diary ku dan seperti biasa akan terselip goresan penaku disana. Selalu ini yang aku lakukan jika aku punya rasa tak tentu. Setidaknya dengan ini aku merasa sedikit lebih lega.

Dear diary,
hari ini aku semangat sekali mengawali hari. Tak ingin tersaingi sinar cerah layaknya mentari pagi. Tapi setelah aku bertemu dengan dia. Dan karena cibirannya aku merasa down. Ada rasa sakit hati juga, tapi ya sudahlah akan aku jadikan motivasi untuk jauh lebih baik lagi.
Penggugah semangatku untuk masa depanku. Goresan penaku:
RIBUAN MIMPI
Tatapan nanar menyapu seisi langit kamar
Pandangan kosong memikirkan tujuan hidup kedepan
Gelap gulita tanpa secercah cahaya
Hitam pekat tanpa goresan tinta warna
Tuhan
Haruskah aku seperti ini terus menerus
Tidak…
Tak mungkin aku terlahir tanpa tujuan hidup
Tak mungkin aku akan berdiam diri tanpa langkah
Tuhan
Apa rencanaMu untukku?
Aku yakin Engkau telah gariskan masa depanku
Dan juga langkah yang harus kutempuh
Tunggu siapa disana?
Sekilas bayangan ku tangkap dalam mataku
Sosok bayangan yang menjadi motivasiku
Sosok yang membuatku berani tuk bermimpi
Walau beribu-ribu banyaknya tanpa rasa takut
Sosok itu adalah keluargaku
Tanpanya tak berarti ku disini
Tanpanya tak ku miliki semangat juang
Keluargaku adalah motivasiku
Kini…
Kubuang gengsi
Kan ku songsong masa depanku
Kan ku kayuh ribuan mimpi
Ribuan mimpi perubah masa depanku
SW.A_Ami

Aku harus rajin belajar sungguh-sungguh dalam mencari ilmu. Aku tahu bagaimana keadaan keluargaku. Aku tahu bagaimana kerja keras yang dilakukan orangtuaku hanya untuk menyekolahkan aku dan adikku. Rasa lelah dan badan sakit semua tak pernah mereka rasakan. Tak pernah sedikit pun mereka tunjukkan pada kami. Selalu terlihat seulas senyum menghias wajah-wajah mereka tanpa mengeluh. Senyum tulus seolah tanpa adanya beban. Meski seringkali bapak lembur hanya untuk mencari tambahan uang.

Tugas yang menumpuk bagai sebuah gunung, ujian yang dulu menghantui dan semua kegiatan kelas XII telah ku lalui beberapa bulan terakhir ini. Dan tanpa kusadari lusa aku akan menghadapi UNAS.
“Ya Allah cepat sekali waktu berlalu. Serasa baru kemarin aku masuk menjadi siswi SMK dan kini hanya tinggal menghitung hari lagi aku akan melaksanakan kelulusan dan keluar dari sekolah ini.” Desahku dengan menggenggam kalender di tangan.
“Ada apa denganmu?” suara ibu membuyarkan lamunanku sesaat itu.
“Ndak pa-pa bu. Cuman sedikit takut dan khawatir untuk besok lusa.” Jawabku pelan dengan nada gemetar.
“Kenapa harus takut dan khawatir?” Tanya ibu padaku.
“Karena UNAS kan menentukan kelulusan bu. Aku takut kalau aku tidak lulus.” Jawabku lagi.
“Selama ini apa kamu malas-malasan belajar?” lagi ibu bertanya.
“Tidak juga. Aku berusaha keras belajar pagi, siang dan malam. Ibu juga tahu sendiri bagaimana usahaku.” Jelasku padanya.
“Lantas apa yang kamu takutkan? ingat kan Man Jadda Wa Jada. Barang siapa bersungguh-sungguh maka ia akan berhasil. Jadi, jika kamu kemarin belajar dengan serius semua akan memuaskan nantinya. Tetap berdoa, berusaha dan berserah diri padaNya.” Jelas ibuku dengan lembut.
“Iya bu. Terimakasih banyak. Doa kan ami ya bu untuk kelancaran dan hasilnya nanti.” Pintaku pada ibuku.
“pasti sayang doa ibu menyertaimu selalu.” Kata ibu seraya memelukku penuh hangat kasih sayang.

4 hari telah kulewati UNAS telah kulahap habis dengan susah payah. Kini aku hanya menunggu hasil pengumuman. Dag dig dug jantung terdengar begitu keras. Aku dan sahabat-sahabatku saling berpelukan satu sama lain. Satu per satu anak sudah mengetahui hasilnya. Menyebar dan semakin menyebar luas. Harap-harap cemas aku dan sahabatku semoga hasilnya sangat memuaskan.
“Selamat ya anak-anakku tercinta.” Kata wali kelasku.
“Bagaimana pak hasilnya?” Tanya anak seisi kelas serempak.
“Seperti yang bapak bilang tadi nak. Selamat kalian semua lulus dan sekolah kita lulus 100%.
“Yyyeee hhooorreee.” Sorak-sorai anak seisi bergema.
Saling memberi selamat satu sama lain, menangis bahagia dan terharu, saling berpelukan. Semuanya sujud syukur atas nikmat Allah SWT ini. Begitu juga dengan aku tiada kata syukur Alhamdulillah dan terimakasih untuk Allah SWT dan juga keluargaku terutama ibuku tercinta. Terlihat ada rasa bungah, lega dan bangga dari wajah kedua orangtuaku.

Terimakasih ya Allah untuk semuanya. Selama 3 tahun aku sekolah dengan bersepeda. Keringat bercucuran karena terik matahari. Rasa lelah capek karena selalu mengayuh sepeda setiap hari. Belajar pagi, siang dan malam hari selalu kujalani. Kini semua sudah terbayarkan. Rasa lega dan bangga akan hasil ujian kini dapat kurasakan. Rasa takut kemarin kini telah lenyap. Kerja keras dan jerih payah orangtuaku kini membuahkan hasil.

Satu mimpiku untuk lulus dengan hasil yang memuaskan dapat aku wujudkan. Tapi mimpiku tak hanya berhenti disini. Masih ada ribuan mimpi lainnya di luar sana, di depanku mataku kelak yang menunggu kehadiran putri ami.

Aku memang terlahir dari keluarga kecil yang sederhana. Keluarga yang susah buat mengingikankan sesuatu. Dan harus dengan pengorbanan penuh dalam mewujudkannya. Maka dari itu disini aku punya mimpi atau cita-cita bisa menjadi sebagai seorang Direktur Keuangan di suatu perusahaan ternama. Dimana nantinya aku dapat membahagaikan kedua orangtuaku dan keluarga lainnya. Meringankan beban kedua orangtuaku. Dan aku bisa merasakan menikmati rasanya menjadi orang yang sukses, orang yang kaya. Dan yang paling penting mengangkat derajat orangtuaku.

Satu telah ku dapatkan kini aku semakin bersemangat untuk meraih yang di depanku. Aku inginkan wujudkan semuanya. Semua mimpi dan menjadikan hobiku sebagai penunjang juga di masa depan. Meski kini aku sudah tidak mengendarai sepeda tapi akan tetap ku kayuh ribuan mimpi menuju masa depan yang gemilang. Kini aku akan menguasai ribuan mimpi-mimpi yang akan aku taklukan.

Cerpen Karangan: Sriami Wulandari
Blog: siamiwulan62.blogspot.com
Nama saya Sriami Wulandari
Saya senang menulis dan saya berharap tulisan saya ini bisa dibaca oleh semua orang disini. terima kasih 🙂

LENSA UNGU


Ku lihat dirinya yang berdiri di ujung lapang basket sana, dia yang memakai baju putih biru berkerudung paris. Kusapa namanya “Desi, Desi” ya itulah namanya. Dia menoleh pandangannya kepadaku, dan anehnya ketika dia merespon sapaanku dia hanya merespon “hay, siapa ya yang ada disana?” padahal aku dan desi hanya beberapa meter jauhnya, dan aku pun menghampiri desi yang masih berdiri kebingungan di ujung lapang basket. “desi, bercanda mulu deh. Aku Tia masa gak tahu sih” dan desi hanya tersenyum manis kepadaku tidak ada sepatah kata yang desi ucapkan kepadaku. “yaelah kamu malah senyum. Ya udah, Nisya dan Dini menunggu-mu di laboratorium, ngapain juga kamu di ujung lapang basket ini? Latihan LBB kan udah sel…” belum juga selesai berbicara desi memotong pembicaraanku “oh iya.. cairan untuk presentasi-nya ada di tas aku, ya udah cepet kita pergi nanti Pak Marno tidak mengizinkan kita mengikuti pelajarannya” tangan aku pun ditarik dengan kencang oleh desi untuk segera menuju laboratorium.

Sebuah botol bekas yang berisi cairan untuk praktek pun kini telah digenggam oleh desi, dan dia sanggat bersemangat untuk melakukan praktek IPA kali ini, dia terus mengajak aku untuk segera masuk ke ruang laboratorium. Dan sebelum sampai di laboratorium ternyata Nisya dan Dini sedang berada di luar laboratorium menunggu aku dan desi, “itu dia si Desi, Tia.. Desi.. cepetan, lama banget” kata dini sahabatku, dengan itu Desi semakin semangat menuju laboratorium saking semangatnya Desi tidak menyadari di hadapannya ada tempat sampah dan “Bruuuk” Desi terjatuh dan cairan yang ada di dalam botol itu pun jatuh dan terbuang. Aku pun segera menuju desi yang sedang duduk karena jatuh “Desi, kamu kenapa? Sudah jelas di hadapanmu ada tempat sampah, mengapa kamu menabraknya?” aku Nisya dan Dini pun membantu Desi berdiri, “ada apa sih des?” tanya Nisya kepada Desi, “hehe, enggak kok teman teman. Maaf cairannya tumpah,” desi pun menjawab dengan nada gemeteran, dan tiba tiba dari arah selatan Pak Marno datang dan kami pun cepat cepat masuk ke dalam laboratorium.

Mata sipit desi pun mulai mengecil ketika melihat ke arah papan tulis, selalu aku perhatikan matanya, aku bingung dengan dirinya yang belakangan ini menjadi aneh seperti itu, saat ku sedang memperhatikan Desi yang duduk di sebelahku, tiba tiba Pak Marno mengejutkanku “Tia, ini hasil ulanganmu rabu kemarin” aku pun maju ke depan dan menerima selembar kertas dari tangan Pak Marno, ku lihat nilai yang ada di ujung kertas ulanganku dan akhirnya hasil ulangan IPA ku kali ini nilainya sempurna, dan sekarang giliran Desi menerima hasil ulangan IPAnya. Setelah Desi mengambil kertas ulangannya, biasanya Desi teriak kegirangan, namun sekarang Desi hanya merenung dan perlahan perlahan matanya mulai berkaca kaca. Nisya pun mencoba bertanya kepada Desi “des hasil ulangannya berapa? kecil lagi?” ketika Nisya menunggu jawaban dari Desi, Pak Marno langsung bertanya kepada Desi “desi kenapa nilai IPA sekarang hasilnya di bawah KKM?” desi pun mengusap air matanya yang hampir mengenai pipinya yang cabi. “tidak pak, saya hanya kurang belajar saja” “Ya udah Desi, lain kali belajar yang benar, nah.. anak anak, sekarang cepat siapkan cairan untuk prakteknya” wajah desi semakin kusut mendengar cairan untuk praktek kali ini. “sudahlah des, jangan khawatir aku bawa cairan gantinya kok” aku coba menenangkan Desi, dan akhirnya Desi pun mulai tersenyum lagi.

Cerpen Lensa Ungu

TREENG suara lonceng yang dibunyikan dari arah barat sudah terdengar menandakan pelajaran telah usai, Pak Marno pun meninggalkan Laboratorium, teman teman kelasku yang lain dengan cepat telah pulang. tinggal aku, nisya, dini dan desi yang masih diam di laboratorium, “des, ayo pulang mau sampai kapan sih kamu diam disini?” dini sudah mulai bosan, “silahkan saja kalian pulang, aku masih mau disini”, “tapi des, ngapain juga kamu disini? Hanya diam lagi, enggak takut apa?”, “des, ayolah jangan sedih karena hasil ulangan IPA tadi, sekarang kita pulang saja” aku pun memaksa desi untuk cepat cepat pulang, “ya udah ayo kita pulang saja” akhirnya desi berdiri dan meninggalkan ruangan laboratorium.

Karena ruang laboratorium dekat dengan ruang Matematika Club, Di ujung ruang laboratorium berdiri Pak Jaja, guru les matematika sekolahku, Desi selalu mengikuti les matematika di sekolah ini, dan dia merupakan murid yang dipuji oleh Pak Jaja, namun pemandangan kusam sekarang terlihat di wajah Pak Jaja dan.. “desi, hasil tes kamu sekarang nilai nya mengapa menurun” Desi hanya terdiam dan mengecilkan matanya yang anehnya desi menanyakan sesuatu kepadaku “dia siapa Tia? Dia Pak Jaja bukan?”, “ya ampun desi, emang tidak terlihat ya? Coba hampiri saja sana” desi mulai melangkahkan kaki kanannya dan mencoba menghampiri Pak Jaja. Sedangkan aku nisya dan dini mulai tahu apa masalah Desi sebenarnya, “pasti kamu terpikirkan apa masalah dia?” sahut Dini, “ya, aku paham” aku dan Nisya menegaskan jawabannya.

Aku tahu persis kehidupan Desi saat ini, dia itu anak tunggal seorang pengusaha yang sangat terkenal di Indonesia, namun orangtua Desi tidak pernah menyadari adanya Desi di muka bumi ini. Desi sering menyuruh aku nisya dan dini menginap di rumahnya karena Desi sering sendirian di rumahnya, kadang dia tidak pernah diberi kehangatan oleh orangtuanya. Aku Nisya dan Dini mulai berfikir bahwa besok adalah hari ulangtahun Desi yang ke-15.

Hari ini hari dimana yang kita tunggu, tanggal 20 November tanggal hari ini, cuaca yang mendukung untuk menyambut hari ini, aku Nisya dan Dini sudah menyiapkan sesuatu untuk Desi, ketika Desi sedang duduk di halaman sekolah. Dini pun dengan cepat menutup mata Desi dengan kain berwarna biru, aku dan Nisya mendorong Desi ke arah kelas IX B.

Aku Nisya dan Dini telah menyiapkan sesuatu untuk Desi, ketika Dini membuka kain Biru terkejutlah Desi oleh Kacamata yang sudah aku Nisya dan Dini persiapkan, meski itu Kacamata bekas Kakak-ku tapi semoga saja Pas di mata Desi, “Des, kami tahu pasti alat indera kamu itu sudah melemah, hal itu pernah terjadi oleh Kakak-ku, coba pakai deh, siapa tahu cocok untuk-mu” dengan perlahan Desi pun mengenakan kacamata itu di matanya, matanya mulai berkaca kaca dengan cepat dia mengatakan “makasih buat kalian, kalian adalah teman terbaik yang aku sayangi, makasih kalian sudah mengetahui permasalahan yang sedang aku pendam, makasih Tia buat kacamatanya, makasih buat kalian Tia, Nisya, Dini kalian sahabatku selamanya…”, “kapan kapan kalo ada masalah cerita saja, kitakan 4 SERANGKAI” sambung dini, “yang juga kece kece dong” canda nisya, “desi, selamat ulang tahun ya, semoga kamu tambah sukses” sambung perkataan dariku. Bahagia bukan sedih bukan tapi haru iya, hari itu membuat wajah Desi menjadi Desi yang sebenarnya, kini 4 SERANGKAI pun kembali menjadi 4 anak si cetar membahana.

Tamat

PERJUANGAN HIDUPKU DALAM MENUNTUT ILMU


Perkenalkan nama saya supardin, biasa disapa adin saya anak pertama dari lima bersaudara. Saya lahir dari keluarga yang sangat sederhana, walaupun demikian saya memiliki motivasi yang sangat besar dalam hal dunia pendidikan. perjuangan saya bisa dikatakan sangat ekstrim, dan penuh tantangan bukan berati perjuangan saya menjadi pupus, justru hal tersebut yang membuat saya kian semangat.

Kepahitan itu kian membuat kehidupan keluarga ku terpukul, setelah ayah ku pergi meninggalkan kami semua, tentu semua tanggung jawab dibebankan kepada ibu. Mengingat usia kami yang masih sangat kecil dan masih membutuhkan kasih sayang.

Seiring berjalanya waktu dan usiaku pun kian bertambah, kini aku berumur 7 tahun tentu di umur seperti itu sudah selayaknya aku harus mulai masuk dunia pendidikan sekolah dasar, melihat kehidupan keluarga yang kian memburuk membuat ku kian giat menuntut ilmu. Demi satu tujuan yaitu ingin membahagiakan ibu ku.

Waktu terus bergulir dan kini aku pun naik ke kelas dua sekolah dasar. Tentu biaya kian tahun makin bertambah, maklum pada saat itu belum ada program wajib belajar Sembilan tahun. ibu ku pun kian semakin kesulitan untuk membiayaiku. Bahkan sempat terdengar di telingaku perkataan ibu ku yang menginginkan agar aku berhenti sekolah, karena tak sanggup lagi dengan biaya yang semakin bertambah, hal terebut tentu membuatku kian terpukul.

Senada ibu pun mngatakan “Nak… maafkan ketidaksanggupan ibu dalam mengurus kamu, ibu rasa perjuangan mu untuk menimba ilmu cukup sampai disini, ibu tidak memiliki apa-apa sekarang. Jadi maafkan ibu”.
Mendengar hal tersebut membuat ku terhenyak sejenak, terlintas di pikiran ku akankah semua ini akan berakhir..?

Mendengar hal tersebut tentu membuat sanak keluarga ku merasa empati kepada keadaan ku, merasa tidak ingin aku putus sekolah aku pun dibawa keluar kota. tante NAFSIA lah yang membawa ku dan membiayai semua kebutuhan ku. Meski demikian bukan berati aku bisa bersantai, maklum sebaik-baiknya seorang tante tidak lah lebih baik dari seorang ibu.

Hari yang dinantikan pun tiba, tepatnya pada tanggal 22 november 1997 aku didaftarkan di SDN REO II. Sebuah sekolah dasar negeri yang berada di kecamatan REOK dan berkabupaten MANGGARAI, hari pun telah berganti waktu terus bergulir aku mulai masuk sekolah di hari pertama ku di sekolah baru. Rasa gembira pun terpancar di raut wajah ku, menggingat aku dapat melanjutkan sekolah ku.

Lonceng sekolah pun berbunyi menandakan waktu pelajaran usai, aku pun berkemas dan bergegas meninggalkan ruangan, untuk segera pulang bersama teman baru ku.

Sesampai di rumah akupun langsung di suguhkan dengan sebuah baskom kecil yang berisikan kue lemet.
“Din hari ini kamu mulai berjualan kue, ini kuenya dan skarang juga kamu mulai berjualan”
“tapi tante saya kan belum makan, bisa kah saya berjualan setelah makan..?”
“oh.. tentu silakan .. tapi jangan lama ya.. makannya..”
“ia tante..”

Setelah makan aku pun bergegas untuk berjualan, langkah demi langkah aku menatih kan kaki ku, bersuara kan merdu bertedu kan mata hari yang cukup panas, soalnya aku berjualan tepat pada pukul 14:00 tentu cuaca masih panas.. badan bercucuran keringat dan aku pun mulai bersuara lantang.
“Bu, Kue.. kue.. bu kue bu..”

Waktu pu kian semakin sore, kue pun semua habis, dengan hati yang amat senang aku pun bergegas untuk pulang. Dan memberikan semua uang hasil jualan ku hari ini kepada tante ku.. itulah kegiatan sehari-hari ku setelah sepulang sekolah..

Waktu bergulir sangat cepat dan sekarang aku sudah lulus dan ingin melanjutkan pendidikan ku ketingkat SLTP, aku pun mulai mendaftarkan diri hati ku pun kian bertambah senang dapat melanjutkan sekolah.. dengan semangat aku kian giat belajar, agar dapat naik kelas alhasil usaha ku rupanya tak sia-sia, aku dapat naik ke kelas berikutnya, sampai akhirnya lulus pada tahun 2005 dan mendapat kan nilai yang sangat memuaskan.

Setelah lulus SLTP, aku pun ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Tapi sayang harapan itu hampir sirna akibat tante ku tak dapat melanjutkan ku ke tingkat SMA, dikarenakan suaminya mengalami kecelakaan kerja dan harus membutuh kan biaya yang cukup banyak untuk keperluan pengobatan Dan lain lain.

Aku pun kembali di belit cobaan yang amat berat, dengan hati yang amat sedih aku pun menerima dengan hati yang lapang. Dalam hati kecil terucap akankah ini semua akan berahir sampai disini..?

Karena keadaan yang tidak memungkinkan lagi untuk melanjutkan sekolah aku pun kembali ke kampung halaman ku. Setelah di kampung akupun mulai memikirkan bagaimana caranya agar aku dapat melanjutkan pendidikanku. Sebab aku memiliki impian yang sangat besar dalam dunia pendidikan. Karena merasa iBu ku sudah tak sanggup lagi membiayai ku. Aku pun mulai meencari pekerjaan, apapun itu yang terpenting aku dapat bersekolah kembali..

Cerpen Karangan: Supardin

PADAMU WANITA INDONESIA


Hari ini aku dan kawanku Fadyta berkunjung ke salah satu desa di Kabupatenku, Kabupaten Banjarawi. Disana kami telah merencanakan apa yang akan kami lakukan sesuai perintah Pak Fajar Arif, wali kelasku. Pak Fajar memerintahkan aku dan teman-teman sekelasku untuk berkunjung ke Desa Kartini di Kabupaten Banjarawi. Disana, kami ditugaskan untuk mewawancarai seseorang yang kami anggap sebagai wanita yang istimewa di desa itu. Maklum, kata Pak Fajar disana banyak wanita yang istimewa yang tegar dan sangat bijaksana.

Oh iya, perkenalkan, namaku Akyas Az-Zahra, panggil saja aku Zahra atau Kyas. Setelah bertanya kepada beberapa orang di desa itu, aku dan Dyta akhirnya menemukan seorang wanita yang menurut warga desa beliau sangat ramah dan bijaksana. Langsung saja aku dan Dyta menghampiri rumah yang sudah disebutkan ciri-cirinya oleh seorang warga. Tok… tok… tok… Suara ketukan pintu membuat wanita 43 tahun yang tengah membaca koran sontak meninggalkan bacaanya dan langsung membuka pintu untuk kami. Setelah pintu dibuka dan kami dipersilahkan masuk oleh ibu Sartika, atau panggil saja beliau ibu Tika, kami langsung memperkenalkan diri dan memberi tahu maksud kedatangan kami ke rumah ibu Tika. Setelah perkenalan, kami mencetuskan beberapa pertanyaan untuk ibu Tika. Jawaban ibu Tika membuat kami kagum dan terharu mendengarnya.

Ibu Tika dulunya hanya anak buruh tani yang miskin. Tetapi, beliau terus bersemangat untuk menggapai cita-citanya. Maka dari itu, beliau rajin belajar hingga sampai di SMA beliau tidak pernah membebani kedua orangtuanya untuk membiayai bersekolah. Itu karena beliau selalu mendapat beasiswa. Pada jaman itu, anak-anak di desa Bu Tika banyak yang putus sekolah, bahkan tidak pernah mencicipi bagaimana rasanya bersekolah. Akhirnya, setelah menikah dengan seorang yang dapat dibilang kaya, ibu Tika mendirikan satu yayasan yang diberi nama Yayasan Panglipur Mustaka atau berarti Yayasan pelipur kepala (yang dimaksud kepala adalah otak atau akal). Beliau mengajar anak-anak dari usia 8 – 17 tahun dengan cara mengajar yang tidak membosankan dan sangat mudah dipahami. 3 tahun kemudian, ibu Tika dianugerahi medali dan piagam oleh presiden karena telah memajukan anak-anak di desanya. Hingga sekarang, yayasan yang didirikan ibu Tika masih bertahan dan mulai menyebar di Kabupaten Banjarawi.

Seusai wawancara, kami mengucapkan terima kasih pada Ibu Tika dan pamit pulang ke rumah. Aku membawa hasil wawancara yang berupa rekaman di handphone untuk diserahkan pada Pak Fajar esok.

Keesokan harinya, aku sangat bersemangat berangkat ke sekolah. Di dalam benakku, aku masih ingat tutur kata lembut ibu Tika dan kisah mengesankan yang dialami beliau. “selamat pagi?” sapa Pak Fajar pada kelas 7a. “pagi pak…” jawab siswa 7a serempak. “apakah tugas yang bapak berikan satu minggu yang lalu sudah siap dikumpulkan?” tanya Pak Fajar memastikan. “sudah pak..” teriak siswa 7a. “hari ini, kalian bertugas mempresentasikan hasil pekerjaan kalian di depan kelas, yang sudah siap, mari ke depan dan mulai presentasi!” tukas Pak Fajar. “Saya pak” jawabku semangat. Aku maju ke depan kelas dan mempresentasikannya.

“pada tanggal 10 April, saya, Akyas Az-Zahra dan kawan saya, yaitu Fadyta Fisanetya telah mengunjungi kediaman Ibu Sartika. Beliau adalah orang yang telah mendirikan Yayasan Panglipur Mustaka atau yayasan pelipur akal. Dalam mendirikan yayasan tersebut, beliau terlebih dulu melewati jalan yang tidak mudah. Dulunya, beliau hanya seorang anak buruh tani miskin. Tetapi beliau sangat rajin, hingga beliau dapat bersekolah hingga tingkat SMA tanpa membebani biaya sekolah pada orangtuanya karena beliau selalu mendapatkan beasiswa. Setelah menikah dengan seorang yang kaya, beliau berinisiatif mendirikan sebuah yayasan yang diberi nama Yayasan Panglipur Mustaka. Beliau prihatin melihat anak-anak di desanya sangat sulit mendapat pendidikan. Dengan pengajaran beliau yang sangat ramah dan lemah lembut, anak-anak di desa beliau yang dulunya tidak mengerti baca tulis dan berhitung, kini mereka telah maju dan berkembang amat pesat. Setelah 3 tahun beliau mendirikan yayasan, beliau mendapat medali dan piagam penghargaan langsung dari presiden RI yang menjabat pada waktu itu. Kesimpulannya, bahwa inilah wanita Indonesia, wanita yang bijak, wanita yang lembut, wanita yang sangat amat berkharisma di hadapan orang lain maupun orang dekatnya. Inilah contoh wanita bangsa yang patut dan mesti diteladani sikap dan perilaku serta pemikirannya yang tidak egois dan sangat merakyat. Cukup sekian dari saya, terima kasih atas perhatiannya.” Inilah presentasiku. Seusai presentasi, tepuk tangan meriah terlontar dari telapak-telapak tangan siswa di kelasku, kelas 7a.

“Wah, hebat sekali Zahra, kamu patut mewakili sekolah mengikuti lomba bercerita tokoh wanita yang hebat dalam rangka memperingati hari Kartini pada tanggal 21 April esok.” Ucap Pak Fajar seusai aku mempresentasikan wawancaraku tadi. “terima kasih pak, saya akan berusaha agar sekolah bangga pada saya, dan saya janji akan mencontoh sikap Ibu Kartini dan Ibu Sartika kelak.” Jawabku sambil cengar cengir tanda gembiranya perasaanku.

SEMUA ITU KARNA ALLLAH

SEMUA ITU KARENA ALLAH.
Karya Novi Khusna
Pagi adalah waktu yang menurutku sangatlah indah. Dengan dikelilingi oleh pepohonan yang rindang dan sawah hijau yang melintang. Membuat hati semakin tenang. Di tambah lagi dengan hawa yang begitu dinginnya pagi ini..
Hmmm … itulah gambaran dari suasana kotaku.. yang sangat aku banggakan. ,,mungkin hingga tua kan ku pijaki kota tercintaku ini. Dimana pula disinilah tempat ku terlahir,tempat pertama kali ku hembuskan napasku.

Aku terlahir dari rahim seorang wanita penjual kue keliling. Seorang wanita yang berhati mulia dan berjiwa tegar. Disini pula seorang wanita paru baya mempertaruhkan nyawa,hanya berbekal dengan doa.Dan berharap tangan tuhan mau membantunya.yaaa…wanita itu adalah ibuku, ,malaikat yang akan selalu temani hatiku, yang akan selalu menjaga ragaku dan yang akan selalu menyayangiku hingga kelak ku tutupkan mata kembali menghadap sang illahi. Sedangkan bapak ku hanya berprofesi menjadi penarik becak yang tak akan pernah pasti hasilnya.
“Hmmm..” pagi ini ku hembuskan nafasku, ku terbangun dari lelapnya tidurku semalam. Entah kenapa pagi-pagi buta aku telah terbangun dari tidurku,, mungkin hawa dingin yang menusuk tulangku membuat diriku terbangun. Sang surya saja belum terbangun dari tidurnya.

Semua Itu Karena Allah
Saat itu ku merasakan kejenuhan dalam kamarku. Ku berniat untuk keluar dari kamar. Saat aku tengah membuka selambu kamar yang sangat kumal. Ku mencium aroma masakan khas ibuku. Dan ku lihat asap tunggu pun telah mengebul. Ku bergegas ,mengikuti aroma yang sangat sedap itu. Aku yakin ibu masak nasi special untukku. Yaa, karena kita jarang sekali makan nasi. Paling Cuma ubi rebus. Itupun kalau ada. Kalau gak yaa..hanya minum saja. Oleh karena itu nasi sudah termasuk makanan spesial untukku.
Ku toleh dapur yang terbuat dari bilih bambu tersebut dan saat itu pula ku sapa ibuku “ ibuu….” Lalu ibu pun tersenyum kepadaku. Cantik sekali saat dia tersenyum, seperti bidadari bagiku. Dan saat itu ku hanya tersenyum dan merasakan kehangatan pada tunggu alat untuk memasak ibu. Saat itu suasana sangatlah hening hanya ada aku dan ibu.

Ku memulai pembicaraan “ ibu..ibu masak apa?nasi yaaa…aromanya sedep bangetss….”
“Hahahah…kamu bisa saja Syifaku sayang” tersenyum sambil mengelus rambutku
“yaa..iya dong bu…anak siapa?” aku pun berbalas memujinya.
“Tau gak bu..pagi ini udara begitu dinginn. Tapi disaat belaian ibu kepadaku dan hanya ditemani api di tunggu. Serasa ada yang menyelimutiku bu, terasa begitu hangatnya.” Sambil ku tidur dipangkuan ibuku.
“ oh yaaa…tapi jika suatu saat ibu telah tiada,, bagaimana?? Siapa yang menjadi pengganti ibu di saat syifa kedinginan..” sambil tak terasa ibu meneteskan air mata.
“ ibuuuuuuuuu…… Syifa tau, umur tak dapat di perkira oleh manusia. Tapi yakinlah buu…selamanya ibu akan selalu di hati Syifa. Syifa cinta ibu karena ALLAH.’’ Sambil tangan ini menghapus air mata yang telah mengalir di pipi cantik ibu..
Tak terasa perbincangan dalam dekapan hangat ibu membuat waktu tak terasa bergulir begitu cepatnya. Dan kini jarum jam telah menunjuk pada angka 4 lebih. Adzan pun telah terdengar oleh telingaku.Kokokan ayam pun mulai berbunyi, itu bertanda sang surya akan segera datang.
Ibu menyuruhku segera mandi dan bergegas untukku sekolah,sedangkan ibu melanjutkan perkerjaannya tadi yang sempat terhenti oleh ku. Sebelum itu aku dan ibu bergegas menambil air wudhu. Saat ku akan melepaskan bando kesayanganku, ibu menyuruhku membangunkan bapak yang tengah tertidur lelap. Mungkin ia merasakan lelah setelah bekerja hingga larut malam, terkadang aku kasihan sama bapak.

Aku membangunkannya untuk sholat shubuh berjama’ah yang telah dilakukan seperti biasa di keluargaku.
“ bapak…pak… ayo bangun, waktu shubuh telah datang!” sambilku goyangkan badan bapakku.

Tak lama bapak terbangun dari tidurnya, berlahania membuka mata.
“ooohh.. Syifa..ada apa nak ?” sambil sayup-sayup bapakku membuka mata.
“bapakk….ayo sholat..sudah ditunggu ibu”sambilku menarik tangan bapak.
“oh masya alloh…. Ini sudah shubuh toh?’’ ayah langsung bergegas bangun dari tempat tidurnya dan bergegas mengambil air wudhu.

Aku,bapak,dan ibu sholat berjamaah. Bapaklah yang menjadi imam di keluarga kecil kami. Aku bahagia memiliki bapak dan ibu yang sangat menyayangiku. Walaupun dilihat dari materi kami termasuk orang-orang miskin. Tapi dengan ada mereka di dekapanku…ku rasa aku adalah orang paling terkaya.
“Pak…bu… Syifa berangkat sekolah dulu yaaa.” Ku mencium tangan mereka berdua.
“ iya nak.. Syifa disekolah jangan nakal ya..jangan ikut teman-teman Syifa..jadilah anak yang pandai yaaa sayangg… jadilah anak yang bisa ibu dan bapak banggakan. Kami sayang kamu Syifa.” Ibu memelukku serasa ibu tak ingin kehilanganku.
“assalamu’alaikum bu..pakk..”sambilku lambaikan tangan pada mereka.
“wa’alaikum salam hati-hati di jalan.” Ibu dan bapak membalas lambaian tangan dariku.
Ku berangkat dengan jalan kaki, jauh sih..! Tapi bagiku jarak tak dapat menyurutkan langkahku untuk menimba ilmu disekolah. Apalagi ku teringat akan pesan ibu setiap pagi untukku. Dan harapan ibu di setiap langkahku. Aku harus bisa jadi anak kebanggaan ibu !
Ku menelusuri sawah-sawah dan menyebrang sebuah sungai yang gak terlalu dalam ketinggian airnya. Mungkin hanya di bawah lututku. Aku berjalan menuju sekolah dengan bernyanyi di sepanjang perjalanan,ku nikmati aroma surga dunia. Kunikmati pemandangan yang mungkin manusia tak dapat membuatnya. Hanya tuhan yang maha kokohlah yang dapat menciptakaannya.SUBHANALLAAAAHHH…..
Sesampailah di sekolah tempat ku menimba ilmu. Semua teman-teman telah menyapaku di depan gerbang sekolah SMP.AL-JANNAH O1. Sekolah terfavorit di kotaku.Mungkin hanya orang-orang kaya yang bisa masuk sini..
Yaa..berhubung secara materi aku lemah tapi mungkin IQ ku lumayan tinggi. Jadi aku dapat di terima pada sekolah termewah ini. Semua temen juga suka padaku. Mereka bilang aku anaknya selain pinter periang pula. Hehehe….
Aku masuk kekelas bersama Cahaya PUtri Laila anak pengusaha ternama di ASIA. dan saat bersamaan bel tanda masuk telah berbunyi. Teeeeeetttt……aku duduk bersamanya. Lalu bu Laila masuk ke kelasku.yaaa..kerena saat ini pelajaran matematika. Dan yang mengajariku adalah bu Laila guru yang terkenal cantik dan baik hati.

Uupsss..bu Laila hari ini tidak masuk sendirian dikelasku melainkan didampingi oleh kepala sekolah pak Ridwan namanya. “wah ada apa nih !” batinku sambil hati berdebar-debar. Entah kenapa hari ini aku sangat berdebaran.bu Laila masuk dan menyapa murid-murid di kelasku.
“assalamu’alaikum anak-anak” sapa bu Laila
“waaa..aa.alaikum salam bu Laila” murid-murid membalas sapa
“aanak-anak kedatangan bapak kepala sekolah disini untuk memberi kabar gembira untuk kalian” dengan tersenyum bu Laila menyampaikannya.
“ ehhhmmm….boleh tau gak bu kabar gembiranya apa” sang ketua geng Beuti dengan tidak sopannya. Itu Bella namanya.ketua geng yang paling suka usilin aku ma Caca.
“Bella..tunggu ibu belum selesai bicara..”sambiil sedikit jengkel melihat tingkah Bella di hadapan bapak kepala sekolah.
Lau ibu melanjutkannya “biar bapak sendiri yang akan memberitahunya”

Sejenakku terdiam bersama teman-temanku.hati semakin gak karuan.melihat pak Ridwan yang sangat terkenal kedisiplinannya dan tidak ingin di selah saat ia sedang berbicara. Hanya diam dan diam. Hanya ada keheningan yang membalut di dalam kelas ku.
“anak-anak yang bapak banggakan. Berdirinya bapak di sini akan menyampaikan sebuah informasi yang sangat penting. Berhubung sekolah ini sudah di kenal dengan murid-murid yang sangat cerdas seperti kalian maka bapak wali kota. Mengundang murid yang terbaik di sekolah ini untuk mewakili kota udalam rangka mengikuti lomba cerdas cermat “ Jenius Matematic” tingkat seJawa Timur. Hadiah yang akan di berikan tidak main-main. Hadiah untuk juara satu 10 juta, juara dua 5 juta sedangkan juara tiga 1 juta dan langsung di kirim ke tingkat se-Indonesia. Kalian semua akan saya seleksi. Saya akan memilih 2 yang terbaik. Yang akan mewakili kota ini. Kalian siap bukan?” sambil tersenyum dan menyakinkan murid dikelasku.
‘‘huuuftt..’’ ku hembuskan nafas untuk meredakan tegangku tadi.
“Pak kapan acara penyeleksiannya dimulai dan kapan lomba cerdas cermat akan dilaksanakan.” Dengan wajah serius si jagoan matematika di kelasku. Namanya Dian.
“mungkin, bulan depan perlombaannya akan dimulai.” Jawab bapak kepala sekolah.

Akhirnya, penyamian bapak kepala sekola di kelasku telah usai. Lalu pak kepala sekolah berpamitan keluar ke[ada murid kekelasku.
“sebelum bapak tinggal, masih adakah pertanyaan yang ingin ditanyakan?”
“tidak pak…” murid-murid di kelasku menjawabnya dengan serentak.
“kalau begitu saya ucapkan terima kasih atas perhatiannya dan semoga sukses. Terus belajar , jangan lupa berdo’a. Karena ini kesempatan emas untuk anak yang jenius seperti kalian.” Sebuah pesan yang penting dari seorang professor sekaligus kepala sekolah di sekolahanku.
“wichh..hadiahnya oke bengat..tapi, apa mungkin aku terpilih mengikuti lomba itu, Ah,! Aku rasa tak mungkin, paling Dian yang akan terpilih. Secara IQ dia kan tinggi banget lagi pula secara materi juga dia kan tercukupi hanya minta saja langsung tersedia. HUUft…” ku hembuskan nafasku meragukan kemampuanku sendiri.

Saat itu ku terlamun sendiri, tak ada gairah untuk membicarakan persolan ini.hanya termenung dan berandai-andai“ Andai jika aku terpilih dan aku menang mungkin aku bisa bantu ibu dengan uang yang aku dapatkan dari lomba tersebut .hmm.. aku kasian liat ibu harus berjualan kue keliling dengan panasnya terik matahari yang tak seorang pun dapat berkompromi dengannnya. Kadangkala hujan yang lebat membuat kue-kue yang dibuat ibu tak laku begitu banyak.
“ya Allah,, aku sadar aku tak mungkin dapat ikut dalam perlombaan itu. Apalagi aku bisa menang dalam perlombaan tersebut dan mendapatkan hadiahnya. Itu menurutku tak mungkin. Tapi aku tahu kuasa-Mu begitu besar, kau bisa bolak- balikkan dunia dengan kecepatan kedipan mata.maka tak sulit pula jikalau Engkau dapat memberikan kepercayaan pada hamba dan memilih hamba untuk mewakili kota ini.

Ya..Al loh.. hanya pada-Mu hamba munyembah dan hanya pada-Mu pula hamba memohon, hamba ingin mengikuti lomba tersebuat ya alloh…jadi izinkan hamba untuk mengikuti lomba tersebut dengan cara lolosnya hamba dalam seleksi yang akan di berikan .hamba ingin membantu ibu yaa..Alloh..hamba kasian pada ibu” ku menulis pada buku diary ku. Berharap alloh akan membantuku nantinya.
“Plessssss”.. suara tebokan tangan yang lembut di bahuku.tapi, tak begitu keras. Ku toleh ke belakang, ku terkejut.ternyata tangan Caca yang menebok bahuku. Caca adalah anak terkaya di sekolahku bapaknya saja seorang Directur di perusahaan minyak diKalimatan sedang ibunya seorang perawat di Rumah Sakit ternama di kota ini.aku sempat heran kenapa dia mau berteman dengan orang miskin sepertiku yang hanya mengandalkan otak saja.
“Syifa kenapa kamu? Kelihatannya wajahmu begitu gelisah” dengan raut wajah yang nampak mengkhawatirkanku.
“Tiii..dddaakkk…aku tidak kenapa- napa kok, kamu gak usah khawatir ya…” jawabku dengan terbata-bata.
“Ah..kamu gak usah bohong dech, kita sudah lama berteman dan aku tahu banget sifatmu, kamu gak biasanya seperti ini, pasti ada apa-apa, ehhh,,aku tahu ! pasti gara-gara tadi yaa… kamu mau ikut lomba itukan?” dengan raut wajah yang gelisah melihatku.
“iya … Ca.. sebenarnya aku pingin banget ikut itu tapi, kurasa itu tidak mungkin. Kamu liat Dian tadikan, kelihatannya dia begitu siapnya mengikuti seleksi tersebut. Kamu tahu kan Ca..selain pinter dia kaya semua dia minta selalu terkabulkan” aku semakin cemas.
“ehmm… Syifa temen Caca yang palinggg cantik.. Syifa gak perlu cemas dengan itu, Syifa butuh dana untuk beli buku?…Caca ada sedikit ung kok buat Syifa.” Sambil memegang bahuku.
‘’ee..eee..jangan Ca..aku gak mau merepotkanmu. Biarlah Dian saja yang mengikuti lomba tersebut.”Ku menolak tawaran Caca padaku.
“Syifa..Caca tahu Syifa butuh uang untuk ibu Syifa kan,!dan ini kesempatan kamu Syif..jadi jangan kamu sia-siakan yaa…!” Caca semakin menyakinkanku bahwa aku bisa.
“ Makasih ya Ca..kamu begtu baiknya dengan aku. Padahal kamu tahu sendirikan aku hanya seorang anak penjual kue dan seorang penarik becak. Tapi kenapa kamu bisasebaik itu dengan ku?” ku merasa termotivasi olehnya.
Sambil memelukku Caca berkata padaku “ Syifa.. masih inget gak ? kalau Syifa pernah ajari Caca kalau CINTA itu karena Alloh. Dan saat ini Caca ingin belajar untuk cinta Syifa karena Alloh, Syifa ingetkan?”
Semua terasa begitu bermakna…terasa hanya ada di panggung sandiwara. Tapi, ternyata kini ada di dalam dunia nyata dan saat ini pula Syifa merasakannya.SUBHANALLAH….ku berterima kasih pada-Mu wahai Robku yang maha agung.

Dan saat ini aku sedang asyik mempersiapkannya, aku juga diajak oleh caca untuk pergi ke took buku..yang gede’ banget..aku dan Caca juga makan bareng di restaurant, aku juga diajak belajar bersama dirumahnya. Semua terbalut dalam canda dan tawa.hingga kini tiba waktunya penyeleksian siswa yang akan mewakili kotaku yang tercinta ini.
“Caca…aku takutt niiih, semua usaha kita sia-sia,,,” ku tak percaya diri.
“ Syifa …gak boleh begitu..pasrahkan saja semua pada Alloh, pasti Alloh akan beri yang terbaik untuk kita. Yakinlah..! kita bisa.. kerjakan semua ini karena Alloh.” Caca lagi-lagi menyakinkanku.
“oh..yaa Caa..kamu sudah bilang sama ibumu kalau sekarang kita akan mengikuti penyeleksian.”Tanya Caca padaku.

Ku hanya menggelengkan kepala. Dan ku berkata tidak padanya. Caca pun seketika itu terkejut.
“looooh..! kenapa kamu gak bilang Syif?”
“ Aku takut jika aku gak lolos, ibu jadi sedih. Ya..menurutku tak memberitahunya itu lebih baik.”itulah jawabanku pada Caca
“Ehmmm…Syifa.. kamu gak boleh begitu seharusnya, apapun keputusannya nanti. Ibu kamu pasti akan terima kok.” Caca menasehatiku dengan suara merdunya itu.
“jadi….selama ini Syifa sudah bersalah dong.? Maafin Syifa ya Ca..”merasa ku menyesalinya.
“sudah tak perlu kamu sedih begitu, nasi sudah jadi bubur Syif… lagi pula aku gak nyalahin kamu kok.”Sambil tersenyum kepadaku
“Caca… makasih yaa..Syifa Sayang Caca karena Alloh” sambil ku tersenyum dan memeluknya.
Dan pagi ini sebelum penyeleksian dimulai. Aku menuliskan di buku diaryku saat masa-masaku dengan orang tersayangku. Aku tak ingin masa-masa ini lenyap begitu saja. Aku ingin jika suatu saat ku telah pergi. Mereka bisa baca buku ini dan menyaksikan isi hati berbicara.

Diary..
Aku sayang Caca karena Alloh dan begitu pula dia padaku. Kini aku begitu bahagianya, kurasa memiliki ibu dan ayah beserta teman seperti Caca adalah anugrah tuhan yang paling indah, semoga ini tak akan berlalu begitu saja.semoga aku dengan mereka akan selalu bersama walaupun dalam kesedihan.
Yaa..Rob tuhan sejagad raya… aku mohon jangan pernah kau pisahkan aku dengannya.aku begitu menyanyanginya.aku tahu waktu tak berhenti begitu saja. Dan umur tak akan pernah bertambah..Tapi, aku mohon izinkanlah aku bersamanya hingga akhir aku tutupkan mata.

Penyeleksian pun telah dimulai. Dan setelah beberapa kali bapak kepala sekolah memberi pertanyaan dan memberi soal-soal yang di ujikan. Akhirnya, pengumuman siapa yang terpilih pun dibaca.
“ Syifa, ayo baca bismillah bersama-sama.” Ajak Caca padaku
“BISSMILLAHIROHMANNIROHIM” kita serentak membacanya dengan lirih.

Bapak Ridwan selaku kepala sekolah mengumumkannya di damping oleh pak Ahmad wakil kepala sekolah dan Bu Lina selaku guru Matematika di kelasku.Namaku dan Nama Caca tersebut dalam pembicaraan pak Ridwan dan pak Ridwan memanggil kita berdua. Aku dan Caca hanya menunduk dan terdiam untuk ngontrol detak jantung yang tak karuan.
“Syifa..Caca.. kemari sayang..” panggil pak Ridwan
Kami pun maju dan menghampirinya.
Pak Ridwan berkata padaku dan Caca.” SELAMAT kalianlah yang mewakili kota ini untuk perlombaan Jenius MATEMATIC di kantor Gubernur di Surabaya” sambil bertepuk tangan di iringi oleh teman sekelasku.

Aku dan Caca pun sepontan terkejut. Kami bersujud syukur dan kami saling berpelukan.
“ Alhamdulillah… Terima kasih ya Alloh” ku sambil berjabat tangan pada pak Ridwan, pak Ahmad dan Bu Lina.tak lupa aku dan Caca berterima ksih pada guru yang selama ini telah membimbing kita. Aku dan Caca sangat bersyukur sekali.

Terlihat siang telah usai. Kini telah berganti menjadi malam. Aku toleh kamar ibu dan bapak. Bapak ku lihat telah tertidur lelah.Mungkin, karena capek sehabis kerja seharian menarik becak yang sangat berat itu. Sedangkan ibu tak ada di kamar. Ternyata ibu sholat di tempat sholat khusus yang ada di rumah. Saat itu ku membuka kamar sholat ibu dan tak sengaja ibu sedang khusyuk berdo’a.
“ya alloh..hamba lemah..hamba tak punya daya upaya…hamba miskin daripada-Mu.maka hamba mohon maafkanlah hamba atas dosa hamba.
Ya Alloh..engkau pasti tahu.. Syifa anak hamba yang sangat hamba sayangi itu kini semakin besar dan biaya sekolahnya pun semakin tinggi. Tapi, dengan perkerjaan hamba yang seperti ini mana mungkin hamba bisa membiayainya.sedangkan hamba tak ingin ia berhenti sekolah walaupun hanya satu bulan. Dan hamba tak mungkin hanya mengandalkan otaknya yang hanya bisa hamba isi dengan lauk pauk seadanyanya. Hamba mohon berikanlah rezeki lebih kepada hamba sampai hamba bisa melihat Syifa tersenyum karena ia dapat meraih cita-cita yang selama ini ia dambakan. Walaupun harus ku korbankan nyawaku. Ini semua deminya ya Alloh tuhanku.”
Dan saat itu hanya tetesan air mata yang dapat ku keluarkan. Terasa lisan tak ingin mengucapkan kata-kata apapun itu ! doa ibu membuat ku larut dalam heningnya malam. Ku tah, ibu sangat menyanyangiku karna Alloh. Tak terasa tangisan dan keheningan itu membuatku tertidur lelap.

Pagi telah datang, sang mentari dengan senyumnya membawa sinar yang begitu indah.aku pun terbangun karena sinarnya dan kini tibalah aku berangkat kesekolah. Saat ku telah usai memakai semua seragamku dan siap berpamitan pada ibu dan bapakku.
“bu..pak..Syifa berangkat yaa…”sambilku mencium tangan mereka.
Saat itu pula ibu membisikiku. “nak ibu sayang kamu karena Alloh, maka belajarlah kamu menjadi orang yang bekerja karena Alloh, bukan karena siapapun.”
Aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan.

Hari demi Hari telah berganti dan saat ini tibalah waktunya ku mengikuti lomba “Jenius MATEMATIC”
“ Syifa kamu siap!” Caca memelukku dan menyakinkanku.
“Insya Allah siap Caca” aku pun tersenyum padanya.

Dan saat ini aku teringat pesan ibu bahwa kerjakan segala sesuatu karena Allah. Dan saat ini ku mengikuti lomba bukan karena hadiahnya, namun semua itu karena Alloh.
“Huffftttt” ku tarik nafasku dan ku hembuskan berlahan.
Ku rasa semua begitu cepatnya..tapi aku tak bilang pada ibu..biarlah ini menjadi kejutan kalau aku menang.
Saat ku di dalam mobil milik sekolah bersama Caca, pak Ridwan, dan Bu Lina untuk pergi ke kantor Gurbernur di Surabaya mungkin perjalanannya hanya 1 jam saja.

Aku sempatkan menulis Diary..
Diary…
Tak disangka waktu begitu cepat dan hari ini. Hari Selasa tanggal 20 Mei ku bersama Caca di kirim ke kantor Gubernur.hati berdebar sangatlah kencang di perjalanan ini. Hanya bisa pasrah dan berdoa pada tuhanku Robbi A’alamin.semoga aku bisa.
Ya rob..ku pasrahkan semua ini pada_mu.wahai zat yang dapat membolak balikkan dunia.hanya pada-Mulah keputusan bijak itu terucap. Ku hanya dapat memohon..berilah yang terbaik untukku, dan semua orang yang aku sayangi.
Aminnnnnn….

Wahh.. kini ku telah tiba dikantor Gubernur sekitar pukul 9 pagi. Dan ku pijaki kota Surabaya yang megah ini. Seumur-umur ku tak pernah pijaki kota kebanggaan masyarakat Surabaya.Aku disambut oleh pejabat-pejabat tinggi Aku disalami looo… tanganya pada dingin semua.semua terlihat cantik-cantik dan ganteng-ganteng.
Kini pukul 10 pagi perlombaan telah di mulai, banyak sekali pesertanya. Pesretanya dari berbagai kota.semua terlihat canti dan putih-putih. Dan disini pesertanya di temani oleh ibu-bunya yang terlihat berdandan begitu glamor.
****

Perlombaan telah usai, kini tibalah penghitungan sekor. Dan para juri telah membwa sekor para peserta.sang pembawa acara itu pun mulai mengumumkan
“ Adik-adik yang kakak dan bapak ibu banggakan, kalian adalah calaon piñata negeri ini, dan kalianlah anak terbaik diantara teman kalian.dan kali ini kakak akan umumkan siapa yang menjadi juara pada perlombaan ini. “sang pembawa acara tersenyum
Setelah juara 3 dan 2 di raih oleh sekolah di Surabaya kini juara pertama diumumkan. Aku telah merasa mungkin aku dan caca tak akan menang.tapi, ternyata salah.. aku tahun semua itu karena Alloh dan Alloh pun berkehendak. Sekolah AL-JANNAH 01 menjadi juara paertama dalam lomba JENIUS MATEMATIC.
Semua serontak bahagia dan aku pun syukur Caca dan aku berpelukan. Bapak Ridwan pun sama halnya denganku Berpelukan dengan Pak Ahmad. Terasa hari inilah hari yang membahagiakan buatku. Uang 10 juta telah aku dan Caca dapatkan.

Caca berkata padaku “ Syifa uang ini gak usah kamu bagi ke aku, ambil aja semuanya. Itung-itung buat bantu ibu kamu.” Begitu baiknya Caca denganku.
“Makasih ya Ca..”sambil ku memeluknya.
Semua terasa begitu indah..
Akhirnya aku berniatan uang ini akan ku buatkan toko untuk ibu dan sekarang ibu tak usah lagi berjualan keliling seperti dulu, apa lagi harus melihat ibu berpanas-panasan. Anak siapa yang tega melihat ibunya seperti itu. tak tegalah rasanya. “Ibu……. aku bawa uang untuk ibu, agar ibu tak kepanasan lagi berjualan di jalan.”
****

Saat itu aku pun pulang diantar oleh pak Ridwan dan tak disangka, semua orang dikampungku telah menyambut bahagia dengan kedatanganku, aku saja terheran-heran. Padahal aku tak memberitahu orang tentang perlombaan ini. Tapi, kenapa semua orang kampung serontak menyambutku.Dan saat yang membahagiakan itu kulihat orang terdepan yang menyambutku adalah ibu bapakku. Dengan hanya memakai sandal jepit dan sarung Mereka tersenyum dan tak terasa mereka meneteskan air mata.
“anakku..ibu dan bapak lihat kamu di TV, kamu hebat nak” sambil memeluk aku dan Caca.
“ibu semua ini demi ibu….’’ Ku melihat wajah ibuku.
Berulangkali ibu menciumku dan mencium Caca temanku.seperti aku telah bersaudara padanya.Semua itu terasa seperti sandiwara, tapi aku yakin semu ini karena Allah.Robbi yang maha bijak.
TERIMA KASIH ya Allohh…..

 

SEMUA KEHENDAK ALLAH


Sekolahan masih sepi, hanya beberapa siswa saja yang sudah datang. Nurul, gadis berjilbab anak kelas XII Sosial 3 melangkahkan kakinya menuju ruang kelas.
“Hemm.. Sepi belum ada orang”, batinnya sambil menaruh tas di atas salah satu meja terdepan.
“Assalamualaikum”, salam salah satu ikhwan temannya satu kelas. “walaikumsalam” jawab Nurul dengan tetap menundukkan pandangannya. Entah mengapa hati Nurul selalu berdesir kalau ada ikhwan itu, dirinya selalu gelisah sehingga secara tak sadar merubah air mukanya.
Ya ikhwan itu namanya Ilham, dia ketua rohis di sekolahannya, dia adalah pemimpin yang bijak, lembut, soleh, dan dia anak yang paling pandai di kelas Nurul, tak heran kalau dia menjadi incaran para akhwat. Karena rasa malu yang tertanam pada diri Nurul, Nurul pun menunggu temannya yang lain di luar kelas.
“nunggu siapa rul?” Sapa salah satu temannya yang datang.
“ya nunggu kamu lah na, belum ada teman di dalam”.
“itu ada ilham?”
“nggak sewajarnya kan aku berdua saja dengannya?”
“cieelah kamu itu jadi orang malu malu”
“itu pun lebih mulia!”
“tapi juga nggak harus terlalu begitu kale!! Haha”

Bel berbunyi, nurul dan nana pun masuk kelas, mereka mengikuti pelajaran seperti biasanya dengan sungguh-sungguh, tahu kan ilmu itu begitu pentingnya untuk masa depan.

Bel pulang berbunyi, nurul tidak langsung bangkit dari tempat duduk, dia masih merapikan buku dan membersihkan tempat belajarnya. Memang ini sudah kebiasaannya kalau berangkat bersih pulang pun juga harus bersih. Tak disangka dia hanya berdua saja di kelas bersama Ilham, tak lama kemudian Ilham pun bangkit dari tempat duduk dan akan keluar kelas.
“aku duluan ya rul, Assalamualaikum.”
“iya, walaikumsalam.”

Tak lama setelah itu, nurul pun selesai membersihkan tempat duduknya, dia segera beranjak dan keluar kelas. Tapi langkahnya terhenti begitu melihat Ilham dan Maya teman dari kelas sebelah sedang berbincang-bincang.
“May, ada yang ingin aku katakan kepadamu” terdengar Ilham memulai pembicaraan
“iya aku menyimak”
“aku sudah lama mengenalmu, dan aku yakin kamu adalah wanita yang baik, bolehkah aku mengenalmu lebih jauh?”
“maksudnya apa ya?”
“maukah kamu berta’aruf denganku, tak perlu lama-lama, aku hanya ingin mengenal lebih jauh”
…deg.. Jantung nurul seakan berhenti berdetak, dan rasa sakit tiba-tiba menyeruak dalam hatinya.
Ya Robb dosakah hambamu ini menyukai makhluk ciptaanmu itu..

Merasa tidak baik berlama-lama berdiri disitu nurul pun segera bergegas pulang, dia tak ingin tau kelanjutan dari adegan tadi. Walau dadanya terasa sesak seakan ada beban berat yang menimpanya, tapi nurul tak ingin menjadikan rasa cintanya terhadap manusia melebihi rasa cintanya kepada sang pencipta.

dalam sholat malamnya nurul selalu berdoa
Ya Robb jika dia telah Kau tetapkan sebagai imamku, lindungilah dia Ya Allah, dekatkanlah kami. Tapi jika dia bukan untukku jauhkanlah rasa ini, aku percaya Ya Robb rencanaMu lebih indah dari segalanya dan aku pernah membaca salah satu ayatmu bahwasanya “laki laki yang baik adalah untuk wanita wanita yang baik dan sebaliknya laki laki yang keji adalah untuk wanita wanita yang keji” aku percaya itu Ya Allah, karena aku tahu cinta yang belum ada ikatan adalah HARAM untuk dimiliki.

Sekian

Cerpen Karangan: Moeksa Dewi
Facebook: Moeksa Dewi

CINTA BELUM HALAL TAK PANTAS DIMILIKI


Sekolahan masih sepi, hanya beberapa siswa saja yang sudah datang. Nurul, gadis berjilbab anak kelas XII Sosial 3 melangkahkan kakinya menuju ruang kelas.
“Hemm.. Sepi belum ada orang”, batinnya sambil menaruh tas di atas salah satu meja terdepan.
“Assalamualaikum”, salam salah satu ikhwan temannya satu kelas. “walaikumsalam” jawab Nurul dengan tetap menundukkan pandangannya. Entah mengapa hati Nurul selalu berdesir kalau ada ikhwan itu, dirinya selalu gelisah sehingga secara tak sadar merubah air mukanya.
Ya ikhwan itu namanya Ilham, dia ketua rohis di sekolahannya, dia adalah pemimpin yang bijak, lembut, soleh, dan dia anak yang paling pandai di kelas Nurul, tak heran kalau dia menjadi incaran para akhwat. Karena rasa malu yang tertanam pada diri Nurul, Nurul pun menunggu temannya yang lain di luar kelas.
“nunggu siapa rul?” Sapa salah satu temannya yang datang.
“ya nunggu kamu lah na, belum ada teman di dalam”.
“itu ada ilham?”
“nggak sewajarnya kan aku berdua saja dengannya?”
“cieelah kamu itu jadi orang malu malu”
“itu pun lebih mulia!”
“tapi juga nggak harus terlalu begitu kale!! Haha”

Bel berbunyi, nurul dan nana pun masuk kelas, mereka mengikuti pelajaran seperti biasanya dengan sungguh-sungguh, tahu kan ilmu itu begitu pentingnya untuk masa depan.

Bel pulang berbunyi, nurul tidak langsung bangkit dari tempat duduk, dia masih merapikan buku dan membersihkan tempat belajarnya. Memang ini sudah kebiasaannya kalau berangkat bersih pulang pun juga harus bersih. Tak disangka dia hanya berdua saja di kelas bersama Ilham, tak lama kemudian Ilham pun bangkit dari tempat duduk dan akan keluar kelas.
“aku duluan ya rul, Assalamualaikum.”
“iya, walaikumsalam.”

Tak lama setelah itu, nurul pun selesai membersihkan tempat duduknya, dia segera beranjak dan keluar kelas. Tapi langkahnya terhenti begitu melihat Ilham dan Maya teman dari kelas sebelah sedang berbincang-bincang.
“May, ada yang ingin aku katakan kepadamu” terdengar Ilham memulai pembicaraan
“iya aku menyimak”
“aku sudah lama mengenalmu, dan aku yakin kamu adalah wanita yang baik, bolehkah aku mengenalmu lebih jauh?”
“maksudnya apa ya?”
“maukah kamu berta’aruf denganku, tak perlu lama-lama, aku hanya ingin mengenal lebih jauh”
…deg.. Jantung nurul seakan berhenti berdetak, dan rasa sakit tiba-tiba menyeruak dalam hatinya.
Ya Robb dosakah hambamu ini menyukai makhluk ciptaanmu itu..

Merasa tidak baik berlama-lama berdiri disitu nurul pun segera bergegas pulang, dia tak ingin tau kelanjutan dari adegan tadi. Walau dadanya terasa sesak seakan ada beban berat yang menimpanya, tapi nurul tak ingin menjadikan rasa cintanya terhadap manusia melebihi rasa cintanya kepada sang pencipta.

dalam sholat malamnya nurul selalu berdoa
Ya Robb jika dia telah Kau tetapkan sebagai imamku, lindungilah dia Ya Allah, dekatkanlah kami. Tapi jika dia bukan untukku jauhkanlah rasa ini, aku percaya Ya Robb rencanaMu lebih indah dari segalanya dan aku pernah membaca salah satu ayatmu bahwasanya “laki laki yang baik adalah untuk wanita wanita yang baik dan sebaliknya laki laki yang keji adalah untuk wanita wanita yang keji” aku percaya itu Ya Allah, karena aku tahu cinta yang belum ada ikatan adalah HARAM untuk dimiliki.

Sekian

Cerpen Karangan: Moeksa Dewi
Facebook: Moeksa Dewi

MY LIFE LIVE


“Kau tahu, nak. Aku telah mengorbankan perasaanku untuk menikahi si Sugeng sebagai bapak kamu, tujuannya apa ta nak, biar bisa membiayai hidupmu, biar kamu gak hidup di panti Asuhan lagi, terimalah dia sebagai bapak kamu ya, nak” Ibuku yang telah menyandang status janda memelukku dan merembeskan air matanya, memintaku untuk menerima Pak Sugeng sang juragan proyek sebagai ayahku. Hatiku benar-benar runtuh, dalam fikiranku yang masih labil, bagaimana bisa ibuku menerima seseorang yang tak dicintainya, hanya dijadikan sebagai tulang punggung keluargaku, yang selama ini biaya sekolahku dan adik-adikku, pamankulah yang menanggungnya setelah ayahku meninggal 2 tahun yang lalu, ah meninggal yang cukup menyedihkan, meninggal di suatu pulau Batam yang mayatnya tak di ketahui oleh ibuku, betapa hebatnya tangisan ibuku saat itu setelah teman ayahku memberitahukan berita duka kepada keluarga kami atas kecelakaan yang menimpa ayahku, ahh! Peristiwa itu membuat air mataku keluar, setiap ku mengingatnya, ayahku yang sangat aku cintai itu, yang sangat aku banggakan bagaikan pahlawan yang menyerang tentara jepang saat peristiwa Bandung Lautan Api. Aku masih terdiam sampai ibuku meninggalkanku sendiri di kamar rumahku.

2 bulan kemudian…
Aku mempunyai ayah baru sekaligus adik perempuan baru yang di bawa dari ayah tiriku, Mala, umurnya 2 tahun di bawahku, anaknya cantik, rambutnya panjang rebondingan, kulitnya mulus penuh perawatan, maklum keluarga dari orang kaya, aku benar-benar belum bisa menerima mereka sebagai keluargaku, entah sampai kapan waktu kan membawaku untuk menerima mereka.
Saat aku pulang sekolah dan memarkirkan sepeda kuningku di samping rumahku, Ayah tiriku menghampiriku di beranda rumah ketika aku mengendorkan punggungku di kursi.
“Sal, bapak mau membelikanmu motor” aku tak bergeming sama sekali.
“Bapak merasa kasian lihat kamu, selalu capek pulang pergi ke sekolah naik sepeda ontel, kamu pengen motor apa?”
“Ah, gak usah lah pak, terlalu berlebihan. Lagipula bapak kemarin udah membelikan kulkas baru, tv baru, juga PS baru untuk Mala, gak perlu lah bapak ngeluarin duit lagi buat motor baru” ini berlebihan bagi aku, jujur entah kenapa aku gak suka hidup seperti ini, ketika itu juga aku rindu sekali sama bapak kandungku dulu yang selalu mengajariku hidup kesederhanaan, aku sangat tidak setuju terhadap hidup bapak dan adik tiriku yang terlalu mewah.
“Halah, gak apa apa lah nak, selama semua ini untuk keluarga kita supaya kita bahagia nak, ayo aku punya brosur motor buat kamu lihat, kamu milih yang mana?, vixion, tiger?, coba kamu lihat dulu, bapak yakin kamu suka” bapak itu tetap bersikeras menawari kemewahan dengan dalih kebahagiaan, tapi sayangnya hal itu sama sekali tak membuatku bahagia, aku tetap menolak keinginan bapak itu, dan meninggalkannya sendiri di beranda rumah. Ketika ku memasuki ruang tengah, aku benar-benar tak nyaman dengan keadaan semua ini, apa-apaan ini, kudapati Mala yang asik bermain PS barunya dengan pakaian yang tidak sopan!, aku hanya geleng-geleng kepala mendapatkan seorang ayah tiri dan adik tiri yang bobrok akan kesopanan, saat itu juga ku kemasi baju-baju seperlunya dan buku-buku sekolah ke dalam tas ranselku, niatku telah bulat, aku tidak betah tinggal di rumah asing ini walaupun ku tahu ini rumahku, aku ingin kembali ke sebuah panti asuhan, dan dengan sedikit kedamaian yang menyelimutiku, aku bisa bergabung bersama anak-anak yang miskin kasih sayang, mengajari mereka membaca kitab Al-qur’an, menceritakan mereka tentang kisah-kisah nabi. Biarlah jika mereka tahu bahwa aku adalah anak panti asuhan yang sama derajatnya dengan orang-orang miskin dan gagal akan hidup.

“Kang Faisal!” suara Neng Ratih memanggilku dari belakang. Dia adalah keponakan dari pengasuh pondok Al-iman yang pondoknya berjejer dengan panti asuhan tempatku mengajar anak-anak miskin kasih sayang.
“Iya neng”
“Loh, akang kenapa balik kesini? Bukannya hidup akang sekarang udah enak?, kok masih mau jadi dermawan di panti ini?” neng Ratih rupanya mengerti tujuan kedatanganku karena melihat tas ranselku yang biasa ku gunakan untuk mengemasi pakaian-pakaianku ketika ku bolak-balik ke rumah.
“Hehehe. Halah gapapa lah neng, kebahagiaanku itu hidup bersama mereka” kataku sambil melirik anak-anak panti ketika mereka bermain di taman.
“Oalah kang, ah wes ah, aku maleh mundak gak paham apa seng saman maksud, aku pamit balik dulu ya kang, abah kayaknya nyariin aku. Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam wr. wb.” aku tersenyum sendiri melihat ke anggunan keponakan pengasuh pondok pesantren itu. Rasa bahagia mengalir begitu saja, apakah Allah memang sengaja mengirim bidadari cantik itu di tengah-tengah kehidupanku.

Aku jadi teringat ketika aku berdoa kepada Allah di sepertiga sholat malam tahajudku, ketika itu aku berdoa agar mengirimkan seorang gadis untuk menemaniku sampai akhirat nanti. Rupanya keesokan paginya, aku melihat neng Ratih yang pindah ke pondok itu untuk membantu Pamannya sebagai pengasuh di ndalem, dan sore harinya neng Ratih datang ke panti ini untuk mengenalkan dirinya sebagai tetangga baru, saat itulah aku berkenalan dengan neng Ratih, ketika itu juga ku merasakan kenyamanan mengalir begitu saja setiap memandang wajahnya, kebahagiaan tersendiri yang tak bisa diuraikan dengan argumentasi apapun, tak lama perkenalanku dengan dia, kami sudah begitu akrab, dari sifatnya yang begitu ramah, aku yang selalu pendiam ini tak percaya kalau aku mempunyai teman gadis dari nashab keluarga terpandang, jauh sekali jika dibandingkan dengan keluargaku, lantas apakah neng Ratih jawaban atas doa’ku semalam itu?, hahahah rupanya begitu konyol jika ia benar-benar jawaban atas do’a do’a ku di sepertiga malam. Dasar sang pungguk lapuk mengharap bulan!

Hari demi hari ku jalani hidupku di sebuah panti asuhan ini, entah bagaiman kehidupan keluargaku di sebrang sana, hanya kadang kala jika aku merindukan ibukku, aku menelfonnya walau hanya menanyakan kabar Fadil, satu-satunya adik kandung kecilku yang saat ini duduk di Taman Kanak-kanak, sudah berkali-kali ibuku mengharapkanku untuk kembali ke rumah, tapi keteguhanku selalu meyakinkan ibuku jika aku disini baik-baik saja, yaah begitulah alasan yang aku lontarkan setiap kali ibuku mengharapkanku pulang.
“Akang” suara menyejukkan hati memecahkan lamunanku ketika ku melamunkan ibuku.
“Oh, loh. Neng Ratih” jawabku agak sedikit gugup karena konsentrasiku belum sepenuhnya berkumpul menjadi satu.
“Kang Fais mikirin apa lo?, dari tadi Ratih lihat kok murung terus?,” tanya Ratih polos, wajahnya begitu anggun dengan balutan jilbab biru muda yang selaras dengan gamis yang ia kenakan.
“Hehe, enggak kok neng”
“Oh, akang setelah lulus ini mau melanjutkan kemana?” jeddar!! Pertanyaan Ratih seperti menghujamku, sebuah pertanyaan yang harus ku peras otakku untuk menemukan jawabannya, karena selama ini aku belum memikirkan apapun tentang apa yang aku tempuh setelah lulus SMA ini yang tinggal beberapa gelintir bulan saja, karena beberapa alasan yang membuatku tak ingin memikirkannya, yah! Beberapa alasan.
“Belum aku fikirkan neng,” jawabku jujur, entah kenapa jika aku di hadapkan dengan gadis asli kediri ini aku selalu terbuka dengannya, tak pernah aku tertutup padanya, hanya karena satu alasan aku merasa gadis inilah yang mampu mengerti aku, hingga aku nyaman tanpa alasan yang pasti.
“Loh, kok gitu ta kang?, memang akang kepengen kuliah di mana?” jawaban yang ingin rasanya ku lewati saja jika itu adalah sebuah pertanyaan essay di ujian harianku Sosiologi, tapi sayangnya kehidupanku tak semudah dengan imajinasi blo’onku.
“Aku gak pengen kuliah neng” jujur! Tanpa meleset ke jurang kebohongan sedikit pun.
“Loh? Ada apa lo kang?, ga sayang toh?, sering juara pararel terus akang juga pernah ke luar kota ikut olimpiade, kok gak meneruskan sekolahnya ke jenjang perguruan tinggi, ah pasti bohong nih akang”
“Hehehe, enggak neng, aku ingin kuliah, tapi rasanya aku tidak mungkin”
“Apanya yang tidak mungkin?” Ratih terus mengejarku dengan beribu pertanyaan.
“Aku tidak mau memakai uang bapak untuk membiayai kuliahku, itulah alasannya kenapa aku belum memikirkan kuliahku, neng. Aku merasa aku baru bisa kuliah jika aku benar-benar mampu membiayai kehidupanku dan kuliahku dengan jerih payahku sendiri, aku tak perlu mewajibkan bapakku itu untuk membiayaiku, tak perlu!” jawabku yang membuatku sakit sendiri sampai ke ulu hati.
“Jadi selama ini, akang belum menerima beliau sebagai bapak kamu?”
“Jujur, belum bisa neng”
“Oh, menyedihkan” sepertinya Ratih mampu membaca kode perasaanku hingga ia mampu merasakan apa yang aku rasakan.
“Tapi aku selalu berusaha untuk kuliah semampuku, dengan peluhku sendiri” jawabanku meyakinkan diri, semata-mata juga meyakinkan gadis yang ada di sebelahku bahwa aku mampu.
“Bagaimana bisa kang?” pertanyaannya sama seperti pertanyaan fikiranku yang terlemparkan pada otakku.
“Waallahu’alam”
“Oh ya akang. Aku punya kakak yang sekarang kuliah S1 nya di Kalimantan Timur, daerah Mahakam, mungkin akang bisa ikut dengannya, gak usah khawatir soal biaya deh! Akang kan pinter, aku yakiin 100 % kalau akang bisa mengajukan beasiswa disana, gak cuma beasiswa pendidikan, tapi beasiswa hidup juga banyak disana” kata-kata Ratih bagaikan api unggun yang mengobarkan jilatannya saking semangatnya.
“Kagak enak neng, ikut orang, nambah repot orang”
“Enggak, kang. Malah kakakku sering mengeluh karena ia selalu merasa kesepian tinggal di rumah yang selalu di tinggal sama orang tuanya ke luar kota. Kakakku pasti seneng sekali mendapat teman seperti akang”
“Ah, neng berlebihan. Hehehe,” Ratih sangat menyemangati aku untuk meneruskan kuliahku, dan selalu berantusias agar aku menerima tawarannya untuk tinggal bersama kakakknya, aku sampai tak enak hati dibuatnya, sampai-sampai setiap kali Ratih chatting face to face dengan kakaknya lewat ipadnya ia selalu menunjukkanku dengan dalih mengakrabkanku dengan kakaknya…

3 bulan kemudian…
Ku jatuhkan tubuhku di atas kasur sederhana. Ku kendorkan otot-ototku yang terasa tegang setelah seminggu berkutat dengan masa OSPEK. Ya, sekarang aku berada di pulau terjauh dari rumahku, terjauh menurutku. Neng Ratihlah yang membawaku menjelajahi Pulau Kalimantan ini hanya mencari sebuah gelar S1 yang menurutku entahlah apakah terlalu berguna di dunia pekerjaan nanti yang tidak terlalu mendominasi keberhasilan mendapatkan pekerjaan setelah UANG. Saat ini uanglah yang dapat mensukseskan manusia di negeri ini, uanglah yang dapat mengangkat gelar, yah uanglah yang dapat membahagiakan semua orang yang mata duitan, sebuah kebahagiaan yang menurutku gombal, tetapi itulah negara ini, dan aku hidup di negara ini, negara yang menjunjung kemenangan bagi yang beruang, tak mungkin negara yang beradaptasi dengan fikiranku yang tak bermodal, bagaimanapun juga akulah kelak yang harus beradaptasi dengan aturan-aturan dunia kerja yang jauh dari simbol burung bertoleh kanan yang biasa di pajang di tembok tiap kelas SDku. Lantas apa modalku yang bisa mensukseskan aku? Rupanya aku terlalu pessimis jika aku hanya mengandalkan otak udangku yang tak bermodal, ahh udahlah aku terlalu capek memikirkan masa depanku yang bagaikan tubuh tanpa tulang belulang, yah! Setidaknya aku harus bersyukur aku bisa menjejakkan kuliahku di sebuah di universitas Kalimantan, walaupun ini masih bagian start. Ya kumulai perjalananku dari sini. Suara adzan magrib berkumandang, sekilas ku langsung bergegas mencari air wudhu untuk menunaikan ibadah sholat magrib.
Assalamu’alaikum warohmatulloh,
Assalamu’alaikum warohmatulloh
Ku selesaikkan duduk attahiyat terakhirku dengan khusu’, ingin rasanya aku memeluk ibuku saat ini juga, ku tadahkan kedua tanganku dan mendoakan keselamatan kedua orang tuaku, almahum bapakku, ibuku yang jauh disana, serta adikku yang paling aku sayang, ya Allah lindungilah mereka..
Tak lupa aku bersyukur kepada Allah telah mengirimkanku keluarga Ratih di tengah-tengah kehidupanku, mereka bagaikan malaikatku, mereka yang membuatku hingga aku bisa meneruskan studiku disini. Sejenak kujatuhkan tubuhku di atas sajadah panjang hingga basah seluruh wajahku merasakan sesak kehidupan ini. Dan aku tertidur lelap…

4 tahun kemudian…
Suara aliran damai menemaniku di tanah lapang ini, eah tak ku fikirkan hidupku kan menjadi seperti ini, bertahun-tahun dalam pulau besar ini, tak ada keluarga, tak ada keramaian yang mendamaikanku, mungkin tanah ini sudah mempunyai kedamaian dengan cara mereka sendiri, dan tinggal aku saja yang berdiri bagai setonggak kayu dalam pasir yang gagal menegakkan tubuhnya karena angin terus bertiup menghujamnya hingga membengkokkan badannya ke arah timur. Mungkin kalau bukan karena Neng Ratih, seorang gadis yang sangat aku hormati menyuruhku untuk meneruskan pendidikanku setelah lulus SMA, aku tak akan terbang menuju Pulau Kalimantan untuk mendapatkan beasiswa di salah satu universitas di Mahakam dan menyambi untuk bekerja di sini. Tak ada fikiran sedikitpun aku bisa menjadi seorang mahasiswa.
Hahaha, rasanya ingin tersenyum lepas mengingat kejadian 4 tahun silam, dimulai dari ibukku yang menikahi seorang mandor proyek, kehidupanku bersama ayah tiri dan adik tiri, hidupku di panti asuhan, perkenalanku dengan neng Ratih, semuanya ku ingat utuh dalam memory kecil Tuhan di otakku, rupanya narasi kehidupan Tuhan sungguh amat tak terduga.
Bolak-balik kubaca e-mail dari paman Ratih pada laptop kecil di pangkuanku, e-mail yang bermaksud memintaku untuk menikahi si Ratih, aku tak percaya dengan ini semua, tapi aku percaya hadiah Tuhan benar-benar ada, aku sangat bersyukur atas semua ini, ini adalah start hidupku memulai perjalanan hidupku yang benar-benar aku lalui dengan tubuhku sendiri bersama orang yang sangat aku hormati, ya paman Ratih telah mengizinkan Ratih tinggal di pulau ini kelak menemaniku melanjutkan studi S2 ku. Dan yaa, aku telah dipercaya menjadi dosen di tempatku kuliah, dan aku telah mendapatkan beasiswa serta sedikit rezeki dari hasilku menjadi tutor. Beribu-ribu ucapan syukur rupanya tidak cukup untuk mengungkapkan kebahagiaan ini, narasi Tuhan benar-benar luar biasa, keajaiban Tuhan benar-benar ada.
Kini ku siap melangkahkan kakiku menuju bandara yang akan menerbangkanku ke pulau terpadat di Indonesia untuk menjemput impian, cintaku dan akan membawaku menuju arsy untuk menyempurnakan setengah agamaku.
Bismillahirrohmanirrohim kumulai hidup baruku mulai detik ini.

– End –

Cerpen Karangan: Nita Durotul Husna
Blog: nitadurotulhusna.blogspot.com
Facebook: Nietha Ssie’cenat-cenut

GARA GARA BAKSO


Setelah mata pelajaran sejarah selesai, segera kumasukkan buku-bukuku ke dalam tas. Dan duduk di taman depan kelasku menunggu mata pelajaran bahasa arab. Sendiri di taman kecil “sepi” inilah gambaran hari-hariku belakangan ini. Tak tahu apa yang membuatku malas bercanda, tersenyum malah makin “judes”. Ke sekolah hanya sendiri pulang pun sendiri. Mungkin ini yang membuatku tak mempunyai teman dekat. Tapi bagiku itu tak penting yang jelas allah sudah menentukan siapa yang menjadi sahabatku nanti.

Kulirik jam tanganku ternyata masih lama. Kuayunkan langkah menuju perpustakaan. Segera pilih buku-buku bernuansa sastra. Aha.. Ada lima buku yang menarik perhatianku. Hanya butuh 30 menit satu buku kuselesaikan lalu empatnya lagi kusimpan. Karena tak lama lagi aku masuk. Di kelas, lagi-lagi sifatku menjadi-jadi. Aku makin malas berbicara. Semua orang mungkin geram padaku. “ga urus” inilah yang sering membiusku. Entah apa yang dikatakan teman-teman perempuanku. Di kelas inilah penyakitku selalu kambuh “cuek” yah cuek secuek cueknya pada teman. Entahlah aku juga tidak tahu dengan sifatku ini. Yang jelas semua orang punya prinsip dan bagiku selama diamku tidak membuat orang terdzalimi mengapa harus membuat lengkungan di bibir yang sebenarnya penuh luka.

Jam istirahat sudah menegur. Kami bubar. Aku berlari kecil menuju jendela. Kulihat di langit sang raja panas bersembunyi. Aku berlari, menyambar orang-orang yang berjalan di tangga. “maaf dan senyum” bagiku mampu meluruskan alis mereka yang melengkung karena sambaranku. Ku pun kembali ke kelasku mengayuh tangan sembari melirik sang p***r di kelas xii ips 1.

Ketika pulang, ada tantangan lagi belakangan ini. Yaitu bakso. Sepanjang jalan dari kelas menuju tempat penjual bakso. Ada satu penjual bakso yang selalu membuatku ingin makan bakso tersebut. Aku pun diajak oleh sahabatku ke sana, akan tetapi ia lebih awal berada di sana. Selang beberapa saat, aku menyusul. Aku menyerobot jalan sana-sini. Aku tak sadar yang kurasakan terakhir adalah lengan kananku bersentuhan dengan lengan kirinya. Kututup mataku lalu beristigfar dan berujar “astagfirullahal’adzhiim, point ku berkurang gara-gara bersentuhan dengan orang yang bukan muhrim. Yaa allaaah…” aku terdiam lalu membuka mata. Yang terlihat adalah gigi. Orang itu malah tertawa melihat ekspresiku yang berebihan. “astagfirullah kak” bentakku. Eh… Ia berlalu kemudian tersenyum menebar pesona bak sinetron-sinetron di tv.

Ah… Gara-gara bakso nyawaku dan nyawanya hampir melayang…

Cerpen Karangan: Waode Utari Tantri Rahmani
Facebook: Waode Utari Tantri Rahmani

My name is Waode Utari Tantri Rahmani.
Untuk kenal saya lebih lanjut, invite pin BB ku, 27C81517 okeyy

KUTIPAN CINTA DI AKHIR SENJA


Heningnya malam semakin hening, saat denting jam dinding seolah mengalun tanpa nada. Hembusan angin meniup sejuk, merayap membangunkan sosok wanita yang terbaring pulas. Mila.

“Subhaanallah”, ucap Mila. Kemudian mengambil wudhu dan segera mengerjakan shalat malam.
Dengan kusyuk ia manghadap Allah, berdoa dan memohon kepada-Nya. Menetes air mata seketika dari celah-celah mata yang penuh dengan harap. Berkali-kali ia memohon ampun, meminta petunjuk serta hidayah dari-Nya.

“Ya Allah Yang Maha Pengampun, sudikah kiranya Engkau mengampuni segala dosa yang telah ku buat? Berkali-kali hamba mendustai-Mu, mengingkari-Mu, juga berpaling dari-Mu. Hamba hanyalah kecil di hadapan-Mu. Bahkan sekalipun hamba beribu kali memohon ampun, tak lantas cukup untuk menebus segala dosa hamba. Hanya saja hamba yakin bahwa Engkau menyayangi hamba-Mu tanpa terkecuali. Hamba bukan hanya kecil ya Rabb, tapi juga lemah. Hamba tak berdaya tanpa-Mu. Apa yang hamba lakukan rasanya percuma jika tanpa ridha dari-Mu. Ya Allah Yang Maha Penentu Takdir, tempatkanlah hamba dalam ruang yang penuh oleh cahaya-Mu. Jika hamba jatuh cinta, maka jangan biarkan hamba mencintai makhluk melebihi hamba mencintai-Mu. Takdirkanlah hamba dengan jodoh yang benar-benar Engkau pilih. Yang mampu membawa rumah tangga kami ke dalam bahagia dunia maupun akhirat nanti. Aamiin.”

Keesokan harinya pertemuan dirinya dengan Ramlan pilihan kedua orang tuanya berlangsung. Ini adalah kali pertama Mila menjalani ta’aruf. Setelah menyambut kedatngan Ramlan dan keluarga, Mila bergegas ke dapur untuk menyiapkan jamuan, kemudian disusul sang ibu.

“Gimana Ndok? Kamu cocok?” tanya ibu.
“Apapun dan siapapun pilihan ibu dan ayah, cocok cocok saja. Tapi jika ditanya benar-benar cocok atau tidak, Mila belum tahu”, ucapnya sambil
tersenyum.
“Ya sudah ayo jangan lama-lama di dapur!”
“Iya Bu.”

Beberapa saat kemudian Milapun menuju ke ruang tamu dengan membawa makanan dan minuman yang telah ia siapkan untuk menjamu Ramlan dan keluarga.

“Subhanallah cantik dan anggun sekali kamu Ndok!” ucap Umi Aminah (Ibunda Ramlan) kepada Mila.
“Terima kasih Umi”, jawab Mila dengan ramah, “Silahkan diminum!” lanjut Mila.

Ramlan yang datang dengan ibu dan pamannya terlihat gugup. Sang paman yang mewakili mendiang ayahnya menyampaikan maksud dari kedatangan mereka kepada keluarga Mila.

“Nak Mila, perkenalkan ini Ramlan. Ramlan, ini Mila. Walaupun Ramlan sebelumnya tidak pernah bertemu dan mengenal nak Mila. Tapi dengan niat karena Allah, kami datang ke hadapan keluarga Pak Imran, selain semata-mata ingin bersilaturahim juga bermaksud untuk melamar Nak Mila. Sudikah kiranya Bapak dan keluarga menerima lamaran kami terhadap putri Bapak?”
“Keputusan ada di tangan Mila. Bagaimana Ndok?” ucap sang ayah kepada Mila.
“Insya Allah, dengan niat ibadah kepada Allah, Mila menerima lamaran Mas Ramlan dan keluarga”, jawabnya.

Rona bahagia pun tampak seketika di wajah mereka. Terutama ayah dan ibu Mila, juga Umi Aminah. Umi Aminah kemudian memesangkan cincin pada jari manis Mila. Di susul ucapan “Alhamdulillah” dari mereka.

Satu minggu kemudian akad nikah dan pesta pernikahanpun berlangsung. Acara berlangsung dengan hikmat. Sanak saudara, kerabat dekat, majelis pengajian Umi Aminah, menghadiri acara tersebut dan mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Mempelai wanita tampak sangat cantik dengan terbalut gaun pengantin warna putih dan jilbab yang menutup aurat kepalanya. Serasi dengan mempelai pria yang juga berpakaian warna senada. Dalam hati Mila bergumam.

“Alhamdulillah. Terima kasih Ya Allah, Engkau telah mempertemukan hamba dengan jodoh hamba. Dengan laki-laki soleh, baik, dan tampan yang saat ini sedang duduk di samping hamba. Atas ridha-Mu, hamba jatuh cinta pada-Nya. Setelah penantian yang panjang, kini Kau anugerahi hamba perasaan yang indah ini. Semoga keindahan dari rasa ini akan senantiasa membawa berkah, bukan sebaliknya. Puji syukur atas segala nikmat dan karunia-Mu ya Allah.”

Pada malam harinya, mereka ditempatkan pada ruang kamar yang sama. Kamar dimana mereka akan mengalami kisah dan merajut cinta di dalamnya.

“Sebaiknya kamu tidur dulu saja Mila! Aku belum mengantuk.”
“Bukankah Mas juga capek?”
“Iya, tapi aku belum ingin tidur.”
“Ya sudah kalau begitu Mas berbaring saja dulu!”
“Tidak Mil, kamu tidur saja dulu ya! Aku mau menghirup udara di luar”, Ramlan pun beranjak dari kamar.
Sementara itu Mila tampak heran dengan sikap suaminya. Karena begitu lelah, Milapun akhirnya tertidur pulas. Keheranan Mila semakin besar saat mendapati suaminya hampir tiap malam tidak ingin tidur satu ranjang dengannya, melainkan di sofa.

Satu bulan kemudian Ramlan membeli rumah yang letaknya tidak jauh dari kediaman Umi Aminah.
“Umi, kami pamit ya”, ucap Mila kepada Umi.
“Iya Ndok, kalian hati-hati ya di sana. Maafkan Umi tidak bisa
mengantar. Insya Allah setelah pangajian selesai Umi sempatkan mampir.”
“Iya Umi, tidak apa-apa. Umi hati-hati ya.”
“Oh iya sebentar! Umi ada sesuatu untuk kalian.”
Umi pun beranjak dan datang kembali dengan membawa bingkisan.
“Terima kasih Umi!” ucap Mila.
“Terima kasih Umi. Kalau begitu kami pamit ya”, ucap Ramlan.
“Asalamualaikum Umi”, Mila berucap salam sambil mencium tangan Umi.
“Waalaikumsalam”, jawab Umi.
“Asalamualaikum Umi”, Ramlan mencium tangan ibunya.
“Waalaikumsalam”, jawab Umi lagi.

Sesampainya di rumah baru mereka.
“Alhamdulillah, akhirnya kita sudah tidak bergantung pada Umi lagi ya
Mas? Semoga di rumah ini, apa yang kita sama-sama kerjakan selalu dirahmati Allah SWT”, ucap Mila.
“Aamiin. Oh iya Mila, ini kamar kamu.”
“Loh?” Mila terkejut dan heran, “Kok kamar Mila Mas? Bukannya kamar kita berdua?” tukas Mila.
“Tidak. Kamarku yang itu!” sambil menunjuk ke arah kamar depan kamar Mila.
“Ada apa sih Mas sebetulnyaa? Tolong jelaskan! Jangan seperti ini!” lirih Mila.
“Nanti akan ku jelaskan jika waktunya tepat ya. Lebih baik sekarang kamu shalat asar dulu! Tadi belum shalat asar kan?” Ramlan kemudian beranjak dari kamar Mila sambil mengucapkan, “Asalamualaikum.”
“Waalaikumsalam”, jawab Mila lirih.

Hingga pada suatu malam, Mila mendapati suaminya sedang ingin melaksanakan shalat malam. Mila pun bergegas mengambil wudhu. Ramlan yang shalat di kamarnya tak manyadari, bahwa pintu kamarnya tidak ia tutup kembali sekembalinya ia dari wudhu. Sedangkan Mila yang baru saja selesai wudhu, sengaja membuka sedikit pintu kamarnya agar ia bisa menjadi makmum suaminya. Sementara Ramlan tak menyadari hal itu. Di sela-sela doa, terdengar isakkan tangis Ramlan yang begitu meluap. Sehingga membuat Mila ikut larut dalam isakkan itu. Ramlan berdoa di dalam hati.

“Ya Allah Yang Maha Pengampun, ampunilah segala dosa hamba. Hamba bagai tak tahu diri. Hamba bak mengotori jiwa dan raga hamba sendiri dengan kebodohan hamba. Ya Allah tunjukkanlah jalan-Mu. Keputusan hamba untuk menikah bukanlah langkah hamba untuk berbuat dosa. Tapi karena hamba ingin berbakti kepada kedua orang tua hamba. Rasanya ilmu yang hamba miliki terbuang sia-sia, karena untuk menjadi imam keluarga saja hamba tidak bisa. Hamba tahu bagaimana tersiksanya istri hamba. Apa yang harus hamba lakukan Ya Allah? Hamba belum juga memberikannya nafkah bathin yang mungkin telah lama dia tunggu. Hamba tidak ingin terlalu larut menykiti hatinya yang lembut itu. Hamba telah keras mencintainya, hamba telah lama menunggu anugerah rasa itu dari-Mu untuk aku memberikannya kepada Mila, istri hamba. Tuntun hamba Ya Allah. Agar ibadahku selama ini tidak sia-sia. Agar hamba tidak tersesat dalam kelabu hati hamba. Ya Allah ajari hamba mencintai Mila. Mila yang baik, Mila yang soleha, yang pandai harusnya mendapatkan pasangan yang benar-benar bisa membahagiakannya. Amnpuni hamba Ya Allah, atas dusta hamba kepada orang-orang yang bahagia atas pernikahanku dengan Mila. Atas ingkarku kepada-Mu Ya Rabb, ampuni hamba. Rabbanaa aatinaa fiddunyaa hasanah, wa fil aakhirati hasanah, waqinaa ‘adzaa ban naar. Aamin Ya Robbal ‘alamin.”

Mila berdoa agar apa yang suaminya panjatkan, dikabulkan Allah SWT. Beningnya air mata turut membasahi pipinya. Yang ia harapkan ialah agar air mata yang suaminya teteskan bukanlah air mata duka yang disebabkan olehnya. Mila sangat mencintai Ramlan, sehingga ia selalu berusaha untuk tidak menyakiti Ramlan. Hatinya memang berkecamuk, tapi cinta suci yang ia miliki masih benar-benar tersimpan untuk sang suami. Lambat pagi seraya menyentakkan bathinnya. Bathin yang selama ini telah mengeram, semakin tenggelam.

“Sarapan dlu Mas!” ucapnya kepada Ramlan, lembut.
“Iya, terima kasih”, jawab Ramlan.
“Mas Ramlan sehat bukan?” tanyanya.
“Alhamdulillah sehat.”
“Lalu kenapa wajahmu pucat Mas?”
“Tak usah merisaukanku Mila! Mungkin hanya karena kurang tidur saja.”
Mila tersenyum.
“Ada yang ingin ku katakan Mila”, seru Ramlan.
“Apa itu Mas?”
“Minggu depan aku bertugas ke luar kota”
“Boleh Mila tahu, berapa lama?”
“Delapan bulan Mil.”

Seketika itu juga Mila menangis. Setelah bathin yang menjerit sakit karena belum tersentuh kasih suaminya, kini Mila harus menerima kenyataan suaminya akan pergi dari pandangnya delapan bulan. Selama ini bathin yang terluka telah terobati dengan keindahan mata yang mampu menatap suami tercinta, keindahan itu tersapu kelu karena sang suami harus pergi untuk beberapa waktu.

“Kenapa kamu menangis Mil?”
“Cukup berat beban bathin yang selama ini Mila pendam Mas! Tapi beban
itu hilang seketika saat Mila mendapatimu setiap pagi dan sepulangmu dari kerja. Untuk seorang istri tentunya berat melepaskan suaminya pergi, walau untuk beberapa saat saja. Mila bahagia bisa bersuamikan kamu, Mas. Sekalipun Mas belum pernah sedikitpun menyentuh Mila. Sekalipun Mila sering bertanya-tanya akan perasaan Mas terhadap Mila. Tapi Mila selalu yakin bahwa Mas mencintai Mila. Entah apa yang sebenarnya kau rencanakan Mas. Mila hanya ingin selalu berada di sisimu. Mila tidak sanggup menahan sakitnya bathin yang belum kau nafkahi dan kini Mila harus menanggungnya sendiri. Mila sudah terlalu sering mendustai Ibu, Ayah, dan Umi. Memang Mila bahagia, tapi bahagia yang seperti ini tak sedikitpun Mila harapkan. Jika pernikahan ini hanya melukain hatimu Mas, kenapa tak kau sudahi saja? Mila hanya ingin kita sama-sama bahagia”, ucap Mila dalam isak.
“Maafkan aku Mil. Aku tak bermaksud melukaimu. Hanya saja cinta yang selama ini ku tunggu belum juga hadir untukmu. Aku memang telah melukaimu juga melukai kedua orang tua kita. Aku sudah berusaha keras untuk bisa mencintaimu. Tapi… entahlah Mil, aku bingung. Aku tidak ingin mengecewakan Umi dan mendiang Abi.”
“Mas, kamu itu suamiku. Seorang suami bukan hanya berkewajiban untuk mencintai istri. Tapi juga berkewajiban untuk menafkahi istrinya lahir dan bathin. Beban apa yang memberatkanmu? Katakanlah! Aku berhak tahu, kita bisa selesaikan bersama. Tidak seperti ini. Yang akhirnya semakin memberatkan salah satu di antara kita. Ayo kita bawa rumah tangga ini ke jalan-Nya.”
“Aku tidak bisa memberiknmu nafkah bathin, karena aku takut melukaimu Mila.”
“Melukaiku? Maksud Mas apa?”
“Aku takut, aku melakukannya hanya karena nafsu semata, bukan atas dasar cinta.”
“Kalau begitu lakukanlah dengan niat karena Allah. Mas, semua sudah menanyakan kehamilanku.”
“Maafkan aku Mila.”

Mila beranjak dengan kesedihan yang amat dalam. Di benaknya hanya kosong. Ia benar-benar tidak ingin suaminya pergi. Di setiap doanya, ia selalu meminta agar rumah tangganya bahagia. Agar cinta yang selama ini bertepuk sebelah tangan segera terlangkapi. Senjanya seakan hilang entah kemana. Wanita solaha itu kini benar-benar tiada daya. Pasrah dan iba selalu ia pasrahkan pada-Nya.

Tiga hari kemudian, malam yang cerah dengan keindahan bulan dan bintang. Bak terpercik tetes embun di gunung Sahara, hati Mila dipenuhi kesejukan. Bagaimana tidak, peluh penantian telah tertambatkan. Malam itu menjadi saksi peraduan cintanya dengan sang suami. Subhanallah.

>> Pernikahan adalah komitmen seumur hidup untuk mencintai seseorang meskipun mereka tidak layak dicintai, memaafkan seseorang meskipun mereka mungkin tidak layak dimaafkan, untuk menghormati seseorang bahkan ketika mereka berada dalam kondisi yang paling buruk dan untuk tidak pernah menyerah terhadap satu sama lain << ( Dimas R A).

Tepat pada dua hari sesudahnya, Mila harus merelakan kepergian suaminya bertugas ke luar kota.

“Hati-hati ya Mas. Kalau ada waktu luang, Mila mohon sempatkan untuk memberi kabar. Doakan Mila agar Mila di sini kuat dan tabah tanpamu Mas”, ucapnya lantas tersenyum.
“Insya Allah Mila. Jangan lupa mendoakanku ya. Semoga sepulangku nanti, aku bisa memperbaiki keadaan kita. Selain urusan pekerjaan, akan ku jadikan perjalananku nanti sebagai waktu untuk aku merenung. Aku pamit ya, asalamualaikum.”
“Waalaikumsalam”, jawab Mila sambil mencium tangan Ramlan.

Pagi itu ia tetap mempertahankan senyum simpul yang terpahat di
sudut bibirnya. Ia tak ingin menampakkan kesedihan pada sang suami. Hatinya memang diburui kehancuran, tapi ia pun tak ingin menjadi egois. Ia tau kepergian suaminya di jalan yang baik. Untaian doa dan kasih sayang senantiasa ia curahkan untuk sang suami. Cintanya mengikis sakit yang diembannya. Cinta yang hanya sebelah tangan bertepuk, setidaknya telah sedikit merajuk. Malam indah yang telah lalu, menjadi saksi bisu kebersamaan mereka di persinggahan cinta.

“Ya Allah, dalam derai air mata ini hamba mohon perbaiki iman dan akhlak hamba. Teguhkan setiap langkah hamba untuk mencari ridha-Mu. Dalam setiap rintihan taubatku, hamba mohon ampuni segala dosa-dosa hamba. Lindungilah suami hamba dalam setiap langkah dan tuturnya Ya Rabb.”

Suatu pagi ia merasakan mual yang teramat kuat. Sehingga mengharuskannya memeriksakan diri ke Dokter.

“Selamat ya Bu Mila. Anda tengah hamil. Usia kehamilan Anda hampir sudah mencapai satu bulan”, ucap Dokter kepada Mila.
“Alhamdulillah. Jadi saya tidak sakit Dok?”
“Tidak, yang penting Bu Mila banyak-banyak istirahat ya! Serta menjaga pola makan yang baik, agar Bu Mila tetap sehat dan janin yang di kandung pun ikut sehat.”
“Baik Dok. Terimakasih! Kalau begitu saya permisi. Asalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”

Mila beranjak dengan sumringah. Mimpinya untuk menjadi seorang ibu akan terwujud. Ucap syukur tak henti-hentinya ia panjatkan. Setelah kehamilannya mencapai empat bulan, ia memberitahukan kabar bahagia itu kepada orang tua dan mertuanya. Hanya saja sangat disayangkan ia belum bisa mengabari sang suami. Sampai saat ini belum juga ada kabar dari Ramlan. Ia menunggu Ramlanlah yang terlebih dahulu menghubunginya. Ia tak ingin mengganggu suaminya, sehingga ia pun berkeras untuk menunggu telepon dari sang suami.
Rindu yang berkalut semakin membuatnya berada dalam sudut. Sudut jiwa yang seolah tanpa nyawa. Dalam simpuh ia kembali mengadu.

“Ya Allah Yang Maha Pengasih, dalam lemah aku menengadah. Berharap Kau Sang Maha Pemberi Hidup memberikan kami umur yang panjang. Agar kami memiliki kesempatan untuk memperbaiki hilaf kami. Ampuni dosa-dosa kami Ya Rabb. Sampaikan rindu ini menyentuh hatinya, siratkan kasih hamba membelai kalbunya. Ya Allah, jadikanlah aku sebagai wanita terbaik di hatinya setelah ibunya, dan jadikanlah aku ibu yang terbaik untuk anak ku di hatinya. Pada-Mu aku mengadu, lindungilah kami di bawah naungan-Mu. Aamiin”

Setelah shalat, Mila beranjak ke tempat tidur. Namun raga yang ia baringkan, tak kunjung terlelap. Hatinya terus digedor-gedor pucuk rindu. Tergelantung asa dalam relung. Lantas ia mengambil secarik kertas. Jemarinya yang lentik begitu lihai menari dengan pena yang menggores kertas putih.

Untuk Mas Ramlan yang Mila cintai.
Asalamualaikum.Wr.Wb,
dengan rindu dan ketulusan kasih Mila kepada Mas Ramlan, Mila ajak pena ini mengisi kekosongan hati Mila. Untuk sekedar mencurahkan segala apa yang Mila pendam dalam. Mas Ramlan di sana apa kabar? Mila sungguh merindukanmu Mas. Ada banyak hal yang bisa Mila sesali, tapi lebih banyak hal yang bisa Mila syukuri di sini. Ada banyak hal yang tak sesuai dengan keinginan Mila, mungkin Allah ingin Mila lebih banyak menengadahkan tangan. Mila belum sepat mengabarimu kalau Mila sekarang sedang mengandung. Maafkan Mila. Bukannya Mila tidak ingin memberitahumu, tapi Mila tidak ingin mengganggu konsentrasi kerjamu Mas. Hati Mila sungguh berbunga-bunga ketika Mila tahu bahwa Mila sedang mengandung. Mila tidak merasa begitu kesepian lagi. Setidaknya ada anak kita yang menemani Mila. Walaupun dia belum terlahir di dunia, tapi Mila sudah merasakan kehadirannya. Mila sungguh bahagia Mas. Dua minggu lagi tepat 7 bulan usia kandungan Mila. Tidak terasa ya Mas? Sudah 7 bulan juga kamu meningalkanku. Mila tidak sabar menunggu satu bulan lagi, untuk bisa melihatmu lagi Mas. Rencananya, Ayah, Ibu, dan Umi akan mengadakan syukuran tujuh bulan kehamilan Mila. Alangkah lebih bahagianya Mila jika Mas juga ada di sisi Mila. Tapi sekali lagi Allah menginginkan Mila lebih banyak bersabar. Doakan saja ya Mas, agar acara berjalan lancar doakan juga semoga anak kita kelak menjadi anak yang soleh, dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Mila sungguh mencintaimu Mas. Bagai mimpi yang panjang, ingin sekali Mila mendengarmu mengucapkan kata-kata itu padaku. Sekalipun hanya sekali saja seumur hidup Mila Mas mengucapkannya, sudah cukup membuat hati Mila teduh seteduh-teduhnya. Aku benar-benar mencintaimu Mas. Begitu indah anugerah ini yang Dia beri untuk Mila. Sehingga Mila akan menjaganya hingga akhir hayat Mila. Bahkan ingin sekali Mila abadikan rasa ini hingga ke Surga. Insya Allah. Mila rasa sudah cukup Mila mengukir lembar kertas ini. Ingin sekali rasanya saat ini juga sejenak berlabuh di bahumu. Semoga rindu ini tersampaikan padamu. Mila pamit Mas.
Wassalamualaikum.Wr.Wb.
Istri yang mencintaimu, yang lemah tiada daya,
Mila

Milapun melipat secarik kertas itu kemudian menyimpannya di laci samping tempat tidurnya.

Tepat delapan bulan sudah Ramlan di luar kota.

“Alhamdulillah. Akhirnya hari ini aku aku bisa kembali menemui istri dan keluargaku. Rasanya bagai terkurung dalam penjara. Mila, maafkan aku tidak sempat menghubungimu. Tapi hari ini aku janji akan meneleponmu, aku janji Mila”, gumam Ramlan.

Dengan semangat Ramlan mengambil ponsel yang selama ini ditahan perusahaan, karena selama bekerja semua karyawan benar-benar tidak boleh memegang alat komunikasi apapun. Akan tetapi berkali-kali Ramlan menelepon istrinya, tidak satu kalipun ada jawaban.

“Mila, tolong angkat teleponku!” ucapnya tampak cemas, “Ah mungkin Mila tidak di rumah dan lupa membawa ponselnya. Lebih baik sekarang aku kemas-kemas. Aku sudah tidak sabar berjumpa dengannya”, gumam Ramlan lagi.

Ramlan pun menyempatkan diri membeli camilan kesukaan Mila sebagai buah tangan. Sesampainya di rumah,

“Asalamualaikum!”

Berkali-kali Ramlan mengucap salam namun tidak ada satu kalipun jawaban salam dari Mila. Dia melihat ke seluruh ruangan tak juga ia dapati keberadaan sang istri. Lalu ia beranjak ke kamar Mila. Melihat-lihat keadaan di dalamnya. Ya, sepi! Sepi dan senyap. Sampai akhirnya ia menemukan secarik kertas yang dipenuhi tulisan Mila dalam laci. Ramlan tiba-tiba tenggelam dalam isak saat membaca tulisan itu. Berkali-kali ia mengucap istighfar dan maaf kepada Mila.

“Astaghfirullahaladzim. Maafkan aku Mila, maafkan aku! Aku berjanji mulai detik ini aku tidak akan lagi menyia-nyiakan cintamu. Maafkan aku Mila! Kamu di mana?” Ramlan larut dalam sedu, kemudian bergegas menghubungi orang tua Mila. Dari orang tua Mila, ia mendengar kabar bahwa istrinya sedang terbaring di rumah sakit dan akan melahirkan. Ramlan segera beranjak ke rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit.

“Asalamualaikum”, salam Ramlam.
“Waalaikumsalam”, jawab Ayah, Ibu, dan Umi bersamaan.
“Bagaimana keadaan Mila?” tanyanya.
Tiba-tiba keluarlah Dokter dari ruangan.
“Selamat! Bayinya laki-laki”, ucap Dokter.
“Alhamdulillah”, kata mereka serentak.
“Sebaiknya jika ingin mengadzankan, sekarang saja! Bayinya sedang dibersihkan, lalu akan segera dibawa ke inkubator, karena bayi lahir prematur.”
“Lalu bagaimana keadaan istri saya Dok?”
“Keadaan Bu Mila sangat lemah. Beliau mengalami pendarahan berat.”

Di wajah mereka terpancar suka dan kedukaan. Ramlan segera mengadzani sang bayi dan menghampiri Mila.

“Mila, kamu dengar aku? Aku pulang Mila. Sekarang aku ada di sisimu”, ucap Ramlan lirih.

Sementara Mila hanya bisa sayup membuka mata. Pandangannya lemah ke arah Ramlan. Sambil sesekali mencoba menegarkan diri dengan tersenyum.

“Mila, jangan kau khawatir dan bersedih. Sesungguhnya Allah jadi yang ketiga di antara kita berdua”, Ramlan menggenggam erat tangan Mila,
“Janganlah berhenti bersabar Mila, sungguh Allah bersama yang bersabar. Allah tiada tidur dan senantiasa mendengar segala pinta. Ia mengabulkan doa-doamu selalu, maka banyaklah berdoa Mila! Aku di sampingmu. Aku sungguh mencintaimu”, Ramlan semakin tak bisa membendung air mata,
“Mila, aku mencintaimu.”

Namun ternyata kata-kata itu benar-benar sekali saja Mila dengar. Allah begitu sayang kepadanya, sehingga Dia menginginkan Mila cepat-cepat kembali ke sisi-Nya.

“Inalillaahiwainailaihiraji’un. Mila, aku mencintaimu”, ucap ramlan semakin mengisak.

Kedatangan tiada lepas dengan kepergian. Kutipan cinta Mila mengantarkannya hingga ke akhir senja. Suasana seketika menjadi kelam. Kesedihan begitu terpancar di wajah mereka. Mila yang lembut hati, yang solehah, yang cantik jelita, yang berwibawa, sabar dan ramah telah pergi dengan damai. Ia membawa dan meninggalkan cinta. Namun kepergiannya menggoreskan duka yang mendalam di hati yang mencintainya. Sepenggal kisah dari wanita sejati yang mengaja dan menanti cinta hingga akhir hayatnya. Subhanallah. Tidak ada yang sempurna. Jika seseorang mengerti dan mencintai kita apa adanya, mengerti dan cintailah ia seperti sebaliknya karena kita dan dia pantas bersama. Jangan mengumpat dari seseorang yang sedang menunjukkan arti cinta, karena kita akan menyesal dan merasa kehilangan ketika ia pergi meninggalkan kita.

Featuring WPMU Bloglist Widget by YD WordPress Developer