AKHIR PENANTIAN


Mungkin salah jika ku berharap dia menjadi milikku suatu saat. Dia sholeh, paham akan agama dan dia benar-benar sangat sempurna bagi para akhwat di kampus. Ku mengenalnya sejak SMA, dia adalah salah seorang senior yang aktif dalam bidang dakwah dan sampai kuliah pun dia masih menjadi aktivis dakwah. Ku telah menyimpan perasaan itu sejak SMA, entah mengapa jika ku berusaha melupakannya maka perasaan ini semakin kuat setiap malam dia menghantui ku dalam mimpi. Aku merasa sangat berdosa jika terus seperti ini, tak ada hentinya ku ucapkan istighfar setiap melihatnya, kaki ku terasa berat untuk melangkah jika berpapasan dengannya, hanya pandangan ku yang tertunduk melihat tanah.

Waktu terus berjalan, hari ini dia wisuda jurusan Bahasa Arab. Ku sudah memutuskan bahwa hari ini ku harus mengungkapkan perasaan itu padanya dan dia ingin memberikan sesuatu untukku entah itu apa?

Selepas acara wisudahnya selesai, aku bertemu dengannya di depan kampus sejenak suasana hening.
“Aisyah, ada yang akan ku berikan buatmu. Ku harap kau dapat memenuhinya” katanya sambil mengeluarkan sesuatu dari tasnya.
Jantung ku berdetak kencang, nafasku serasa sesak, darahku berhenti mengalir, airmataku seakan tak sanggup ku bendung.
“Barakallahu laka ya akhi” ucapku sambil tertunduk, ku pegang erat-erat undangan yang dia berikan kepadaku. Undangan itu tertera namanya Muhammad Al Furqan dan Zahrah, nama akhwat itu adalah temanku sendiri.
“syukron ukhti, selama dari SMA engkau adalah saksi atas perjuangan dakwah ku, ku harap kau bisa datang ke pernikahan ku dengan Zahrah dan semoga engkau cepat menyusul”
“Aamiin”

Dia pergi, ku berjalan menuju mesjid kampus, kerudung ku basah karena air mata. Sejenak ku tenangkan diri kemuadian mengambil wudhu dan shalat, inilah akhir penantian ku yang panjang tapi ini bukanlah akhir dari segalanya.
Sungguh sakit rasanya, namun ku yakin suatu saat ada yang terbaik buatku dariNya.

Cerpen Karangan: Fajria Usman
Facebook: Fajria ria usman
TTL: Makassar, 27 oktober 1996
Status: Mahasiswa jurusan Bahasa Arab

KATAMU HARAPANKU


“Aw!” teriak sesorang dari kejauhan. Tanpa berpikir panjang aku pun mencari asal suara itu. Aku pun melihat seorang pria yang meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya.
“Maaf ya, aku tidak sengaja,” ucapku penuh penyesalan.
“Ya, no problem. Tak terlalu sakit kok,” katanya sok tenang.
“Ya udah, aku duluan ya!” pamitku sambil pergi meninggalkannya.

Pagi yang cerah aku berangkat bekerja dengan hati yang riang. Aku berjalan sambil bermain-main melempar bluluk, yaitu sebuah kelapa yang masih kecil. Aku melempar-lemparkannya seperti kemarin. Karena merasa semakin lihai aku mulai melemparnya lebih tinggi dan semakin lebih tinggi. Tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku, aku pun menoleh dan tanpa sadar bluluk itu mengenai kepalaku. “Aw!” jeritku.
“Are you okey?” ucap seorang lelaki di sampingku.
“Yes, I okey,” jawabku. Aku pun mencoba untuk melihat wajahnya, “Kamu? Kamu yang kemarin kan,” kataku.
“Oh iya, kamu…”
“Aku yang kemarin tidak sengaja melemparimu kemarin dengan bluluk itu,” kataku menjelaskan.
“Oh begitu, oh iya perkenalkan namaku Angga, Angga Baskara,” katanya sambil mencoba menyalamiku.
“Oh, namaku Isna, Isna Anggraini,” jawabku sambil memberi tanda hormat padanya, kan bukan mukhrim.
“Oh,” dia menarik tangannya, “Mungkin besok kita bisa ditakdirkan untuk berjabat tangan!”
“Maksudmu?”
“Nothing!” ucapnya sambil meninggalkanku.
“Assalamu’alaikum!” kataku.
“Wa’alaikum salam,” jawabnya dan ia meneruskan perjalanannya.

Beberapa bulan kemudian aku dipindahtugaskan dari Bank Cabang Semarang ke Yogyakarta. Meskipun berat aku pun menerimanya dengan lapang dada. Toh juga aku adalah orang Jogja asli. Banknya pun tidak terlalu jauh dari rumahku, ya sekitar 10 km-an.
Kedatanganku untuk yang pertama kalinya di bank itu membuat merasa banyak mata-mata yang memperhatikanku, aku menjadi salah tingkah. Sampai ada seorang pria yang menemuiku, “Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam,” jawabku.
Ternyata orang itu ada di hadapanku saat ini. Dia, Angga Baskara. Aku amat terkejut. Ternyata dia juga bekerja di bank ini, ya walau hanya sebatas satpam. Kehadirannya membuatku lebih percaya diri untuk bekerja di sana.

Rumahku yang searah dengan Angga membuatku tak enak untuk menolak ajakannya berboncengan motor dengannya. Aku memberinya alasan bahwa kita belum boleh bersentuhan.
“Semoga besok kita bisa naik motor bersama ya,” katanya yang membuatku sangat bingung. Jawabannya seperti bermakna sama dengan ucapannya saat itu.
Hari pun kujalani seperti biasa. Tapi kali ini serasa lebih lengkap. Terkadang Angga memilih naik bus saat pulang bekerja, katanya agar bisa bersamaku. Hubungan kami pun berjalan dengan amat lancar dan menjadi semakin dekat, bahkan amat dekat. Kami saling melengkapi satu sama lain dan bisa menghargai segala perbedaan yang ada. Dia pernah menyatakan cinta padaku dan kuakui aku juga merasakan hal yang sama pada dirinya. Tapi karena dalam agama Islam tidak ada istilah pacaran, hubungan kami hanya sebatas teman, ya teman spesial.

Suatu malam saat sedang menonton tv, tiba-tiba ada tamu. Ibu yang menerimanya lalu masuk dan memintaku untuk keluar. Aku pun keluar setelah memperbaiki jilbabku. Ternyata Angga dan dua orangtua ynag datang. Dengan sopan ketiga orang itu menyatakan maksud kedatangannya malam itu. Aku amat terkejut, bahagia, dan merasa terharu mendengarnya. Ternyata Angga dan kedua orang tuanya hendak melamarku secaral kekeluargaan. Dan keluargaku pun menyerahkan semua keputusan padaku. Dengan malu-malu aku menerimanya.

Seminggu sebelum ijab qabul aku mendengar kabar yang amat membuatku jatuh terpuruk. Angga mengalami kecelakaan tunggal. Dan yang amat menakjubkan, dia menghembuskan nafasnya yang terakhir di masjid. Itu terjadi karena warga menolongnya dan karena bangunan yang paling dekat adalah masjid, mereka membawa Angga ke sana. Insya Allah, khusnul khatimah…

Angga…
Kini aku sadar ucapanmu itu akan segera terwujud.
Tapi Allah menghendaki bahwa doa dalam ucapanmu itu akan dikabulkan di dunia lain.

Insya Allah, kita bisa saling berjabat tangan dan berboncengan motor di surga nanti,
Amin…

Cerpen Karangan: Septi Rahayu
maaf ya kalau ngebingungin. Baru dalam masa belajar nih,

ONE HEART


“Apa?” tanyaku pada Adit, cowok keren yang sekarang berdiri di depanku.
“Iya, Lisa, maafin aku ya,” kata Adit lesu.
“Jadi, kita harus bener-bener berakhir sampai di sini,” kataku lesu, tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.
“M.ma a…f,” Adit menundukkan pandangannya.
“Hem,” aku menghela nafas. 3 tahun kita jalani kisah ini bersama. Merajut cinta dan memanjat asa, menuju situasi indah berpadu harum melati. Tapi, bayangan itu sirna, entah karena apa. Adit, cowok yang menemani suka dan dukaku, cowok yang menyatakan cintanya padaku, kini. Kini… harus pergi. Hem… betapa sakitnya diputusin cowok.
“M. Okelah. Maafin aku ya, kalau selama ini, aku ada salah,” kataku mencoba tegar. Padahal, hati ingin menjerit. Hufff.
“Bukan di kamu kok Lis, masalahnya, masalahnya, a… aku,”
“Cukup Dit. Aku sudah tau kok semuanya,”
“Bukan itu, dengerin penjelasanku dulu,”
“Penjelasan apalagi, aku tahu,”
“Tahu apa,”
“Diam!”

Deg! Aku tak pernah sekasar ini dengan Adit. Aku tahu siapa Adit. Banyak cewek-cewek cantik yang ngejar-ngejar dia. Aku sendiri, juga sering jealous. Maklum, sebagai wanita, aku tak menarik sekali di hadapan pria. Buktinya selama hidupku, hanya Adit satu-satunya manusia yang menyatakan cintanya padaku. Aku bahagia sekali. Bukan berarti ‘akhirnya aku laku’ tapi juga karena aku bersyukur. Ada juga laki-laki yang mencintaiku. Apalagi, laki-laki seperti Adit. Dia ganteng, ramah, pintar, wajar kalau dia disukai banyak cewek. Aku pun heran, kenapa dia memilihku. Hanya karena satu alasan, aku penuh keibuan, katanya. Hem… aku memang suka anak kecil dari dulu.

Tapi, semenjak aku pacaran dengan Adit, aku sering menelan sukma. Karena rayuan dan godaan dari cewek-cewek lain. Tidak hanya itu, hinaan dan cacian pun juga sering aku terima. Tapi, entahlah, aku merasa sudah paham dan sabar menghadapi semua ini. Aku lalui saja sampai waktu 3 tahun ini. Terkadang, rasa lelah dan peluh di hati juga menyelimuti. Aku mampu melalui semuanya. Mungkin, karena cinta. Ya, mungkin itu.

“M… maaf,” kataku, dengan bibir bergetar. Aku tak mampu memendam kekecewaan ini.
“Ok, aku, a…ku juga minta maaf,”
“Aku… aku sadar kok, seharusnya, aku gak sama kamu dari awal,” kataku, tak bisa menahan air mata yang menetes di pipi.
“Lisa, bukan masalah itu,”
“Ya, tapi dengarkan aku dulu, aku ingim bicara,” desakku.
“M… ok,”
“Selama ini, banyak orang yang bilang kalau kamu disukai banyak cewek,”
“Tapi itu kata orang kan, aku gak pernah bilang begitu sama kamu,”
“Ya, aku tau, tapi, itu kenyataan kan,”
Kulihat Adit terdiam.
“Aku jelek Dit, kamu ganteng, gak pantas kan,”
“Kamu selalu membahas soal itu, aku gak suka,”
“Lagian, memang itu kenyataannya kok,”
“Tapi Lisa, aku cinta sama kamu, dan kamu juga cinta sama aku, apapun masalahnya, kita pasti bisa hadapi, kan, kecuali…”
Deg!
“Kecuali apa,” kataku lesu, seolah-olah, nafasku Cuma sampai di dada saja.
“Kecuali… masalah ini, kita harus benar-benar putus, aku tak punya pilihan lain, maafin aku,”

Aku tertunduk. Suasana ramai di taman ini, kontras dengan susana hatiku. Sepi, merana, kecewa. Dan tidak ada lagi hari-hari indah yang akan kulalui. Yang ada, hanya mendung kelabu yang dihiasi kabut menyesakkan hati. Ya Rabb… aku ingin menjerit.

“Lisa,”
Aku diam. Tak mau melihat mukanya lagi. Seharusnya, aku tak mencintainya. Seharusnya, aku tak menerimanya waktu dia bilang cinta padaku. Seharusnya, kuputuskan saja dia waktu ada cewek yang mengajaknya menikah. Seharusnya, kuakhiri saja hubungan ini waktu ada cewek yang bilang padaku kalau aku gak pantas jalan sama Adit. Untuk apa kukorbankan semua perasaanku demi hubunganku dengan Adit. Seharusnya, ya, seharusya begitu. Tapi… tapi, semua telah berlalu. Tak mungkin bisa aku memutar yang dulu. Kini hanya tinggal kekecewaan dan penyesalan saja.

“Lisa,”
“Sudahlah Dit, aku mau pulang,”
“Kita belum selesai bicara,’
“Apalagi,” kutatap mata elang itu.
Ya Rabb. Aku tak sanggup.
“Aku bener-bener harus minta maaf, kita bener-bener harus berakhir, maafin aku, tapi, sekali lagi, aku cinta sama kamu,”
“Ya,” aku beranjak pergi.
“Lisa,” Adit menarik tangankui erat. Tak pernah dia memegang tanganku seperti ini. Hangat.
“Aku belum selesai bicara,”
Aku tak sanggup. Aku tak bisa mendenngarkan kata-katamu lagi. Seharusnya kau sadar itu Dit.
“Baiklah, bicaralah,” aku kembali duduk. Air mata terus menetes di pipi. Benar-benar seperti anak kecil. Aku benar-benar tak sanggup menahannya.
“Aku cinta sama kamu,”
Diam. Kata-kata itu lagi. Tak ada gunanya.
“Lisa, maafin aku… kita… kita harus putus karena… aku dijodohin,”
Geg! Dadaku semakin sesak. Jadi… wanita cantik dan baik yang selama ini aku kenal, telah jodohin kamu, wanita yang berhasil mendidik anaknya, sehingga Adit menjadi anak yang sangat berbakti pada orang tuanya. Dan, seorang laki-laki yang keras tapi sangat menyayangi anak laki-lakinya ini, sehingga tak ada lagi pilihan lain bagi sang anak untuk… menuruti kemauan mereka.

Bapak dan ibu Adit, sudah lama aku kenal mereka. Mereka sangat harmonis, aku sudah cukup dekat dengan mereka. Tapi…
“Baiklah, mungkin saja, kita tidak berjodoh Dit,” aku mencoba tegar. Tapi… tapi kutahan saja air mata ini, nanti saja di kamar aku mengamuk dan menangis sepuas-puasnya. Aku ingin cepat pulang…
“Ya, aku juga minta maaf, karena, seharusnya, kita tidak pacaran Lisa, kita… kita tidak seharusnya melakukan itu,”
“Melakukan apa? Kita tidak melakukan apa-apa kan,”
“Ya, tapi, yang namanya pacaran itu kan, tidak boleh, hubungan yang sah antara laki-laki dan perempuan, hanyalah sebuah pernikahan,”
Deg! Iya, sih.
“Makannya, maafin aku ya,”
“Ok. Sudah selesai, bicaranya,”
Aku semakin ingin mengakhiri saja pembicaraan ini. Dan aku berharap, aku tak pernah melihatnya lagi.
“Belum,” jawab Adit datar.
“Lalu apa lagi?”
“Kamu belum tahu aku dijodohin sama siapa,”
“Maksud kamu,”
Adit tersenyum.
“Aku dijodohin sama kamu, Lis,”
Deg!
“Apa maksudnya,”
“Ya, aku mau dijodohin sama kamu, bapak dan ibu… mau ke rumah kamu nanti malam. Gimana?”
“Ha…”
Aku kaget. Jadi…
“Kok ha, sih,… o, ya, ngapain nangis,” kata Adit, sambil mengusap air mataku. Lembut.
“Ih… Adit..,”
Kucubit pinggulnya keras-keras. Dasar!
“Aduh, sakit tau…”

Kutatap wajah tampan itu. Aku tersenyum. Kupeluk tubuh kekar itu. Hangat.
“Hei… kita kan belum menikah, sabar dong,”
Spontan kulepas pelukan itu. Kuinjak kakinya keras-keras.
“Aduh…”
Aku tertawa. Alhamdulillah. Ya Rabb, terimakasih

I’M HERE FOR YOU


“hoamm…” tubuhku menggeliat meregangkan otot-otot. Selimut tebal masih melingkati dan menutupi badanku. Aku masih merasakan kantuk yang mendalam… Tapi apa boleh buat, aku harus bangun. Walaupun masih terasa sangat capek, karena semalam packing dari indonesia.

Sekarang hari pertamaku di oxford.. Karena aku harus menuntut ilmu di bangku oxford university. Aku pun membuka selimut, dan turun dari ranjang, ku raih sandal rumah berboneka kucing yang baru saja semalam ku beli. Seharga 2 poundsterling… Dan berjalanlah kedua kaki ku ini ke jendela… Tangan tangan ku memegang gordyn berwarna keemasan dan ku buka gordyn itu. Dibalik kaca jendela, sang mentari menyilaukan mata dengan cahaya kehangatannya. Dengan sekejap… Kamar 301 ini terbuai dengan cahaya indah itu.

Aku pun membuka jendela… Terlihatlah dari lantai 15 ini, kota oxford nan indah memulai harinya yang masih berumur jagung. Dari sini, aku pun bergegas untuk mandi dan makan pagi, aku pun memilih baju yang tertutup saja, karena mengingat aku sekarang berada di negara orang, dan aku harus menjaga akhlak indonesia kesini, aku pun memilih blus panjang warna hijau muda, yang kupadukan dengan celana jeans hitam. Karena aku berjilbab, jilbab dua warna yang kupakai, yaitu hitam dan hijau, dengan kaus tangan yang berwarna hijau muda juga.

Kali ini aku hanya membawa netbook mini axioo hijauku yang amat kusayangi.. Karena sejak smp netbookku ini menemaniku dengan amat setia… Bak burung merpati, selain itu aku juga membawa buku notes kecil berwarna hijau muda. Dan kotak pensil berwarna putih. Kini kusiap jalani hari dengan percaya diri… Karena sekarang sedang musim salju. Aku memakai sepatu boot saja, kali ini kulit buaya berwarna hitam yang ku kenakan.

Kubuka pintu kamar ku dan kukunci setelah aku keluar dari situ. Setelah aku membalikkan badan, “plukk…” aku menabrak seorang penghuni kamar depanku, kamar 302. Seorang pemuda tampan bermata biru, beralis cokelat dengan hidung yang amat mancung. Karena itu dia mengucapkan banyak minta maaf padaku… “im sorry, apologies me” katanya.. “nevermind..” Aku nggak mampu berkata apa, di depannya. Aku benar-benar salah tingkah. Matanya yang tajam menatapi mataku ini yang hanya mampu tertunduk lesu. “rino… Afrino william tomlinson…” “oowwhh… Lil fathonah rahma al haq… Rahma” perkenalan yang cukup singkat…
“where you work?” “i’ll to campus” “oxford university?” “yap” “where do you came from?” “indonesia..” jawab ku dengan sangat bangga… “berarti kita sama, aku juga dari indonesia. Dan aku juga kuliah di oxford..” kepalaku terngadah..
Setelah petemuan itu, aku dan rino semakin dekat saja. Aku merasakan sesuatu yang sebelumnya belum pernah aku rasakan… Aku jatuh cinta pada pandangan pertama padanya…

Keesokan harinya aku berjalan bersama dengannya, aku mulai menyayanginya. Canda tawa kita alami bersama. Hari demi hari ku lewati dengannya, aku banyak mengetahui tentang nya… Hanya satu yang belum aku tau… Apakah agamanya? Aku berharap agar muslim. Dan lengkaplah sudah perjalananku mencari cinta…

Hari ini, hari kamis. Sangat ngantuk sebenarnya… Tapi, aku harus bangun pagi buta hanya untuk menjemput salah seorang sepupuku yang sebenarnya aku belum pernah bertemu dengannya di oxford airport… Aku cepat-cepat untuk berangkat. Sekarang menunujkkan pukul 02.37, sedangkan pesawat garuda indonesia yang ditumpangi malik, sepupuku, akan take off pada jam 03.10.

Aku persiapkan selembar kertas karton, yang bertuliskan malik fathul al haq. Terakhir kali aku melihatnya saat aku berusia 12 tahun. Entahlah sekarang… Aku hanya memakai blus putih yang kupadukan dengan hijab pasmina oranye, dan bawahan celana putih, aku pun siap berangkat dengan tas kecil di pundakku.. Dan kunci mobil di tangan kiriku… Yang bersambung dengan kunci kamar 301 ini.

Saat ku berbalik setelah mengunci kamar, aku kaget… Karena rino juga membuka pintu kamarnya.. Yang lebih mengagetkan lagi… Di balik kaos MU (Manchester United) yang ia kenakan, terdapat kalung putih yang berujung tanda salib… Aku kaget, ku kira rino juga muslim.. Aku shock.. Selama ini, aku memiliki rasa sayang padanya… Ternyata aku menyayangi dan mencintai orang yang tidak mencintai allah swt. Aku hanya diam dan tak membalas senyum rino yang sebenarnya begitu manis yang dihiasi dengan mata tajamnya yang menyipit jika ia bawa tersenyum.

Aku hanya berpaling.. Lalu apa yang aku harapkan terjadi, ia mengejarku sampai depan lift dan memegang tanganku… “ada apa, rahma” Dengan sangat enteng untuk menutupi rasa shockku… “tidak… Nevermind,” kataku sambil mencoba melepaskan eratnya tangan rino. “matamu tidak bisa bohong..” “come on rino… I will go to airport..”… “why?” “aku harus menjemput kakak sepupuku,” kataku.

Tangannya mulai merenggang.. Akhirnya aku bisa lepas dari tangannya.. “kalau begitu kamu aku temani..” “tidak usah… Aku bisa sendiri..” “oke.. Rahma.. Kau hebat… Kau bisa sendiri. Jangan menghubungiku lagi.. Aku sayang kamu…” katanya seraya merentangkan tangannya dan berbalik, berjalan ke kamarnya. Dalam hati, aku menangis.. Aku sangat mencintainya ya allah… Tapi, cinta ku pada mu lebih tinggi dari pada kepada dia… Jadi, jika ia memang bukan jodohku.. Biarlah rino dengan orang yang lebih pantas.

Aku pun berlalu menuju lift dan dengan sekejap sudah sampai di lantai dasar. Dan dengan cepat aku melajukan mobil ku… Tepat pukul 03.07 aku sampai di depan parkiran oxfor airport… Aku cepat-cepat masuk ke dalam… Handphone ku berbunyi, ketika hendak mengambilnya dari tas kecilku, “brakk” aku menabrak seseorang… Aku mengadahkan kepalaku… Terlihatlah seorang tampan dengan wajah arabic yang melekat… Hatiku deg-degan saat melihatnya… “i’m sorry..” kataku dan dia…
“rahma..” katanya yang membuatku mengingat sesuatu, tahi lalat di dekat bibirnya… “mas malik” Kataku yang mencairkan suasana.. Sedetik, aku terpesona… Penampilannya saat ini sangat membuatku tercengang. Kaos putih yang ia gunakan, terbalut jaket kulit hitam yang mengkilat, bawahan jeans hitam yang menambah tampannya kakak sepupuku yang pernah mengajariku berenang saat aku berumur 12 tahun, itu adalah pertemuan terakhirku dengannya.. Sebelum akhirnya mas malik pergi ke kairo untuk menuntut ilmu.

Sebelumnya aku memang mempunyai rasa yang tidak biasa, alias luar biasa padanya. Aku sangat menyayanginya, tapi itu dulu sebelum aku sekarang mengenal rino. “sebenarnya aku hendak menjemput kakak di dalam. Tapi kakak sudah keluar duluan…” Kataku basa-basi aku sangat salah tingkah karena tatapan manisnya sangat membuatku kesemsem. “iya… Nggak papa… Lagian ini terlalu pagi.” jawabnya tanpa henti menatapku.
Kami berjalan beriringan menuju mobilku di parkir.

Kukira perjalanan cintaku dengan rino akan berakhir begitu saja sejak datangnya mas malik yang bertempat tinggal sementara di kamar 303 yang berada tepat di sebelah kamarku.
Suatu hari, aku pergi bersama mas malik ke sebuah mall…
“dek,” “iya”… “kamu tau nggak kenapa aku disini.. Bersamamu..?”
Kata-katanya mengingatkanku pada pemikiranku yang utama.. Mengapa mas malik bersamaku dan pulang dari kairo. Aku hanya menggelengkan kepala.
Dia hanya diam saja, sesampainya kami di hotel. Di depan kamarku..
“dek.. Aku sebenarnya ingin menikahi kamu. Tapi, aku akan menikahimu setelah kamu lulus dari oxford university… Maka dari itu, aku kemari..” kata-katanya menyentuh hatiku… Air mataku membasahi pipi… Suara terbukanya pintu 302 mengagetkanku… “rin.. Rino..” kataku tergagap-gagap… Sebelum ku patahkan sekata apapun… “dek… Setelah ini aku akan pergi kembali ke kairo. Aku akan menjemputmu 3 tahun lagi.” kata-kata mas malik membuatku semakin bingung…
Aku hanya terperanga, melihat mas malik masuk ke kamar 303. Dan tak seberapa lama, ia keluar dengan koper yang ia bawa semula. “dek… Aku pergi… Tunggu aku..” dia pun mencium tanganku dan disusul mencium keningku. Itu semua mas malik lakukan tanpa ada larangan dariku. Aku melirik ke arah rino yang sejak tadi memperhatikanku. Bagaimana tidak, dia berada di samping kananku.

Mas malik berjalan, pergi menjauh.. Ini semua buram, aku bingung… Aku tidak tahu harus kemana? Aku sayang mas malik. Tapi aku sangat cinta pada rino.

Setelah mas malik tak terlihat lagi, niatku ingin masuk ke kamarku. Karena wajahku pasti sembab karena air mata ini tak terpendam… “rahma…” panggil rino. Aku terpaksa terhenti, “jadi ini yang kamu inginkan?” “maksudmu?” “sakit… Rahma…” kata-katanya terhenti, dia pun memegang kalung salibnya. “lebih baik aku tak pernah mengenalmu, daripada aku harus melupakanmu..” kata-katanya.
“rino… Aku sangat cinta sama kamu… Kau dewasa..” aku meraih tangannya… “tapi aku tak cinta dengan apa yang kamu percayai…” kataku, pandanganku tertuju pada tangannya yang memegang kalung salibnya. Dia pun peka kepada apa yang aku lihat. “ini..? Ini rahma?” Katanya sambil menunjukkan kalung salibnya… “ini yang tidak kau sukai… Apa karena ini.. Kau lebih memilih malik?” Kata-katanya tersendat.
Dengan tegas aku menjawab.. “aku mencintai mas malik karena allah…” Dia pun menarik paksa kalung yang melingkar di lehernya. “ini sakit, rahma. Tapi lebih sakit lagi jika aku harus melihatmu bersamanya…” ia pun melempar kalungnya ke lantai… “rahma ikutlah bersamaku… Tinggalkan apa yang tidak kamu sayangi…” kata-katanya menyentuh hatiku. Dia meraih tanganku,
“maaf, aku hanya akan mencintai orang yang mencintai tuhan ku…” kata-kataku sampai disitu… Dan itu adalah kata-kata terakhirku untuknya, setelah itu aku pergi meninggalkannnya untuk menyewa kamar hotel di lantai 2 saja.

Tiga tahun kemudian
Benar saja, mas malik datang saat aku sedang wisuda. Setelah, aku naik ke atas altar setelah pemindahan tali topi toga dari kiri ke kanan. Dan setelah aku menjadi cumlaude… Rino mengajakku ke belakang… “rahma… Aku sekarang sudah menjadi muslim.” Wajahku berseri… “aku senang” “rahma, aku sudah menjadi hafidz qur’an…” “iya, kah?” Aku makin sayang dengannya… Dia mengangguk.. Tanpa basa-basi, aku mencium pipinya…
“rino… Mungkin jika kita berjodoh… Kita akan bertemu nanti…” kata-kata terakhirku. Setelah itu aku bertolak ke indonesia.

Sebulan kemudian, aku dan mas malik menikah. Dua bulan kemudian. Sekarang aku sudah mengandung anak dari mas malik.
Sembilan bulan kemudian, sebenarnya kami hendak berziarah ke walisongo… Tapi, mungkin kami bukan berjodoh… Mas malik meninggal, dalam perjalanan pulang. Aku juga keguguran… Kini aku sangat kesepian… Aku menangis di pusara mas malik…
“mas… Aku sayang sampean, mengapa rumahtangga kita hanya berakhir sekilas? Mengapa? Aku akan merindukanmu. Di hari ke 40 setelah kau meninggalkan ku… Aku akan berusaha hidup mandiri. Aku akan sulit mencari imam yang sholeh seperti dirimu, mas…”

Saat-saat seperti ini, “rahma…” ada yang memanggilku dari belakang… Saat itu aku sedang berada di depan makam mas malik.
Aku menolehh.. “rino..”
“aku datang untuk menjemputmu… Kau memang tulang rusukku, rahma. I’m here for you….”
Aku terharu akan cintanya… Aku akan menikah dengannya… Ya allah, inikah jalan yang kau beri? Jika ini… Aku senang, bisa berjodoh dengan orang yang aku sayangi…

Indah Pada Waktunya


Siang ini terasa begitu panjang. Matahari bersinar sangat terik, tak seperti biasanya. Kukayuh sepeda dengan sisa tenaga yang kumiliki.
“hfffh, panas banget.” sambil menghapus peluh yang mengalir dari balik jilbab, aku bergumam. “Menyesal rasanya menolak tawaran Linda untuk istirahat di Kosannya. hahhh, ya sudahlah.”

“Assalamu’alaikum. Bu, Nana pulang.” Aku melangkahkan kaki menuju kamar. Sejenak merebahkan tubuh yang letih di atas kasur. Kuhidupkan kipas angin. Seketika kamar menjadi sejuk. Tirai jendelaku bergerak pelan mengikuti angin yang berhembus. Mataku terpejam menikmati sejuknya. Tiba-tiba handphoneku berderit. Ada sms dari Linda.
‘Na, dah nyampe home?’.
dengan malas aku mengirim balasan,
‘Udah. Napa? kangen ya? :p ’.

Seseorang membuka pintu kamarku, “Sudah pulang, Na?”. Mbak Hesti, kakakku menyapa tiba-tiba. “Eh, iya mbak. Rebahan di kamar bentar. Capek. Liburan Semesteran mbak?.”
“Enggak. Mau ambil barang di kamar.” Mbak Hesti melangkah duduk di pinggir kasur, di sampingku. Aku mengangguk dengan mulut membentuk huruf “o”.
“Mbak, bikin es ya mbak. Aku mau dong.”
“Ambil aja di dapur.”

Secepat kilat aku melesat ke dapur. Handphoneku berderit lagi.
‘Pasti Linda’ batinku.
‘I Miss You So Much, girl.’
Geli aku membaca sms sahabatku itu. Dengan menahan tawa aku mengirim sms balasan untuknya.
‘I’m Sorry ya Linda sayang. Aku masih suka sama cowok tu.’
‘Wkwkwkwk’

Belum sempat aku membalas sms Linda, ada sms masuk lagi. Dari siapa?
“Na, kue kering yang di lemari bawa kesini ya.” Mbak Hesti setengah berteriak dari ruang TV.
“Siaap!”

Dengan tergopoh aku berjalan menuju ruang TV. Tangan kanan membawa gelas berisi es buah dan tangan kiri membawa kue kering permintaan mbak Hesti. Es dan kue kering aku letakkan di atas meja yang ada dihadapan kami.
“Makasih ya, Na.”
Aku tak menyahut ucapan terima kasih mbak Hesti. Mataku menatap lurus nama yang ada di layar handphone. Sms dari Reno. Ada apa? tumben. Tidak biasanya Reno sms aku kalau bukan karena urusan yang penting. Bukankah Laporan Kegiatan Outbond kemarin sudah aku kasih. Lalu? Logikaku berhenti. Tak mampu menerka ada apa.
“Na. Hey, kamu bengong. Sms dari siapa sih?” mbak Hesti menyadarkanku.
“Mmm, temen mbak.”

Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu. Namun kakiku rasanya kaku. Pikiranku kacau. Dengan malas aku merapikan buku-buku pelajaran ke dalam tas.
“Na, pulang bareng ya.” Linda menoleh padaku. Aku tak merespon.
“Na, pulang bareng ya.” Linda mengulang kembali ucapannya. Kali ini dengan menepuk pundakku, pelan.
“eh, mm. Gimana Lin?”
“Pulang bareng ya. Kamu kenapa si? lagi dapet ya?”
“Lin, temenin aku bentar ya.”
“Kemana? Ke Kantin? Aku masih kenyang Na. atau mau ke Ruang OSIS? males ah Na. Anak OSIS nyebelin semua.” Linda nyerocos tak memberi cela untukku bicara.
Akhirnya dengan sedikit aku paksa Linda mau menemani aku menemui Reno di Kantin Sekolah.

Kantin Sekolah penuh sesak. Aku memilih duduk di pojok dekat pintu masuk. Sudah satu jam aku menunggu Reno tapi aku belum melihat kedatangan Reno. Kemana dia? Apa jangan-jangan dia mengerjaiku? Ah, tidak mungkin. Linda yang dari tadi diam di sampingku mulai bersuara.
“Na, masih lama? Nunggu siapa sih?”
Aku masih sibuk mencoba menghubungi Reno.
“Lin, pesen minum dulu yuk.”
Reno baru datang setelah es teh yang kami pesan sudah habis.
“Assalamu’alaikum, Nana Linda”
Aku dan Linda menjawab beriringan, “Wa’alaikum salam”.
“Maaf, nunggu lama ya Na. Tadi ada urusan sebentar.”
Linda mencubit lenganku. Ia menatapku dengan wajah penuh tanya.
Aku hanya nyengir saja.
“Ada apa Ren?” Aku langsung to the point. Berlama-lama ngobrol berdua dengan laki-laki terasa tak nyaman bagiku. Meski untuk sekarang ini ada Linda menemaniku. Reno yang memilih duduk di sampingku justru diam tanpa kata. Tak biasanya dia seperti ini. Aku menjadi semakin penasaran.
“Ren, Kamu mau bicara apa? Bukankah Laporan Kegiatan Out Bond sudah aku serahkan kemarin.” Aku tidak sabar.
“Ini… soal hati Na. Lebih tepatnya hatiku.” Reno menatapku dengan tatapan berbeda. Tak seperti biasanya. Membuatku semakin bingung. Reno seperti mengerti kebingunganku. Perlahan Ia menjelaskan padaku. Ia sendiri tak tahu sejak kapan Ia mulai mempunyai “rasa” itu padaku. Diam-diam Reno selalu memperhatikan aku. Aku hanya tertunduk. Linda menatap bergantian Reno dan aku. Manggut-manggut tanpa bersuara.

Reno menghela nafas pelan. Seolah beban yang Ia pikul selama ini mengambang bersama angin yang lewat di antara kami bertiga. Kantin semakin sepi. Menyisakan kami bertiga dan bu kantin. Segerombolan siswi kelas satu yang duduk di seberang meja kami sudah beranjak sejak Reno datang. Suasana benar-benar hening. Kami hanyut dalam pikiran masing-masing. Linda masih dengan kebiasaan barunya, manggut-manggut menatap kami -aku dan Reno- bergantian.

“Nana, aku harap apa yang aku katakan ini tidak membuatmu merasa bersalah. Ini bukan sepenuhnya salahmu. Aku tidak ingin kamu terbebani dengan perasaanku ini.”
‘Terlambat, Ren. Pengakuanmu justru membuatku merasa bersalah.’ Aku bergumam pada diriku sendiri.

Hari demi hari telah berlalu. Bunga melati di halaman rumah sudah mulai bermekaran. Wanginya memenuhi tiap sudut rumah. Terkadang aku memetiknya dan meletakkannya di kamar sebagai pengharum ruangan. Hujan masih turun sejak pagi tadi. Langit di atas sana masih berwarna abu-abu. Udara pun menjadi dingin. Kejadian tempo hari masih membekas di benakku. Karena sejak kejadian itu kurasakan Reno menghindar dariku. Meski kami masih bertemu di Sekolah ataupun di OSIS tapi Reno menjadi lebih pendiam, pasif.

“Tanyakan saja padanya, Na. Daripada kamu senewen kayak gini?” Linda memberi saran padaku di jam istirahat sekolah.
Siang itu aku membulatkan niat untuk menemui Reno. Dari Sinta -teman satu kelas Reno- aku tahu kalau Reno sedang berada di ruang OSIS. Langkahku terhenti saat aku berada tepat di depan Ruang OSIS. Sepi. Tapi aku melihat sepatu milik Reno, berarti memang Reno ada disini.

“Assalamu’alaikum ” Suaraku bergetar. Tak ada jawaban. Mungkin Reno sedang keluar dan meninggalkan sepatunya disini. Aku melangkah keluar tapi kemudian terhenti. Seseorang dari ruang komputer menjawab salamku.
“Wa’alaikum salam.” Sebuah langkah mendekatiku. Itu Reno. Aku berusaha tersenyum saat dia berdiri di hadapanku. Reno mengajakku duduk di meja rapat. Aku memilih duduk di dekat jendela, berjarak dua kursi dengan Reno. Kami berdua diam. Aku enggan untuk membuka pembicaraan. Aku melihat keluar jendela yang ada di sebelahku. Mendung menyelimuti kotaku siang ini. Hujan akan segera tiba. Angin yang lewat menyisakan kebekuan yang semakin menyesakkan.
“Sepertinya akan hujan, Na.” Reno bersuara. “Ada apa, Na?”
“Seharusnya aku Ren yang bertanya ada apa. Aku merasa… kau menjauhiku. Apakah itu benar?” Aku tak berani menatap ke arah Reno. Reno menghela nafas panjang.
“Aku sedang belajar ikhlas, Na. Mengikhlaskan semua perasaan ini padaNya. Beberapa hari ini aku memang menjauhimu karena dengan tidak melihatmu aku fikir rasa ini akan menghilang. Tapi, ternyata tidak. Maaf, Na aku hanya manusia biasa.”
“Aku tidak menyalahkanmu atas perasaan itu Ren karena rasa menyayangi dan mencintai orang lain itu fitrah kita sebagai manusia. Karena Ialah Maha Cinta. Pemilik hakiki Cinta Sejati. Namun kita terlalu cepat mengartikan rasa yang belum saatnya hadir. Hingga kebanyakan teman-teman kita menjadikan pacaran sebagai jalan pintasnya.”
“Memang terlalu awal aku merasakan semuanya. Dan salahku memupuk dan membiarkannya tumbuh. Sekarang aku harus mencabut paksa dan membuangnya karena perasaan yang tumbuh bukan karena izinNya akan membawa penyakit ke dalam hatiku. Aku terus berdoa padaNya agar Ia menjaga diriku dari hal-hal yang membuatNya murka padaku. Biarlah semua indah pada waktunya, Na. Mesti sekarang aku harus bersusah payah mendapatkan kembali kesucian hatiku. Aku yakin Ia selalu memperhatikan aku, kamu dan apa yang kita perbuat dan bahkan mengetahui apa yang ada di dalam hati kita, karena Ia Maha Mengetahui. Suatu hari nanti semua akan menjadi indah dan dengan penuh syukur memuji AsmaNya.”
“Terus istiqomah ya Ren. Semoga kita bisa melewati ini semua dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Allah selalu bersama kita. Apa yang Allah pilihkan bagi hamba-Nya yang beriman adalah pilihan terbaik, meski tampak sulit dan berat. Tetap semangat ya!”

Kami berdua tersenyum bersama memandangi halaman yang telah basah. Nyanyian hujan yang menentramkan kalbu. menghapus kegelisahan yang sempat hadir di hati kami.

HUJAN SENDU


Lagi, hujan di siang hari tepat di bulan Januari. Ramalan cuaca di TV hari ini menyatakan akan ada hujan tapi tidak lebat. Hujan sendu. De javu. Teringat kembali kejadian 4 tahun lalu. Hannah, dirimu hadir bersama hujan sendu untuk kesekian kalinya. Semua berjalan sesuai dengan yang kuinginkan tapi sepertinya aku tidak cukup siap dengan apa yang terjadi setelahnya. Aku kesepian Hannah.

Kini dari kejauhan aku melihatmu. Sedang berteduh di sebuah mushallah sambil memeluk ransel hitam. Apa itu benar-benar dirimu Hannah? Ataukah hanya fantasiku yang kini sedang kesepian setelah 4 tahun lamanya kamu pergi?. Aku mencoba mendekat. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah lalu terhenti. Seseorang dari arah yang berlawanan berteriak, memanggil satu nama yang sangat kukenal. Hannah. Tidak salah lagi, lelaki itu memanggil nama Hannah sambil jalan menghampiri seorang gadis di mushallah. Gadis itu betul-betul Hannah dan lelaki yang menjemputnya sambil menenteng sebuah payung adalah om Iqbal. Setelah sekian lama tak ada kabar, Hannah datang dengan sendirinya ke kota ini.

Beberapa hari berlalu sejak kejadian mengharukan Hannah datang kembali ke kota ini. Rol film di kepalaku kembali memutar rekaman yang sempat terekam oleh mataku saat Hannah berteduh dari rerintik hujan di mushallah. Tidak kulihat jelas sebenarnya. Tapi perangainya, selalu memeluk ransel seperti itu tidak dapat terpungkiri sebagai kebiasaannya sedari dulu. Senyumku mengembang. Padahal dari tadi hanya menatap langit-langit kamar yang sudah mulai berubah warna karena usang. Aku beranjak bangun dari tempat tidur. Berjalan mendekati meja belajar coklat yang berada di sudut kamar. Duduk di kursi lalu pelan-pelan membuka laci. Tangan kananku meraba-raba seisi laci, mencari sebuah foto yang sengaja kutumpuk dengan beberapa kertas di atasnya agar tidak terlihat orang lain. Foto ukuran 2R yang langka, hanya ada satu di dunia. Foto yang mati-matian kuminta dari Nindi, sahabat Hannah. Bahkan harus merelakan begadang mengerjakan tugas gambar Nindi sebagai barteran dengan foto yang kuminta. Butuh waktu sebulan perjuangan untuk mendapatkan foto itu. Fotoku berdua bersama Hannah. Saat mau take foto itu pun susahnya minta ampun. Aku harus membujuk Hannah hampir sejam. Akhirnya Hannah mau difoto bersamaku setelah kujanjikan sekotak besar es krim cokelat. Di foto itu, aku memakai jaket angkatan SMA, berlagak santai dan Hannah memakai jilbab biru favoritnya sambil menunjukkan dua jari membentuk huruf V.

Senyumku kembali mengembang. Foto ini harus kusimpan baik-baik, softcopynya sudah tidak ada karena diam-diam dihapus Hannah dari laptop Nindi, takut ada yang lihat katanya. Untung saja sudah berhasil dicetak sebelum dihapus. Soalnya waktu itu Nindi hanya kasih izin untuk mencetak fotonya tapi tidak menyimpan softcopynya. Ya untung saja.

Foto itu jatuh dari tanganku. Kaget. Ponselku bergetar. Alunan musik MyAnswer – SEAMO tanda ada panggilan masuk. Coba kuliat di layar, nomor baru, tidak tersave sebelumnya. Kuabaikan begitu saja. Paling orang yang lagi iseng. Kembali kuambil foto yang terjatuh tadi. Menatapnya lekat-lekat. Aku tersenyum lagi, semoga tidak ada Nita yang melihatku senyum-senyum sendiri. Kalau iya, sudah habis aku diledeki. Tak lama fotonya jatuh lagi. Lagi karena ponselku bergetar. Masih nomor yang sama. Kuangkat saja, mungkin ada hal yang penting. Di sudut sana terdengar suara perempuan.

Halo, assalamu’alaikum
Halo, wa’alaikumsalam warohmatulloh, maaf ini dengan siapa?
Ini dengan Kak Edi ya? Eh.. Kak Freddi maksudnya..
Iya, ini siapa ya?
Hehe… ayooo coba tebak ini siapa?
Gak tau…
Huuhh… kalo gak tau aku cubit nih kak…
Nnah? Ini Hannah ya?
Hehehe.. Kakak apa kabar?

Suara perempuan itu Hannah. Sudah kukira, suara perempuan itu suara yang kukenal. Tidak berubah. Setelah sekian lama, aku mencari-cari keberadaannya, mencari nomor ponselnya, semua hasilnya nihil, bahkan ketika kutanyakan pada om iqbal pun tidak ada jawaban. Om iqbal hanya bilang “kalau sudah waktunya, dia yang akan hubungi kamu sendiri, kata Hannah begitu” dan waktu itu pun kini tiba, Hannah sendiri yang langsung menghubungiku.

Kabar baik dek Hannah… kamu? sehat?
Sehat alhamdulillah, luar biasa, allahu akbar!! hehe
Hehe.. Kenapa baru nelpon sekarang? Gak ada kabar, jahat..
Hehe.. jangan marah kakak Edi jelek, yang penting kan sekarang nnah nelpon plus mau nagih janji..
Janji? Janji yang mana? Perasaan udah ditepatin semua deh..
Hmhm.. jangan pura-pura lupa deh kak, itu tuh sekotak besar es krim cokelat.. ya walaupun fotonya udah nnah hapus tapi janji kakak gak kehapus gitu aja..
Tapi kan dulu udah…
Yang dulu gak sesuai kesepakatan, kotaknya kan kecil, janjinya kotak yang besar, jadi nnah anggap belum…
Waduh… gitu ya…
Kemarin om iqbal cerita, katanya kakak sekarang udah sukses, udah punya usaha sendiri. Duitnya pasti banyak, jadi nnah baru mau nagih janji sekarang, gak ada lagi alasan bilang gak ada duit kaya dulu-dulu… hayooo..
Iya deh… gak bisa mengelak kak edi sekarang.. boleh.. boleh.. mau ditraktir kapan nih? Sekalian kak edi mau introgasi anak ilang 4 tahun..
Haha.. Besok sore?
Ok!!!

Lega. Senang. Gembira. Bahagia. Rasanya campur aduk. Seperti es krim mix coklat, vannila, almond, crackers, saus strawberry, buah leci segar, dan mau tambah apalagi?. Pokoknya rasanya senaaang sekali. Saat-saat menyenangkan itu akan terulang lagi. Makan es krim bersama. Hal yang sering kami lakukan dulu sambil menghitung orang-orang lalu lalang yang bercermin di kaca jendela luar toko es krim. Orang-orang yang lewat mana tahu kalau kami memperhatikan mereka dari dalam toko. Macam-macam gayanya. Ada yang mengatur poni, dilempar ke kiri atau ke kanan, ada yang memperbaiki kerah kemeja, ada yang melihat jilbabnya miring atau tidak, ada yang sekedar menoleh, ada juga yang senyam senyum, mungkin mellihat wajahnya cantik dan ganteng kali ya. Sudah sudah. Malam sudah menyapa. Waktunya untuk tidur. Tidur nyenyak Edi, jangan lupa berdoa semoga hari esokmu indah, kataku dalam hati.

Waktu terasa begitu lama berputar, tidak seperti biasanya. Sudah berjam-jam kupelototi jam dinding yang ada di ruang tengah tapi tetap saja belum menunjukkan pukul 16.00. Ibu sudah beberapa kali menegurku karena bolak-balik kamar – ruang tengah seperti setrikaan. Ternyata menunggu memang tidak enak. Lama kuputuskan menunggu dalam kamar saja. Pesanan desain rumah yang deadline 3 hari lagi mulai kucorat-coret di atas kertas gambar. Hanya mau membuat sketsa dulu, kalau sudah rapih baru kupindahkan ke software komputer. Ternyata tidak mudah mengerjakan kerjaan dalam kondisi mood yang tidak bersahabat. Sketsa yang kubuat semakin tidak jelas. Entah bentuk apa ini. Melemaskan tangan saja biar lebih rileks. Kulihat kembali jam dinding. Masih belum juga. Tapi sebaiknya aku segera pergi, tidak baik membuat Hannah menunggu nanti. Aku kan yang punya janji.

Berjalan menelusuri jalan setapak. Kuputuskan untuk berjalan kaki saja. Walaupun sebenarnya lebih cepat kalau naik motor tapi kalau dihitung-hitung jalan kaki tidak menyita waktu yang banyak untuk sampai ke tempat tujuan. Ada yang memanggilku dari persimpangan. Hannah. Aku tersenyum. Walau dari kejauhan, wajahnya masih terlihat manis. Penampilannya sekarang berbeda. Sekarang sudah pakai rok, jilbabnya juga lebih lebar. Namun ada yang membuatku sedikit heran. Ada anak kecil perempuan bersamanya. Siapa anak itu?

Hatiku berdebar hebat. Siapa anak perempuan itu?. Aku tidak kuasa berpikir jernih. Apakah itu anak Hannah? Bukan hal yang tidak mungkin, kami sudah tidak bertemu selama 4 tahun tanpa kabar. Aku tidak tahu sama sekali apa yang telah terjadi di kehidupan Hannah selama ini.

Ayo.. sayang, salim dulu sama om… namanya siapa?
Eyyi om..
Kenalin ini om edi..

Hannah memperjelas. Nama anak itu Deli, lengkapnya Delisha. Cuma karena masih kecil, Deli belum bisa mengucapkan namanya dengan sempurna, jadi kedengarannya seperti eyyi. Anak itu sangat lucu, kulitnya putih, rambutnya lurus sebahu, berponi, pipi chubby. Menggemaskan dan yang lebih penting Deli mirip sekali dengan Hannah. Oh.. Robbi.

Om edi? Hehe
Iya kan? Masa bilang kakak..
Jadi, kak Edi kira Deli anak Hannah?

Tawa Hannah mengambang ke udara. Pipinya sampai memerah karena tidak bisa menahan tawa. Penuturan selanjutnya tentang Deli dari Hannah. Ternyata Deli adalah adik Hannah. Jaraknya memang jauh, beda 17 tahun. Bunda Hannah yang pernah keguguran dua kali, membuat bunda Hannah sempat tidak percaya bisa hamil lagi. Bahkan setelah Hannah divonis akan menjadi anak satu-satunya. Tidak ada yang pernah mengira Deli akan lahir ke dunia setelah Hannah beranjak dewasa, setelah bertahun-tahun Hannah memutuskan tinggal bersama neneknya di kota ini.

Hannah bercerita panjang lebar selama kami jalan bertiga bersama Deli. Sementara Deli hanya senyam senyum sesekali celingukan tidak jelas. Tapi yang paling jelas Deli senang diajak makan es krim. Kesamaan Hannah dan Deli banyak. Salah satunya suka makan es krim.

Kak edi… ingat gak dulu waktu terakhir kita smsan?
Iya ingat… kenapa tiba-tiba kamu ilang begitu aja nnah?

Hannah mulai menghela nafas panjang. Mungkin merasa ini moment yang tepat untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Ternyata saat terakhir berbalas pesan singkat, sebenarnya Hannah ingin memberitahu kalau dia dipanggil orangtuanya ke Yogyakarta, untuk tinggal dan melanjutkan kuliah disana. Saat itu, Hannah ingin meminta pendapatku bagaimana sebaiknya. Tapi ternyata respon yang kuberikan kurang baik. Akhirnya dengan emosi yang masih labil, Hannah memutuskan untuk segera berangkat ke Yogyakarta, padahal sebenarnya Hannah masih punya waktu tinggal selama sebulan di kota ini. Di Yogyakarta, jurusan Psikologi salah satu perguruan tinggi negeri menerimanya sebagai salah satu mahasiswi. Hanya berselang setahun kemudian, Delisha lahir dan meramaikan keluarga kecilnya yang dulu hanya beranggotakan ayah, bunda dan Hannah. Banyak pengalaman hidup yang dilaluinya, sehingga kemudian dia seperti saat ini.

“Setelah lama kejadian itu berlalu dan nnah berada di lingkungan yang baru, Akhirnya nnah menyadari satu hal”
“apa?”
“ternyata mencintai di waktu yang tidak tepat itu salah.”

Hujan pun turun di tengah bisu. Hujan sendu.

Cerpen Karangan: Araina Lilia Bintang
Facebook: https://www.facebook.com/hannah.bintang

CINTA DALAM SUJUD


Cahaya, gadis cantik yang menjadi primadona di desanya. Namanya sudah tersiar ke penjuru desa sampai kota. Bahwa tinggallah sesosok gadis cantik nan rupawan bersama wanita janda. Wajahnya bagaikan bidadari turun dari surga. Tak heran jika semua orang menyukainya.

Suatu ketika datanglah tiga orang menemui wanita janda yang sudah renta itu. Mereka menyampaikan maksud untuk mempersunting Cahaya.

Ketiga pemuda berasal dari desa yang berbeda. Bram, dia adalah seorang saudagar sukses dari desa sebelah, kabarnya ia juga membeli rumah di kota dan sebuah mobil mewah. Begitu bangganya ia atas apa yang ia miliki. Bagi Bram, hartanya seperti pasir yang tinggal di cangkul.

Kedua Ibnu, seorang pelaut ulung. Ia menceritakan pengalamannya yang telah menjelajahi samudra, dan mendarat di berbagai Negara. Ia juga berjanji, ia akan mengajak Cahaya untuk berlibur ke luar negeri menaiki kapal pesiar yang megah dan mewah.

Yang ke tiga Surya. Dari tadi dia hanya diam saja. Pakaiannya sangat berbeda dengan Bram dan Ibnu yang memakai jas. Surya memakai sarung baju koko dan peci.
“mungkin aku tak memiliki apa yang mereka miliki. Namun aku akan menjadi imam yang baik dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Percayalah, aku akan membawamu ke jalan yang terang. Harta itu bisa di cari jika pandai meniti buih selamat badan di seberang. Dan ingatlah harta bukan segalanya”, ujarnya. Ibnu dan Bram malah tertawa mendengar ucapan Surya. Namun Surya hanya diam, meskipun telah dilecehkan.

Cahaya bingung untuk memilih. Ia kemudian memutuskan untuk membuat suatu persyaratan siapa yang benar-benar klik di hatinya.
“pulanglah, dan besok kembalilah bawakan aku sesuatu”, ujarnya.

Ibunya menyarankan agar Cahaya bertanya pada Tuhannya, siapakah yang terbaik dalam hidupnya. Setiap hari ia sholat agar di berikan petunjuk oleh yang kuasa.

Ketiga lelaki itu kemudian datang dan membawakan sesuatu untuk Cahaya. Dengan bangga Bram, membawa kunci mobil. Ibnu, kunci rumah yang baru dibelinya. Seangkan Surya hanya membawa sebungkus kantong plastik. Saat mereka memberikan pada Cahaya, ia benar-benar terkejut saat tau yang ada dalam kantong plastik itu ternyata mukena. Surya berkata ia ingin agar Cahaya tak pernah lupa akan Tuhannya.

Cahaya menyuruh mereka pulang lagi. Kali ini ia mempunyai trik yang sangat jitu. Ia pura-pura kecelakaan dan kakinya harus diamputasi. Bram dan Ibnu pergi dan tak muncul lagi. Sementara Surya tetap mendatangi rumahnya. Cahaya menanyakan kenapa Surya masih mau ke rumahnya dan meminangnya padahal ia sudah tidak sempurna lagi.
“aku takkan pernah menjilat air liurku sendiri”, ucap Surya. Dan tersadarlah Cahaya bahwa Suryalah yang sudah Tuhan takdirkan untuknya…

CINTA DAN RAHASIA


“La Tahzan” mungkin kalimat itulah jawaban Tuhan atas semua pertanyaanku. Jawaban atas kesedihan yang selama ini selalu menyesakkan dadaku, jawaban atas kegalauan hatiku, jawaban atas kebimbangan hatiku, dan mungkin jawaban atas hubunganku dengan dia. Setiap kali aku bersedih, setiap kali aku membaca Al-Qur’an, setiap kali itu juga selalu ada kalimat “La Tahzan” di dalamnya. Entahlah, aku berharap semoga ini memang terbaik untukku.

Hubunganku dengan dia harus benar-benar berakhir saat itu juga, saat bulan ramadhan, saat semua orang penuh suka cita menjalani bulan penuh berkah itu, dan saat aku harus bersedih menjalani keputusan ini. Mungkin ini memang salahku, aku meninggalkannya tanpa sedikitpun penjelasan, hingga dia harus benar-benar pergi. Pergi bersama keputusan yang membuat kami berdua beradu dalam kegalauan yang teramat sangat. Mungkin juga ini adalah hukum karma untukku karena meninggalkannya tanpa memberinya alasan, dan kali ini gantian dia yang meninggalkanku. Meskipun niatku meninggalkannya adalah terbaik untuk kita berdua, aku nggak ingin di antara kami ada banyak belenggu-belenggu setan yang dapat menyesatkan kami, aku hanya ingin aku dan dia benar-benar jadi kekasih halal yang terlindungi, tanpa belenggu-belenggu setan. Tapi itulah, niat baik nggak selamanya berakhir baik, bahkan terkadang menyakiti kita. Huft, aku menyesal telah melakukannya. Tapi, selalu banyak “tapi” yang berputar di pikiranku. Aku hanya bisa pasrah, pasrah pada kenyataan ini.

Hingga saat ini aku tak pernah lagi berkomunikasi dengannya, memang dari awal kita selalu jarak jauh, bahkan saat masih ada hubungan pun kita juga jarak jauh. Jangankan telepon, SMS pun sudah lagi tak kami lakukan, bahkan aku pikir nomor ponselku mungkin sudah dia hapus. Entahlah. Dia benar-benar marah kepadaku. Saat terakhir kami bertemu, dia bilang kalau akan menikah dengan wanita lain, aku berharap itu adalah pilihan yang benar-benar berasal dari hatinya, dan pilihan yang terbaik untuknya. Aku berusaha untuk ikhlas menerima keputusannya. Dan aku, aku selalu mengingat kalimat “La Tahzan” itu, kalimat penyemangatku, kalimat penyejuk hatiku, dan kalimat yang selalu bisa menenangkan hatiku. Aku hanya berharap untuk bisa mendapatkan penggantimu, pengganti yang lebih baik darimu. Walaupun aku tak pernah mengutarakan alasanku meninggalkanmu, ya hanya ku simpan dalam hatiku, hanya aku dan Illahi lah yang tahu. Yakinlah, ini adalah terbaik untukku dan untuknya.

HARIKU BERUBAH


Hari ini adalah tepat usiaku yang ke 17 tahun. Ini adalah titik awal dari kedewasaanku. Aku mulai segala hal yang selama ini tak pernah aku lalui. Aku memulai setiap langkah seperti anak 17 tahun lainnya. Hingga aku menemukan satu hal yang belum pernah aku alami dan rasakan sebelumnya. Aku menemukan dia.

Dia adalah seseorang yang telah benar-benar merubah segala apa yang telah aku miliki saat ini dan sebelumnya. Aku jadi memiliki satu rasa yang aneh dan begitu sangat mengganjal di dalam hatiku. Aku jadi begitu asing dengan diriku sendiri. Aku yang tak pernah sedikitpun melirik orang lain, sedikit demi sedikit mulai mempedulikan setiap ocehan dan perilaku mereka. Aku sendiri tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Sejak dia datang, entah mengapa tak ada kata yang bisa menafsirkan keadaan hatiku selain kata bahagia. Entah mengapa bunga yang selama ini serasa tak pernah ku siram mulai mekar dan merekah kembali. Entah mengapa aku tak pernah bisa berpikir jernih ketika dia dengan secara tiba-tiba datang di hadapanku.

Dan dulu sebelum ada dia. Aku hanya menjadi manusia yang hanya mampu memandangi sekitarku tanpa aku bisa bergabung dengan mereka. Sebelum dia datang aku hanya manusia yang seolah-olah bisu dan tuli. Aku bukanlah aku yang sekaranng. Yang mempunyai banyak teman dan mampu berbicara serta mendengar. Entah mengapa aku jadi semakin tak mengenali diriku sendiri.

Semakin aku mengenal dia, semakin banyak kekonyolan dan kebodohan yang aku buat. Entah itu aku sengaja atau tidak ku sengaja. Semakin aku mengenalnya, aku merasa semakin gila karena terlalu banyak tingkah bodoh yang aku lakukan secara spontan. Aku jadi sering melamun, senyum-senyum sendiri, melayang dengan segala khayalan konyolku. Mungkin akulah orang paling aneh di sekolahku.

Dia tak sesempurna sperti yang meraka bayangkan. Dia begitu sederhana dengan segala yang dia miliki. Dia begitu sederhana sehingga tak pernah sedikitpun terlihat kesan sombong dalam dirinya. Dia begitu berkharisma sehingga aku tak pernah bisa melihat lagi sisi buruk dalam dirinya. Dia simple dengan pemikirannya. Dia polos dengan tutur katanya. Dan dia lembut dengan perhatiannya.

Selama perjalananku hingga aku menginjak 17 tahun, tak pernah ku temui orang sesimple dan sesederhana dia. Tak pernah ku temukan orang setulus dia. Dia begitu tulus dengan senyumnya dan begitu manis dengan tawanya.

Mungkin bagi orang lain dia begitu biasa. Dia tak memiliki apa-apa seperti yang orang lain harapkan. Dia tak mempunyai seperti yang orang lain idam-idamkan. Tapi dia punya satu. Satu hal yang tek pernah dia tinggalkan. Dia punya iman. Dia punya kepercayaan dan dia punya pendirian yang teguh. Semuanya ia buktikan dengan ketaatannya bersujud pada Sang Maha Pencipta.

Setiap kali ku letakkan tasku dan ku rebahkan tubuhku di atas kasur. Pikiranku selalu melayang membayangkan keberadaannya. Setiap kali akan kupejamkan mata ini, maka setiap itu pula aku akan selalu memiliki senyumnya dalam bayang imajinasiku. Setiap kali ku usai bersujud, ku tadahkan tangan untuk meminta satu nama yang suatu saat akan melengkapi hidupku yaitu namanya. Namanyalah yang selalu aku tulis dalam buku harianku. Satu-satunya nama selain keluarga dan sahabatku yang aku sebut dalam setiap sujudku. Nama itulah yang selalu aku minta untuk menjadi imamku kelak.

Perkenalan antara aku dan dia yang hanya sekedar lewat pesan singkat. Perkenalan yang hanya sekedar berucap kata “hallo”. Perkenalan tanpa jabat tangan. Perkenalan melalui satu media yang tak pernah orang lain bayangkan. Melalui sebuah surat yang dia selipkan dalam buku catatanku. Sebuah surat yang dia awali dengan kata “assalmu’alaikum” dan dia akhiri dengan kata “wassalamu’alaikum”. Mungkin bagi orang ini begitu kuno. Tapi bagiku ini begitu spesial. Sebuah kata awal dan kata akhir yang berupa sebuah doa. Aku berharap doa darinya bukan hanya ada pada dalam awal dan akhir tulisan surat yang dia selipkan dalam bukuku. Aku harap namaku lah yang selalu dia sebut dalam setiap sujudnya.

Dalam setiap kesunyian yang aku rasakan setiap malam. Bayangannya lah yang selalu menari untuk menghiburku. Senyumnya seakan bernyanyi untuk mendendangkan segala kerisauan hatiku. Dan semua itu hanya ada dalam imajinasiku. Aku tak mampu untuk menyentuhnya. Aku tak mampu menyapanya ketika kami bertatap. Karena aku takut. Semua itu adalah suatu hal dalam keyakinanku yang mungkin dapat menimbulkan dosa. Aku sadari itu. Bahkan mungkin berharap akan kedatangannya pun adalah suatu dosa dalam hidupku. Tapi, aku bukanlah orang yang sempurna. Aku juga tak bisa memungkiri kalau aku begitu mengaharapkannya dan menjadikannya seorang kekasih. Tapi, semuanya harus aku tepis karena aku punya suatu keyakinan dan aku punya peraturan dalam agamaku yang setidaknya untuk menjaga setiap apa yang wanita miliki, terutama kehormatannya.

Semenjak perkenalanku dengan dia, aku menemukan satu hal yang melengkapi hatiku. Aku mulai dapat membuka satu pintu yang tak pernah terjamah oleh siapapun. Satu pintu yang selama ini tak pernah ada yang cocok dengan setiap kunci yang orang lain coba pasangkan. Satu pintu yang hanya terbuka jika aku merasakan satu getaran yang mampu menggetarkan seluruh aliran darahku dan pikiranku. Ya Tuhan, dosakah aku ini, yang selalu memikirkannya? Tapi aku bukanlah yang munafik, karena aku memang memendam 1 rasa yang sangat dahsyat. Perasaanku selalu berkecamuk dalam harapku pada-Mu.
Aku ingin suatu saat akan ada pertemuanku dengannya di waktu dan tempat yang tepat. Tempat yang selalu aku idamkan. Tempat yang paling indah yang akan menyatukan pandangan antara aku dan dia. Tempat paling indah yang akan menggandengkan kedua mataku. Tempat paling indah dan suci, dimana dia akan mengucapkan kalimat, yang akan membuatku menjadi miliknya selamanya. Hingga waktu yang akan memisahkan aku dan dia.

Tuhan, inilah doaku

CAHAYA BINTANG


Sosok pria misterius yang membuat aku penasaran banget… Sudah 10 surat cinta sampai padaku namun sampai detik ini aku tak tahu siapa dia. Aku adalah seorang siswi SMA kelas XI. Teman-teman memanggilku Bintang.

“Ke kantin yuk”, ajak Sania sahabatku.. kuikuti langkah kakiku yang sebenarnya aku tak tahu hendak kemana. Sosok mata sejuk yang kukenal. Kak Indra… ujarku dalam hati. Hatiku berdebar, ku tau aku punya perasaan khusus padanya. Aku hanya terdiam karena ku tau sosok itu tak mungkin ku raih. Badan tegap dan tinggi, hidung mancung dan senyum yang manis, belum lagi prestasi yang diraihnya. Ia mendapat medali emas dalam olimpiade matematika di Bangkok. Hobinya bermain basket membuat semua mata tertuju padanya.

Azan berkumandang, ku melangkah menuju mushola, Kak Indra sudah siap dengan peci putihnya. Terdengar merdu lantunan ayat suci Al qur’an. Aku terenyuh, air mataku hendak mengalir karena suara itu begitu indah. Kala kulihat ternyata Kak Indra yang mengaji… Subhanallah… Kuakhiri momen itu dengan sholat berjamaah bersama Kak Indra sebagai Imamnya. Sempurna… ku memandang dari kejauhan.

Senin setelah upacara bendera kudapati surat di bawah mejaku. Untaian kata yang begitu indah bagiku.

Seribu cahaya bintang di langit
Ada satu cahaya yang paling terang
Kupetik dan ku untai di relung hati
Kupilih Bintang bersinar seperti halnya sinar dirimu
Bintang hatiku…

Aku tersenyum-senyum sendiri. Kulihat ada satu kalimat kecil di bawahnya. Temui aku sang pujaan hati di belakang mushola jam 09.00 nanti. Kau akan tau siapa aku.

‘Tepat jam 09.00 nih’ pikirku dalam hati. Aku minta izin dengan bu Ana guru Kimia. Aku pura-pura ingin ke toilet. Tepat di belakang mushola aku melihat sosok pria yang tak asing bagiku. Seakan tak percaya dia memandang dan tersenyum kepadaku. Manis… banget senyumnya. “Kak Indra kau kah itu? kau yang selama ini memberiku surat berisi kata-kata manis?”

Ingin rasanya aku berteriak dan lonjat kegirangan, tapi aku hanya diam tertunduk malu. Saat itu kami jadian, aku tak dapat menolaknya saat ia menyatakan isi hatinya. Kak Indra pujaan hatiku…

Tak terasa hampir setahun kami berpacaran. Hari itu terasa berat bagiku. Acara pelepasan siswa kelas XII hampir usai. Aku akan sangat kehilangan sosok itu di sekolah ini. Hampir setiap hari kami tadarus dan sholat zuhur bareng. Kegiatan rohis akan sangat kehilangan karena Kak Indra selalu memberikan tausyiahnya kepada kami.

“Dek…” kata Kak Indra, “Kakak besok akan test Penerimaan mahasiswa. Doakan Kakak diterima ya” Ujarnya lembut. “Insya Allah kakak akan diterima, adek yakin hal itu karena kakak adalah yang terbaik…” aku tersenyum tulus namun rasanya tak rela, bagaimana tidak, bila ia diterima kami akan terpisah. Ia memilih untuk mendapatkan beasiswa di Jepang.

3 tahun sudah kami terpisah Kak Indra jarang pulang, selain kuliah ia bekerja part time di Jepang. Aku menuntut ilmu di Bidang Kedokteran di sebuah Universitas Negeri Jakarta. Aku setia… Sangat setia…

2 minggu lagi lebaran, Kak Indra memberi kabar bahwa ia akan pulang, pesawat tiba pukul 03.00 sore ini. Ku langkahkan kaki mencari taksi, aku salah tingkah. Bagaimana Kak Indra sekarang ya? Dadaku berdebar kencang. Rindu… yang kurasa.
Menunggu 15 menit lagi… terdengar kabar terjadi kecelakaan pesawat. Ya Allah pesawat kak Indra jatuh di daerah pegunungan, Sinyal hilang… Lemas tak berdaya yang kurasa, gelap… aku terjatuh pingsan seakan tak percaya dengan apa yang tejadi.

Terbayang senyum manisnya… tatapan lembutnya… hatiku sakit… sudah 1 minggu Kak Indra tidak ditemukan. Tak ada kabar, 10 orang tidak ditemukan termasuk dirinya. Aku merasa hilang arah, hari-hari kulalui dengan hampa. Ya Allah berikan petunjukmu, aku ikhlas, aku siap ya Allah walau hanya melihat jasadnya…
Kata-kata manis terakhir yang kuingat…

“Ingatlah satu hal, walau kita terpisah jauh, namun kita berada pada bumi dan di bawah langit yang sama dan pandanglah keatas, kita tetap akan melihat Bintang yang sama. Karena kaulah Bintang yang menghiasi dan menerangi hatiku”. Itulah ucapan terakhirnya padaku…

Hari berganti tahun, besok aku wisuda. Gelar sarjana kedokteran yang kuraih kupersembahkan untukmu kak Indra… walau aku tak pernah tau bagaimana dirimu, namun hatiku tak bisa berpaling pada laki-laki lain. Bulan depan aku akan memulai hariku di sebuah desa terpencil. Aku ditugaskan disana, mereka membutuhkan dokter. Aku siap… sangat siap… Memberikan apa yang kubisa untuk Negara ini.

Desa yang indah, udara sejuk dan masyarakat yang ramah. Harum aroma bunga kopi menyejukkan hati, terdengar suara azan di Masjid, kulangkahkan kaki untuk sholat subuh. “Ramai ya…” tanyaku pada ibu atik, pengurus Puskesmas tempat aku bekerja. “Ya”, sahutnya. Desa ini beruntung karena ada seorang pemuda Sholeh yang mau mengurus Masjid. Setiap sore anak-anak mengaji dan diajarkan Sholat.

Ku langkahkan kaki menuju Masjid, kulihat sosok pria dari belakang punggungnya, aku terkejut karena suara merdu itu berasal dari sosok pria yang tidak mempunyai tangan kiri. Aku merasa, mengenali suara itu…
“Nak…” panggil bu Atik kepada pemuda itu, “Ya bu…” sahutnya. Ia berdiri dan memalingkan wajahnya padaku. Ia tersenyum… Aku sangat shock dan terkejut. “Kak Indra!!!! kaukah itu?”
‘Aku bermimpi… Ini mimpi… Mustahil atukah ini mukjizat?’
Aku ingin berlari dan memeluknya, tapi tidak mungkin kulakukan karena aku adalah seorang muslimah. Dalam situasi seperti ini aku bingung, limbung. Tiba-tiba semua terasa gelap, aku jatuh tak sadarkan diri

Bintang… bintang… Terdengar suara lembut memanggilku, aku tau suara itu.
“Kak Indra”, panggilku, laki-laki itu terlihat bingung. “Aku bukan Indra, namaku Sholeh, orang-orang memanggilku begitu”. Ia tersenyum manis sehingga membuat jantungku berdegup cukup kencang.

Tidak mungkin… Ia sangat mirip dengan Kak Indra yang kukenal. Wajahnya, suaranya semuanya… Hanya ia tidak mempunyai tangan kiri. Laki-laki ini cacat…

Setelah pertemuan itu, aku dengan Kak Sholeh sering bertemu. Ia sering membantuku di klinik…

“Bu Bintang… Anda terlihat lelah, istirahatlah” ujar Sholeh. “Ah ini sudah biasa namanya juga Dokter, hari ini banyak sekali pasien yang harus dikunjungi”, ujarku…
“Kak Sholeh, besok kan libur aku minta tolong boleh gak?” ia tersenyum dan menganggukan kepalanya…
“Hehe temani aku ke air terjun yuk, aku lelah sekali, rasanya ingin refreshing dikit, mau ya?” “Boleh” sahutnya…

Karena jarak air terjun dari rumahku tidak terlalu jauh, kami memutuskan untuk hiking saja dengan bekal seadanya. Rasanya seperti bebas, lepas. Aku berlari menyusuri kebun teh…

Setibanya di air terjun, kami duduk di atas batu sambil merendamkan kaki, canda tawa kami hangat terasa saat itu…
Tiba-tiba Sholeh berkata “Bintang ingatkah dulu kita pernah melihat Bintang di langit bersama-sama? Walau kita terpisah tapi kita tetap di bawah naungan Bintang yang sama. Bintang yang kita tatap adalah Bintang yang sama, selalu bersinar walau malam sangat gelap namun hati kita tetap terang dihiasi Bintang hati kita.”
Aku tersenyum namun tak bisa kusembunyikan air mata yang akan jatuh ini. Aku tau, engkaulah Bintang hatiku yang selama ini hilang. Engkaulah Kak Indraku yang dulu.
“Kenapa? Kenapa kau lari dariku padahal selama ini kau ada di hadapanku. Tak kau izinkan aku menggapaimu?
Maaf, aku tau aku salah ujar Kak Indra. Kau lihat aku sekarang? Aku cacat, aku tak pantas untukmu Bintang.
Bukankah mencintai itu dinilai tidak hanya dari fisiknya saja? Untuk apa kita memiliki segalanya namun hati ini kosong. Aku kosong… aku hampa… Aku hanya mencintaimu seorang. Kemana kamu selama ini! Setiap hari langkahku terhenti pada satu sosok yang aku rindu, aku mencarimu, keyakinanku berkata engkau ada, tapi dimana? Jasad pun tak kutemukan, jiwaku terasa pergi bersama jiwamu. Apa aku menghinamu ketika kita berjumpa dalam keadaan dirimu yang cacat ini? Mencintai tidak harus memiliki, aku tau itu yang kamu pikirkan, Iya kan?”
“Jawab Kak! Kenapa diam?” Hatiku terasa sesak aku ingin menjerit sekuat-kuatnya. Aku tau aku bahagia tapi kenapa aku marah padanya?

“Dalam kekuranganmu aku melihat kesempurnaan. Itu keajaiban cinta. Tiada satu cela pun dalam dirimu. Mencintai kesempurnaan fisik tidaklah kekal abadi. Aku tidak memerlukan kesempurnaan karena yang kubutuhkan adalah seeorang yang bisa memperlakukanku dengan baik dan bisa menjagaku.”
Kak Indra menarik napasnya dalam-dalam, “Disaat amarah menyelimuti hati, akal sehat akan mati dan tindakan menjadi tak terkendali” “Maaf Bintang. Jika kau marah, marah lah. Jika kau kecewa, kecewa lah. Benci lah aku bila kau mau”.
“Jarak jauh adalah ujian cinta, Jarak dekat adalah ujian Iman, Menanti adalah bukti kesetiaan. Dirimu adalah Bintang Kesetiaan yang sempurna. Siapapun yang memilikimu adalah keberuntungan”.

Sejak hari itu, suasana berbeda, aku pulang ke kota.
Aku menjalani hari dengan ketidakpastian, apa yang kupikirkan aku tak tau. Seharusnya aku bahagia, bukankah ini yang aku inginkan selama ini?
“Bintang!!” panggil mama dari luar. Aku terhentak dalam lamunanku. Aku keluar dengan wajah ngantuk karena memang aku tidak bisa tidur. Memikirkan kebodohanku.

Sesaat aku terpana, mimpikah ini? Aku mengusap mataku berulang kali. Kucubit pipiku hingga merah. Orangtuaku tertawa, semua tertawa melihat kepolosanku. Aku memang ngantuk tapi bukan berarti aku mimpi di siang bolong begini kan?

Kulihat Kak Indra beserta kedua orangtuanya ada di rumahku. Mereka hendak melamarku. Aku sangat tersipu. Bagaimana tidak, begitu kusutnya aku terlihat di mata mereka. Kulihat Kak Indra mempunyai 2 tangan. Ia memakai tangan palsu.
Walau tangan palsu tapi hatiku tidak palsu lho, ia bercanda karena lirikan mataku ke arah tangan kirinya itu. Aku langsung berlari masuk ke dalam kamar. Aku malu…

“Mama keterlaluan, masa gak bilang-bilang kalau mau ada tamu, aku terlihat kusut begini… Sebel…” Mereka semua tertawa melihat wajah merahku yang berpaling sambil berlari.
Mendengar tawa mereka, aku pun tertawa juga di dalam kamar.

Namaku Bintang, aku mempunyai hati yang bersinar seperti Bintang karena ada sosok Bintang hati yang meneranginya.

Featuring WPMU Bloglist Widget by YD WordPress Developer