KULEPAS KAU DEMI TUHANKU


Rintik hujan malam itu tidak menghambat dua insan yang sedang di landa cinta untuk memadu cintanya meski hanya di dunia maya. Petir yang bergemuruh tak menghentikan obrolan kekasih itu via telepon.
“Kamu memutuskan untuk berjilbab?” Tanya suara itu dari seberang sana.
“Iya beh,” Jawabku pelan.
Beh, itu panggilan sayangku untuknya. Dia Giant, pacarku. Sudah 4 tahun, tapi pacaran itu hanya di dunia maya. Tak sekali pun aku dan dia bertemu. Aku di Padang dan dia di Solo. Sangat jauh memang, tapi perkenalan aku dan dia via Facebook, lalu bertukaran no HP, sampai menjalin hubungan begini.
“Kenapa harus memakai jilbab?” Tanyanya lagi dengan suara indah yang mampu memikatku untuk mencintainya.
“Karena wanita muslim itu harus menutup auratnya, untuk mencegahnya dari pebuatan dan perlakuan yang tidak baik dari laki laki. Begitu firman Allah dalam surat QS. Al Ahzab: 59
“Ya sudah jika itu terbaik buat kamu. Beh kamu mau tidak ajarkan aku tentang agamamu?” Ujarnya dengan nada tercekat.
Subhanallah. Ingin aku berlompatan gembira kesana kemari, seperti anak kecil yang mendapatkan mainan baru. Tapi itu tidak mungkin aku lakukan. Sungguh kata katanya ini, sangat membahagiakan ku. Ini yang ku mau. Aku dan dia memang berbeda keyakinan, dan ini yang terkadang menghambat hatiku dan dia.
“Beh. apa kamu disana? Hallo?” Katanya membuyarkan lamunanku.
“Maaf beh, ya aku disini. Apa kamu sudah yakin dengan hal itu?” Tanyaku untuk mendapatkan pembenaran yang pasti akan hal itu.
“Iya beh, tapi aku mau belajar dulu. Nanti kalau aku sudah menguasai, aku ingin jadi mualaf” Giant meyakinkanku.
“Ok beh” Ucapku dengan semangat
“Ya sudah ya, aku mau beli makan dulu. Aku cinta kamu. Kita pasti bertemu”
Tuuuutttt. tuuttt. Telephone disana terputus, sebelum aku sempat membalas kata kata Giant. Aku ingin katakan, aku benar benar mencintaimu dan pilihanku tidak salah, meski hanya di dunia maya aku mengenalmu. Giant.

Begitulah hari hari ku dengan Giant, selalu SMS dan telephonan. Tidak pernah bertemu tapi saling membutuhkan. Tapi setelah saat itu, perbincangan kami seputar agama islam, ajaran serta larangan. Aku juga harus lebih banyak membaca tentang hal hal itu, agar aku mampu menjawab pertanyaan kekasihku yang sedang mencari Tuhan. Dan itu sangat membantu.
Dan hati ku terenyuh saat aku mendapati sebuah kalimat Allah melirik mataku untuk memperhatikannya
QS Al Isra (17:30-32) yang artinya: “(30) Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (31) Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.
Barangsiapa yang percaya kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia berdua-duaan dengan perempuan yang tidak ada bersamanya seorang muhrimnya karena yang ketiganya di waktu itu adalah setan.” “Seseorang ditusuk kepalanya dengan jarum besi lebih baik daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ar-Ruyani di dalam kitab Musnad-nya (227/2).
Hatiku tersentak membaca ayat itu, ku pandangi lagi. Aku pahami berkali kali, ada pembenaran dan penyalahan yang bercampur aduk dalam otakku.
Zina? kata kata itulah yang membuat hatiku bergetar, jiwaku menggelar,
aku dan Giant berarti sudah mendekati Zina.? Akhh. tidak. Aku dan dia berjauhan, jangankan berpegang tangan, bertemu saja aku dan dia tidak pernah. Banyak pembenarkan yang aku terka terka untuk menenangkan hati ku. Tapi berdua duaan?
Kami selalu ingin bersama, sms dan telephone itu yang kami lakukan. Mungkin akan menimbulkan syahwat yang kami tak menyadarinya. Akhh. penyalahan penyalahan itu muncul di otakku.

Ku ambil laptop, mulai ku tekan keyboardnya lalu meyambungkan ke internet. Mulai ku cari dalil dalil pembenaran pendapatku, satu persatu ku buka. Ku baca dengan penuh kehati hatian. Tapi apa yang aku temukan disana? Satu pun tidak ada yang menghalalkan pacaran. Alasan pastinya, Islam mengharamkan laki laki dan perempuan yang tidak muhrim berdua duaan. Meski di media komunikasi yang sering kami lakukan berlama lama. Allah telah menjanjikan pasangan yang baik untuk orang yang baik dan sebaliknya. Dan allah pun telah mengatakan menciptakan manusia berpasang pasangan.
Bergetar hatiku membacanya, merasa aku lah makhluk yang penuh dosa, meragukan kata kata Allah. Aku hanyut dalam kegundahanku, antara patuh kepada ajaran agama ku atau tetap bersama kekasihku. Entahlah aku harus bagaimana.
Ku langkah pelan kakiku ke tempat dimana aku harus mengadu, tapi ku sucikan diri sebelum itu. Ku basuh beberapa anggota tubuh, ku bentangkan sajadah. Dengan mukenah putih yang membalut tubuh, kulakukan shalat di antara dua pilihan.

“Ya Allah pilihkanlah untukku dengan kekuatan ilmu-MU, tentukanlah untukku dengan kehendakmu, aku minta kemurahanMU yang sangat luas, karena Engkaulah yang bisa menentukan sesuatu dan aku tidak bisa, Engkau maha mengetahui apa yang tidak ku ketahui, dan Engkaulah yang paling tahu hal-hal yang ghaib. Ya Allah, jika sesuatu ini menurutMU baik bagi diriku, kehidupanku dan kesudahan perkaraku maka pilihlah dia untukku dan mudahkanlah dia bagiku kemudian berkahilah, dan seandainya ini menjadi malapetaka bagiku, agamaku, kehidupanku dan kesudahan perkaraku maka jauhkanlah dia dariku sejauh-jauhnya, dan berilah aku kebaikan di mana saja berada dan ridhailah aku karenanya.”
Ku lantunkan doa itu sebelum dan sesudah shalat di iringi desahan nafas yang sesak dan bulir bulir air mata pengaduan, meminta KuasaNya.

Entahlah, bisikan apa yang menggodaku untuk bergerak beberapa cm dari sajadah ini.
“Sayang,” Suara teduh disana mengawali telephoneku. Membuatku diam sejenak.
“Beh, kamu tahu Islam mengajarkan kita tentang cara bergaul yang baik antara laki laki dan perempuan?” Tanyaku tercekat dengan kata kata yang menjadi sulit ku rangkai.
“Iya, tahu” Jawabnya singkat
“Ternyata selama ini kita salah Beh, dijalan yang salah!” Jelasku padanya.
“Maksudnya?” Dia melontarkan tanya yang begitu sulit aku menjelaskan.
“Jika kita saling mencinta apa siap untuk menikah?” Tanya ku mengutip kata kata di artikel tadi.
“Ah aneh. tentu saja aku belum siap, umurku masih 20 tahun, banyak hal yang ingin aku lakukan. Banyak mimpi yang ingin ku raih. Begitu juga dengan kamu bukan?” Kata katanya mulai sedikit meninggi, tersentak hatiku, menggenang air mataku mendengarnya. Dia yang selama ini ku banggakan dengan kata kata indah dan halusnya, sekarang menjadi menakutkan.
“Iya, berarti lebih baik kita teruskan hidup kita masing masing untuk menyempurnakan agama kita, mimpi kita. Nanti jika sudah waktunya kita akan bertemu dalam sebuah ikatan halal dan suci, yang akan mendatangkan ibadah. Bukan dosa seperti ini Beh, pahamilah” Kata kata yang menggetarkan bibirku akhirnya terucap. Berat sekali, sesaat aku biarkan paru paruku kosong dengan oksigen, untuk menahan tekanan yang muncul dari hatiku.
“Ya sudah, semoga kamu damai di agamamu”
Tuuttt. Telephonenya di matikan.
Beh, beh. tunggu. Aku ingin katakan pada mu, aku mencintaimu lebih dari diriku. Temui aku suatu saat nanti. Dalam istiqamah cinta.

Sakit memang saat keputusan itu terjadi, berat dan menyiksaku untuk beberapa hari, karena facebookku di blokir, Number HP nya di ganti. Namun Allah menguatkanku, ku tetapkan hati untuk lebih banyak mendalami Cintaku Pada Sang Khalik agar aku di cintai dan mencintai orang yang mencintaiNya. Aku dan dia kini sudah berakhir aku tak tahu kabar dia lagi, entah dia msih tetap di agamanya atau sudah menjadi lebih baik.

Yang aku tahu sampai hari ini kan Ku lepas kau demi Tuhanku. Karena aku sedang mencari cinta Tuhan ku. Untuk jadi pribadi yang lebih baik.

RASA YANG ANEH


26 April. Di tanggal itu, tinta merah menandai kalender pribadiku dengan gambar waru.
“Dmn” Tanya dia melalui sms.
“D rmh” Jawabku singkat meniru gaya smsnya.
“Ak mau ajak adik” Katanya to the point.
“Kmn?” Aku tak mengerti.
“Jgn bnyak tanya” Nadanya sedikit kasar.
“Aku tunggu dmn?” Tetap saja aku bertanya, karena memang tidak mengerti kemauannya.
“Tp ndk enak,ntar blg2” Intinya dia mengajukan syarat.
“Klo gk enak ya gk usah lah.” Saranku.
“Mau apa ndak” Dia memberi pilihan.
“Oke, rahasia. Sebenarnya q jg ingin tau masku ni orgnya seperti apa.” Tanda aku setuju.
“Aku cium keningmu” Balasnya cepat.

Apa-apaan dia. Aneh, penuh teka-teki dan misteri. Tapi tetap saja kata-katanya aku turuti. Aku segera mandi dan menunggu bis. Matahari mulai terik. Jam di hpku menunjukkkan pukul 10.00 am. Dia memintaku ke tempat tertentu di kota sebelah. Entah kekuatan apa yang merasukiku, aku menurut saja.

Cerpen Rasa Yang Aneh

Sayup-sayup kudengar lagu Innocencenya Avril, suara itu nada dering ponselku. Kurogoh tasku dan mengangkat panggilan yang masuk. Setelah mengucap salam aku hanya ‘hallo-hallo’ saja, tidak kedengaran, ada pangrove jalanan yang sedang unjuk suara.

“Tidak terdengar. Sms saja.” Teriakku pada seseorang di telepon, lalu kupencet tombol merah.
“Dmn” Satu sms masuk.
“Kemungkinan lama sampainya.” Balasku.
“Jgn bnyak omong.cepat brgkt.ak uda d jln.” Sudah jadi kebiasaannya menulis tanpa memperhatikan tanda baca, kadang ejaannya pun salah dan tak beraturan.
“Iya say, ini dah dlm bis.” Kata manis menjadi balasan kata-katanya yang sedikit menggores hati. Dia memang seperti itu, tapi sepertinya aku sudah terbiasa.

‘Sayang’, kata yang beberapa kali dia ucapkan padaku. Kata yang membuatku melayang. Tapi baru waktu itu aku mengucapkan kata serupa. Walaupun hanya singkatan, rasanya berat untuk diungkapkan. Hah!!
Tiap beberapa menit hpku bergetar, tapi tak kugubris. Lha akunya berdiri, bisnya penuh, sesak, susah mau bergerak. Saat turun dari bis, kubuka hp, smsnya menumpuk di inbox. Di satu sms dia bilang kalau dia menunggu di tempat lain.

“Ah, q ni baru turun dr bis. Lagian gk enak klo bayarnya segitu tp mau turun lebih jau.” Protesku padanya.
“Naik lg,dekat dik” Perintah dia yang lagi-lagi aku turuti.
Aku naik kendaraan umum yang disebut kol. Entah apa yang menguatkanku, aku jadi berani di daerah yang tidak ku kenal, yang tidak kuketahui mana arah utara atau selatan. Kugunakan ilmu sosialku untuk berkomunikasi dengan orang yang kutemui. Tidaklah sulit. 10 menit kemudian, aku turun.

Daerahnya memang benar, tapi dia tidak sedang di situ. Dia menunggu di rumah makan yang dia smskan namanya. Dia menyuruhku mendatanginya di tempat itu. Aku capek sekali. Panas matahari sangat menyengat.

“Disini saja” Tolakku.
“Tolonglah dik, ak sudah nunggu lama.”
Ya, aku luluh, aku naik angkutan kecil yang disebut len. Semenjak berangkat dari rumah kata yang selalu dia smskan ‘dmn’, aku membalasnya dengan melaporkan di daerah mana aku berada. Sampai di daerah yang tidak kukenal pun, dia masih bertanya ‘dmn’ posisiku.
“Supirnya gk tau dmn itu.” Aku bingung harus turun dimana, sementara supirnya saja tidak tau alamat yang dia smskan padaku.
“Dmn” Sms dia lagi, membuatku semakin lelah.
“Di hatimu” Jawabku sekenanya.
“Aku jemput” Jawabannya membuatku senang. Tapi terlambat. Saat menoleh, kubaca plakat bertuliskan nama rumah makan sama dengan yang dia smskan.
“Turun sini, Pak” Kataku cepat pada pak supir.
“Kalau ini, ya tau saya, Neng.” Aku hanya tersenyum sadar kalau ada miss communication antara aku dan supir len.
“Aku di luar” Smsku padanya.

Benar. Kulihat dari jauh, lelaki bersarung dan berkopyah rajutan pres kepala keluar dari tempat makan di seberang jalan. Selang beberapa tarikan nafas, mobil mewah warna silver berhenti tepat di depanku. Kacanya secara otomatis dia buka, aku membuka pintu dan masuk ke dalam mobil. Kita hanya berdua.

Mobil berhenti di mini market bercat kombinasi merah, putih dan kuning. Setelah turun, aku kembali dengan membawa satu pack rokok plus beberapa lembar uang kembalian dan wafer tabung sebagai ganti uang kembalian receh. Semua yang kubawa kuberikan padanya, karena memang miliknya, dia minta tolong padaku untuk membelikan rokok favoritnya. Dia langsung menyalakan dan menghisap rokoknya. Tidak lama, dia membuang sisa putung rokok dan kembali melajukan mobil.

Aku melihat-lihat gedung yang ada di tepi jalan, tak berani kutatap wajahnya. Pertemuan itu pertama kali aku berada sangat dekat dengannya.

“Jujur, aku tidak pernah jalan berdua dengan perempuan seperti ini. Paling dengan kawan, rame-rame. Kalau kamu?” Dia mencairkan suasana.
“Sering. Ya, kadang-kadang lah.” Aku juga menjawabnya dengan jujur.

Aku memang beberapa kali jalan dengan kakak tingkatku, tapi 26 April adalah jalan berdua dengan menaiki mobil pertama kalinya buatku.

“Tadi ke Ibu, pamitnya kemana?” Tanyanya lagi.
“Ya berangkat aja. Emang udah biasa keluar rumah kan. Nanti sore ada kuliah” Jelasku.
“Anggap saja kita sedang pacaran.” Katanya kemudian.

Aku hanya diam mendengar kata-katanya. Aku duduk memangku tas ranselku dengan kedua tangan ketengkurapkan berdekatan di atasnya. Kejadiannya begitu cepat, tidak bisa kugambarkan secara detail. Sambil menyetir, tiba-tiba saja tangannya mendarat di punggung tanganku. Aku diamkan. Dia memasukkan jari-jari tangannya di sela jemariku. Dia genggam erat. Tidak hanya menggenggam, dia seperti meremasnya. Sentuhannya membuatku damai. Aku hanya diam merasakannya, dia yang terus bergerak.

Entah mengapa, aku tergerak. Kubalik tanganku, posisi berubah dimana telapak tanganku menyentuh telapak tangannya. Bersatu. Tanganku membalas genggamannya. Yah, kita sama-sama berdosa. Kita mengobrol tanpa melepas genggaman. Kurasa waktu itu malaikat Atit sedang sibuk mencatat kelakuanku yang tidak baik.

“Pernah ada mahasiswi konsultasi, bagaimana jika seseorang mengungkapkan cinta dengan ciuman…” Dia seperti akan bercerita, tapi aku mengerti maksudnya.
“Menyindirku? Aku tidak pernah ciuman.” Aku memotong perkataannya.
“Benar?”
“Aku bukan pembohong.” Kulepaskan genggamannya dan melempar tangannya sedikit menjauh dariku.

Aku memang pernah kencan, tapi tak pernah kubiarkan lelaki dengan leluasa menyentuhku. Ya, kecuali hari itu. Aku membiarkannya.

Tangannya kembali mendekati tanganku, kali ini dia menggenggam kedua tanganku secara bersamaan. Aku pasrah dengan yang dia lakukan, aku terima.
“Boleh aku menciummu? Hari ini saja. Setelah itu lupakan. Anggap hari ini tak pernah ada. Dan bila kita bertemu di lain hari, kembali bersikap seperti biasa. Kita begini cukup hari ini.”
“Tetaplah tidak boleh meskipun cuma hari ini.”
Dia menghela napas, melepas genggamannya dan diam.

“Tidak mau kalau jalan tidak ada tujuan begini, kita mau kemana?” Tanya dia kemudian.
“Yang mengajak yang memutuskan.” Jawabku.
“Aku lelah sekali, banyak pekerjaan. Biasanya kalau kesini aku istirahat di hotel langgananku. Aku pengen tidur. Mau kalau ke hotel?” Ajak dia.
“Malu ah, penampilanku seperti ini.” Alasanku saja untuk menolaknya. Alasan yang tepat karena waktu itu aku memakai rok, kaos pendek yang kututup dengan jaket dan tak lupa berjilbab.
“Lucu kamu ini.” Dia tertawa kecil.

Perasaanku sudah membiusku sampai berani melakukan hal sejauh ini. Bagaimana aku bisa menjamin kalau aku tidak akan melakukan dosa yang lebih besar jika aku di dalam hotel hanya berdua bersamanya? Mungkin ini hikmah melakukan shalat. Ketika berada dalam situasi tak dapat mengendalikan diri, shalat menjalankan perannya sebagai amar ma’ruf nahi mungkar, meskipun tidak merasakannya secara langsung. Tentulah shalatku masih belum sempurna, sehingga pengendalian diriku pun ala kadarnya.

Dia menerima telepon dari entah siapa. Dia bilang ada pekerjaaan penting jadi tidak bisa mengantarku pulang. Dia menggenggam tanganku lagi, sebagai perpisahan kalau tak akan ada hari dimana kita sengaja melakukan dosa lagi, hari yang mungkin akan kurindukan. Akhirnya, dia menurunkanku di tepi jalan dan pergi.

Hari itu aku merasakan rasa yang aneh. Mengikat kuat seperti jerat. Terasa indah penuh pesona. Merubah lelah jadi gairah. Luka, hanyalah titik bahagia tertunda. Rindu, selalu terasa menggebu. Murka, takkan pernah bisa berkuasa. Bahagia ketika bersama. Mencari saat satu pergi. Berbagi sangatlah berarti. Entah rasa apakah ini? Tak bisa kusimpulkan apakah ini gejolak perasaan atau bisikan setan.

Mobilnya menjauh dari tempatku berdiri. Jam 01.00 pm. Kencan kilat kami hanya berlaku 1 jam. Bahagia dan kecewa. Aku bahagia karena walaupun tak pernah mengimpikannya, aku melakukan hal itu bersamanya. Jalan berdua dengannya membuat hatiku sejahtera, yah, mengesampingkan bahwa itu adalah dosa. Tapi aku sangat kecewa. Kenapa dia berlaku seperti itu? Padahal di anganku dia adalah lelaki yang menjunjung tinggi norma agama, lelaki yang melakukan banyak hal untuk kebaikan umat. Dan kenyataan yang kulihat, dia seperti lelaki yang tak mampu menahan hasrat.

Tapi aku rasa tidak mungkin jika dia melakukan itu karena berhasrat. Lelaki seperti dia tentu bisa mendapatkan wanita yang lebih dariku, yang cantik, kaya, dari keluarga berada dan sholihah. Aku tak selevel dengannya. Strata kita berbeda. Dia menganggapku sebagai adik saja itu sudah bagus. Apa mungkin untuk menguji keimananku? Ah, aku percaya dia bukan orang tinggi hati yang merasa dirinya paling benar sehingga perlu menguji keimanan orang lain. Atau mungkin dia memang seperti itu? Suka jalan dengan gadis dan melakukan hal-hal yang tidak seharusnya. Dia bilang tak pernah seperti itu sebelumnya, tapi siapa yang tau kalau dia bohong. Sudahlah, cukup! Tak baik menjudge orang lain. Tapi jujur, hari itu aku sedikit tersinggung. Dia memperlakukanku seperti jajanan pinggir jalan yang sayang bila tidak dicicipi, dan ketika sudah bosan ditinggalkan.

Setelah hari itu otakku mengatakan kalau dia tidak baik. Menyebutkan sepuluh bahkan lebih ketidak baikan dari dirinya mungkin bisa. Tapi hatiku mengatakan dia tetaplah baik. Sangat baik. Namun aku tak mampu menyebutkan satu hal pun yang membuatnya menjadi baik di hatiku.

Hari itu aku belajar bahwa hati bisa jatuh kepada siapa saja tanpa pandang itu baik atau buruk, pantas atau senjang, dan halal atau haram. Perasaan yang sering diagungkan kadang juga bisa melemahkan, dan ketika itu terjadi, agamalah yang mampu meluruskan. Kuakui, hari itu aku melakukan kesalahan. Seperti permintaannya, biarlah hari itu menjadi rahasia. Rahasia dia, rahasiaku dan rahasia kita para pembaca. Benar tidaknya, Tuhanlah yang Maha Mengetahui segalanya…

WASSALAM

GADIS DUNIA MAYA


Latar belakang langit yang begitu indah dengan lukisan orange bercampur warna kelabu serta sang mentari yang akan segera sembunyi keperaduannya menjadi lukisan indah yang menemani semiliri angin sore yang tertiup sepoi-sepoi menerpa wajah seorang lelaki yang tengah duduk termenung di sebuah teras masjid agung besar di kota Bengkulu.
Reno Hermansyah, itu nama yang tertera di tanda pengenal yang tergeletak di sampingnya, Reno membuka handphonenya, menekan beberapa tombol hingga masuk ke aplikasi Opera yang akan segera membawanya ke dalam dunia Maya, dunia facebook yang sudah menjadi dunia kedua baginya, iseng sore itu ia membuka facebook untuk menanti waktu sholat maghrib yang akan tiba sekitar 1 jam lagi. layar biru putih dan penuh berbagai macam tulisan telah memenuhi setiap sudut layar handphonenya, seperti biasa tak terlalu banyak notification yang muncul di berandanya, sehingga ia iseng untuk mengecek sebuah profile facebook seseorang yang pasti ia buka setiap ia main facebook semenjak satu tahun yang lalu, perlahan ia mengetik sebuah nama di kota pencarian, dan setelah beberapa saat muncul lah sebuah profil di depan layar handphone Reno
Sebuah profile dengan nama Lisa Vinata lengkap dengan sebuah foto profile yang anggun dengan kerudung berwarna biru laut, sebuah photo profile yang dulunya hanya sendirian sekarang telah berdua dengan gambar sesosok lelaki, Reno hanya tersenyum kecil melihat photo profile tersebut, tangannya mengerakkan kursor ke bawah dan melihat sebuah status hubungan, ia kembali tersenyum kecil, disana tertulis Lisa Vinata berpacaran dengan Re…
Melihat nama tersebut membawanya jauh kemasa lalu, tepat ketika ia mulai kenal dengan sosok anggun pemilik profile facebook ini.

Beberapa berkas yang tersusun rapi tergeletak di depan Reno yang tengah menyandarkan dirinya untuk sekedar melepas penat sehabis lembur pada sabtu sore ini, suasana lenggang dan sepi membuatnya sedikit menghayal jauh, mengharapkan suatu saat nanti, di sore seperti ini ia dapat pergi jalan-jalan dengan seorang gadis yang ia cinta, meski itu hanya sebuah khayalan karena Reno sendiri tak pernah berani mendekati seorang gadis pun, meski sebenarnya mungkin ada yang menyukainya, namun karena sikap cueknya tersebutlah yang membuat sampai ia telah bekerja sekarang tak pernah memiliki pacar sekalipun.

“heiii… melamun aja…” tiba-tiba seorang lelaki mengejutkan Reno dari dunia khayalannya
“ahh… ternyata kamu Sony” jawab Reno singkat membalas kejutan sony, teman satu kantornya tersebut,
“engak ngapel malam ini Ren, hehe?” sindir Sony, sebenarnya ia tahu Reno tak pernah pacaran
“hmm.. ngak ada tuh…”
“begini aj, aku punya nomor cewek, kamu mau ngak?, dicoba dulu ntar kamu kenalan, sapa tau bisa menjadi pacarmu” balas Sony tersenyum menyindir.
Reno berpikir panjang, mungkin tak ada salahnya dicoba siapa tau beneran bisa kenalan
“hmm.. okelah… mana” tanya Reno sembari menyodorkan handphonenya
“ini, nama mereka Vina, Lisa, Meysa, dan Meirisa, tapi eittss tunggu dulu kita berteran, kamu punya nomor cewe ngak?” sebenarnya itu maksud terselubung dari Sony, menambah koleksi nomor cewe di handphonenya
“alaah… kamu kan udah punya istri kok masih minta nomor lagi?” tanya Reno menanggapi keinginannya, meski sebenarnya Reno tahu Sony ini orangnya playboy cap kecap
“udahh… aman itu, aku kan disini bujang lagi, hahahaha” balas Sony dengan enteng, ia bicara begitu karena istrinya tinggal di pulau jawa, sedangkan ia sendirian disini.
Dasar berengsek, itulah yang ada di benak Reno, namun ia tetap mengambil nomor yang diberikan Sony kepadanya sembari memberikan sebuah nomor cewek yang dulu ngak sengaja ia dapatkan dari facebook dan mungkin juga tidak aktif lagi. Keduanya deal dan segera keluar dari kantor, dimana diluar hari telah mulai gelap dan hujan rintik-rintik mulai turun menyelimuti malam minggu yang kelabu di kota bengkulu.

Malam itu juga Reno segera mencoba setiap nomor yang ia dapat dari sony tadi sore, tak dihiraukannya cerita panjang lebar dari teman satu kontrakannya Adi yang tengah fall in love dengan kakak tingkat di kampusnya itu, yang ada di benak Reno adalah untuk bisa mendapat sekedar teman smsan cewek malam itu,
“hai, met malem? Boleh kenalan?” begitu isi sms yang Reno ketik, dan segera ia kirim ke empat nomor cewek yang ia dapat tadi.
Detik beganti menit, menit berganti jam dan telah lewat 1 jam lebih, belum ada sms balasan yang masuk ke handphone Reno, karena bosan ia segera bangkit dan mau ikut Adi yang sibuk main game sepak bola di laptopnya,
Tiinngg… suara berulang kali mengema, Reno sadar itu nada pesan dari handphonenya, segera ia berlari dan meninggalkan adi yang terbengong-bengong, segera ia buka, sebuah pesan balasan dari Lisa
“malem juga, maaf bru balaz, boleh… maaf ini siapa ya?” balas nomot tersebut, Reno meloncat girang, tak disangkanya ada juga akhirnya yang membalas smsnya, segera ia balas sms tersebut..
“ini Reno, anak bengkulu, kamu Lisa bukan?” balas Reno, sembari nyengir kuda yang tersungging di bibirnya, Adi yang penasaran bangkit meninggalkan permainannya
“apa sih?, kayaknya seru banget Ren?”
Reno menjelaskan panjang lebar, mengenai nomor yang ia dapat dan si Lisa membalas sms tersebut, Adi hanya mengamini setiap perkataan Reno, malam itu Reno dan Lisa tak henti hentinya saling balas membalas sms, seperti tak ada sekat, dan keduanya sudah seperti sudah lama saling mengenal, dan Reno tanpa sadar bisa ngobrol banyak malam itu, tak seperti biasanya, dan tak terasa sudah hampir pukul 1 malam, dan keduanya saling berpamitan dalam sms tersebut.

Reno begitu bahagia, dipeluknya handphone tersebut, tak pernah menyangka ia akan begitu bahagia malam ini, tak menyangka ia ada seorang cewek yang membalas smsnya begitu ramah meski mereka belum saling mengenal, dan tanpa Reno sadari benih cinta mulai tumbuh terhadap gadis bernama Lisa ini.

Esoknya di hari minggu Reno memilih untuk pergi ke warnet, ia mengecek secara langsung facebook yang diberikan Lisa malam tadi, ketika ia log-in ada sebuah permintaan pertemanan.
Sebuah photo profile dengan gadis anggun berkerudung biru telah meng’add Reno duluan,
“hmm… manis… ini kah Lisa?” gumam Reno
Ia mengotak-atik profile Lisa, melihat seluruh informasi dari gadis ini, lengkap dan mulai saat itu, Reno pun tak segan lagi saling berkomentar dan berkirim pesan di dunia Maya kepada gadis pujaannya ini, meski belum terikat oleh sebuah hubungan dan belum pernah saling bertemu, Reno dan Lisa sudah begitu dekat, dan saling terbuka satu sama lainnya, Reno bepikir inilah cinta pertamanya, dan begitupun Lisa, berharap inilah penantian yang selama ini ia tunggu, lelaki yang akan selalu berada di sampingnya sampai kapanpun.
Suatu hari pernah Reno mengirimkan sebuah pesan ke Lisa

Ini hatiku, mau kamu beri nomor berapa dalam hati ini?
1 = aku cinta padamu
2 = aku benci kamu
3 = aku dan kamu bagaikan saudara
4 = aku iri padamu
5 = aku sayang kamu
6 = aku tak suka kamu
7 = aku adalah teman terbaikmu

Namun ketika itu Lisa malah cuek dan mengalihkan pembicaraan kesms yang lain, meski sebenarnya Lisa tau ia suka dengan Reno, namun ia belum begitu siap menjalani LDR (long Distance Relationship) pada saat itu.

3 bulan sudah Reno saling berbagi cerita dengan Lisa, meski sampai sekarang keduanya belum saling bertemu, dan atas saran Lisa pula Reno pagi hari itu berada di sebuah kampus swasta yang berada di bengkulu, ia akan segera mengambil kuliah sore sembari tetap bekerja di kantornya sekarang,
Reno berdiri di depan meja administarsi dan mengisi formulir pendaftaran masuk kuliah disana, tanpa ia sadari ada seorang gadis manis berambut pendek yang juga sedang melakukan hal yang sama di sampingnya, selesai menulis keduanya saling berhadapan, gadis itu tersenyum ke Reno, dan gadis itu memperkenalkan namanya
“nama saya Maya…”
“ehhmm.. saya Reno..” jawab Reno gugup, hatinya berdegup kencang, apa ini sebenarnya yang namanya jatuh cinta? Sejenak ia lupa dengan Lisa yang selama ini menemaninya dalam dunia Maya.
Keduanya saling bercerita, lancar dan mengalir, ternyata keduanya satu jurusan dan mereka berdua akhirnya saling bertukar nomor handphone.

Di tempat lain di kampus tempat Lisa kuliah, ia sedang berjalan dengan terburu-buru menuju kelasnya, dengan tumpukan buku yang dipegangnya, tanpa sengaja ia betabrakan dengan seorang lelaki, hingga buku tersebut berserakan di lantai, lelaki tersebut segera saja membantu membereskannya, keduanya saling berpandangan, entah apa artinya, tapi keduanya tampak saling menyukai satu sama lain, namun berbeda dengan lelaki tersebut, Lisa langsung menutup dan menampik rasa sukanya tersebut ketika pikirannya melayang mengingat Reno, lelaki yang menemaninya dalam sepi setiap harinya.
“terima kasih…” ujar Lisa
“sama-sama, oh ya kenalkan nama saya Rendra…” jawab lelaki tersebut dengan ramahnya sembari memberikan senyuman yang begitu manis.
“hmm, saya Lisa..” jawab Lisa singkat, keduanya berpisah hati keduanya sebenarnya saling bergetar satu sama lain, namun lagi-lagi Lisa tetap berusaha mempertahankan perasaannya kepada Reno,
Sampai dikelas ia segera mengirimkan pesan ke Reno, namun tumben kali ini Reno begitu lama membalasnya, dan juga tak mengangkat telpon darinya, Lisa gusar…

Kembali ke Reno, karena sedang asik mengobrol tak dihiraukannya setiap pesan yang berdering dari handphonenya, pikirannya hanya tertuju kepada gadis manis yang berada di depannya saat ini.
Malam itu malam yang begitu indah bagi Reno, bunga-bunga cinta bermekaran di hatinya, ia tak mengirim sms ke Lisa malam ini, malah sibuk dan gencar memngirimi Maya pesan berulang kali, meski tak begitu ditanggap oleh Maya, namun balasan-balasan singkat itu begitu berarti bagi Reno.
Ketika sedang asik smsan, sebuah sms masuk ke dalam handphone Reno
“aku tak tahu entah mengapa, tapi aku yakin ini yang ingin aku bilang padamu, aku bukanlah seorang punjangga yang mampu bermain syair, dan bukanlah seorang manusia yang memiliki kata kata romantis, namun aku ingin kau tahu, aku ingin menjadi nomor 1” sebuah sms dari Lisa yang mengejutkan Reno, ia bimbang, di satu sisi ia suka Lisa, namun perasaan cintanya begitu besar saat ini kepada si gadis berambut pendek bernama Maya tersebut, di tengah kebimbangan dan tanpa keputusan yang matang ia mengirim balasan ke Lisa, setelah mengingat lagi angka yang dahulu pernah ia kirimkan ke Lisa
“maaf, aku belum bisa sekarang, sebaiknya kita hanya menjadi nomor 7 untuk saat ini”
Lisa tersentak, hatinya begitu perih menerima penolakan tersebut, di kamar kecilnya ia menangis pilu, terisak dibalik bantal guling yang setia menemaninya malam itu, tak menyangka ia akan mengalaminya, hatinya perih..
Tiba-tiba handphonenya berdering lagi, Lisa berpikir itu adalah sms lain dari Reno, ia segera mengambilnya, ternyata bukan, itu pesan dari nomor asing, sebuah sms yang sedikit menenangkan hati Lisa saat itu, dan di ujung sms, pemilik nomor tersebut mengaku bernama Rendra..
“Rendra?, apakah dia lelaki yang tadi siang?” pikir Lisa
Malam itu juga, ia segera mengecek nama Rendra di dalam facebook, ternyata ada banyak dan salah satunya berteman dengan Reno, ternyata benar itu Rendra yang tadi siang, tak sengaja ketika meng’add Rendra, Lisa melihat hal aneh di dinding Reno, ia berkali kali mengirim wall ke seorang gadis cantik berambut pendek disana, yang ternyata seorang gadis yang kuliah satu tempat dengan Reno sekarang, Lisa sadar, ia kalah jauh dari gadis itu, perlahan ia mulai mundur dari mendapatkan hati Reno, ketika itu juga segera ia mengirimkan sebuah tautan lagu ke wall Reno, lagu chrisye yang dinyanyikan ulang d’masiv berjudul “pergilah kasih”.

Seperti biasa, di kampus Reno, dan teman-teman barunya terus berusaha untuk mendekati Maya, sembari se-sekali Reno membuka facebook, ia terkejut dengan sebuah tautan lagu yang masuk ke dindingnya, sebuah lagu yang dikirim oleh Lisa, tapi ia tak mengerti apa maksud lagu tersebut sehingga hanya dilike nya saja tautan tersebut.
Meski usaha Reno tetap sia sia, karena sepertinya Maya belum juga terlalu merespon sikap dari Reno, namun meskipun begitu mereka tetap berteman dengan akrab.

Sore itu selepas kuliah, Reno pulang ke curup, karena kuliah dan kerjanya tengah libur dan ada reuni kecil kecilan yang dilakukan teman sekelasnya di waktu sma dahulu, dan juga sesuai rencana Lisa dan Reno dahulu akan bertemu beberapa hari lagi.

Suasana cukup ramai, beberapa teman SMA Reno saling mengobrol karena sudah lama tak bertemu, Reno hanya duduk sendirian di sebuah pojok ruang, bermain dengan handphonenya, seperti biasa ia membuka facebook dan profile yang ia buka kalau ngak Lisa ya Maya.
“ren… apa kabar?” tiba-tiba Rendra, teman Reno mengejutkannya dari belakang
“oh, Rendra, baik, kamu apa kabar?” balas Reno singkat
Keduanya ngobrol panjang hingga tibalah Rendra masuk pertanyaan yang tak diduga oleh Reno
“kamu kenal Lisa ya?, dia pacar kamu?” tanya Rendra
“eh… kamu tau dari mana aku dekat dengan dia?, engak kami Cuma temanan..” jawab Reno singkat sembari berlalu meninggalkan Rendra, dia sedikit terkejut dan bertanya-tanya kenapa Rendra tau tentang Lisa, ada sedikit rasa geram di hatinya

Hari yang ditentukan tiba, akhirnya kedua insan yang telah berkenalan cukup lama ini bertemu juga, di sebuah kebun teh dengan hamparan yang begitu indah dan luasnya, membentu horizon di setiap ujungnya, ditemani semilir angin sore hari yang begitu dingin dan juga kabut tipis menyelimuti beberapa bagiannya.

Reno berdiri tegak menatap seorang gadis yang tak ia sangka begitu anggun, bagitu manis dengan sebuah kerudung birunya yang melambai lambai terbang ditiup angin sore itu, ia tersenyum manis kepada Reno, ia sadar dan sangat menyesal telah menolak wanita ini, namun dibenak Reno, mungkin ia masih punya kesempatan.

Keduanya duduk di sebuah bangku di atas sebuah bukit yang penuh dengan pohon-pohon teh tersebut, sesekali ada beberapa ibu-ibu pemetik teh yang lewat, keduanya mengobrol meski tak selepas dan tak sebebas ketika mereka ngobrol lewat dunia Maya, hati Reno tenang, namun berbeda dengan Lisa, ia tak begitu merasa pertemuan ini seistimewa yang dirasakan Reno, yang hanya ada di benaknya sekarang mungkinlah seorang lelaki yang beberapa hari lalu ia temui, Rendra…

Keduanya berpisah, ketika sang mentari sudah hampir mau turun keperaduannya, Reno mengantar Lisa ke tempat temannya, tidak langsung ke rumahnya, keduanya berpisah, yah sebuah pertemuan pertama dan tak tahu apakah akan jadi pertemuan yang terakhir kalinya dalam hidup mereka, yang jelas sekarang sudah berbalik, Reno yang jatuh cinta berat, sedangkan Lisa tak ada perasaan lagi dengan Reno.

Meski perasaan ke Lisa telah kembali menggebu gebu, Reno masih bimbang untuk menjalani hubungan jarak jauh jika memang mereka jadian sehingga, fokusnya tetap ke Maya saat ini.
Namun alangkah terkejutnya Reno ketika ia baru sampai ke kampusnya, Maya sedang diantar oleh seorang lelaki menggunakan sebuah motor besar yang gagah, Reno kalah telak, dan ketika Maya sudah berada di dalam kelas
“diantar siapa tadi may?” tanya Reno
“ehmm…itu tadi?, dia hengki, cowo aku…?” jawab Maya singkat sembari mengambil tempat duduk yang jauh dari Reno.
Hati Reno terhenyak, tak adakah lagi, atau sudah terlambatkah dirinya, dan dari informasi yang ia korek dari teman Maya, ternyata hengki dan Maya barusan jadian beberapa hari ini.

Malam itu, Reno galau, hatinya kacau balau, ketika itu ia ingat dengan Lisa…
Segera saja ia sambar handphonenya, dan diketiknya sebuah sms ke nomor Lisa

“Lisa, aku sadar, setelah pertemuan kita kemarin, aku sadar perasaanku yang sesungguhnya kepadamu, aku ingin aku dan kamu menjadi yang nomor 1, aku cinta kamu Lisa…”

Dan beberapa menit kemudia Lisa membalas sms tersebut

“maaf ren… seperti yang kau bilang dahulu kita mungkin dan akan selamanya jadi yang nomor 7, maaf… aku sudah anggap kamu sebagai teman terbaikku, tapi tidak sebagai kekasih, maafkan aku…”

Dan apa yang dialami Lisa beberapa bulan yang lalu akhirnya dirasakan juga oleh Reno, ia merasakan pedihnya ditolak oleh seseorang, malam itu ia tak bisa tidur, hatinya kacau, ia tak tahu harus kemana,
Dan beberapa hari kemudian kondisi diperparah oleh kacaunya pekerjaan dan kuliahnya yang berantakan, ia juga bermusuhan dengan sony sekarang dikarenakan sony yang sedang ribut dengan istrinya menganggap Renolah yang membocorkan rahasia selingkuhannya tersebut.
Di tengah kalut, Reno masih juga sempat membuka facebook, hatinya terhenyak kini photo profile Lisa sudah berganti, di sampingnya ada seseorang lelaki yang ia kenal, ya Rendra…
Dan hubungan di statusnya pun berubah Lisa vinata berpacaran dengan Rendra syahputra, Reno terdiam tak disangkanya semuanya akan menjadi seperti ini, dibukanya kembali dindingnya sendiri, ia lihat kembali tautan yang dikirimkan Lisa, kini ia sadar apa maksud dari lagu tersebut, ia sadar betapa ia begitu jahat kepada Lisa pada waktu itu, bait demi bait lagu tersebut ia dengar, dan sadarlah pula Reno bahwa setiap bait demi bait lagu tersebut mewakili perasaan Lisa pada saat itu.

Di tengah kegalauan tersebut, sebuah fp menarik muncul di beranda, dengan nama strawberry, Reno yang tengah hancur tersebut mencoba mencari pencerahan dari fp tersebut, sebuah fp yang banyak mengulas berbagai cerita dan kegiatan islami, dan dari sana ia sadar, bahwasanya hubungan pacaran itu hanya akan merusak hati saja,
Semakin lama Reno semakin tertarik dengan fp tersebut, dia pun juga bergabung dengan berbagai grup lain yang mengulas cinta yang sesuai syariat islam, tak hanya disitu semangatnya untuk lebih mendalami islam pun lebih menggebu gebu kini, tawaran temannya untuk dicarikan pacar ditolaknya mentah-mentah, dan kini ia lebih sering sholat di masjid dan berbagai kegiatan islami positif lainya, dan itu juga didukung dengan kondisi adi yang tak jauh berbeda dengan Reno, setelah beberapa banyak pengorbanan dan usaha yang ia lakukan kepada ayuk tingkatnya ternyata berbalas pahit, si ayuk tingkat tersebut malah berpacaran dengan orang lain, dan oleh karena itu Reno dan adi pun sepakat untuk lebih menyerahkan jodoh kepada yang maha kuasa, sembari terus berusaha untuk berikhtiar dan memperbaiki diri, termasuk yang ia lakukan sore itu, kebiasaan baru Reno yang sering sholat ke masjid agung di kotanya.

“allahuakbar…allahuakbar…” sebuah adzan maghrib mengumandang kencang membelah angkasa, menyadarkan Reno dari lamunan panjang tentang masa lalunya tersebut, ditutupnya handphone dan segera ia ambil wudhu lagi, ia sholat berjemaah dengan beberapa orang laiinya disana, setelah berdoa ia pun keluar dan akan segera pulang ke rumah..
“aduuh…” tiba tiba suara muncul di sebelahnya, seorang gadis yang berkerudung panjang, lengkap dengan baju terusannya yang menutup setiap senti dari auratnya terjatuh di tangga, buku buku dan makalah yang ia pegang berserakan di tangga masjid, Reno yang melihat hal tersebut segera membantunya, dipunggutnya buku buku tersebut, sekilas ia sempat melihat nama gadis itu.
“syukron…” jawab gadis itu pelan sembari langsung segera ke arah motor mionya yang tengah terparkir di lapangan
“afwan…” jawab Reno singkat, ia tersenyum lepas… hatinya merkah, meski ia sadar ia tak boleh menjatuhkan perasaan itu kepada seseorang yang belum halal baginya..
“meyda…” gumam Reno pelan… sembari masih tersenyum dan membayangkan gadis tadi
“astaghfirullah…” lafas Reno, ia tersadar dan segera mengambil motor bebeknya yang terpakir di lapangan dan segera pulang kerkontrakannya

Angin malam itu menerpa setiap senti wajah Reno yang penuh dengan keringat, menyelusup kedalam relung hati Reno, sebuah hati yang telah sembuh dari luka lama yang tak akan ia ulangi lagi di masa yang akan datang, sebuah hati yang hanya akan ia berikan kepada seorang gadis, gadis yang kelak akan benar-benar telah halal baginya…

Cerpen Karangan: Redho Firdaus
Blog: Http://redrunningstory.blogspot.com/
seorang penulis muda amatir yang sedang belajar untuk menulis, berambisi menjadi penulis besar dan membuat tulisan penggugah semangat kaum muda seperti bang fuadi dan bang andrea..

REMBULAN BUKAN MATAHARI


Desir angin tak membuatnya bergeming, sesekali ditatapnya rembulan yang redup berselimut mendung tak ada kerlip bintang disana, buram… sunyi malam itu, nyanyian jangkrik di pematang sawah seberang rumahnya menjadi teman kesendiriannya, serta telepon seluler yang selalu di perhatikannya, terkadang suara Bapak yang berdecak mengomentari berita di televisi terdengar. Di teras rumahnya Nisa duduk termangu, sesekali mengusap butir-butir bening yang mengalir dari sudut matanya.
“ya Rabb… kenapa dia masih selalu hadir dalam ingatan, dan pikiran ini?” gumamnya pelan, mengiba.

Rasa bersalah sekaligus sakit yang menggerogoti ulu hatinya sepertinya belum bisa sembuh. kejadian 4 bulan silam masih lekat di ingatan. “maafkan aku… aku tak sanggup mengatakannya padamu…”. sebuah pesan singkat namun tak sesingkat itu menghapusnya, tersimpan dalam memori otak. andai saja ada tombol delete otomatis di otak ini mungkin tak akan jadi masalah.

Setelah itu tak ada lagi pesan-pesan singkat. hanya bayang-bayang panjang yang menari-nari menggiring pada kondisi yang susah untuk dimengerti, semua dirasa suram, hitam…
“Aku ikhlas… akan terus berusaha untuk ikhlas”. terbayang sosok perempuan yang samar sama sekali tak dikenalnya. terasa perih untuk sekedar membayangkannya saja. Rasa bersalah menggelayuti pundaknya, seandainya ia tidak meninggalkan orang yang sangat ia kasihi itu, mungkin saat ini ia yang bersanding dengannya. ah, adakah yang salah dengan takdir? bisik batinnya meronta.

Sosok Rizal yang didamba kan menjadi imam untuk masa depannya kini hanya tinggal sesosok kenangan. setelah pesan singkat itu, dia benar-benar pergi dari kehidupan Nisa. Sakit itu karena betapa singkat semua terjadi betapa cepat terganti.
“maafkan aku kak, aku tak ingin berpisah darimu kak…” terisak Nisa saat terakhir ia bertemu dengan Rizal, kenyataan bahwa ia harus mengikuti keluarganya pindah ke luar kota membuat Nisa begitu terpukul.
“yang sabar ya dik… tenangkan hatimu.. aku kan berusaha ikhlas semua demi orangtuamu”. digenggamnya jemari Nisa seakan tak ingin angin pun memisahkan tangan mereka.
Derai air mata pun mengiringi kepergiannya, sungguh dalam munajatnya tak pernah terlewat harapan akan kebersamaan lagi.

Nisa menyeka genangan airmatanya, hawa dingin malam kian dirakan menusuk, ah, semua itu kini tinggal kenangan, bisiknya lirih. “Ambillah mataharimu, kau sekarang berhak atasnya…”
Betapapun besar perasaanya untuk Rizal, kini tak ada artinya lagi. Rizal lebih memilih bersanding dengan perempuan lain daripada harus menunggunya kembali. Sebuah kenyataan yang harus diterimanya dengan lapang dada, dan berbesar hati dengan semua itu.

Hatinya berdesir, mengisyaratkan untuk tetap tegar. Sang rembulan malam beringsut pelan ke arah Barat, ditatapnya dengan lekat, hal yang sangat disukainya berlama-lama menatap rembulan membuat hatinya lebih tenang. Ada gurat penyesalan pada raut mukanya, dalam hatinya bergumam “Mungkin Allah cemburu padaku, aku terlalu mencintai mahlukNya, hingga ibadahku, tindakanku dan semua yang kulakukan tidak semata-mata karenaNya, tapi karena agar Dia merestuiku dengannya. “Ya, aku sadar, aku memang salah. Ampuni aku ya Rabb… harusnya ku jaga perasaan ini dengan tidak menjalin hubungan dengannya. Ampuni saat ku bersamanya ya Rabb…” rintih Nisa dengan penuh harap.

“Nisa… ngapain kamu di luar? sudah malam nduk, cepat masuk! dingin-dingin begini kok di luar?” suara umi dari dalam rumah memecah lamunannya.
“iya mi… sebentar lagi…” sahut Nisa. sebelum beranjak ia kembali menatap sang rembulan, “kau tetep indah meski berselaput mendung”. bisiknya perlahan. dan selamanya kau tak kan pernah menjadi matahari.

5 bulan berlalu, hari-hari Nisa disibukkan dengan pekerjaan kantor, dan kegiatan di luar jam kantor yang digunakan untuk mengajar ngaji anak-anak. semua dilakukan agar ia bisa memperbaiki kehidupannya dan juga berusaha untuk mengubur kenangan bersama sosok Rizalnya itu. meskipun belum sepenuhnya hilang dari ingatan setidaknya konsentrasinya sudah kembali membaik.

Senja itu tampak merona, menghias cakrawala, burung-burung tampak terbang kebali ke sarangnya, mencari perlindungan dari gelap dan dinginnya hari yang kan berganti menjadi malam. Begitupun dengan Nisa, ia sudah berkemas, dan bangkit dari duduknya untuk segera pulang dari tempatnya mengajar ngaji. Tapi langkahnya kemudian tertahan.
“maaf bunda, kalau boleh tau bunda ini sudah ada yang mengkhitbah belum ya?” pertanyaan yang polos dari orangtua muridnya yang terbiasa memanggilnya bunda itu membuatnya sedikit salah tingkah.
“insyaallah belum bun, ada apa memangnya bun?” jawab Nisa dengan senyum simpul.
“alhamdulillah kalau belum bunda.. saya punya keponakan, namanya Ilyas insyaallah ia orang yang sholeh, saya melihat sepertinya cocok dengan bunda.” jawab ibu itu dengan ceria.
“ah… bunda bisa aja…” wajah Nisa tampak bersemu merah, ia pun menunduk tak memberikan jawaban dan berpamitan pulang.

Dalam perjalanan pikirannya coba menerka nerka, mungkinkah ini jawaban dari Allah atas munajat yang ia sampaikan tiap-tiap sujudnya di sepertiga malam? mungkinkah Matahari itu kan segera muncul esok? senyum tipis tersungging di bibirnya, “Wallahu a’lam” bisiknya dalam hati.

SEPENGGAL KISAH DI MEKARSARI


Gema adzan subuh menggema meneyelimuti seluruh perkampungan Mekarsari, mataku perlahan terbuka dengan lantunan ajakan kemenangan tersebut… aku sendiri merasa tenang-tenang saja karena saat ini aku sedang libur dari kewajibanku. “Nur, cepat bangunkan ifal” suara ibu terdengar dari ruangan depan. “ya bu” sahutku sembari segera ke kamar ifal. Kulihat ifal masih berada di alam mimpinya. “fal bangun”, kataku sembari membuka selimutnya. Setelah bersusah payah akhirnya ifal segera ke kamar mandi dengan mata yang masih terkantuk-kantuk. Inilah kegiatan kami sehari-hari, Setelah bapak meninggal 4 tahun lalu, ibu dan aku lah yang berusaha keras mendidik Ifal terutama pendidikan agamanya.

“ibu sudah selesai solatnya?” tanyaku yang sedang menyiapkan sayur lontong seperti biasa. Ibu hanya tersenyum simpul dan mengambil alih pekerjaanku. “ibu mau minta tolong sekalian kamu berangkat ke sekolah, ibu titip ini untuk bu RW ya!” ucap ibu sambil menyiapkan beberapa bungkus sayur lontong lengkap dengan kerupuknya. “ya bu, tapi kenapa hari ini pesenan bu RW lebih dari biasanya?” tanyaku penasaran. “entahlah, kemarin kata bu RW aka nada tamu di rumahnya, sepertinya tamu dari jauh karena sampainya pagi sekali”. Tutur ibu panjang lebar, aku hanya mengangguk-anggukkan kepala.

Aku berangkat dengan keranjang lontong yang cukup besar di tanganku, semilir angin mempermainkan jilbab ku ke kanan dan ke kiri, sesekali menghalangi pandangan ku. Cuaca dingin pagi hari di Mekarsari menusuk tulangku, sengaja ku berlari lari kecil menelusuri parit yang cukup lebar untuk menghangatkan badan. “Subhanallah” betapa sejuknya gumamku dalam hati sembari memandang Ciptaan Rabb yang begitu indah di mataku. Samar-samar rumah bu Rw terlihat dari kejauhan, benar saja ada satu mobil yang terparkir di depan rumahnya. “tamu dari kota rupanya” gumamku dan sengaja memacu langkahku lebih cepat.

“Assalamu’alaikuum! Bu” sapaku sesampainya di sana. Bu RW tersenyum ramah menghampiriku, “wa’alaikum salam neng Nur sudah datang”. Sapanya. Aku hanya tersenyum dan menyalami bu RW. Kulihat di dalam ada Ida dan Ibunya yang sedang bersilaturahmi, “ayo neng masuk dulu, silaturahmi dulu ada anak ibu yang baru datang dari kota bersama keponakan-keponakan ibu” ajak bu RW. Aku masuk ke dalam dan langsung menghampiri Ida. “Ida juga disini?” tanyaku ramah. Ida hanya tersenyum.. Bu RW segera mengenalkanku dengan putra dan keponakan-keponakannya. “ini Andi anak Ibu dan mereka adalah keponakan-keponakan ibu, kata bu RW memperkenalkan mereka semua. Segera kutundukan mataku ketika sadar laki-laki itu memandangku, hal sama pun ternyata sedang dilakukan Andi. Kami hanya bersalaman dari jauh, “Alhamdulillah ternyata di dunia ini masih ada seorang ikhwan yang masih memegang teguh syari’at islam” gumamku dalam hati.

Aku segera pamit dari rumah bu RW karena harus segera pergi ke sekolah tempat ku mengajar. Dan Ida juga menyusulku. 2 tahun ini al hamdulillah aku sudah menjadi SUKWAN di SMP Mekarsari II, berkat usahaku yang sederhana ini aku bisa membantu keuangan di keluargaku terutama kebutuhan Ifal adik semata wayangku.

Aku pun berangkat bareng ida ke Sekolah karena kami sama-sama menjadi Sukwan disana. Sepenjang perjalanan Ida tak henti-hentinya memuji kang Andi. “ukhti, kang Andi ganteng juga ya” ucap Ida melirikku. “Alhamdulillah ukhti” ucapku singkat tanpa tahu maksud ucapan Ida, “bagaimana menurut ukhti kang andi cocok gak ya dengan Ida?” Tanya Ida lagi, aku hanya tersenyum mendengarnya. “insya Allah, jika Allah menakdirkan kang Andi dengan Ida pasti cocok” jawabku tersenyum. Ida terlihat senang dengan jawabanku.

Setelah upacara selesai, Pak Badrun Kepala sekolah mengumpulkan semua guru di ruang kantor, termasuk aku dan juga Ida. Kami semua penasaran dengan pengumuman Kepala Sekolah. Ternyata pak kepala mengumumkan kalau mulai hari besok akan ada guru baru dari kota yang di alih tugaskan ke sekolah ini, yakni sekolah SMP MekarSari II. Semua pun merasa penasaran siapa guru tersebut.

Seperti biasa, pukul 15 sore aku pergi ke masjid untuk mengajar mengaji sekalian salat ashar berjama’ah di sana. Kegiatan Ini sudah berlangsung kurang lebih 5 tahun. Yah, itung-itung bersodakoh jariah dengan ilmu yang kupunya. Anak didik pengajianku Alhamdulillah ada 15 orang, dan terkadang Ida juga datang untuk membantu. Waktu Ashar pun tiba, suara Adzan perlahan mulai berkumandang, suara nan merdu menghipnotis setiap pendengar yang ada, suara yang masih asing di telingaku. “Ya Allah Maha Sempurna Engkau dengan segala ciptaanmu.” Gumamku perlahan dalam hati. Rasa penasaran menuntunku untuk melihat sosok yang sedang mengalunkan suara merdunya itu, hatiku terpana karena ternyata itu adalah suaranya kang Andi. Ida yang baru datang langsung nyerocos. “kang andi itu ya, udah pinter, tampan, soleh, suaranya bagus lagi”. Ucapnya terpesona. Hatiku membenarkan kata kata Ida, tapi segera kutepis perasaan itu, “astagfirullah ini adalah RumahMu ya Allah tapi hatiku malah bermaksiat KepadaMu”. Aku segera menepis pengaruh ucapan Ida jauh-jauh.

Hari rasa penasaran seakan merayapi setiap hati orang-orang di Sekolah Mekarsari, termasuk aku dan juga Ida. Alangkah terpananya aku bahwa ternyata guru baru yang di maksud itu adalah kang Andi, ya kang Andi tersenyum kepada kami berdua. “bagaimana kabarnya kang andi?” sapa Ida tiba-tiba. “Alhamdulillah baik, sebaliknya kabar neng Ida dan juga neng Nur bagaimana?” jawab Kang Andi. “Alhamdulillah baik” jawabku dan Ida hampir berbarengan.

Ada sesuatu yang merasuki hatiku, ya perasaan yang tak menentu serta gemuruh yang begitu dahsyat menghujam jantungku, hanya istighfar yang mampu aku lakukan dalam hati yang masih bergejolak ini. “Ya Rabb bimbinglah hatiku agar tak terpedaya dengan semuanya ini, hamba hanya ingin mencintai sesuatu karenaMu dan ingin membenci sesuatu juga karenaMu, Ya Rabb jika memang Engkau menakdirkan kang Andi menjadi Imamku hamba mohon jagalah ia untuk tetap taat kepadaMu serta janganlah biarkan perasaan ini menjadikan hamba lalai dariMu ya Rabb..” begitulah sepenggal do’a yang selalu ku lantunkan dalam setiap sujud malamku.

Setelah kang Andi mengajar di SMP Mekarsari, banyak guru-guru wanita baik yang masih lajang atau yang sudah berkeluarga pun sangat menyukai kang Andi, hampir semuanya mencoba kenal dekat dengan kang Andi. Namun, karena Kang Andi cukup kuat memegang syari’at agama, hal itu tidak menjadikkan imannya Andi lemah, cinta kang Andi kepada Rabbnya begitu kuat, dan hal itulah yang sangat kusukai darinya. Ida merasa sudah kehilangan ide untuk mendekati kang Andi, ia bercerita kalau kang Andi susah sekali untuk diajak berteman, dan alasan yang sama yang selalu dilontarkannya, yaitu “bukan mahrom”. Aku hanya tersenyum mendengar penuturan Ida.

Hari ini seperti biasa aku mengantarkan lontong sayur pesanan bu RW. Ku tetapkan niat dalam hati kalau aku datang hanya untuk membantu ibu dan segera menepis keinginan untuk melihat kang Andi. “assalamu’alaikum” ucapku setelah tiba di depan pintu rumah bu RW. “wa’alaikum salam” sebuah suara yang tak asing terdengar dari dalam. ternyata kang Andi yang membuka pintu, hatiku terkesiap namun aku berusaha menepis perasaan itu saat ini. “Apa bu RW ada?” tanyaku pada kang Andi. “ibu sedang ke pasar, ada perlu apa neng?” ucap kang Andi ramah, aku menyerahkan lontong sayur ke kang andi dan bilang kalau itu adalah pesanan bu RW, “terimakasih neng” Kang Andi menerima kresek lontong tersebut. Aku segera pamit dari rumah kang Andi karena tidak enak kalau hanya berdua saja dengan kang Andi, dan kelihatannya kang Andi mengerti kesungkananku berada di sana.

Malam harinya aku kembali memohon kepada Rabbku, tentang jodohku, yah inilah ikhtiarku, berdo’a dan memperbaiki diri untuk lebih dekat dengan Rabbku. Semoga dengan ini Allah akan memberikan pendamping yang mampu membimbingku di jalanNya untuk menuju JannahNya yang Mulia. Dan setiap kali aku berdo’a sosok kang Andi selalu saja muncul dalam benakku.

Pagi-pagi sekali Ida menelpon ku sembari menangis, ia curhat kalau lamarannya di tolak oleh kang Andi, aku sedikit kaget mendengar Ida dan keluarganya senekat itu. Ida bilang sepertinya kang Andi menyukai Ida tapi ternyata tidak, suara Ida begitu pilu di ujung telpon sana. Ada sesuatu yang melegakan dalam hatiku ketika mendengarnya, tapi aku juga merasa tak enak kepada Ida dengan munculnya perasaan itu. “wanita secantik dan sebaik Ida saja tidak mampu merebut hati kang Andi, apalagi aku yang hanya wanita sederhana ini” gumamku dalam hati.

Aku kembali berpapasan dengan kang Andi di mesjid, seusai salat ashar berjama’ah. kami hanya bersalaman dari jauh. “Neng Nur masih rajin saja ya” ucap kang Andi sembari tersenyum. “terimakasih kang, ini bukan apa-apa kang kalau dibandingkan dengan ibadahnya para sahabat Rasul dulu” jawabku malu. Kang Andi hanya tersenyum mendengar penuturanku, sebelum pergi kang Andi berpesan kalau mengajar anak-anak memang membutuhkan kesabaran yang ekstra, “insya Allah, neng Nur bisa mengatasinya” ucap kang Andi kemudian pamit. Entah mengapa ucapan kang Andi menambah semangatku untuk mengajar ngaji anak-anak, bukan hanya karena Kang Andi yang mengucapkannya tapi karena aku merasa ini adalah Perintah dari Allah lewat kang Andi.

Hari ini aku bertemu dengan Ida untuk terakhir kalinya, ida dan keluarganya akan pindah ke Bekasi di kediaman lamanya dulu, aku merasa cukup sedih karena Ida memang satu-satunya temen dekatku. Setelah mendapat ijin dari ibu, aku mengantar Ida sampai ke terminal tak jauh dari kampungku. Aku membonceng Ida dengan sepedah lamaku. Aku berpesan kalau Ida jangan sampai lupa untuk menelponku, Ida hanya mengangguk saja. Aku tahu Ida pasti trauma dengan kejadian waktu lalu, saat ia di tolak oleh kang Andi. Namun aku tak ingin mengungkit kembali masalah itu dan membuat Ida semakin sedih. Aku pun hanya memandang bus yang di tumpangi Ida dan keluarganya menjauh dari tempatku berdiri.

Ku bonceng kembali sepeda lamaku, menelusuri jalan yang tidak terlalu lebar dan berbatu, jilbab merah mudaku menari-nari seolah menghibur hatiku yang gundah, kupandang langit yang tak lagi menampakkan cerah birunya, hanya mendung yang terlihat seakan mengerti perasaanku. Tiba-tiba saja sesuatu menghantam sepedaku dengan sangat keras, aku terpental ke pingir jalan, kurasakan lemas di sekujur tubuhku, samar-samar kulihat sebuah motor yang tergelatak bersama pengemudinya, dengan tertih-tatih orang itu menghampiriku, tapi tubuhku terasa sangat lemah dan yang tersisa hanyalah gelap pekat.

Kubuka kedua mataku, ku lirik ibu, dan juga ifal di sebelah kiriku mengucap Al hamdulillah berbarengan… ku lirik kembali ke sebelah kananku, aku kaget karena ternyata di sana ada kang Andi di perban kepalanya, Bu RW dan juga pak RW sama-sama mengucap Alhamdulillah berbarengan, Ibu bilang kalau aku koma 2 hari, dan kecelakaan itu terjadi karena motor kang Andi rem nya blong.. dan tak sengaja menghantam sepedaku. “neng kang Andi minta maaf karena telah buat neng seperti ini, dan insya Allah kang Andi akan menanggung semua pengobatan neng Nur” ucap kang Andi panjang lebar. “tidak apa-apa kang, ini bukan salah kang Andi, ini sudah menjadi takdir Allah, Nur sudah maafkan kang Andi”, jawab ku ikhlas. Kang Andi terlihat sangat lega. “apa kang Andi juga terluka?” tanyaku memberanikan diri, kang Andi tersenyum dan berterimakasih atas perhatianku. Setelah ashar kang Andi dan keluarganya pamit pulang, begitu juga dengan ifal karena harus mengaji. “siapa yang ngajar ngaji anak-anak bu?” tanyaku karena aku tahu aku tak mampu mengajar saat inidan Ida juga sudah tak berada disini lagi. “kang Andi yang menggantikkan Nur sementara” jawab ibu sambil meraih mukena di kursi dan memberikannya padaku. “Subhanallah, kang Andi benar-benar orang yang bertanggung jawab ya bu” pujiku padanya yang semakin yakin kalau orang seperti kang Andilah yang pantas menjadi imamku. Aku pun salat berjama’ah dengan ibu. Selesai salat ibu duduk merapat ke arahku, ibu bilang kalau selama 2 hari ini kang Andilah yang menjaga Nur di rumah sakit, ibu juga bilang kalau kang Andi sangat khawatir keadaan ku. Aku senang mendengar ucapan ibu, tapi aku tak menyimpan harapan terlalu besar pada kang Andi, karena aku tahu kang Andi akan melakukan hal yang sama pada siapapun.

Pagi sekali kang Andi sudah datang ke rumah sakit, “assalamu’alaikum, bagaimana kabar neng Nur, sudah baikan?” Tanya kang Andi sambil menyimpan keranjang buah di meja. “wa’alaikumussalam, Alhamdulillah kang rasanya Nur lebih segar sekarang.” Jawabku pelan. “syukurlah, akang harap Neng bisa cepat pulih dan bisa mengajar kembali seperti biasa” jawab kang Andi sembari duduk di di kursi yang cukup jauh dariku. “aamiin terima kasih atas do’a dan perhatian kang Andi ke Nur, Nur ngerasa tak pantas mendapat perhatian sebesar ini dari kang Andi” jawab ku merasa bersalah. “neng nur jangan sungkan ini memang sudah menjadi tanggung jawab saya” jawab kang Andi kemudian kembali pamit untuk ke sekolah.

Hari ini aku sudah di perbolehkan pulang oleh dokter, aku sangat bersyukur karena Allah sudah memberi kesembuhan kepadaku, terlihat kang Andi sudah stanby dengan mobilnya di luar, kang Andi bilang kalau ia akan mengantar kami ke rumah. Ibu terlihat senang pada kang Andi… dengan segala kebaikan dan tanggung jawab kang Andi yang sampai tuntas ini. Kecelakaan waktu lalu membuat hubungan keluargaku dengan keluarga kang Andi semakin dekat, aku rasa ini adalah kehendak Allah untuk kami.

Seminggu pasca kecelakaan, keluarga kang Andi datang ke rumah. Hal yang mengejutkanpun terjadi, kang Andi ingin mengkhitbahku, untuk menjadi makmun dan ibu dari anak-anaknya. “subhanallah inikah jawaban atas do’a ku ya Rabb”, air mata menetes penuh keharuan saat ini, ya air mata kebahagiaan yang di perkenankan oleh Allah untuk hambaNya yang selalu bergantung dan berserah diri kepadanya. Yang mana Allah tidak akan pernah melanggar janji untuk hambaNya yang beriman..

Kesetiaan Jiwa Penggugah Iman


Ku teguk secangkir teh hangat yang ku pesan di sebuah kafe dekat kampus, ku duduk di bagian pojok jendela yang bersebrangan dengan jalan raya, ini adalah tempat favorit buatku, ku lebih suka menikmati pemandangan disini, di saat dedaunan jatuh dan tersapu angin. Entah mengapa, ku sangat menyukai suasana sore ini, hujan membasahi aspal itu, jalanan yang basah dengan rintik-rintik hujan yang menarik.
“sungguh hujan yang sangat cantik” desisku dalam hati.
Trett… Hp ku bergetar, ada pesan masuk.
“Assalamualaikum, afwan. Aina Al’an”
Sudah ku duga pasti pesan darinya. Kak Furqon, dia adalah senior kampus jurusan bahasa arab, sudah lama ku kenal sejak SMA.
“Wa alaikum salam, di kafe dekat kampus” terkadang ku hanya menjawab pertanyaan seadanya, karena ku tidak ingin membahas banyak hal dengannya dan yang terpenting ku harus menjaga jarak dengannya, inilah yang di ajarkan agama.

“saya mau mengantarkan buku yang saya pinjam” katanya, ku hanya mengiyakan. Jantungku selalu berdegup kencang ketika bertemu dengannya, entah mengapa? Bagiku dia sempurna, kriteria pria sholeh yang banyak di idamkan para akhwat.
Ku lihat dia di balik pintu, scraft yang bertuliskan kalimat syahadat belum ia lepaskan dari wajahnya, ku menyambutnya dengan senyum, sekarang ia duduk di hadapanku. Ku hanya tertunduk seakan tak sanggup melihat wajahnya, namun ku berusaha menyesuaikan diri.
“Afwan, ini bukunya” dia membuka pembicaraan, memecahkan keheningan sambil mengulurkan buku yang dia pinjam seminggu yang lalu.
“syukron” ku hanya berbicara seadanya
“masih lama disini?” tanyanya
“iya, kenapa?”
“saya ingin pergi sebentar, dan kembali untuk membahas sesuatu denganmu”
“iya”

Dia bangkit dari tempat duduknya, dan menghilang di balik pintu bersama hela nafas yang ku hembuskan.
“Mungkin dia minta di carikan akhwat untuk pernikahannya” desisku dalam hati, tanpa ku sadari air mata ku menetes, seketika terlintas kejadian waktu SMA dulu.
“Nisa, ternyata kak Furqon itu ketua Lembaga Dakwah loh” kata Wardah teman sekelasku
“terus?”
“nama lengkapnya Muhammad Al Furqon, pria sholeh, cakep.. Wihh keren. Inilah kriteria yang aku cari” jelasnya
“kamu naksir dia?”
“ya pastinya Nis” penjelasannya membuat hatiku serasa berkecamuk, sakit, sedih. Ah, semuanya telah menyatu bak gado-gado.
“oh ya, semalam itu aku nelfonan loh sama dia. Ternyata dia pintar banget, dia berikan aku pencerahan tentang wanita sholehah dan masih banyak lagi deh Nis” kata Wardah panjang lebar, ku hanya menghela nafas lalu meninggalkannya. Entah mengapa ku marah, cemburu jika Kak Furqon dekat dengan Akhwat lain, ku ambil air wudhu untuk menenangkan hati ini. Ku berdoa agar Allah menjauhkan ku darinya tapi kenyatannya ku semakin dekat dengannya, banyak kegiatan yang ku jalankan bersamanya dalam dakwah hingga semakin terasa sulit jauh darinya. Di sisi lain banyak pula akhwat yang minta untuk di nikahinya namun dia menolak karena telah ada akhwat yang dia telah persiapkan. Harapanku pupus untuk memilikinya, dia telah punya calon. Bertahun-tahun ku tetap istiqamah menjaga hati untuknya namun dia telah memiliki calon. Sungguh menyedihkan, namun ku tetap berpegang teguh bahwa Allah menyiapkan terbaik untukku. Ku akan selalu mendoakan yang terbaik untukknya.
“Ana uhibbuka ya akhi” ucapku dalam hati, air mataku menetes, ku ucapkan istighfar dan dzikir. Sebentar lagi ku akan patah hati untuk kesekian kalinya. Dia datang, ku hanya tersemyum tak kuasa melihatnya pandanganku ku alihkan melihat keluar jendela.
“dik” sapanya
“ada apa?”
“kakak udah siap nikah, dan Alhamdulillah kakak udah punya calon”
“hah? Nikah?” tanyaku serius
“iya”
“kapan?” suaraku serak, darahku seakan berhenti mengalir, air mataku ingin jatuh, namun ku tahan sekuat mungkin.
“secepatnya” jawabnya singkat
“barakallahu laka” kataku lirih
“aku meminta persetujuanmu”
“yang mau menikan itu kan kakak, mintalah persetujuan dari orang tua mu kak” air mataku seakan tak sanggup lagi ku bendung, ku menarik nafas sedalam mungkin.
“dik”
“kak, kamu pasti tau yang terbaik buatmu. Dan kakak sudah istikharahkan?”
“sudah dik”
“lalu, kenapa tanya saya lagi?, selamat ya kak untuk pernikahanmu”
“lihat ini dik, bagus nggak” dia mengeluarkan 2 cincin couple dari sakunya.
“oh, mau tanya ini? kenapa nggak tanya calonnya saja kak. Cincinya bagus kak, cantik” kini ku benar-benar ingin menangis.
“udah saya tanya, responnya sama denganmu. Ku harap dia benar-benar menyukainya”
“ku harap juga seperti itu kak” pandangan ku tertunduk di hadapannya berusaha menahan sakit dan tangis.
“ada satu lagi dik, yang mau ku tanyakan padamu”
“sudahlah kak, tanyakan saja langsung dengan mempelai wanitanya”
“dik, calonya itu adalah kamu”
“hah?” seakan ku tidak percaya
“ya kamu, insyaAllah besok kakak akan membawa rombongan untuk melamarmu, ana uhibbuka ya ukhti” senyum mengembang di wajahnya, baru kali ini ku melihatnya wajahnya dengan jelas, sungguh dia jiwa penggugah iman.
“ana aidhan” balasku, hujanpun berhenti, matahari memancarkan sinar senja yang indah, cantik sekali.
Cinta, kesetiaan, pengorbanan hati dan restu Allah merupakan pondasi cinta sebenarnya.

HIJABKU


Matahari di hari ini, bukan seperti matahari yang seperti biasanya, panas. Namun hari ini sinarnya begitu cerah dan bersahabat. Aku yang dari tadi duduk-duduk santai di depan halaman sekolah, sambil ku sandarkan kepalaku di kursi. Kunikmati sinar matahari, hembusan angin yang segar, dan ku biarkan rambutku terurai. Seperti biasa, saat hari sabtu tiba, aku sengaja pulang terlambat karena aku menunggu satu di antara mahasiswa yang biasa lewat depan sekolahku, aku bukan cuma kagum, sepertinya aku telah jatuh hati padanya. Keramahannya, senyumnya, cara bicaranya, buat aku kagum dan rasanya ingin memilikinya. Namun tak sedikit pun ada rasa berani untuk mendekatinya. Apa karena aku wanita yang tak mungkin mendahului? bisa jadi.
“Apa salahnya kamu deketin dia?”
Satu di antara sahabatku menegur aku yang sedang memperhatikan dia.
“Kalau suka deketin gih!. So akrab juga boleh, dari pada merhatiin dari jauh mulu, sana ayo samperin!”.

Dengan rasa percaya diri aku samperin dia, ternyata apa yang aku takutkan benar-benar terjadi. Dia cuekin aku, sedikit pun dia mengabaikan sapaanku, aku seorang wanita yang mencoba memberanikan diri menyapa laki-laki yang biasanya tak pernah aku lakukan. Hasilnya dicuekin, sakit, sakit banget. Aku membalikan badanku dan kembali kepada teman-teman, namun ketika aku melangkahkan kakiku dia memanggilku.
“Ukhti… memanggilku? kalau ukhti seorang muslim, tau bagaimana menyapa yang baik seperti yang Rasulluloh ajarkan? Asallamualaikum”.
Rasanya senang, hati serasa gugup, mukaku pucat, tanganku mendadak dingin, apa ini? Entahlah.
“Waalaikumsallam. Maaf sebelumnya, namaku bukan ukhti tapi Fuzi”.
“Maksudku dalam bahasa Arab, ukhti itu sebutan bagi seorang akhwat wanita. Ada apa de? kamu mengenaliku?”
“Oh aku jadi malu, kakak ngomongnya pakai bahasa Arab sih, haha (sambil tertawa kecil) . Mmm kak, boleh minta nomer HP nya gak?”.
“Tidak”.
Aku diam cukup membuat sakit jawaban simpel itu.
“Tidak mungkin aku tidak kasih nomer HP ku, boleh dong. Kalau ada apa-apa ade boleh hubungi saya”. cetus dia melanjutkan pembicaraannya.
Huh hampir saja aku mati rasa, apa kata orang-orang nanti Fuzi minta nomer cowok terus gak dikasih? Ga kepikiran dan gak mau mikir. Untung aja dikasih.

Setelah bertukaran nomer HP, aku senang mengenalnya, aku rasa dia laki-laki yang baik dan sholeh.
“Kakak calon ustad ya?”,
“InsyaAllah kalau Allah meridhoi kenapa tidak?”.
“Keren, pantes ceramahin aku mulu, hehe”.
“Harusnya ini menjadi kesadaranmu de, kamu telah berhenjak dewasa. Kamu seorang wanita harusnya kamu tau betapa pentingnya menutup aurat, dan rambutmu itu adalah mahkotamu, sampai kapan mau dibiarkan terlihat oleh non mukhrim?”.
“Aku belum siap”.
“Mau sampai kapan nunggu siap berhijab? kita gak kan pernah tau sampai kapan kita hidup di dunia ini”.
“Aku mau memperbaiki hati dan sikapku dulu, baru menutup aurat ku”.
“Salah, tutup auratmu dahulu. Dengan menutup auratmu itu merupakan salah satu contoh menghindari dosa besar, jika kamu menutup auratmu, maka ketika kamu ingin melakukan sesuatu yang tidak baik, kamu ingat dengan jilbab. Menutup aurat itu wajib hukumnya, Fikirkan baik-baik”.
“Iyah nanti aku fikirkan terimakasih”.

Aku menutup telfon tanpa salam padanya. Baru kali ini ada orang yang berani nyeramahin aku sampe ngotot mulu, fikirku mulai sebel padanya dia bawel dan sok baik. Hobby nya ceramahin aku mulu tiap kali kontak, entah itu lewat via sms atau telfon sama aja. ( urhatku pada Nia temen sebangku aku).

Namun aku sadar sebenarnya niat dia baik, aku yang terlalu keras kepala dan kurang mengerti agama. Bahkan saat aku ketemu dengannya aku masih belum mengenakan jilbab, dan lagi-lagi alasanku bilang belum siap. Dan Ku ingin berhijab bukan karena orang lain, tapi karena diri sendiri dan karena Allah. Namun hari demi hari sepertinya aku mulai diberi hidayah, akhir-akhir ini aku sering membeli baju panjang, rok panjang, jilbab, sampai teman-teman aneh melihat aku yang sekarang tiba-tiba berubah. Aku mulai mau mengenal lebih dekat tentang Islam dan wanita muslimah. Dengan cara browsing dan sering membeli buku-buku islami.

Aku Fuzi Adhawiyah siap tampil beda di hadapan keluarga, teman dan semuanya dengan lebih baik, anggun, manis, soleha, Fuzi akan mengamalkan apa yang selama ini Fuzi pelajari. Sampai pada saatnya beberapa bulan tak bertemu dia karena aku sibuk memperbaiki diri dan belajar agama aku kehilangan kominikasi dengan dia, rasanya rindu ingin bertemu dengannya, kata-kata yang selalu bikin aku ingat dari dia adalah
“Wanita yang keluar rumah dan menutup auratnya, juga harus tetap menjaga dandannannya, dia dilarang memamerkan perhiasan dan kecantikannya, terutama di hadapan laki-laki”.
Lalu aku kirimkan sebuah pesan singkat padanya

“Asallamualaikum, aku cinta Allah dan aku buktikan dari apa yang aku lakukan, mengerjakan perintahnya dan menjauhi larangannya. Termasuk pentingnya wanita menutup auratnya”,
Fuzi Adhawiyah..

“Waalaikumsalam nak, harap ukhti tidak kaget. Yang punya nomor ini sudah tiga hari yang lalu saat hari juma’at telah pulang ke Rahmatulloh karena sakit jantung yang dideritanya”.
Ibunda Rizki Fauzan..

Sakit, rasa tidak percaya dan sedih menjadi satu. Rasanya hancur dia penyemangatku orang yang aku cinta telah kembali ke pelukan Allah, namun setelah aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, dia benar benar telah tiada, Kak Rizki batinku terus menangis, merintih rindu. Kau pergi begitu singkat tanpa meninggalkan pesan apapun padaku kak, hanya mimpi itu. Bermimpi dia membelikanku jilbab cantik berwarna putih. Namun aku yakin kau telah bahagia di alam sana, rinduku menyertaimu, kelak nanti aku akan menyusulmu.

UNDANGAN MERAH


Jalanan di depan rumahku ramai dilewati orang. Ada yang mau pergi bekerja, ada yang mau pergi kuliah, ada juga yang sekedar mondar mandir. Namun fikiranku hanya dijejaki oleh satu orang saja. Entah kenapa ia senang sekali berkeliaran disana. Aku pun tak mengerti mengapa aku membiarkan ia berseliweran di benakku.

Undangan pernikahan merah hati yang diberikan Dani tadi siang masih ku pegang erat di tanganku. Tanpa sedikit pun ada hasrat untuk membukanya, apalagi membacanya.

Telepon genggamku berdering ketika aku sedang merapikan mukena yang kupakai untuk shalat zuhur. Nama Dani terpampang di layar ponselku. Dani. Hanya Dani. Tanpa ada embel-embel atau pernak pernik apapun sebagai penghias namanya. Sederhana. Sesederhana perlakuanku padanya.

“Put, aku mau ngasih undangan nih. Kamu ada di rumah nggak?”
“Ada.” Jawabku singkat.
“Owh. Aku ke rumah ya?!”
“Okay.” Seperti yang ku bilang. Sederhana. Ya… sesederhana itulah jawabanku. Tapi benarkah hatiku juga sesederhana itu? Adakah yang mau percaya jika aku bilang aku tak rasa apa-apa? Terserahlah, biar hanya aku yang tahu.

Dani adalah pacarku, tapi 10 tahun yang lalu. Sudah lama sekali, ternyata. Kami terpisah begitu saja. Tanpa kata, tanpa bicara, dan juga tanpa air mata. Aku melanjutkan sekolah dan dia memilih berkarir. Tak ada perjanjian apa-apa. Bahkan kata-kata perpisahan pun tak sempat terucap. Dia menghilang begitu saja. Aku tak dengar berita apapun tentang dia hingga dua tahun kemudian sepupunya yang tanpa sengaja bertemu denganku memberi tahu bahwa Dani bekerja di Bandung, belajar mengelola bisnis keluarga.

Tanpa terasa waktu bergulir. Usia yang dulu masih remaja sekarang telah beranjak dewasa. Dani akan menikah sebentar lagi. Rasanya ada yang menggelitik di hatiku. Minta untuk dicari tahu. Cemburukah? Entahlah. Biar hatiku saja yang tahu. Yang pasti perasaan ini menggangguku.

Ketukan pintu terdengar ketika ku melangkahkan kaki menuju ke ruang tamu. Ku urungkan niat untuk duduk dan terus berjalan menuju pintu.
“Put, ni aku, Dani.”
“Iya bentar.” Aku bergegas membukakan pintu dan mendapati Dani sedang berdiri di hadapanku. Mata kami saling beradu. Untuk sesaat hanya mata yang saling berbicara. Sekilas ku tatap dia dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kemeja garis-garis biru muda, celana jeans biru tua dan sepatu kulit coklat mengkilat yang ia kenakan sangat serasi dipandang mata. ‘Wow, dia rapih sekali. Sudah seharusnyalah orang yang akan menikah berpenampilan begini.’ batinku.

“Put, ini undangan pernikahan aku. Kamu datang ya. Kalau bisa bawa pacar kamu sekalian. Jangan sampai gak datang lho.”
“iya, InsayaAllah Dan.” Pacar? Sudah jelas dia tahu aku gak punya pacar. Dani… Dani…

Dia bengong, aku pun bengong. lama, mematung di depan pintu sampai suara mama menyadarkan kami. Aku tercekat dan merasa malu sendiri karena lupa mempersilakannya masuk. Untuk sekedar menghilangkan rasa sungkanku, ku minta ia untuk mampir barang sebentar.
“Masuk dulu Dan! Mama sama papa ada di dalam lagi nonton. Kalau kamu gak nongolin muka kamu ke mereka, nanti mereka pasti nanyain kamu dan marahin aku karena biarin kamu pergi gitu aja. Soalnya tadi aku udah bilang kalau kamu mau datang.”
“Hehe, segitunya… Yoweslah…” Dani pun melangkah ke ruang tamu sementara aku langsung ke dapur untuk menyiapkan minuman.
“Siang Tan, Om”
“Eh Dani, duduk nak?” Respon mama sopan.
Dani yang memang udah terbiasa ke rumah langsung duduk tanpa sungkan lagi. Tapi kali ini ia kelihatan sedikit tegang. Keringat dingin mengalir di dahinya yang tak terlalu lebar itu. Entah apa yang sedang bergejolak di dalam dadanya. Akupun tak tau. Dan rasanya aku tak mau tau. Karena memang aku tak perlu tahu.

Aku buatkan jus jeruk dingin untuk menghilangkan dahaga di siang yang cukup gerah ini. Yang aku tahu, itu adalah minuman kesukaan Dani. Kalau aku gak salah sih. Soalnya sudah lama banget aku gak mau tahu tentang dia. Apakah masih suka jeruk dingin atau telah beralih ke kopi jahe anget, seperti minuman kesukaan papaku. Entahlah…

Samar-samar ku dengar mama memulai pembicaraan. “Beruntung sekali ya wanita yang berhasil mendapatkan nak Dani. Udah ganteng, rajin shalat lagi.”
“Ah, tante bisa aja.”

Langkah kakiku membuat semua mata tertuju padaku. Dan Dani melanjutkan biacaranya ketika aku berada tepat di hadapannya. “Pria yang kelak akan mendampingi putih juga akan sangat beruntung tante. Putih selain cantik, pinter, solehah pula.” Ku hanya terdiam tanpa mampu berkata. Bukan ku tak ingin menyela, hanya saja aku benar-benar gak tahu kata seperti apa yang mesti aku utarakan.

Ku dengar mama menghela nafas. Tiba-tiba ku rasa suasana sangat begitu mencekam. Menakutkan kayak di film-film horror.

“Nak Dani, silahkan minum dulu jus buatan Putih. Mudah-mudahan bisa menghilangkan dahaga kita. Mungkin gak seenak jus buatan calon istri nak Dani, tapi setidaknya Putih sudah berusaha membuatnya seikhlas mungkin” Kata papa lagi untuk mencairkan suasana yang terlanjur membeku. “Putih ikhlaskan, nak?”

Aku tersentak mendengar pertanyaan papa. Kemana arah pembicaraan ini? Tuhan, beri aku jawaban yang tepat. “Ah, papa. Ikhlas donk. Bikin jus doank mah, kecil. Hehehe…” Papa, mama, dan Dani juga ikut tersenyum mendengar jawabanku. Mudah-mudahan itu memang jawaban yang papa inginkan.

Sementara papa, mama, dan Dani sedang ngomong ngalur ngidul, mataku tanpa bisa kompromi terus saja menatap Dani, nanar. Mungkin karena ia berada di hadapanku sehingga mataku harus selalu kesana tertuju. Sementara itu, hatiku terus saja membatin. ‘Dan, aku yakin aku gak mencintai kamu. Aku bahkan belum mempersiapkan diri untuk jadi istri kamu. Tapi kenapa rasanya sakit mengetahui kau akan menikah dengan wanita yang ku kenal. Ya, aku jujur. Aku sakit Dan. Tapi apalah hak ku untuk merasa sakit ini.’

Menyadari tatapanku yang terus tertumpu padanya, membuat Dani salah tingkah dan kemudian balik menatapku. Giliran ku yang jadi tak menentu ditatap seperti itu. Papa dan mama hanya sibuk menghela nafas berat. “Oh ya Dan, habis ini mau ngantar undangan kemana lagi?” Hanya pertanyaan itu yang bisa terlontar dari bibirku untuk menghilangkan kecanggungan ini.
“Rencananya mau ke rumah teman-teman SMP kita, Put. Mmhh, Om, Tan, kayaknya Dani mesti pamit dulu deh. Takut ntar gak sempat ngantar semua undangan ini. Oh ya, undangan untuk Om dan Tante nanti malam mama dan papa sendiri yang akan mengantarnya. Katanya mereka mau ketemu dengan Om dan Tante langsung.”
“Oh, iya. Om tunggu ya. Kebetulan Om dan Tante gak kemana-mana malam ini.”
“kalau begitu. Saya mohon diri dulu Om, Tan. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Jawab mama dan papa serentak.
Aku pun mengantar Dani sampai ke pagar depan. Ku tatap punggungnya dari belakang. Bahunya yang lebar dan kokoh. Ku bayangkan kelak akan ada raga wanita lain yang bersandar di sana. ‘Huuuuft’. Ku menghela nafas panjang. ‘Mudah-mudahan kamu bahagia Dan.’ Doaku dalam hati.

Dani menaiki ninja hitamnya. Sebelum dia melaju pergi, dia meninggalkanku seulas senyum. Ya, hanya seulas senyum manis. Tanpa sepatah katapun mampu terucap dari bibirnya. Begitu juga aku. Hanya bisa membisu dan menyunggingkan sedikit senyum. Senyum keikhlasan. ‘Aku ikhlas Dan.’ Bisikku dalam hati.

Aku terus menatap Dani hingga ia menghilang di ujung jalan. Setelah aku tak lagi melihat bayangnya, aku putuskan untuk beristirahat sekejap di bangku taman halaman depan. Seperti yang kulakukan saat ini.

Undangan merah hati yang ada di tanganku ku kipas-kipaskan ke wajahku. Bukan ku kepanasan, hanya ingin memain-mainkannya di tanganku.

lagi-lagi bayangan Dani mondar mandir di kepalaku.
Apa yang sedang kau pikirkan sekarang Dan? Apa yang sedang kau rasakan sekarang? Bahagiakah, karena akan segera menikah? Entahlah, itu urusanmu. Tapi mudah-mudahan kau bahagia dan penantianmu selama ini terbalas dengan kebahagiaan yang akan kau dapatkan dari dia, adik kelas kita.

Tiba-tiba pikiranku berkelana ke masa tiga tahun yang silam. Dimana setiap tahunnya kau pasti akan pulang. Selain untuk mengunjungi keluargamu, kau juga datang untuk menemuiku. Itu katamu, waktu itu. Tau kah kau betapa senangnya aku ketika mendengar kejujuranmu itu? Tapi sayangnya aku tak ada perasaan lebih terhadapmu. Masa lalu kita telah ku tinggalkan jauh di belakang. Bukan kenangan itu tak berarti untukku, hanya saja aku tak mau bila ia mengganggu kehidupanku. Jadi lebih baik biarkan saja ia jadi cerita lama yang ku simpan indah di sebuah kotak ajaib yang kusebut masa lalu.

SMS-SMS sayang dan perhatian pun sering kau kirimkan. Tapi tak pernah ku balas. Maafkan aku Dan. Aku mengabaikan perasaanmu.

Pernah juga kau mencoba meminta hatiku lagi. Tapi lagi-lagi aku menolakmu. Mungkin kau kecewa, sakit hati, dan marah padaku kala itu. Tapi tak sedikitpun aku mempedulikan perasaanmu. Aku minta maaf lagi Dan.

Aku punya alasan untuk setiap hal kecil dan menjengkelkan yang aku lakukan. Termasuk mengabaikan persaanmu. Aku punya alasan Dan. Walaupun sudah terlambat untuk mengatakannya sekarang. Tapi ku ingin kau tahu. Mungkin kedengaran bodoh dan naïf sekali. Tak apa. Asalkan kau tetap sudi mendengarnya. ‘Aku ingin kau jadi yang terakhir untukku.’ Kau begitu baik untuk ku jadikan pacar. Aku ingin kau menjadi cinta yang halal untukku, cinta yang akan membimbing kita mencari ridha Illahi. Tapi, aku belum siap untuk saat ini. Egokah ini? Maafkan aku.
Tapi malangnya, kau telah memilih wanita lain untuk kau halalkan mencintainya. Apakah aku terlambat Dan? Ataukah memang aku takkan pernah bisa mencintaimu sehingga aku tak diberi kesempatan?
Tak apa Dan. Mungkin ini adalah jalan kita. Memang sudah seharusnya kau memilih yang terbaik dan yang tersedia daripada terus menungguku.
Moga kau bahagia. Aku pasti datang di hari bahagiamu itu. Pasti. Aku akan datang dan mendoakan kebahagiaan buat kalian berdua.

Cerpen Karangan: Jingga Putih Silver
Facebook: www.facebook.com/jingga.p.silver
Namaku Jingga (Panggilan kesayangan). Aku hobby menulis sejak SMP tapi tulisanku masih untuk ku nikmati sendiri. Ingin juga rasanya ada orang lain yang membaca cerita-cerita yang ku reka. Inilah salah satu usahaku. Wish me luck! Thank You…

DILEMA CINTA SI UKHTII


Hari semakin siang, panas tambah terik, kicau burung yang riuh seakan menertawaiku yang tengah resah, gundah gulana termangu di teras. Semilir angin sepoi-sepoi sesekali menghantam tubuhku, tak karuan batinku semenjak kejadian itu aku seakan tak bersemangat, makan tak nafsu, apapun yang aku jalani berantak gara-gara aku kenal cowok berwajah teduh dengan jenggot tipis yang aku anggap baik, sholeh, pengertian, hingga membuatku jatuh hati. tapi akhir-akhir ini dia menghilang lenyap begitu saja tanpa kabar setelah dia mengirim pesan singkat “aku sayang padamu” satu kalimat ini yang membuat hidup tak tenang “katanya sayang kok gak ada perhatiannya sama sekali sih, jangan-jangan aku cuma buat mainan” batinku negatif. “jaman sekarang cari cowok baik bagai mencari jarum di tumpukan jerami, kebanyakan lain di mulut lain di hati” lanjut batinku.

Panas sudah lagi terasa, mentari yang sudah menemani siangku melambaikan berpamitan kembali ke peraduan tanda hari sudah petang. Aku belum juga beranjak dari tempat dudukku.
Allahu akbar… Allahu akbar… suara adzan maghrib memecah kesepian.
“sinta masuk sudah adzan sayang” hingga akhirnya suara panggilan sesosok paruh baya yang tak lain adalah ibuku dari dalam rumah membangkitkanku. “ah masa bodoh lah” gumamku seraya mengambil ponsel lalu masuk ke dalam rumah menjalankan kewajibanku sebagai seorang muslim.

Dret… dret… hapeku bergetar mengagetkan. Kuambil dan terlihat di layar tertulis 1 pesan diterima. Kutekan tombol ok, hati berbunga-bunga, sejuk bak panas setahun dihapus hujan sehari membaca tulisan tertera di layar

from ardi
“assalamu’alaikum”
Dalam wajah terpancar kebahagiaan
“wa’alaikumussalam”

kubalas sms itu dengan bibir tak henti tersenyum, tangan gemetar dan hati berdebar. Detik berganti menit, menit berganti jam telepon genggamku tak juga bergetar, sesekali kupencet tombol mata tertuju memandangi layar padahal aku sudah tahu kalau ada sms masuk pasti ada tanda. Wajah kembali muram lesu, bunganya kembali layu yang ditunggui tak datang. Suara panggilan untuk menghadap-Nya samar-samar terdengar di telinga. Tubuh yang letih hati yang risau kupaksakan untuk mengambil air wudhu dan menjalankan kewajiban. Terlihat jam yang menempel di dinding menunjukkan pukul 21 akupun terlelap dalam tidur malamku.

Mentari mulai menyinari kamarku dari jendela yang kubuka ba’da subuh tadi namun belum juga mengusir dingin dari tubuhku.

Kuambil hp di atas meja malah mengingatkan aku kembali padanya yang tak membalas sms semalam. Aku mencoba alihkan perhatian, kuletakkan kembali hp di genggaman, melupakan sejenak menghapus tentangnya dari pikiranku. Kaki melangkah menghampiri ibu yang sedang sibuk mempersiapkan sarapan kami sekeluarga.
“pagi bu” sapaku duduk di meja makan meneguk segelas susu yang sudah tersedia.
“pagi juga sayang”
“tumben langsung minum susu” lanjut ibu curiga melihatku yang biasa paling susah minum susu.
“hehehe.. gak boleh ya bu? abis susu buatan ibu menggoda” jawabku mengelak.
“boleh… malah bagus, ibu seneng kalau kamu suka susu sekarang biar gemukan” sindir ibu yang memang tubuhku kurus.
ibu tak merespon apa-apa melanjutkan menggoreng telur dadar kesukaan ayah.
“ayah” sapaku kepada ayah yang baru datang dari arah kamar mandi samping dapur.
“apa sinta?”
“ayah sekarang kerja ya?” tanyaku basa-basi yang sudah tahu ayah pasti kerja kecuali ahad.
“iya dong, ini hari apa coba?”
“sabtu ayah” jawabku tersipu malu.

Suasana kembali sunyi ayah sudah tancap gas kerja ibu ke pasar sedang aku masih libur kuliah. “benar-benar hari yang membosankan” gumamku Tak ada lagi kegiatan selain bangun, sarapan, nongkrong depan televisi kebiasaanku setiap pagi di hari libur. Virus merah jambu telah menyerangku, hama rindu membuat lemah tak berdaya, adakah pestisida untuk membasminya? Aku bak burung dalam sangkar tak bisa terbang bebas terpenjara oleh perasaan kegalauan yang tiada henti. Di sisi lain kebahagiaan menyelimutiku ada yang sayang pada diri ini namun di sisi lainnya kehangatan tak kurasa perasaan resah tak menentu yang selalu membuat tubuh ini dingin tak pernah ada kabar darinya atau menanyakan kabarku seakan hanya buat permainan.

Film kartun di layar kaca yang kupantengin sedari tadi mampu membuatku tenggelam dalam tawa, terlupa akan dirinya.

Tuling tuling… dreett.. dreeett.. ponsel hitam kesayangan yang selalu setia kemanapun aku pergi tiba-tiba terdengar tanda pesan masuk diterima “paling temenku” celetuk bibirku tebakanku salah, satu pesan yang kuterima dari ardi orang yang kukenal dari pertemuan singkat saat itu dan kini membuatku serba salah.
“assalamu’alaikum”
“wa’alaikumussalam, kamu beneran sayang ma aku?” balasku memberanikan diri bertanya untuk menjawab kegalauan hati.
“bener aku sayang kamu” senyum kecil merekah wajah merah merona membaca pesan itu.
Jawaban itu tak cukup memuaskan hati kembali kubalas pesannya dengan satu pertanyaan mengganjal di hati membuatku berpikir negatif yang tersimpan karena sikapnya yang cuek.
“adakah yang lain di hatimu?”
Seperti layaknya yang lain aku ingin tetap satu satu di hatinya dan tak ingin diduakan.
“apakah dia marah padaku? apakah benar ada yang lain di hatinya? apakah aku salah” tanyaku dalam hati menanti pesan yang tak ada jawaban. Suasana berubah dramatis tiba-tiba air mata membasahi pipi, bibir beku kelu tak bisa lagi tersenyum seperti satu jam yang lalu tubuh letih hati makin tak karuan, pemuda yang selama ini aku harapkan seorang pangeran tampan memiliki keteguhan iman yang kuat menghilang entah kemana bagai debu yang terpa angin.
“ternyata semua laki-laki sama saja” pikirku seraya menghapus air mata yang mengalir tiada henti.

1 tahun kemudian aku lulus dari Perguruan Tinggi Negeri dengan hasil yang memuaskan. Selama waktu itulah tak pernah ada komunikasi antara aku dan Ardi bahkan aku dengan cowok lain karena sebelumnya aku juga jarang dekat dengan ikhwan, dalam agama yang aku anut yaitu islam melarang seorang wanita berhubungan dengan laki-laki kecuali ada keperluan dan aku coba taat itu. Aku yakin Allah akan memberi jodoh terbaik biarlah cinta ini berlayar dan berlabuh dihati yang tepat

Selang 15 menit aku sampai depan rumah, motor kuparkirkan di teras samping motor yang sudah ada dulu di situ. Aku hafal betul motor siapa, pemilik motor itu adalah Ardi, aku hanyut dalam lamunan teringat seorang laki-laki yang aku kenal di kampus 3 tahun lalu yang membuatku mabuk kepayang dilanda kegalauan.
“astagfirullah” ucapku tersadar
langsung aku sandarkan motor matic ku lalu masuk ke dalam rumah
“assalamu’alaikum” sapaku pada semua.
“wa’alaikumsalam” jawab semua serempak termasuk Ardi.
Semua terdiam aku dan Ardi hanya saling pandang tersenyum.
“Ardi kau masih yang kukenal dulu” batinku.
“sini nak, Ardi sudah menunggu sedari tadi” suruh ayah memecahkan suasana hening.
“iya yah” aku menghampiri mereka duduk di samping ibu.
“silakan nak Ardi sampaikan apa maksudmu datang kemari” pinta ayah kepada Ardi
“iya pak, sebelumnya saya minta maaf jika kedatangan saya kemari mengagetkan dan mendadakan dan tidak bersama kedua orangtua saya dikarenakan saya hanya ambil cuti 3 hari dan kedua orangtua saya di luar jawa. Pak maksud kedatangan saya kemari ingin meminang putri bapak yang akan saya jadikan sebagai pendamping hidup saya menyempurnakan diin saya”
Sungguh berdebar hati mendengar pernyataan Ardi seorang yang aku tunggu bagai di dunia mimpi. Aku hanya bisa menunduk dengan wajah kemerah-merahan menahan senyum
“kalau masalah itu sepenuhnxa aku serahkan kepada Sinta, bagaimana jawabanmu nak?”
“bukannya ada yang lain ya di hatimu?” tanyaku pada Ardi mengingat pertanyaan terakhir waktu itu belum terjawab dan kumasih penasaran walau Ardi sudah meminangku. Ardi tak menjawab hanya tersenyum manis padaku.
“duhai ukhtii maukah kau jadi pendamping hidupku?”
Aku sudah tak bisa berkata apa-apa hanya anggukan sebagai tanda setuju.

“Duhai bidadari syurga yang kupilih jadi permasuriku
Duhai yang kucintai karena-Nya,
Duhai calon ibu dari anak-anakku kelak maafkan aku jika selama ini aku tak pernah menghubungimu dan saatku hadir lancang meminangmu, dalam diamku bukan berarti aku tak peduli padamu, selalu terlantun do’a di akhir sujudku untukmu, aku ingin menjaga perasaan ini agar indah pada saatnya, kesabaran yang panjang akhirnya berakhir dan kumampu membawa dalam mahligai pernikahan. Dan maaf satu pertanyaan yang dikau tanyakan. Bukannya aku lupa dan mengabaikan, aku masih ingat. Kau tetap satu wanita di hatiku namun benar ada yang lain di hati ini dan ijinkan aku selalu meletakkan Ia yang pertama. Tak usah kau risau aku tak akan menduakanmu karena Ia akan memberiku ijin untukku mencintaimu sepenuhnya karena-Nya. Karena Allah-lah yang membuat kita ada, menumbuhkan rasa cinta, mempertemukan kita dan menyatukan kita.
Duhai calon penyempurna hidupku selamat tidur ya, maaf jika pesan ini mengganggumu
Tunggu aku.. esok hari aku akan menjadikanmu satu-satunya permaisuri dalam hidupku. Semoga lancar… aamiin…
wassalamu’alaikum…”

Derai air mata menjadi saksi aku membaca pesan yang di kirim Ardi melalui e-mail di laptopku tepat di malam sebelum hari pernikahanku dengan Ardi.

Hari sudah malam diri ini beranjak menuju jendela. Terlihat oleh sepasang bola mataku janur melengkung di depan rumah, bapak-bapak dan para pemuda masih sibuk mendekorasi tenda, beberapa ibu-ibu dengan segala aktivitasnya masing-masing ada yang masak, menata meja prasmanan, anak-anak berlarian menambah riuh suasana.

Terdiam sejenak penglihatanku berpaling ke baju kebaya putih tergantung di dinding yang akan aku kena pada ahad nikah besok. Sungguh bahagia aku mendapat calon suami seperti Ardi, seorang laki-laki yang taat mencintai tanpa kuketahui, tak pernah mengajakku pacaran dan tak berpaling kelain hati. Akhirnya pertanyaanku terjawab melalui pesan yang tadi dikirim Ardi.
“iiih.. calon pengantin belum tidur, besok gak kelihatan segar kalo tidur kemaleman” ledek fani tetangga sebelahku di balik jendela.
“ah kamu fan, iya ini mau tidur kok” jawabku.
“nah gitu dong biar besok pengantin prianya tambah terkesima melihatmu, hehehe” imbuh fani.
Aku hanya tersenyum lalu meninggalkan fany.

Subuh sudah datang, aku segera laksanakan kewajiban karena sudah nampak penata rias menunggu. Penata rias usai mendandani diri ini, di cermin ada bayangan wanita berhijab putih dihias bunga melati segar lengkap dengan kebayaknya.
“benar ini aku?” tanya dalam batinku. Ibuku juga terlihat cantik mengenakan kebayak cream menghampiriku
“subhanallah cantik banget kamu sayang..” puji ibu padaku
“makasih ibu”
“sudah siap kamu nak?” tanya ibu bermaksud mengajakku keluar.
“insyaallah buk”
“yuk keluar Ardi dan keluarganya serta para tamu sudah datang”

Di bawah tenda biru para tamu berdatangan duduk di tempat yang sudah disediakan. Seorang laki-laki berpeci dengan jas hitam dan dasi menepati janjinya semalam duduk didampingi saudaranya dan pak penghulu siap di depannya. Aku digandeng ibu menuju kursi kosong dekat Ardi.

Ijab qabul berjalan khitmat. Ardi mengikrarkan janji dengan lancar.
Alhamdulillah… gema setiap tamu mengucap syukur. Kucium tangan Ardi seorang pria yang pertama ku sentuh dalam hidup dan halal bagiku.

Syukur Alhamdulillahirabbil’alamiin ku ucapkan padamu ya Rabb yang telah mempertemukan aku dengan orang yang selama ini kudambakan. Tak akan ada lagi dilema cinta karena Kau telah ikat kami dalam ikatan yang suci dan selalu bersama sepanjang sisa usiaku. Ya Allah jadikan keluarga kami menjadi keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Aamiin Ya Rabbal ‘alamiin

Cerpen Karangan: Iis Winarny
Blog: gapaihidayah-mu.blogspot.com
Facebook: www.facebook.com/ienaerny

MAAF KU TERLAMBAT


Kriiing kriiing… suara jam weker pun membangun kan ku di pagi buta nan sejuk ini, aku terbangun kulihat jam terpusat pada angka 5 pagi. Aku langsung ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu lalu ku shalat di ruangan yang tak jauh dari kamar tidur ku tadi. Saat setelah ku mengakhiri shalat shubuh dengan menengok kanan dan kiri seraya berkata “Assalammu’alaikum warrah matullahi wabarakatu…”, tiba-tiba ku dengar dari kamar yang tak jauh dari tempat ku shalat suara gaduh, suara itu berasal dari kamar kakak ku ia bernama rafa, ya aku memiliki 1 kakak nama ku sendiri adalah dafi, kami tinggal di rumah bersama ummi karena abi sedang dinas ke luar negeri.

Ku heran dengan kegaduhan yang berasal dari kamar kakak ku itu, ku ingin tahu apa yang terjadi, tapi hati ku melarang, dan tiba-tiba aku teringat akan al-qur’an yang harus segera aku khatam kan shubuh ini juga, karena memang tinggal 3 juz lagi tersisa. Satelah ku melantunkan suara merduku melafalkan qur’an, ku terhanyut pada suara ku sendiri, begitu indah dengan nagham yang keluar dari pita suara ku ini. Tak lama ku terhanyut lantunan ku sendiri tiba-tiba kak rafa berlari mendekatiku seraya berkata,
“Daf, ini penting jika kau sudah menyelesaikan qur’an mu cepatlah temui kakak di mobil”. Aku pun mendengar suara kakak agak samar dan aku hanya mengangguk tanpa meliriknya sedikitpun, karena ku masih terfokus dengan qur’an di hadapan ku. Selang waktu 1 jam aku baru menghabiskan 2 juz al-qur’an ku, kini tinggal 1 juz lagi dan aku baru bisa menemui kakak di mobil, mungkin kak rafa sudah letih menungguku yang lama ini, kata ku dalam hati.

Akhirnya ku selesai mengkhatamkan al-qur’an ku dalam kurun waktu 3 hari, hari ini adalah hari terakhir. Ku bergegas bersiap dan langsung menemui kakak ku yang sedang berbincang dengan ummi di depan pagar rumah.
“oo.. jadi begitu, ya sudah hati-hati di jalan, dan tolong titipkan salam ummi kepada ibu teman mu itu. Sampaikan juga ummi turut berbela sungkawa.” Kata ummi ke pada kak rafa yang hendak memasuki mobil. Aku hanya menganga ketika mendengar pesan ummi, dan aku tambah kaget lagi ketika ku melihat kak rafa mengenakan pakaian serba hitam dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Ketika sampai di sebuah perumahan yang cukup mewah, ku melihat ada satu rumah di kejauhan yang di penuhi dengan karangan bunga, dan di penuhi dengan keramaian orang-orang, dan tak lupa juga berserakan bendera kuning di sekitar rumah tersebut. Ku hanya takut ternyata kegaduhan kakak pagi tadi memiliki sebab, pantas tak biasanya aku mendengar kegaduhan, biasanya hanya lantunan qur’an yang terdengar.

Setelah turun dari mobil kak rafa berpesan kepada ku agar aku diam ketika berada di dalam nanti. Aku hanya menjawab “ya!” dengan lantang karena cukup jengkel dengan larangan dan ocehannya sejak pagi tadi, memang dia kira aku anak berumur 7 tahun yang perlu di cegah sana-sini, aku ini berumur 16 tahun, sedangkan kakak ku hanya beda 1 tahun dengan ku.

Langkah demi langkah aku bersama kakak ku mendekati rumah putih itu, rumah yang menurut ku sudah tak asing lagi, aku merasa aku pernah ke tempat ini sebelumnya entah kapan dan dengan siapa. Semakin dekat melangkah semakin dekat dengan suara itu, ya suara yang dari tadi terdengar begitu menderu deras, suara tangisan yang tak henti-hentinya.

Kakak mulai menyusuri teman-teman SMA nya dan mencari-cari sosok yang ingin ia lihat terakhir kalinya. Namun ketika sampai di ruang tengah sosok yang kak rafa cari sudah tak ada, hanya tangisan yang tak hentinya melantun dari para pelawat.
“Jasadnya telah di kuburkan, kamu rafa benar?” seorang ibu-ibu memberi tahu kakak, ku rasa ia ibunya. “Mengapa secepat ini, iya bu nama saya rafa.” Sahut kakak seraya menjulurkan tangan kanannya. Ibu tersebut membalas dengan senyuman dan membalas juluran tangan kak rafa. “Rafa, tante punya sesuatu untuk mu, ini ibu temukan di kamar nya, di kotak ini bertuliskan nama mu, mungkin kau mau menerimanya?” kata ibu itu sembari tersenyum kecil. “Dengan senang hati saya akan menerimanya, bu. Ummi menitip salam dan mengucapkan turut berbela sungkawa atas kepergian almarhumah Nabila.” Balas kak rafa. Ya! nama itu, nama yang sejak tadi menghantui kepala ku sejak pagi. Ternyata nama gadis itu bilqist, entah ada hubungan apa kakak dengaan gadis ini sehingga ia mendapat kotak putih yang terikat pita merah itu. Aku cukup penasaran dengan isi kotak itu, tapi apa boleh buat, kotak itu tidak ditujukan kepada ku jadi bukan hak ku untuk melihat sembaarangan isi nya, kecuali ada yang mengizinkan, kecuali ada hak ku di dalam kotak itu, dan kecuali memang salah satu isi dari kotak itu adalah untukku. Tapi mana mungkin, aku saja belum pernah melihat wajahnya almarhumah Nabila ini.

Sejak kejadian itu kak rafa lebih terlihat tertutup, ia jarang keluar kamarnya, sesekali hanya untuk shalat berjamaah dan membaca al-qur’an di ruang ibadah. Selain itu ia lakukan di dalam kamarnya. Ingin sekali aku menegurnya dan masuk ke kamarnya untuk melihat ada apa di dalam sana sehingga ia betah bukan main di kamar. Aku hanya bisa mengamati dari kejauhan sesekali kak rafa keluar untuk mengambil air minum dan pada saat itu pula ku menemukan ia dalam keadaan mata sembab. Ku bertanya dalam hati, apa ia kak rafa sejauh ini hanya menangis di dalam kamarnya? Aku semakin heran dengan keadaan kak rafa. Begitu berarti kah gadis itu, sehingga kepergiannya begitu disesali.

Sudah 3 hari semenjak kepergian Bilqist, selama itu pula kak rafa masih bertahan di dalam kamarnya. Suatu malam sunyi ku lihat jam yang melingkat di tangan ku menunjukkan pukul 9 malam, saat itu pula pintu kamar kak rafa ku dapati sedang terbuka sedikit. Ku hendak menemui kak rafa namun tak ku dapati ia di dalam, yang ku lihat hanya berlembar-lembar surat putih di atas kasur. Kotak itu, ya kotak putih pemberian almarhumah nabila, yang di sampaikan oleh ibunya sendiri. Aku semakin penasaran dengan isi lembaran surat itu. Ku baca satu demi satu dan semuanya bercerita tentang ia dan kak rafa sejak setahun yang lalu…

Kini ku baca lembar kedua, namun yang ku dapati hanya kata yang bertuliskan “Ambil amplop berwarna biru muda yang berada di dasar kotak, dan berikan itu pada adik mu. Syukran rafa, kau telah membantuku menemukan cerita yang pernah ku lupakan itu.” Degg.. jantungku mulai kencang berdetak, nafasku mulai tak terarah, dari mana ia kenal diriku, apa kak rafa yang menceritakan nya pada gadis itu. Bergegas ku mencari amplop biru muda itu, sampai-sampai ku tak mendengar derap langkah yang mendekati kamar ini.
“Kau mencari ini?” kata seseorang dari ujung pintu. Aku kaget bukan main, muka ku memerah, dan aku salah tingkah sehingga ku pergi keluar kamar kak rafa dengan tergesa. Kak rafa menghentikan langkahku dan memberikan amplop biru muda itu pada ku. Jantungku semakin cepat melaju, entah seperti ada aura yang berbeda dari amplop biru muda itu. “itu tidak ada hubungannya dengan ku, aku tak mengenalinya, mengapa malah aku yang mendapat amplop tebal itu. Mungkin ia salah menulis surat, atau… atau…” aku mulai ke habisan kata. “Dafi thariq hanafi! Almarhumah Nabila tak akan ragu ketika ia menulis, untuk siapa tulisannya, dan aku mengenali betul dia. Cepat kau baca isi dari amplop biru muda ini sebelum semuanya jauh kau sesali. Maaf kakak telah melihatnya terlebih dahulu.” Seru kak rafa seraya menjatuhkan amplop itu di depan pintu kamarnya, mungkin itu satu-satunya cara kak rafa agar aku mau memungutnya dan membacanya.

Tepat pukul 11:00 aku kembali ke kasur ku untuk istirahat, aku belum memberanikan diri untuk membaca surat yang tebalnya bukan main itu. Amplop biru itu ku taruh di atas meja samping kasur tidur ku. Tak hentinya ku pandangi sampai-sampai ku terhanyut pada heningnya malam yang membuat mataku mulai layu meredup, menutup satu demi satu.

Adzan shubuh nan merdu membangun kan ku, di ufuk timur sudah terlihat cakrawala pagi dengan embun berjatuhan bagai salju lembut. Ternyata semalam langit telah menumpahkan tangisannya. Ku segera mengambil air wudhu, lalu ku menuju ruang ibadah, kudapati kak rafa sedang menungguku untuk shalat berjamaah, tak lupa juga ummi dengan senyum lembutnya. Setelah selesai kami melaksanakan kewajiban, ummi langsung pergi ke dapur untuk melaksanakan kewajibannya. Hanya tinggal aku dan kak rafa di ruangan ini.
“dafi, kau sudah membaca isi amplop itu?” kak rafa membuka percakapan. “belum kak, semalam aku mengantuk, dan aku tertidur. Aku janji setelah ini akan langsung membacanya” jawab ku agak ragu. “Sebaiknya cepat kau baca, sebelum semuanya terlambat daf.. maksudku sebelum semuanya benar-benar terlambat.” Saran kak rafa dengan langkah kecil menuju kamarnya.

Aku semakin heran dengan surat yang ku pandangi sejak tadi, perasaan ku campur aduk, aku penasaran tapi ku agak ragu. Astaghfirullah, mengapa hati ku tak seperti biasanya. Aku lalu memberanikan diri untuk membuka lembar pertama dan lalu membacanya:

“From Bilqist to dafi”
Assalammu’alaikum daf, mungkin saat kamu membaca surat ini aku telah tiada. Aku hanya ingin mengungkapkan beberapa kejanggalan yang telah aku lakukan dulu saat kita masih satu smp, entah apa perasangkamu saat itu, kini aku ingin meluruuskannya.
Kamu masih mengenaliku kan? Aku yang saat itu menganggapmu sebagai sahabatku, tapi entah apa anggapanmu terhadap ku, walaupun hanya sebutan “teman” namun aku senang.
Kamu masih ingat kan saat di mana aku menjadi anak baru di kelas 7. Hamka, mungkin sekitar 3 tahun yang lalu, aku tak kenal siapa-siapa dan ku temukan sosok teman yang baik menghampiriku tiba-tiba… dan kau tahu, sejak saat itu kehidupan ku mulai menemukan titik terang

“Assalammu’alaikum, nama ku dafi thariq, mengapa kau tidak ke kantin ya ukhti, apa kau belum mengetahui letak kantin?” “Wa’alaikum sallam ya akhi, nama ku aisyah nabila nelwan, aku tak tahu letak kantin nya ya akhi, dan ketika ku ingn bertanya pada teman wanita di sekelilingku, semua pergi dan menghiraukan ku begitu saja.” “Baiklah Nabila, aku akan mengantarkan mu ke kantin, dan kemana pun kau suka di sekolah ini. Aku akan menjadi pemandu wisata mu, eh maksudnya menjadi teman mu” kami pun tertawa bersamaan.

Kau tahu dafi, saat itu aku tak ke kantin karena ku terlalu terlena dengan lantunan al-qur’an yang kau baca kan, aku tak ingin berlarut pergi meninggalkan suara indah itu, terlebih lagi Al-qur’an lah yang kau baca, sangat jelas di telinga dan masih terekam di otakku surat Ar-Rahmaan, ayat: 18. Yang berarti: “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” itu lah Kata terakhir yang ku dengar dari lantunan mu sebelum kau menyapa ku.

Maaf daf, selama aku berteman dengan mu aku lebih terlihat jutek dari sebelumnya, mungkin aku sedikit menjengkelkan bagimu. Terlebih lagi saat kau bertemu dengan sosok Vanessa… aku sangat menyesal akan kejadian itu. Bukan maksud ku ingin menjauh dari mu fi, bukan maksud ku pula ingin memutuskan tali silaturahim yang telah terikat erat. tapi ku hanya ingin menjaga jarak agar Vanessa tidak cemburu pada ku, walaupun ia tahu aku hanya teman dekat mu. Tapi aku tetap memaklumi hubungan kalian…

“Bil, kamu tau gak hari ini aku jadian loh sama vanessa”, “Hahh, kamu serius?” “iya aku serius, dan kini gadis impianku sekarang telah menjadi milikku, bahagianya.” “Daf, kamu yakin dengan keputusan mu itu? Kamu ini terpandang sebagai sosok murid yang memiliki kelebihan lebih, apa kata mereka nanti ketika tau kamu tidak mentaati agama dengan sepenuh hati. Apa kata mereka nanti ketika kamu memiliki ikatan dengan seorang wanita, ikatan yang lebih dari teman bahkan persahabatan. Ikatan yang sebenarnya telah di larang oleh agama.” “Kamu ini kenapa, bil? Aku paham konsekuensinya, aku memang sedikit ragu dengan keputusan ku menjalin hubungan dengan Vanessa. Tapi hati ku berkata lain..” “Aku sudah mencoba mengingatkan mu fi, tapi jika kamu tetap pada keputusan mu.. maaf aku tak bisa, aku tak ingin melihat teman ku tersiram dosa setiap hari di depan mata ku sendiri. Kamu bilang hati mu berkata lain? Itu bukanlah perkataan hati, tapi itu adalah nafsu syeitan. Assalammu’alaikum!”

Maaf ya fi, Nabila belum bisa menjadi teman yang baik buat dafi. tapi apa daya, Nabila tak bisa melihat dafi terus bersama nessa. Maaf ni fi surat nya kepanjangan ya? Sabar ya membacanya, sebentar lagi selesai kok suratnya. Kamu ingat saat kita terakhir ketemu, saat itu langit sedang mencurahkan tangisannya…”

“Bilqist, kamu belum di jemput? Hari semakin sore, kamu aku antar saja ke rumah mu ya, kebetulan jemputan ku sudah datang.” “Tidak usah fi, nanti ngerepotin!” “ohh tentu tidak, Bilqist kan teman ku jadi ada baiknya mengetahui rumah teman masing-maisng, betul kan? Sekalian silaturahmi bil, sudah lama rasanya aku tak bertemu ummi mu.” “kau ini masih sama seperti dulu, suka memaksa tapi masih dalam konteks kebaikan. Aku suka sikap mu yang baik hati dengan siapa pun ini. Baik lah aku ikut bersama mu.”.

Di dalam mobil, “fi bagaimana kabar princess mu itu?” “princess yang mana? Siapa?” “hahaha.. maksud ku si Vanessa..” “ooh, dia Alhamdulillah baik-baik saja. Ini dari tadi ku sms-an sama dia” “Astaghfirullah, jadi sejak dari sekolah.. dafi tahriq hanafi!!, Rasulullah SAW pernah bersabda tentang masalah cinta, mungkin kamu lebih tau tentang isinya.” Tanpa melirikku sedikit pun kau berkata “Entahlah, aku sudah lama tidak membaca sabda rasul. Tapi sepertinya pernah ku dengar.” “Kecintaan kamu terhadap sesuatu, akan membuat mu buta dan tuli (H.R Ahmad)” “Tapi, InsyaAllah aku masih dapat mendengar dan melihat kok” “Bagaimana bisa keadaan sepertimu sekarang dapat dibilang tak buta dan tuli? Wong semenjak kamu dekat dengan Vanessa malah kamu lebih dekat dengannya fi di banding dengan sabda Rasul yang sering kau baca dulu.”

Sembari mematikan handphone, kau yang berada di kursi depan menoleh ke arah ku, tentu aku tak menoleh padamu, aku tetap melihat ke kaca mobil, dan berkata, “Kamu tau fi, sosok pemuda yang aku kagumi itu, sosok yang ku ceritakan kemarin. Kini dia sudah punya kekasih, hari-hari ku mulai sepi deh tanpa sosok baik hati itu. Dan mungkin aku akan pergi dari kehidupannya.. aku akan memandanginya dari kejauhan, dan memastikan agar ia kembali menjadi sosok yang aku kagumi seperti dulu.” “aku penasaran deh, kemarin kan kamu bercerita tanpa memberi tahu namanya. Aku mau tahu dong siapa nama pemuda yang kau kagumi itu, bil?” “iiihh, itu sih rahasia.. kamu gak boleh tau daf… hahaha belum saat nya kamu tahu..” ”iiih teman ku ini ternyata pelit juga ya.. hahaha. Ehh Alhamdulillah sudah nyampe..” “Alhamdulillah, sudah sampai. Syukran katsiran dafi” “ehh tunggu, tapi saat nya itu kapan? Akan ku tunggu saat itu, jangan lupa beritahu aku ya bila. Oiya sebelum tidur jangan lupa shalat dan berwudhu kembali. Semoga mimpi indah.” “ini fi yang aku kagumi dari mu, kamu adalah teman yang baik, selalu mengingatkan ku tentang kebaikan. Dan aku harap kamu akan terus dapat mengingat kan ku terus fi.” “Assalammu’alaikum akhi” “Wa’alaikum sallam ukhti”

Sampai sekarang mungkin kamu tidak tahu siapa sosok yang aku kagumi itu. Maaf sallam yang ku jawab dari mu waktu itu adalah perkataan terakhirku, karena keesokkan nya takdir berkata lain. Aku tiba-tiba sakit bukan main, tapi aku tak pernah mengeluh akan sakit ku ini, karena aku tersadar ternyata sakit itu indah karena ia mengajarkan bagaimana caranya bersyukur merasakan nikmatnya sehat. kamu mungkin tak tahu aku punya penyakit, maaf ku tak pernah memberi tahukan mu. Ya penyakit ini yang membuat ku harus pergi operasi ke singapura. Berbulan-bulan aku di rawat, dan dokter tidak memperkenan kan ku untuk pulang ke indonsia. Setelah lumayan pulih. Lalu ku mengambil keputusan, aku memilih melanjutkan sekolah ku disana.

Aku berniat akan mengambil jalur kelas akselerasi. Sampai pada suatu hari, ketika ku menginjakkan kaki di sekolah baru ku, tak sengaja kejadian itu terulang kembali, kejadian dimana ku bertemu dengan sosok sepertimu di masa smp dulu, Dan ternyata ia adalah kakak mu sendiri rafa, kejadian ini di ulang oleh kakakmu di masa-masa sma ku. Aku baru mengetahuinya sejak menemukan foto mu di selipan buku catatannya. Dan ia menceritakan semuanya kepada ku dengan rinci.
Sampai ajal menjemput ku pun aku tak pernah bertemu mu lagi, aku tau ketika ku menulis surat ini pasti waktu ku tak lama lagi, tapi ku ingin menjawab sesuatu.. sosok yang selama ini aku kagumi itu adalah sahabatku sendiri yaitu kau, dafi…

Oiya ada satu hal lagi yang membuatku bangkit dari penyakitku hanya untuk bernafas beberapa hari. Aku menemukan puisi karangan sosok yang ku kagumi itu di singapura, puisi ini yang memberiku arti makna kehidupan, serangkaian kata yang membuat ku bertahan hingga saat ini. Aku menemukannya di Koran singapura, kau mendapat juara 1 dan mendapat medali emas dalam lomba puisi antar pelajar di singapura, aku telah membuat versi bahasa indonesianya, sebelumnya maaf ya kalau ku punya salah, maaf karena ku sudah pergi mendahuluii mu, maaf saat ku pergi aku tidak pamit dengan mu, maaf juga jika puisi mu seenaknya aku alih bahasakan… Assalammu’alaikum.

“Tersenyumlah saat kau mengingat ku, karena saat itu aku sangat merindukan sosok mu, dan menangislah saat kau merindukan ku, karena saat itu aku tak berada di sampingmu. Tetapi pejamkanlah mata indah mu itu, karena saat itu aku akan terasa ada di dekat mu, Karena aku akan selalu ada di hati mu selamannya. Tak ada yang tersisa lagi untuk ku, selain kenangan-kenangan yang indah bersama mu. Mata indah yang dengannya aku melihat keindahan persahabatan, mata indah yang dulu selalu mengisi hari-hari ku, kini semuanya terasa jauh meninggalkan ku, kehidupan terasa kosong tanpa keindahan mu. Hati, cinta, dan rindu ku adalah milikmu. Kebaikan mu tak akan pernah membebaskan ku, bagaimana mungkin aku terbang mencari orang lain, saat sayap-sayap ku telah patah karena mu sahabat, sahabat kau akan tetap tinggal bersama ku hingga akhir hayat ku, dan setelah kematian menjemput”
– ciptaan, dafi thariq –

Featuring WPMU Bloglist Widget by YD WordPress Developer